Syaila sekarang sudah resmi menjadi pelayan di kedai pak Sujadi. Sepulang kerja ia langsung ke kedai, menyempatkan berganti pakaian yang ia bawa dari rumah.Hari ini ia tidak lagi khawatir tentang makan Geino. Sebab ia sudah menyiapkan makanan di kulkas dan Geino bisa menghangatkannya dengan microwave yang ia beli di toko barang bekas. Ia harus lebih bekerja lebih keras lagi. Tiga bulan lagi Geino akan masuk smp. Biayanya pasti tidak akan murah. "Selamat datang. Mau langsung pesan?" Kedai sedari sore sudah ramai. Mungkin karena menjelang akhir pekan. Syaila saja hampir kewalahan.Beberapa pengunjung bahkan harus menunggu meja kosong untuk bisa makan langsung di kedai. "Jangan suruh pelanggan yang baru selesai makan untuk segera meninggalkan mejanya, ya? Kalau mereka memang mau diam dulu di meja tidak apa-apa," pesan Sujadi pada Syaila. Prinsipnya dari dulu sama, kenyamanan pelanggan adalah hal yang utama. Tidak peduli ia akan sedikit rugi."Tapi kan pelanggan lain mau masuk, Pak?"
Pukul 11 malam Syaila baru selesai membersihkan meja-meja kedai. Seharusnya satu jam lalu kedai sudah tutup. Tapi karena pengunjung membeludak, pak Sujadi menambah jam buka satu jam lebih lama dari biasanya. Ya, pria itu bilang hitung-hitung Syaila lembur. Lagi pula besok ia libur kerja, jadi tidak masalah untuk Syaila.Setelah semuanya dirasa pekerjaannya sudah selesai, Syaila melepaskan celemeknya. Ia gantungkan di sisi wastapel. Lalu berpamitan untuk pulang kepada Sujadi."Pak saya pulang dulu, ya? Takut kemaleman."Pria itu mengangguk. Atensinya tidak lepas dari kalkulator yang menampilkan beberapa angka di sana. Syaila keluar dari kedai. Angin langsung menyambutnya dengan ganas. Ia sedikit mengeratkan blazer yang ia pakai. Berjalan melewati jalan yang sudah sepi. Langkahnya tiba-tiba berhenti. Ia mendengarkan suara deru mesin mobil yang terus mengikutinya dari belakang. Yang Syaila ketahui jalanan ini cukup aman, karena itu Syaila tidak pernah merasa takut pulang malam. Ia men
Momok jelek seorang janda seperti masih melekat dikalangan masyarakat. Kebanyakan orang-orang berpikir seorang janda adalah wanita yang tidak benar. Perasangka-perasangka buruk yang hanya sesuai dengan pemikiran mereka. Hidup sebagai seorang janda ternyata tidak hanya perihal kemandirian. Tapi Syaila harus menulikan telinganya untuk hal-hal buruk agar kepalanya tetap waras. Setelah kejadian adu mulut lalu dengan tetangganya, Syaila semakin terpojokkan. Berita tidak benar tentang pekerjaannya pun sudah menyebar ke seantero dusun. Ia juga pernah mendapati Geino sedang di olok-olok oleh teman sebayanya dengan kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan oleh anak seusia mereka.Syaila benar-banar merasa sudah tidak tahan lagi. Tapi untuk pindah, uangnya masih belum terkumpul. Apalagi ia harus membayar les Geino."Syaila? Nak? Syaila!"Wanita satu orang anak itu mengerjap. "Kenapa? Lagi enggak enak badan?" Pak Sujadi bertanya.Akhir pekan, Syaila habiskan di kedai. Kedai tidak seramai bias
Pria yang sudah Syaila kenal selama tiga bulan ini berjalan mendekat. Senyum manis yang baru Syaila lihat itu terbit di bibir merah jambu nya."Kemana aja, Bang?" tanya Nizam. "Duduk dulu dong!"Batara duduk tepat berhadapan dengan Syaila. Membuat wanita itu sedikit tidak nyaman."Ada, cuman agak sibuk aja di pabrik. Mau ada pembukaan lowongan kerja besar-besaran. Jadi harus selektif banget biar dapet calon karyawan yang sesuai dengan yang perusahaan butuhin," katanya setelah punggung nya menyentuh kursi. Matanya sempat melirik Syaila namun segera ia alihkan saat tidak sengaja beradu pandang dengan Syaila."Wih semangat bang!"Batara terlihat mengedarkan pandangannya. Melihat kesetiap sudut kedai. "Tumben sepi?" tanyanya."Iya nih, mungkin pada liburan. Rencananya bapak juga mau tutup sebentar. Nanti sore buka lagi." Kali ini Sujadi yang menyahut.Batara mengangguk. "Kamu?" Matanya beralih pada Syaila."Hah?" Yang ditanya melongo. Terlalu sibuk melamun sehingga membuatnya tidak fokus
