“Kegiatan ini menjemukan,” ujar Larry ketika ia bisa bersama Ben. Ben melirik sahabatnya sekilas lalu terkekeh.
“Ini baru hari pertama. Kau belum mengenal lingkungan saja.” Ben sengaja mengejek Larry.
Tentu saja Larry kesal mendengar jawaban Ben.
Dia pun memaki Ben sambil beranjak dari duduknya.
Hanya saja, melihat sekumpulan buddy wanita, Larry punya ide.
Dia akan menggoda mereka satu-satu.
Siapa tahu akan ada yang menghiburnya 30 hari ke depan.
Di sisi lain, sembari mengamati Larry, Ben mencari sosok Camelia di kelompok itu.
Sayangnya, tidak ada. Justru seorang mahasiswa laki-laki berseragam kaos buddy melintas di depan Ben.
Dia pun langsung memanggilnya dan bertanya tentang Camelia.
“Camelia dan Rosaline ada kelas,” jawab mahasiswa itu kemudian pergi.
Ben tidak lupa mengucapkan terima kasih bersamaan dengan kemunculan Larry di depannya.
Kali ini, dia kembali dengan wajah semringah. Dan tentu saja Ben curiga melihat ekspresi Larry.
“Aku akan mengadakan pesta di vila.” Larry terlihat antusias.
“Pesta?” Ben menatap Larry bingung. Ia enggan menduga-duga seperti apa pesta yang dimaksud oleh sahabatnya.
Namun, binar di mata Larry membuatnya merinding. Terlebih, kalimat pria itu selanjutnya. “Kurasa hanya dengan menggelar pesta, aku bisa bertemu dengan banyak gadis cantik yang bisa diajak bersenang-senang!”
***
“Datang yuk!”
Tetiba Rosaline muncul di hadapan Camelia sambil menunjukkan layar ponselnya yang tengah menampilkan sebuah undangan.
Camelia yang sedang asyik menyimak siniar tentang salah satu materi kuliahnya, langsung mengangkat wajah.
Ekspresi bingung bercampur penuh tanya dari Camelia tentu saja membuat Rosaline gemas. “Ke mana?”
“Kamu benar-benar tidak tahu?” Rosaline menatap Camelia tidak percaya. Rosaline akui, Camelia memang gadis yang pendiam dan cenderung tertutup, tapi apa yang ia bicarakan kali ini adalah pengecualian. sungguh tidak percaya begitu Camelia menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Rosaline lalu mengambil tempat untuk kemudian duduk di samping Camelia. Dengan penuh semangat, gadis itu menceritakan tentang isi undangan yang baru saja ditunjukkannya.
Ternyata undangan itu berasal dari Larry.
Dalam undangannya yang bersifat terbuka, Larry mengajak seluruh mahasiswa di fakultas untuk hadir ke pesta yang digelarnya di sebuah vila di dalam kota yang terkenal karena harga sewanya yang fantastis.
Camelia langsung menggeleng. Ia sama sekali tidak tertarik dengan pesta. Tentu saja penyebabnya karena ia tidak suka keramaian.
“Bukankah kamu adalah buddy-nya Larry? Kamu yakin tidak datang ke pestanya hanya karena tidak suka keramaian?” Rosaline menatap Camelia penuh harap.
Sayangnya, gadis itu justru menggeleng. “Lagipula pestanya diadakan malam hari. Itu di luar jam kampus. Jadi aku tentu boleh tidak hadir, kan?”
Rosaline tampak mencebikkan bibirnya. “Aku tidak mau mendengar alasan apa pun dan nanti malam aku dan Ben akan menjemputmu. Kamu harus siap sebelum kami datang. Awas saja kalau kamu tidak membukakan pintu ketika kami datang.”
Hal itu sontak membuat Camelia terdiam. Gadis itu hanya mengerjap ketika akhirnya sosok Rosaline semakin menjauh dari hadapannya.
Namun, di sinilah Camelia.
Dia masih mematung di depan lemari kecil yang berisi beberapa potong pakaian miliknya.
Ini jugalah yang menjadi alasan lainnya Camelia enggan datang ke acara tidak resmi. Ia tidak memiliki jenis pakaian yang beragam.
Drrt!
Ponsel yang berdering tidak begitu nyaring membuyarkan fokus Camelia. Nama Rosaline terpampang di layar.
