Hart dan Liana saling menatap kaget setelah mendengarkan pesan dari Ali. Gairah yang tadinya terkumpul hingga membentuk bola yang besar, meledak dan lenyap dalam sekejap.
Liana memasang kembali tali gaun yang baru saja dilepaskan lalu turun dari pangkuan Hart. Liana mengambil mantel yang tergantung pada dinding di samping pintu kamarnya, bergegas turun untuk menemui Ali seraya mengenakannya.
Seketika Ali berdiri dari duduknya begitu melihat Liana turun menyusuri tangga, disusul Hart dan pelayan yang ditugaskan oleh Ali untuk memanggil Liana.
"Ada apa, Ali?" tanya Liana saat suaranya bisa menjangkau pendengaran Ali.
Sekilas pandangan Ali tertuju pada Hart, sebuah pertanyaan terbesit di kepalanya, tapi ia harus segera menjawab pertanyaan Liana.
"Aku mendapat kabar dari rumah besar, nyonya Elisa meninggal."
"Jangan bilang kalau dia ...."
"Benar, Nona. Itulah kabar buruknya, beliau dibunuh," ungkap Ali.
Liana
Hart meletakkan cangkir kopi miliknya dengan isi yang hampir habis, lalu lanjut mengutarakan pendapatnya."Bagaimana jika pelakunya adalah orang lain, bukan Elisa seperti yang kalian kira," ungkap Hart dengan pendapatnya."Itu yang kami takutkan Hart. Elisa mungkin masih punya perasaan dan tidak tega mencelakai Liana-cucunya, tapi jika ini orang lain maka akan berbeda hasilnya."Ali membenarkan."Apa menurutmu pelakunya bukan dari keluarga Veronica?""Mungkin saja, tapi apa tujuannya?" Ali merasa kembali pada titik nol setelah penyelidikannya selama bertahun-tahun."Masih ada kemungkinan ketiga," sahut Liana dari belakang.Kedua lelaki itu dibuat terkejut dan spontan menoleh ke arah Liana datang."Nona?""Liana?"Mereka mengucapkan kata yang berbeda secara bersamaan.Liana duduk di ujung bangku di samping Hart. Bangku itu cukup panjang, lima orang duduk di sana masih akan muat."Tadi kau mengat
"Menghilang!"Semuanya dikejutkan oleh jawaban seseorang yang muncul dari ujung tangga."Tahu dari mana kau, budak sialan?" timpal Viana."Dia yang membawa pelayan itu, Nona," tunjuk salah satu pengawal yang melihat Hart menyelamatkan pelayan yang terjatuh."Oh ... jadi pelayan itu suruhanmu?" Viana kembali melayangkan tuduhan yang tidak jelas, kali ini Hart menjadi sasarannya.Hart hanya menatap Viana sekilas, pemuda itu tidak peduli dengan ucapannya.Liana yang tiba bersama Hart, langsung menghampiri Riana untuk mendapatkan pelukan darinya."Apa pelayan itu ada hubungannya dengan kematian ibu?" tanya Riana setelah Liana melepaskan pelukannya."Kemungkinan begitu. Saya Isac Marius, detektif yang menangani kasus ini. Bisa saya minta beberapa keterangan dari Anda?" kata Isac kepada Hart."Tidak masalah," jawab Hart tanpa ragu."Isac?" panggil Ali yang baru saja tiba."Ali? Kau masih bekerja di
"Jadi ... Liana! Apa orang yang kita curigai ini sama?" Dengan santainya Hart mengungkapkan kecurigaannya. Liana cukup terkejut mendengar ucapannya, ia takut jika seseorang sampai mendengarkan perkataan pemuda itu. "Diamlah! Dasar bodoh!" bentak Liana dengan berbisik, matanya berputar mengamati sekitar, memastikan tidak ada siapa pun di sana selain mereka berdua. "Entak kenapa jawaban yang aku temukan dari dua pertanyaan detektif tadi selalu mengarah padanya. Aku menyadari jika pikiranmu sama denganku saat kamu menahanku tadi." Hart seakan tidak peduli dengan teguran Liana, pemuda ini seakan tak punya rasa takut sama sekali. "Kau ingin anggur ini kutuangkan ke wajahmu?" ancam Liana sebagai ungkapan kekesalannya saat peringatannya diabaikan. Hart mendekatkan wajah ke hadapan Liana, "kenapa kau begitu takut?" bisiknya. Liana tak mampu bertahan lama bertatapan dengan Hart, bola matanya bergerak tidak karuan menc