Syaila dan Batara saling adu pandang. "Bukan, Nak. Dia bukan papa baru. Ini bos mama di tempat mama kerja. Dia mau ikut ke kamar mandi," jelas Syaila. Ia sampai terkejut ketika tiba-tiba Geino berkata seperti itu."Memang kenapa kamu enggak punya papa baru?" Batara malah membahasnya."Tidak!" Geino berlalu begitu saja. Setelah itu Syaila mempersilahkan Batara masuk. Sementara dirinya menunggu di luar.Beberapa menit kemudian pria itu keluar. "Sudah berapa lama kamu tinggal di sini?"Syaila tidak langsung menjawab. Ia tidak mudah bercerita kepada orang asing. "Saya hanya ingin tahu. Kalau kamu enggak jawab juga enggak apa-apa," lanjut Batara.Si wanita melirik sekilas Batara yang tengah menalikan sepatunya. "Sekitar tiga sampai empat bulan."Batara berdiri. "Saya sudah duga kamu memang bukan asli orang sini." Syaila hanya merespon dengan anggukan kecil. Melanjutkan, "Boleh antar saya ke depan gak? Saya takut nyasar.""Lho? Jalannya kan cuma lurus. Nanti tinggal turun tangga, Pak?" uca
Sudah hampir pukul delapan, Syaila baru menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Karena Geino ada kegiatan sekolah yang mengharuskan anak itu harus menginap Syaila jadi kateteran menyiapkan perlengkapannya."Aduh ini gue pasti telat ni ke pabrik," gumam Syaila. Ia menuruni tangga dengan tergesa.Langkahnya ia percepat untuk segera sampai di halte. Karena jika ia berjalan Syaila sudah pasti akan terlambat.Tit titSyaila menoleh. Mobil yang sama dengan yang kemarin ia naiki berhenti dihadapannya. Kening Syaila mengenyit."Ayo naik! Kamu sudah mau terlambat," kata si pemilik mobil tersebut."Bapak ngapain ada di sini? Bukannya enggak searah?"Tentu saja Syaila bertanya begitu, bahkan yang ia ketahui Batara tidak tinggal disekitar tempat Syaila tinggal. Karena Sujadi pernah bilang, Batara katanya bukan orang biasa yang akan memilih tinggal di tempat kumuh seperti di sini. Walaupun yang Syaila ketahui, pria itu hanya seorang hrd di tempat Syaila bekerja."Entah! Tapi sepertinya mobil saya tahu a
"Syaila! Ada panggilan dari sekolah anak kamu. Kemari!" Tangan kiri kepala bagian melambai, menyuruh Syaila mendatanginya.Syaila jelas segera berlari saat nama sekolah sang putra disebut. "Ada apa, Bu?""Kamu bicara sendiri, jangan lama-lama tugas kamu bukan hanya buang-buang waktu menerima sebuah telepon," kata wanita itu setelahnya berlalu membiarkan Syaila menerima telepon."Selamat siang, ada apa ya, Bu? Apakah Geino membuat kesalahan?" tanya Syaila."Tidak, tidak sama sekali. Namun kami ingin meminta maaf, Geino mengalami cidera di bagian lulutnya. Dia terjatuh saat kegiatan berjelajah di belakang sekolah. Ada salah satu murid yang tidak sengaja mendorongnya hingga lutut Geino berdarah. Saya harap ibu bisa datang ke sekolah untuk menyelesaikan masalah ini," ucap salah seorang guru wanita di sebrang sana."Baik, saya segera ke sekolah terima kasih."Sambungan telepon Syaila matikan. Ia lalu menyerahkan ponsel milik kepala bagiannya sekaligus meminta izin."Bu, anak saya kecelaka
Semenjak kejadian Geino terjatuh di sekolahnya, anak itu belum Syaila izinkan masuk lagi. Karena sepulang dari kejadian tempo hari Syaila membawa Geino ke klinik. Setidaknya Syaila tahu apa yang sudah putranya alami.Dan benar saja, Geino mengalami pergeseran tulang di bagian lututnya. Luka itu bukan hanya sekedar luka robek yang akan sembuh dengan obat merah. "Aku mau sekolah, pelajaranku udah tertinggal. Kenapa mama enggak izinin aku buat sekolah?" Anak itu sekarang tidak mau makan karena Syaila tidak membolehkan Geino berangkat sekolah. "Kamu belum sembuh. Mama gak mau anak nakal itu jailin kamu lagi. Sekarang nurut dulu sama mama. Sekarang makan dulu, ya?" bujuk Syaila.Selain Geino yang harus sejenak berhenti dari sekolah, Syaila juga harus berhenti dari pekerjaannya. Ia dikirim surat dari pabrik yang memberi tahu nya bahwa ia diberhentikan karena alasan meninggalkan pekerjaan tanpa sebuah izin. Ia yakin, itu adalah ulah dari kepala bagiannya. Karena jika pihak pabrik tahu alas
"Akhirnya sahabat jomblo gue dari lahir nikah juga hahaha."Nadira melengos sembari berdecak sebal. Ucapan itu sudah puluhan kali Syaila lontarkan bahkan ketika ia bercerita dirinya menerima lamaran Ferdi. Wanita yang kini tengah hamil tua itu tidak berhenti meledek Nadira. "Lu diem deh kalo gak mau anak lo nanti mirip gue," ujar Nadira yang langsung direspon gelak tawa Ferdi. "Jangan dong sayang, biar anak kita aja nanti yang mirip mamanya."Benar, memang hanya Ferdi yang dapat menaklukkan ke bar-bar-an mulut Nadira, hanya dengan ucapan sederhana barusan perempuan itu sudah tersipu malu. "Najis banget mukanya merah. Dahlah gue mau makan dulu. Selamat ya, gue doain Ferdi diberi kesabaran punya istri kaya lo." Syaila memeluk sahabatnya itu meski sedikit kesusahan karena perutnya yang besar. "Makasih ya, Sya. Lu jaga kesehatan juga. Jagain keponakan gue awas aja kalo kenapa-napa gue geplak pala lo." Nadira memberi peringatan. Keduanya kemudian terkekeh, Ferdi dan Batara yang menya
Suara tangis bayi cantik berpipi gembul berhasil membuat panik sang ibu. Bayi berusia lima bulan itu nampaknya kepanasan terus berada di dalam mobil selama perjalanan yang lumayan jauh. Maka, sang ibu dengan sigap mengambil botol susu di dalam kantong stok asi. Mobil berhenti bersamaan dengan tangis bayi perempuan itu yang juga mereda. Terlelap di gendongan sang ibu dengan nyaman. "Kamu mau ikut masuk?" Terlihat pria jangkung yang sedari tadi mengemudikan mobil melongok ke jok belakang, untuk menjawab pertanyaan sang istri, "Kamu duluan aja, aku cari parkir dulu. Di sini panas kasian Kanaya," tuturnya yang diangguki istrinya. Wanita itu kemudian keluar dari mobil, menatap bagunan yang mungkin lebih cocok disebut neraka dunia bagi sebagian orang. Ia menatap putri kecil di dalam gendongannya sebelum ia melangkah masuk ke dalam bangunan itu. Tatapan sendu seperti seorang ibu yang akan meninggalkan putrinya untuk waktu yang sangat lama. Lantas ia masuk tanpa ragu lagi. Seolah, putri k
Setelah siang itu Batara bercerita tentang keinginannya yang aneh-aneh, satu jam setelahnya Batara mengajak Syaila makan pecel lele di pinggir jalan. Namun sialnya sore itu hujan deras dan mereka berdua berakhir basah kuyup saat mencari makanan itu, niatnya mereka ingin menghabiskan waktu bersama. Syaila berakhir sakit dan itu yang membuat Batara sekarang sangat merasa bersalah. "Maaf ya gara-gara kamu nemenin aku cari pecel lele kamu jadi sakit kaya gini." Batara benar-benar merasa bersalah. Sampai tidak mau menatap istrinya. "Aku cuma masuk angin sayang. Minum obat juga bakal sembuh." Syaila mengusak rambut Batara. "Kamu muntah-muntah tadi. Kita ke rumah sakit aja ya sekarang? Aku takut kamu kenapa-napa." "Aku gak apa-apa," sanggah Syaila. Ia akui perutnya sekarang memang terasa dikocok. Ia juga tidak nafsu makan sama sekali. Lidahnya terasa pahit dan makanan apapun yang berusaha ia masukkan ke dalam mulutnya selalu mendapat kan penolakan. Ia berkahir muntahan-muntah. Tubuhnya t
Tiga bulan sudah berlalu Syaila dan Batara mengarungi bahtera rumah tangga. Seperti kata orang-orang pernikahan tidak ada yang mulus tanpa dibumbui pertengkaran. Syaila sering mengomel seperti istri-istri pada umumnya mana kala Batara lupa menaruh handuk di atas ranjang. Atau perdebatan yang mungkin nampak sepele jika dipikirkan. Tapi beruntung nya Batara adalah orang yang sabar dan lapang mengakui kesalahanannya. Selama tiga bulan hidup dalam atap yang sama Syaila menemukan banyak kejutan dari Batara. Batara yang ternyata begitu manja melebihi anak-anak. Dia bahkan tidak malu menangis jika dirinya tidak sengaja membentak Syaila. Meski begitu, Batara adalah sosok ayah sambung yang baik untuk Geino dan menantu yang berbakti untuk mamanya. Syaila tidak henti-hentinya bersyukur telah dipertemukan dengan pria seperti Batara. "Sayang Geino katanya dikasih tugas buat hewan dari tanah liat. Besok dikumpulnya."Syaila menoleh ke sumber suara, serum wajah yang hendak ia oleskan di wajahnya
"Tumben kamu jam segini udah bisa diajak jalan? Kerjaan kamu udah selesai?""Udah, aku mau quality time sama suami aku yang ganteng ini."Satu bulan sudah berlalu. Mereka hidup bahagia sebagai sepasang suami istri. Siang disibukkan dengan pekerjaan, dan jika sudah di rumah keduanya sebisa mungkin tidak membawa atau mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Itu sudah menjadi kesepakatan mereka. Sore ini Batara mendapat kabar jika istrinya bisa pulang lebih cepat dan mengajaknya untuk jalan-jalan. Hitung-hitung mengenang masa pendekatan mereka dulu. Batara sih setiap hari memang sibuk, tapi ia lebih santai dari Syaila. Pria itu bisa dengan mudah mengatur jadwalnya berbeda dengan Syaila. Keduanya sudah sampai di sebuah mall ternama di ibu kota. Bergandengan tangan, melihat-lihat store pakaian branded, memilah restoran yang keduanya inginkan. "Mau beli baju?" tawar Batara. Syaila menggeleng. "Baju aku masih banyak yang belum dipake." Baik, Syaila memang berbeda dari kebanyakan perempuan
Waktu berjalan lebih cepat jika kita berada di antara orang-orang yang kita sayangi. Begitu pun sebaliknya. Tapi Syaila tidak pernah menyangka akan secepat ini. Entah ada kata apalagi yang bisa ia ucapkan selain bahagia. Ratusan orang yang datang ke acara resepsi pernikahan nampak ikut bahagia. Pun dengan mamanya dan Geino yang tersenyum mana kala ia dan Batara akhirnya sah menjadi sepasang suami istri.Dekorasi megah yang ternyata sudah Batara siapkan begitu memesona ditambah undangan tamu yang tidak ada henti-hentinya."Udah aku bilang jangan banyak-banyak ngundang tamu. Ini tangan aku udah mau putus rasanya," bisik Syaila di tengah sibuknya menyambut para tamu yang datang. "Aku cuma undang temen-temen kantor. Itu kolega keluarga-keluargaku. Mana bisa aku batalin." Batara meringis.Keduanya menghela napas panjang. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain terus tersenyum dan menyambut tamu dengan senyum hangat. Meski rasanya pasangan pengantin baru itu sudah ingin cepat-cepat mere
Ibu kota malam ini terasa lebih tenang. Cahaya lampu yang terpantul sinar rembulan membiaskan cahaya warna-warni memanjakan mata. Entah, sudah berapa lama Syaila tidak datang ke tempat ini. Semasa kuliah semester awal ia sering datang kemari. Hanya menyaksikan gemelapnya ibu kota atau hanya sekedar menikmati segelas kopi panas.Dulu ia manusia paling naif perihal hubungan timbal-balik antar manusia. Percaya bahwa kebaikan akan dibalas kebaikan, pun sebaliknya. Tapi Tuhan sepertinya ingin menunjukan hal lain kepadanya, bahwa jangan berharap selain pada-NYA. Tidak butuh bertemu ribuan orang untuk ia membuktikannya. Orang yang ia amat percaya akhirnya mengkhianati kepercayaannya dengan hal yang bahkan tidak pernah ia duga-duga. Pengorbanan yang selama ini ia lakukan terasa sia-sia hanya karena kekurangan yang mungkin dia harapkan ada pada Syaila.Namun beruntung sejak ia akhirnya memutuskan untuk mengambil cuti kuliah karena hamil hingga ia berpisah dengan Azka ia tidak lagi kemari, jik
Seperti halnya hujan, kita tidak bisa mencegah air yang turun itu untuk tidak membuat kita kedinginan. Kita tidak bisa bernegosiasi agar hujan jangan dulu turun sebelum payung kita siap. Begitu pula yang terjadi dengan Syaila dan Batara. Hampir pukul satu malam keduanya sibuk mengasihani dirinya sendiri. Memandang isi gedung yang seharusnya menjadi saksi bisu kisah cinta mereka bersatu. