Barata tak menghiraukan pertanyaan Ayudya, ia keluar dari mobil, diikuti Ayudya, setelah sampai di halaman rumah. Serta memberikan kunci pada Parman agar Parman memasukkan mobilnya ke garasi. "Kenapa Papa diam? Berarti benarkan Papa sering ke rumah germo itu?" Barata tetap diam dengan berjalan cepat menaiki anak tangga dan masuk kamar, tetap fi ikuti Ayudya dari belakang. Braaakk ... dengan kasar Ayudya menutup pintu kamar. Dan melangkah hendak ke kamar mandi. Namun pintu kamar mandi tertutup. Ayudya menatap sekeliling kamar, ia tak menemukan Barata ada di ruangan. Ia mengurungkan diri masuk ke kamar mandi, tau kalau Barata ada di kamar mandi. Ia hempaskan tubuhnya di pinggiran ranjang, rasa kesal hinggap dalam hatinya. Pikiran negatif terus bersarang di otaknya. "Barata pasti, sering ke Motel itu untuk menemui Anjani, aku yakin itu? Dasar laki-laki, di rumah ada istri yang cantik masih saja tergoda sama wanita murah," gumam lirih Ayudya. Ayudya merasakan omongan Barata tadi
Pandangan tante Bety yang ditujukan Anjani tidak menyurutkan Anjani harus minder. Anjani tetap percaya diri. Ia harus bisa meyakinkan kalau dirinya bukan Anjani. "Siapa sebetulnya Anjani? Tadi Nyonya Ayudya juga mengatakan seperti itu, sebegitu terkenalkah Anjani? Hampir semua kenal padanya?" pancing Abilawa. Antony memberi isyarat tante Bety dengan mencubit sedikit lengan tante Bety, agar tak meneruskan kecurigaannya. Sebab Antony sangat yakin kalau itu bukan Anjani. Anjani sudah mati terbunuh di tangan anak buah Barata. Dan mana mungkin Abilawa kenal dengan Anjani. Disamping itu tak mungkin Abilawa orang terpandang mau menikahi Anjani yang mantan pekerja komersial. Antony juga memaklumi tindakan tante Bety yang curiga terhadap istri Abilawa yang mirip Anjani, sebab Antony sendiri tidak berterus terang kalau Anjani sudah meninggal, tante Bety tetap mengira kalau Anjani pulang kampung. "Ohh, Anjani ... Anjani dulu anak buah tante Bety, yang sekarang pulang kampung dan tak kemb
Selesai dokter memeriksa, dokter langganan keluarga Abilawa bertahun tahun, yang mana Abilawa sangat mempercayai dokter yang sering di panggil dokter Hamer, dokter itu meletakkan stetoskop ke dada Aini. Dalam hitungangan menit, dokter itu kembali melepas stetoskopnya. "Putri anda kelebihan dosis obat tidur Tuan Abilawa. Sepertinya sehari perutnya juga nggak terisi."Anjani bengong, berarti tante Bety dan pengasuhnya memberi obat tidur Ain tanpa di beri makan? Kurang Ajar. Awas kalau sampai Ain kenapa-napa!" batin Anjani. "Trus bagaimana dok, apakah anak saya bisa bangun?" tanya Anjani panik. "Insya Allah, untuk sementara putrinya biar rawat inap di sini dulu, menunggu putri nyonya bangun. Di lihat keadaannya lemas atau tidak, kalau tidak bisa di bawa pulang."Dokter memanggil seorang perawat, dan menyuruh untuk memindahkan Aini ke kamar lain. "Di kamar paling depan ya, Sus!" ucap dokter Hamer dan mohon pamit Abilawa untuk memeriksa pasien lainnya. Abilawa melihat Anjani begitu
Airin gadis cantik, berusia tiga tahun yang mana Anjani memanggil dengan nama kesayangan AIN. Ia begitu senang mendapatkan mainan yang mana ia tak pernah punya. Abilawa tak segan-segan membelikan mainan Ain begitu banyak. Bukan hanya mainan saja, Ain pun dibelikan pakaian dengan harga yang cukup fantastik. Dalam hati Anjani merasa heran. Sebegitu besarnya rasa cinta Abilawa pada Ain, padahal Ain bukan apa-apanya. Bahkan Abilawa membuat akte kelahiran untuk Ain serta mengatas namakan kalau Abilawa sebagai orang tua kandung. Dengan memberikan embel embel namanya di belakang nama Ain. Yaitu AIRINA MARHAIN. yang mana nama panjang Abilawa. ABILAWA MARHAIN "Pa, apakah nggak berlebihan, jika Papa mengangkat Ain sebagai putri kandung Papa, apalagi memberi gelar di belakang nama Ain tertera nama Papa?" tanya Anjani saat duduk santai di taman belakang. Abilawa menanggapinya dengan tersenyum, "Kenapa Nggak boleh?" tanya Abilawa sembari "Bukan itu, itu suatu kehormatan bagi saya, tapi sep
Tak disangka- sangka Anjani, wanita itu mengacungkan tangannya dengan memperkenalkan dirinya. "Namaku Lidya, aku istri ke dua Tuan Abilawa," Wanita yang berpostur tinggi, berwajah ala orang India membuat wajah manisnya sangat terlihat, apalagi di sertai kulit eksotik. Dengan ragu Anjani membalas uluran tangan Lidya dan menyebut namanya. "Panggil saya Lolita." Lidya meraih tubuh Anjani dan memeluknya. "Kita jalin persaudara Nyonya Lolita," lirih Lidya dengan mengajak Anjani duduk. "Kita ngobrol dulu sambil mengenal pribadi masing- masing. Anjani menuruti apa yang dikatakan Lidya, apalagi Abilawa yang sejak tadi duduk di sofa memberi respon Anjani. "Ini putriku yang pertama, Namanya Grace. Ia masih sekolah klas dua SMA." Grace melirik Anjani, wajah angkuhnya sangat terlihat tanpa menyapa Anjani terlebih dahulu, bahkan Anjani yang terlebih dahulu menyalami Grace. Grace membalasnya tanpa melihat Anjani sedikitpun. Anjani memaklumi dia masih anak anak. Mungkin masih sangat labil
Pikiran Anjani terus terbayang Grace yang akan tinggal satu atap dengannya, dan kata-kata bibi Narti tadi siang yang membeberkan tentang kelakuan Grace. Hingga menjelang pagi mata Anjani tak bisa terpejam. Dentangan jam di sudut ruang kamar Anjani sudah menunjukkan angka empat pagi, Anjani beranjak dari tempat tidurnya. Tampak Airin yang tidur disebalahnya tampak pulas, entah sudah dia malam Anjani menginginkan tidur sama Airin yang biasanya Airin tidur di kamarnya sendiri, kadang Anjani yang pindah tempat ke kamar Airin. Anjani tau semua itu ia lakukan karena Abilawa tentu berada di kamarnya sendiri, jika tidak tentu berada di rumah salah satu istrinya. Anjani melangkah ke kamar mandi, hendak menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Apalagi sudah terdengar azan shubuh dari kejauhan. Anjani masih duduk tepekur di atas sajadah dengan tangan menengadah ke atas, ia merasa bersyukur dalam keadaan bagaimanapun masih ingat akan Tuhannya. Walau Allah memberikan pekerjaan sebagai wani
Klik Tangan Denis menekan tombol listrik, ruangan yang gelap berubah terang. "Maaf Nyonya, saya tinggal dulu," pamit Danis dengan membungkukkan tubuhnya tanda hormat. Anjani menganggukkan kepala. Dan beralih pandangan ke ekspresi Grace yang sepertinya jijik dan tak suka. Grace menggeleng-gelengkan kepala. "Tak seindah kamarku di rumah, ini mah gudang!""Graceee ...!" suara keras Lidya memperingatkan agar Grace tak banyak bicara. "Ini kamar sudah di bersihkan, dan semua ini kehendak tuan Abilawa, tuan Abilawa memberikan yang terbaik untuk Nona Grace," ungkap Anjani. "Maaf saya harus pergi, melihat Ain anak saya." Anjani membalikkan tubuhnya serta keluar dari kamar. Namun Anjani tidaklah meninggalkan ruangan. Ia sembunyi di dekat dinding, ingin mendengarkan apa rencana Lidya dan Grace.Dugaan Anjani tak meleset, Lidya merencanakan sesuatu, Anjani mendengar jelas percakapan Lidya dan Grace. Dengan cepat Anjani mengeluarkan ponselnya dan merekam semua percakapan Mereka. "Diamlah
Dalam hati Anjani tertawa melihat kelakuan Lidya dan Grace. Ia membiarkan kecurigaan itu berlanjut, justru Anjani hendak membuat Lidya dan Grace semakin curiga, dan mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Denis. Hari-hari pun di gunakan Anjani semakin dekat dengan Denis. Siang itu sengaja kepulangan Grace dari sekolah yang di jemput oleh Romi sang sopir. Grace keluar dari mobil tampak marah. Grace masuk rumah dengan wajah tak bersahabat ketika melintasi duduk Anjani dan Denis di ruang tamu. Ia berlalu begitu saja tanpa menyapa Anjani. Anjani memandang Denis, menarik ujung matanya ke atas. Sepertinya menanyakan kelakuan Grace dalam bahasa isyarat. Denis hanya menggelengkan kepala, dan mengatakan agar Anjani tidak ikut campur urusan pribadi Grace. "Masuk lah ke dalam Nyonya Loli, biarkan nona Grace." Anjani berdiri, tapi dirinya tak merasa enak jika membiarkan keadaan Grace. Nanti bakal di salahkan, tanpa persetujuan Denis Anjani melangkah menuju kamar Grace. Tok, tok, tok ..