Dengan sedikit enggan, Camelia menerima panggilan dari Rosaline. Belum sempat Camelia menyapa, Rosaline langsung bicara. Ia mengatakan bahwa dirinya dan Ben telah berada di depan gedung asrama.
“Kamu sudah siap, kan?” Nada tidak sabar Rosaline sangat kentara terdengar.
Camelia mengiyakan dengan nada malas. Hanya untuk membuat Rosaline senang. Begitu panggilan berakhir, Camelia segera kembali ke depan lemari pakaiannya. Kali ini ia tidak bisa berdiam diri lagi. Diambilnya sebuah kemeja polos berwarna putih tulang dan rok sepanjang lutut dengan motif dedaunan yang dibuat dengan teknik eco printing.
Tepat setelah Camelia selesai berganti pakaian, terdengar pintu kamarnya diketuk seseorang.
Namun begitu pintu dibuka, Rosaline tampak terkejut setengah mati. "Ya ampun, Camelia Rusticana. Apa saja yang kamu lakukan sejak tadi?" pekiknya lebay.
Teman Camelia itu kemudian mengambil ponsel dari dalam tas kecil berwarna merah tua yang terlihat serasi dengan gaun brokat yang dikenakannya: hitam. Tali tas berbentuk rantai berwarna keemasan membuat penampilan Rosaline nyaris sempurna.
"Ben, beri aku lima menit ya. Aku butuh memoles Camelia agar ia terlihat seperti pergi ke pesta."
Camelia memukul bahu Rosaline setelah gadis itu menyudahi panggilannya.
Baru saja Camelia hendak bicara, Rosaline dengan cepat menyambar lengannya.
Menggiring Camelia masuk ke dalam kamarnya lalu menutup pintu.
Rosaline merasa beruntung karena ia tidak lupa membawa kosmetiknya yang sebenarnya standar saja. Hanya lipstik dan bedak padat.
Dengan cekatan, Rosaline mengaplikasikan bedak padat ke seluruh wajah dan leher Camelia.
Setelahnya, giliran lipstik yang ia aplikasikan pada bibir indah Camelia. Rosaline kemudian mengoles tipis lipstik ke bagian tulang pipi Camelia kemudian meratakannya dengan lembut. Jadilah pipi pucat Camelia sedikit bersemu kemerahan.
"Tidak perlu!" Camelia menolak ketika Rosaline hendak mengoles kelopak matanya dengan lipstik.
"Oke. Hmm...." Rosaline mengamati wajah Camelia dengan perasaan puas. Kini ia perlu memberi sentuhan akhir pada rambut panjang Camelia. Sebuah jepit hitam kecil Rosaline selipkan ke bagian rambut Camelia di dekat telinga kirinya.
"Nah, kita sudah siap. Yuk!" Ajak Rosaline sambil menggandeng tangan Camelia. Camelia segera menyambar tas kecil warna hitam yang talinya ia kenakan secara menyilang di depan dada. Rosaline ingin berkomentar, tapi urung. Biarlah sahabatnya memakai tas seperti itu, yang penting Camelia merasa nyaman.
Camelia sedikit heran mendapati lorong asrama mahasiswa yang lengang. Ia kemudian menyimpulkan sendiri bahwa seluruh penghuni asrama pasti tengah berada di pesta Larry. Camelia semakin mempercepat langkah karena tangannya ditarik oleh Rosaline.
"Maaf kami lama, Ben." Rosaline terlihat tidak enak dengan Ben karena menunggunya terlalu lama. Camelia yang melihat Rosaline dengan santai masuk lalu duduk di jok depan kemudian mengikuti dengan membuka pintu belakang. Camelia segera masuk Dan memilih duduk sedikit ke tengah.
"Hai, Ben. Maaf aku...."
"It's okay, Camelia. Kamu terlihat cantik." Tanpa sadar, Ben menggulirkan pujian untuk penampilan Camelia. Rosaline berdeham kemudian menepuk dadanya, merasa bangga dengan hasil karyanya.
Pria itu segera melakukan mobil setelah memasang kembali sabuk pengaman. Di perjalanan, Camelia lebih memilih diam. Sementara Rosaline dan Ben sesekali mengobrol tentang pesta yang akan mereka datangi. Menurut Ben, Larry sangat sering menggelar pesta. Pesta khas anak muda di negeri adidaya.
"Apa Larry punya pacar?"
Pertanyaan Rosaline tak ayal membuat Camelia tertarik juga.
"Larry tidak punya pacar, tapi ia punya banyak koleksi cewek," jawab Ben santai. Namun diam-diam, dia melirik Camelia melalui kaca sentral.
Unrtungnya, ekspresi gadis incarannya itu tidak berubah. Justru Rosaline yang terdengar sangat tertarik untuk mengorek informasi lebih dalam.
"Larry memilih tidak pacaran karena tahu bahwa ia akan dijodohkan dengan putri kolega keluarga Brown. Yah, perjodohan sesama konglomerat." Ben terpancing juga untuk menceritakan semuanya.
Rosaline kembali ber-wow, sementara Camelia tetap bergeming. Namun di dalam hatinya, Camelia telah mengingat baik-baik semua informasi yang diberikan Ben.
'Sudah bertunangan. Jadi, jangan sampai aku tertarik padanya,' peringat Camelia pada dirinya sendiri.
Tapi, siapa sih yang bisa ngatur hatinya Camelia?
Tanpa terasa, mobil yang dikemudikan Ben akhirnya sampai juga ke tempat tujuan. Ben membawa mobilnya masuk ke halaman vila yang pagarnya terbuka lebar. Pria itu kembali melirik Camelia dari kaca sentral sembari membuka sabuk pengaman. Kali ini Ben mendapati ekspresi sedikit gugup karena tegang di wajah Camelia. "Santai saja. Toh mereka semua orang yang sama dengan yang kamu jumpai setiap hari di kampus." Ben mencoba menenangkan Camelia. Gadis itu lantas menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan. Ia melakukannya beberapa kali sampai ada sensasi menenangkan yang hadir dalam dirinya. Sesudahnya, Camelia tersenyum tipis lalu mengucap terima kasih pada Ben. Rosaline dan Camelia pun melangkah bersisian memasuki vila. Sementara Ben yang ada di belakang mereka, terlihat memperlambat langkah. Rosaline menoleh pada Ben. Dengan kode gerakan kepala, Rosaline dan Ben sailing berkomunikasi. Camelia mengangkat sepasang alisnya, merasa takjub dengan apa yang dilihatnya. Ben dan Rosaline
"Jangan, Larry!" pekik Camelia melarang Larry berbuat lebih jauh padanya. Dia berusaha menghimpun tenaga lalu menyalurkannya dalam bentuk sebuah dorongan kuat pada bagian dada Larry yang terkejut oleh dorongan cepat Camelia. Tak ayal, pria itu jatuh terjerembab juga. Kesempatan itu kemudian Camelia gunakan untuk lari, kabur, dari kamar Larry. Camelia ingin menangis, tapi ia mencoba menahannya sekuat tenaga. Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk menangis dan menjadi cengeng. Yang terpenting sekarang, Camelia harus segera keluar dari vila ini. Camelia lalu teringat Ben, tapi ia baru sadar jika ponselnya tertinggal di asrama. Entah karena kurang fokus atau apa, Camelia tidak sadar jika ada seorang pemuda yang tetiba muncul dari salah satu kamar kemudian menyambar tangannya cepat. "Ternyata kau cantik juga, Camelia," ujar pemuda itu dengan pandangan terarah pada bagian dada Camelia yang terbuka dan menampakkan tanda kemerahan. "Kau semakin seksi dengan jejak kemerahan itu." Da
Plak!Sebuah tamparan dari Camelia sukses mendarat di pipi kiri Larry. Pipinya memang sakit, tapi harga dirinya seperti terkoyak setelah ditampar Camelia.“Jangan menjadi pembohong dan pengecut, Camelia.” Kecam Larry sambil mengikis jarak antara dirinya dengan Camelia. Camelia mundur sambil menggeleng cepat. Ia khawatir Larry akan menggila sehingga tanpa ragu berbuat nekat.“Jangan bertindak bodoh, Larry. Kalau kamu melakukannya padaku, maka kamu tak ubahnya seperti pemuda jahat tadi.” Camelia mencoba menggiring logika berpikir Larry. Larry mengulum senyum. Ekspresi ketakutan Camelia membuatnya merasa di atas angin.“Berhenti bicara, Camelia. Berhentilah berdalih dan mencoba menggiring pikiranku. Sekarang, biarkan aku menyentuhmu, Camelia. Biarkan aku memilikimu malam ini.” Camelia langsung menggeleng. Ia tentu saja tidak mau dengan mudahnya menyerah pada Larry.“Kurasa kamu masih perawan.” Kalimat Larry sontak membuat sepasang netra cantik Camelia terbeliak. Atas dasar apa Larry bis
Larry mengangkat ujung dagu Camelia dengan jari telunjuknya yang masih menunduk. Begitu pandangan mereka bertemu, Larry langsung memberikan senyuman manis pada Camelia. "Tidak perlu malu," lirihnya, "ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua."Otak Camelia serasa dilumpuhkan oleh semua ucapan manis Larry. Nyatanya, Camelia justru mengangguk, mengiyakan semua perkataan Larry. Merasa yakin bahwa tidak akan ada lagi penolakan dari Camelia, Larry kemudian menggendong Camelia. Pekik tertahan sebagai reaksi terkejut Camelia dengan perlakuan Larry, kembali membuat Larry tersenyum. Larry melangkah ke arah ranjang besar miliknya. Dengan penuh kehati-hatian, Larry mendaratkan tubuh Camelia ke atas ranjang. “Buatlah dirimu senyaman mungkin, Camelia," ujar Larry sambil berdiri di sisi ranjang. “Bagaimana caranya menjadi nyaman di situasi seperti ini, Larry?" Jujur, Camelia bingung. Terlebih ia akan menyerahkan mahkotanya hanya karena balas budi. Camelia akan melepas keperawanan bukan ka
Camelia menggerakkan kepalanya ke samping kanan. Netranya langsung menangkap sosok Larry yang tidur dalam posisi tengkurap. Dengkuran halus yang tertangkap telinga Camelia membuat gadis itu tahu bahwa Larry tengah tertidur pulas. Camelia kemudian menggerakkan kepalanya ke arah berlawanan. Ia ingat betul bahwa di atas nakas di sisi kiri ranjang terdapat jam beker. Mata Camelia sontak membeliak begitu mendapati kedua jarum jam hampir bersatu di angka dua belas. Hampir tengah malam dan Camelia belum kembali ke asrama. “Larry…,” Camelia mengguncang tubuh Larry perlahan. Sebenarnya ia enggan mengganggu tidur Larry, tapi ia butuh pakaian agar bisa pulang ke asrama. Tepat setelah Camelia mengguncang tubuh Larry lebih keras, rasa sakit langsung mendera Camelia. Rasa sakit yang terpusat di bagian bawah tubuhnya. Tepatnya di bagian kewanitaannya. Camelia refleks menjerit karena rasa sakit yang luar biasa. Rasa sakit yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Camelia membekap mulutnya dengan tel
“Apa yang kamu lakukan pada Camelia?” Larry yang baru saja duduk dan memesan minuman, tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Tanpa menunggu detik berlalu, Larry langsung menoleh ke arah sumber suara. Suara orang itu terdengar tidak asing sehingga Larry bisa dengan mudah menebaknya. Meskipun pencahayaan di bar ini sangat minim, Larry tetap bisa dengan tepat menepuk pundak Ben yang duduk di sampingnya. Sambil menunggu bartender menyodorkan minuman yang dipesannya, Larry meresapi pertanyaan yang baru saja dilontarkan Ben. Satu pertanyaan besar langsung terlintas di kepala Larry, apakah Ben mengetahui semua yang dilakukannya pada Camelia?Larry masih belum juga menjawab Ben. Ia lebih memilih memandangi sosok Ben yang masih belum mengubah posisi duduknya. Larry tidak terkejut atau heran dengan kehadiran Ben di bar ini. Bar ini adalah bar yang sering ia dan Ben kunjungi. Larry dan Ben yang sama-sama menyukai minuman beralkohol, sepakat untuk menahbiskan bar ini sebagai bar terbaik. T
Larry mendatangi kamar Camelia, bermaksud untuk menjenguk gadis itu. Larry mendengar dari Rosaline bahwa Camelia tidak hadir di kelas pada jam pertama. Larry tersenyum ketika mendapati pintu kamar Camelia tidak terkunci. Dengan cepat Larry membuka pintu lalu masuk. Setelahnya, Larry mengunci pintu yang buru-buru ditutupnya hingga meninggalkan suara yang sedikit keras. Camelia terlonjak mendengar suara pintu yang menutup cukup keras. Terlebih ketika melihat sosok Larry berdiri di depan pintu, menatapnya dengan wajah teduh sehingga Camelia yang sedang tiduran berusaha untuk bangun.“Tidak perlu bangun,” larang Larry yang segera melangkah mendekati ranjang Camelia. Camelia menurut. Ia kembali merebahkan kepalanya ke atas bantal. Larry duduk di dekat perut Camelia. Pandangan lak-laki itu kemudian memindai seluruh tubuh Camelia. Camelia yang risih dipandangi sedemikian rupa, perlahan menarik selimut
Camelia dan Larry saling pandang untuk beberapa saat. Mereka sama sekali tidak menduga jika Rosaline akan mendatangi kamar Camelia sekarang. Tak berapa lama, kembali terdengar ketukan di pintu. Kali ini terdengar suara Ben yang terdengar. Ben dan Rosaline sedang berada di depan kamar Camelia. Mungkin tujuan mereka sama seperti Larry, ingin menjenguk Camelia. Jadi sangat tidak mungkin jika Camelia tidak membuka pintu untuk dua orang tamunya yang lain.“Larry,” panggil Camelia yang bermaksud meminta solusi pada Larry. Bukannya langsung menjawab, Larry justru membelai wajah Camelia sambil jemarinya menyelipkan rambut Camelia ke belakang telinga.“Bukalah pintunya,” ujar Larry sambil beranjak dari tempat tidur Camelia. Camelia melempar tatapan tidak setuju. Membuka pintu di saat Larry ada di kamarnya sangat berisiko membuat Rosaline da
“Itu bukan keberuntungan, huh,” cibir Ben. Camelia tertawa. Ia bukannya tidak tahu bahwa Ben sedang marah, tapi tidak ada gunanya juga marah, bukan. Semua sudah terjadi dan menyesal sudah sangat terlambat.“Aku memang sengaja memilih kata beruntung untuk menghibur diriku, Ben. Meskipun apa yang kamu pikirkan benar bahwa tidak ada keberuntungan seperti yang kualami.” Respons Camelia justru semakin membuat Ben sedih. Mereka berdua kemudian memilih untuk menikmati pesanan mereka, es kopi dan roti isi. Ben sesekali melirik Camelia. Gadis itu memakan roti isinya dengan lahap. Camelia menghabiskan roti isinya sebelum Ben. Ben menduga Camelia belum makan sedari pagi.“Kamu lapar?” tanya Ben sambil menyedot es kopi miliknya. Camelia mengangguk tanpa ragu. Gadis itu kemudian tersipu malu karena terlalu cepat menghabiskan roti isi.“Kamu tidak sarapan di hotel tadi?” tanya Ben lagi. Camelia menggeleng. Sebenarnya ia kelaparan, tapi selera makannya langsung hilang setelah insiden Larry memberiny
Ben melihat Camelia berlari menuju tangga. Sambil berusaha menjaga jarak, Ben membuntuti Camelia. Ternyata gadis itu menuju ruang kelas yang akan mereka tempati pada jam kuliah berikutnya. Ben menahan langkahnya, berusaha membuat dirinya tidak ketahuan. Begitu pintu ruang kelas tertutup. Ben segera mendekat. Di depan pintu, Ben memasang telinga, berusaha mendengarkan sekecil apapun suara yang berasal dari dalam ruang kelas.Ben mendengar suara isakan Camelia. Gadis itu menangis. Ben ingin segera menghambur masuk lalu menenangkan Camelia. Ia tidak tahu, kali ini apa lagi yang menimpa Camelia. Ben tadi hanya sempat melihat Camelia keluar dari kantin sambil berlari. Sebelum membuntuti Camelia, Ben melongok ke dalam kantin. Ada Larry dan Rosaline di sana. Mungkin mereka berdua yang menyebabkan Camelia menangis.Pintu dibuka Ben dengan penuh kehati-hatian. Ia tidak ingin mengejutkan Camelia. Ben tidak mendapati sosok Camelia setelah memindai seluruh ruangan. Kursi-kursi itu sepenuhnya koso
Camelia nelangsa. Ternyata Larry memperlakukannya sebagai wanita yang bisa dibeli. Apa yang tadi laki-laki itu katakan? Membeli rasa malu? Andai Larry mengklarifikasinya lebih dulu pada Camelia, maka Camelia dengan senang hati akan menjelaskannya.Terlepas dari rasa malu yang dikeluhkan Camelia, sebenarnya Camelia menginginkan perlakuan Larry yang berbeda padanya. Camelia pernah mendengar bahwa Larry tidak pernah menyentuh gadis-gadis yang ia kencani di apartemennya. Lalu sekarang? Ternyata Camelia sama saja dengan para gadis itu, sama-sama bukan yang teristimewa.Air mata Camelia menitik, tapi bibir gadis itu menyunggingkan senyuman. Sebuah senyuman miris. Camelia menertawakan dirinya sendiri. Ternyata perasaannya yang dalam pada Larry tidak pernah terbaca oleh laki-laki itu."Kuharap itu cukup," imbuh Larry. Camelia cepat mengusap pipinya. Gadis itu mencoba menguatkan dirinya juga hatinya. Camelia mengamati Larry yang mengambil sepatunya. Larry duduk di single chair kemudian memasan
Camelia menoleh ke samping kirinya, ke arah Larry yang masih memperdengarkan dengkuran halus, pertanda laki-laki itu masih terlelap. Senyum di wajah Camelia pun terbit. Dalam hati, gadis itu tidak percaya bahwa ternyata Larry bisa kelelahan juga. Tadinya, sempat terlintas dalam benak Camelia kalau Larry mungkin saja mengonsumsi obat-obatan sebelum mereka berhubungan intim tadi, tapi dengan cepat pula dugaan itu ditepis Camelia.Tentu saja itu tidak mungkin karena Larry bukanlah tipikal laki-laki yang menyukai hal-hal instan. Menurut Larry—seperti yang diingat Camelia–mengonsumsi apa pun untuk mendapat manfaat secara instan dapat merusak tubuh. Waktu itu Camelia hanya menanggapi ucapan Larry dengan senyuman, merasa bahwa itu bukanlah hal yang besar, tapi setelah apa yang mereka lakukan tadi, Camelia jadi memuji prinsip hidup yang dipegang Larry.Larry memang kuat dan perkasa, Camelia tahu itu. Dua hal itu juga yang membuat para gadis menyukai Larry. Bahkan, tidak jarang Camelia mende
Puas.Hanya satu kata itu yang kini tengah bersarang di otak serta hati Larry. Semua ini karena apa yang baru saja Larry lakukan bersama Camelia. Larry tahu bahwa ini bukanlah kali pertama ia berhubungan intim dengan Camelia. Namun sensasi “bermain” dengan posisi Camelia di atasnya sungguh menakjubkan. Camelia yang terlihat lepas serta menikmati permainan yang dikendalikannya secara penuh, membuat Larry terhanyut dalam semangat serta gairah membara gadis itu. Kamu memang tidak pernah gagal dalam memuaskanku, Camelia. Lagi-lagi, pujian Larry hanya tertahan di dalam hati laki-laki itu.Woman on top. Larry berusaha menjejalkan salah satu gaya bercinta itu dalam folder ingatannya. Itu adalah posisi yang disukai Camelia, menurut pengakuannya. Posisi yang juga menjadi angan-angan paling liar gadis itu.Larry menyaksikan Camelia yang masih terus bergerak di atasnya. Gadis itu terlihat masih berusaha mendaki puncak kenikmatannya. Dalam posisi seperti ini, Larry hanya bisa memandangi Camelia
Setelah kembali berhasil meledakkan dirinya di gua hangat milik Camelia, Larry masih terlihat belum puas. Ia pun meminta Camelia untuk bangun dan mengubah posisi.“Camelia, aku ingin melihat sisi liarmu,” ujar Larry seraya merebahkan diri di atas ranjang yang agak berantakan. Camelia mengernyit. Ia tidak mengerti dengan maksud perkataan Larry.“Pernahkah kamu memiliki fantasi liar?” Larry mengerti kebingungan Camelia sehingga ia mencoba menggali informasi lain tentang Camelia. Larry mengamati Camelia yang duduk di sampingnya sambil melipat kedua tangannya di belakang kepala.“Pernah,” jawab Camelia yang terlihat menjeda kalimatnya. Gadis itu terlihat malu serta ragu untuk melanjutkan pengakuannya.“Semenjak kita sering berhubungan, aku kemudian terpikir tentang sesuatu yang liar. Sesuatu yang mungkin suatu hari nanti berpeluang untuk kulakukan,” imbuh Camelia dengan wajah tersipu. Larry tersenyum, antara puas dan senang setelah mendengar penuturan Camelia.“Hm, jika demikian, katakan
Masih segar dalam ingatan Camelia ketika Larry tanpa ampun menghujani payudaranya dengan gigitan.“Aw….” Pekikan Camelia kembali memecah keheningan. Entah ini sudah keberapa kalinya Camelia memekik. Payudaranya sedikit sakit, tapi di saat bersamaan, gairahnya juga merangkak naik.Camelia bisa melihat jejak kemerahan akibat isapan kuat Larry. Mungkin inilah bentuk hukuman yang Larry katakan, pikir Camelia.“Larry, sakit.” Untuk kesekian kalinya, kembali Camelia merintih. Larry mendongakkan wajah, menatap Camelia yang meringis kesakitan. Larry juga menangkap titik air di sudut mata Camelia. Camelia menangis, tapi kali ini Larry tidak peduli. Larry justru mengatakan hal yang membuat Camelia nelangsa.“Fokuslah pada sensasi nikmatnya, Camelia. Jangan fokus pada rasa sakitnya!” Tegas Larry sambil melempar tatapan dingin.Oh, sial! Lagi-lagi Larry tahu apa yang dirasakan Camelia. Camelia sedikit memajukan bibir. Mencoba menarik perhatian Larry dengan memasang wajah cemberut.“Aku tidak akan
Camelia bangun dengan enggan setelah Larry menyuruhnya dengan kode berupa gerakan dagu.“Berdirilah di dekat dinding itu, Camelia!” suara Larry benar-benar menunjukkan bahwa ia tidak bisa dibantah. Lagi-lagi Camelia menurut. Dengan langkah gontai, Camelia mendekati dinding yang ditunjuk Larry tadi.Camelia tidak tahu apa yang akan Larry lakukan selanjutnya. Camelia terus menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir cemas. Ah, sebenarnya bukan cemas, tapi rasa takut yang perlahan tumbuh setelah apa yang Larry lakukan padanya.Kepala Camelia juga pening. Pasalnya, hasrat yang telah sampai ubun-ubun, tidak tersalurkan sebagaimana mestinya karena Larry tetiba mencabut miliknya, mengakhiri permainan yang hampir mencapai puncak. Akibat rasa pening yang terus mendera, Camelia sangat ingin merebahkan diri. Kepalanya yang terasa berdenyut sejak tadi, membuat Camelia memijit pelan pelipisnya.“Aku tidak akan terpancing dengan aksi pura-pura sakitmu, Camelia.” Ujar Larry diikuti senyuman sinis. Ca
“Larry, boleh aku bertanya satu hal?” Tanya Camelia setelah Larry menurunkannya ke atas ranjang. Ketika Camelia hendak duduk, Larry melarangnya. Ia menahan Camelia agar tetap berbaring dengan cara mengungkung gadis itu di bawahnya.“Katakan.”Camelia memalingkan wajah. Ia juga terlihat menggigit bibir bawahnya. Untuk sesaat, Camelia ragu, jadi bertanya atau tidak.“Apa kamu mencintai Rosaline?” Akhirnya pertanyaan yang mengganggu Camelia itu pun berhasil terlontar. Larry tersenyum lebar. Membuat Camelia mengernyit karena bingung, tidak mengerti dengan arti senyuman Larry.“Tidak. Aku tidak mencintai Rosaline,” jawab Larry. Wajah Camelia langsung berubah mendung. Ia merasa kasihan pada Rosaline.“Kenapa kamu tidak jujur pada Rosaline? Bukankah itu seperti kamu sedang mempermainkannya, mempermainkan perasaannya?” Camelia tidak terima sahabatnya dipermainkan. Ah, Camelia meralat pikirannya, mungkin kini ia dan Rosaline sudah tidak bersahabat lagi.Larry mengatakan bahwa ia akan jujur pad