Saat kepanikan menguasainya, Riana tiba-tiba teringat seseorang."Apa kalian melihat Viana?"Dengan suara lirih sedikit bergetar, wanita itu mencari tahu di mana adiknya. Namun, satu pun pelayan tidak ada yang mengetahui keberadaannya.Ketegangan di lantai dua masih berlanjut, yaitu di depan kamar Viana. Perlahan dan penuh kewaspadaan, Hart mendorong pintu yang sedikit terbuka menggunakan kakinya. Hart berhenti sebelum pintunya terbuka lebar, kakinya tidak dapat menjangkau terlalu jauh, ia harus tetap berlindung di balik dinding.Kini ada sela antara dinding dan pintu. Hart mencoba mengintip mencari tahu keadaan di dalam kamar, tapi sudut yang dapat dijangkau pandangannya sangat terbatas.Hart kembali bersandar pada dinding, menggelengkan kepala saat melirik Ali yang sedang menatap ke arahnya.Tempat Ali berdiri berbeda, jangkauan pandangannya lebih luas dari apa yang dapat diawasi Hart. Namun, ia juga tidak melihat sesuatu yan
"Ada banyak, mereka ... orang-orang itu membawanya." "Saya tidak tahu apa maksudmu. Tenangkan dulu dirimu, lalu katakan dengan jelas apa yang terjadi," saran Isac pada orang yang meneleponnya. Dari speaker ponsel yang ditempel pada kuping, Isac dapat mendengar dengan jelas suara napas yang dihembuskan dengan pelan. Dia berusaha menenangkan diri. "Kalau kau sudah tenang, sekarang ceritakan apa yang terjadi di sana," pinta Isac setelah menunggu beberapa detik. "Kami dihadang, Pak. Sebuah kelompok menghentikan kami sebelum sampai ke rumah sakit. Mereka banyak, semuanya membawa tongkat baseball atau semacamnya." "Kalian terluka?" "Kami baik-baik saja. Namun, mereka memaksa mengambil salah satu korban yang terluka. Kami tidak bisa menahannya, mereka terlalu banyak. Maaf, Pak." "Ini salahku, seharusnya kutugaskan beberapa anggota bersenjata mengawal kalian. Lalu, di mana kalian sekarang?" "Kami sebentar lagi akan sampai k
Sebuah pemandangan yang mencengangkan kembali muncul dari arah tangga. "Hart ...?" decak Liana penuh tanya, situasi yang ia lihat menjadi pukulan tersendiri baginya. Hart turun dari lantai dua dengan pengawalan dan borgol melingkar pada pergelangan tangan. Liana berdiri, setiap orang menoleh ke arah tangga setelat melihat ekspresi kaget yang terpampang pada wajah wanita cantik itu. Ali sama terkejutnya, gelang besi yang dikenakan Hart jelas menandakan jika pemuda itu telah melakukan sesuatu yang salah. Tidak ingin menebak-nebak dan menyimpulkan sendiri. Ali langsung bergegas ke arah mereka, menunggu di ujung tangga dengan deretan pertanyaan dalam kepala. "Apa dia dalangnya?" lirih Viana yang belum mampu berdiri. Dalam hati ia ingin sekali melayangkan tamparan telak pada wajah tegas Hart. "Aku tidak tahu, tapi tangannya diborgol," jawab Riana yang masih duduk di samping Viana, tidak ingin meninggalkan adiknya sendiri di teng
"Jika saja Liana belum memberimu tamparan, maka saya pastikan tanganku ini yang akan melakukannya. Apa mungkin kau telah tahu rencana pembunuhan ibu dan mengatur pembunuhanku?" Kini giliran Viana yang melontarkan pertanyaan sulit, lebih terdengar seperti sebuah tuduhan."Maaf, Nona. Sepertinya dia hanya bertindak sebagai informan. Kami telah melucuti alat komunikasi satu arah yang dia gunakan.""Kalau begitu, cepat bawa dia pergi dan jebloskan ke dalam sel tahanan! Atau tembak mati saja sekalian," kata Viana begitu kesalnya.Apa yang disarankan Viana tidak mungkin dilakukan saat itu, terutama tentang menembak mati Hart."Kami tidak bisa membawanya pergi sebelum Isac dan timnya kembali. Jika sebuah kelompok menghadang, kemungkinan kami tidak akan bisa melawan dengan jumlah yang terbatas," jelas detektif yang bertubuh tinggi."Kami butuh sebuah ruangan untuk menahannya sementara, ditakutkan dia akan berontak atau kabur saat kita sedang lengah,"
"Siapa kau?" tanya Hart menatap heran.Namun, pertanyaan Hart hanya dibalas senyuman, wanita itu sekilas menatap wajahnya lalu kembali fokus membuka borgol.Dia mahir, hanya butuh beberapa detik saja untuk melepas borgol dari tangan Hart."Sekarang, kau bisa bergerak leluasa. Aku Aura."Aura menggantung borgol di depan wajah Hart dengan jemarinya, memiringkan kepala dan tersenyum pada Hart.Meski dengan tangan diborgol, seharusnya pemuda itu masih bisa kabur, meskipun hal itu akan memperlambat larinya."Apa rencanamu?" tanya Hart."Tentu saja mengeluarkan kamu dari sini.""Tidak semudah itu, aku tahu di depan ada seseorang yang berjaga.""Akan kualihkan perhatiannya. Saat itu keluarlah lalu segera masuk ke dalam salah satu kamar pengawal. Kamar-kamar itu memiliki jendela, kau bisa keluar dari sana," tutur Aura menjelaskan rencananya."Bagaimana denganmu?""Begitu kau masuk ke kamar pengawal, akan kual
"Bu-bukannya kau yang kalah? Kukira aku menang karena kamu pergi di tengah-tengah taruhan," terang Ryu. "Aku tidak kabur!" tampik Momo berteriak. "La-lalu kenapa kau mencuci piringmu?" "Ka-karena kamu berisik banget pas aku lagi sibuk. Jangan salah paham, aku cuma tidak mau kalau kau mengusik pekerjaanku," jelas Momo beralasan. Saat itu Momo memang merasa sudah kalah. Ia sadar betul kalau mulutnya sudah mengeluarkan desahan lirih. Namun, karena Ryu mengungkitnya, harga dirinya tidak terima kalau lelaki itu merasa sudah menang. "Lagi pula, kau tegang, kan?" tukas Momo lirih. Ryu tersentak, tapi berusaha tetap bersikap normal, meski bintik keringat mulai bermunculan di wajahnya. "Ja-jangan bercanda. Aku tidak tegang, kok. Ya, aku tidak tegang," kata Ryu meyakinkan. "Serius?" Momo menatap tajam seolah tak percaya. "Tentu saja! Memangnya kau lihat? Huh? Kau lihat?" Ryu akhirnya bisa mendapatkan lagi ket
"Kau mau grepe-grepe, kan? Dasar orang jahat," lirih Momo tampak lelah. "Kalau kau menang, aku akan lakukan semua pekerjaan rumah. Kalau aku menang, lakukan bagianmu," kata Ryu mengingatkan tujuan taruhan mereka. "Woi! Kau dengar?" tanya Ryu sebab tak mendapat tanggapan. "Aku capek, mau tidur. Lakukan saja, kalau punyamu sudah 'naik', bangunkan aku," lirih Momo tanpa membuka mata, berniat tidur sambil duduk. "Cih! Dia meremehkanku. Waktu itu semuanya selesai sebelum aku menyentuhmu, tapi itu tidak akan terjadi lagi. Jangan main-main denganku, aku menang kali ini meski harus bertaruh nyawa," tekad Ryu dalam hati. Ryu menaikkan lutut kiri pada sofa tepat di samping tubuh Momo, lengan kirinya bertumpu pada punggung sofa di mana Momo bersandar. Telunjuk kanan Ryu bergerak perlahan ke arah tonjolan kecil pada pusat dada kiri Momo. Gadis itu jelas tak memakai kutang, hal itu bukan lagi kejutan bagi Ryu. Kali ini ia mampu bertahan dari j
"Apa lagi kalau bukan perempuan. Ryu pasti sudah dapat pacar baru, sepertinya lebih buruk dari mantannya." "Masa, sih? Tapi aku tidak sangka kalau Ryu itu tipe lelaki yang ganti kepribadian setiap kali ganti pacar. Dulu dia selalu tepat waktu, aku rasa kita harus berterima kasih pada mantannya." Diam-diam Ryu mendengar dan menyimak pembicaraan dua wanita yang terdengar sedikit prihatin padanya. Berbaliklah ia dan menyela. "Em ... aku pastikan tidak akan terjadi lagi, soal keterlambatan itu," kata Ryu tersenyum. "Wah! Maafkan aku!" Perempuan yang membicarakannya tersentak kaget. "Harusnya aku yang minta maaf. Kalian repot gara-gara aku selalu terlambat," balas Ryu. "Ya- ya sudah. Kami mau makan siang dulu. Permisi." Kedua wanita muda itu buru-buru pergi. "Jangan dimasukkan ke hati. Yah, seharusnya kau memperhatikan kondisimu, kau terlihat kelelahan. Aku paham kau ingin membantu temanmu, tapi kamu tidak bisa melakukannya k
Apa-apaan ini?' Ryu tertunduk diam menahan kesal sebelum mulai bicara, "Apa kau pernah dengar tentang 'hormon gila pria'?" lirihnya bertanya. "Pernah. Itu saat mereka mendapat rangsangan tertentu, bukan?" "Kadang saat lelaki kelelahan, dia bisa tegang dengan sendirinya. Itulah yang terjadi padaku saat di kereta, itu bukan seperti kau yang membuatku tegang atau semacamnya. Dan aku bukan penjahat kelamin, kau pasti menyadari semua itu, kan?" jelas Ryu menegaskan. "Sebaliknya, orang yang terangsang itu justru kau. Kau cuma ingin memutar balikkan fakta dan menuduhku jadi tersangka. Tapi tinggal dengan orang itu ... bahkan memintaku memijatmu. Aku tak tahu mana penjahat kelamin atau yang mesum di sini! Faktanya, mungkin kau sengaja mengintipku di kamar mandi kemarin!" lanjut Ryu menuduh. Momo hanya diam saja menyimak, menahan suara tak mengatakan apa pun. Namun, bagi Ryu, hal itu justru lebih menakutkan dibanding gadis itu membalas tuduhannya
"Apa? Kok, tidak bisa?" Saat Ryu akan menjelaskan alasannya, seseorang mendorong lelaki itu dari belakang hingga ia harus menempelkan tubuhnya ke dada Momo. Paha Ryu bahkan menyusup di antara paha Momo dan menyentuh selangkangannya. Namun, Momo seolah tak peduli dan mencoba memohon lagi. "Tolonglah. Tolong biarkan aku menyewa kamarmu," pinta Momo menatap Ryu dengan wajah sedih penuh harap. Tatapan itu berdampak kuat pada mental Ryu. "Ini, kan ...? Mirip di film-film ... yang ada yang sales sedang jualan," batin Ryu. Imajinasi nakalnya mulai berkeliaran, membayangkan Momo menyerahkan tubuhnya demi mendapatkan sebuah kamar. "Sial ...! Anuku bangun. Apa dia menyadarinya. Apa dia serius, tinggal serumah dengan seorang lelaki yang bisa saja hilang kendali?" batin Ryu bertanya-tanya. Meskipun kemarin Momo terlihat sangat percaya diri, kali ini dia tampak begitu lemah. Ryu kasihan melihatnya, merasa ingin menolong, tapi membantu
"Hei, apa kau serius bilang kalau aku yang terangsang?" Nada bicara Momo terdengar berat. "Eh? Ti- tidak." Ryu coba mengelak, menarik kembali ucapannya. "Kau yakin tidak akan tegang meski kau menyentuhku?" Momo bertanya lagi. "Be- benar." Ryu menjawab singkat, mulai menyesali perkataan sebelumnya. "Baiklah. Ayo kita taruhan! Sentuh aku sepuasmu," tantang Momo. "Apa? A- apa kau bilang? Taruhan?" tanya Ryu gugup. "Aku kesal, kau ngoceh terus dari tadi dengan alasan konyol." "Bukan. Tadi itu bukan alasan." "Cukup! Ayo kita jadikan kesempatan ini untuk menyelesaikan segalanya. Aturannya mudah saja. Selama sepuluh menit, kau boleh menyentuh bagian mana saja di tubuhku. Kalau aku mulai mendesah, kau yang menang. Tapi kalau kau tegang sebelum aku mendesah, aku yang menang," tutur Momo menjelaskan. Mereka bukan pasangan kekasih, bahkan baru kenal beberapa jam yang lalu. Semua berawal di hari sebelumnya, kehidupan R
Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus. Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus. Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus
"Jalan ini sengaja dibuat hingga terlihat seperti jalan buntu, tapi aku yakin ada sesuatu di balik dinding ini," sambung Gabriel."Kalau ini pintu, apa bisa dibuka dari luar?" Abi mencoba menggeser beton itu sekuat tenaga."Sepertinya tidak. Tempat seperti ini bukanlah tempat di mana siapa saja bisa meluar masuk.""Kau benar," sambung Hart membenarkan ucapan Gabriel. "Kita hanya menunggu sampai mereka membuka pintu ini," lanjutnya."Kau yakin wanita itu di dalam sana?""Aku tidak meragukan pelacak yang diberikan Jack, dan pelacak menunjuk titik ini," jawab Hart."Sebaiknya kita di dalam mobil."Seperti yang disarankan Gabriel, empat lelaki itu dengan sabar menunggu di dalam mobil, berharap pintu tebal itu segera terbuka.Gabriel mematikan lampu serta mesin mobilnya, menyamarkan mereka dalam kegelapan."Bangunkan aku kalau pintunya terbuka." Betha mulai bosan menunggu dan berniat tidur.Sesaat setelah lelaki besar
Britavia merupakan negara kerajaan di benua selatan dengan wilayah yang tidak terlalu luas. Namun, Britavia adalah negara paling maju di dunia dari bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Raja sebelumnya, yakni kakek Hart menjalankan sebuah proyek pengembangan teknologi tinggi. Para ilmuan dan mekanik dari Britavia menciptakan pasukan robot yang dapat dikendalikan seorang pilot layaknya pesawat. Tujuan pesawat robot itu diciptakan hanya untuk pertahanan, sebab desas-desus akan pecahnya perang dunia mulai terdengar. Namun, belum cukup setahun Argus berkuasa, perang dunia langsung pecah. Britavia dengan pasukan robotnya mendominasi setiap pertempuran. Britavia mengusai seluruh benua selatan, menyatukan benua paling kecil itu dalam satu negara kerajaan di bawah bendera Britavia Raya, menjadikan Britavia sebagai negara paling luas Argus belum puas dengan itu, invasinya terus berlanjut hingga menguasai satu benua di utara Britavia. Tersisa tiga benua besar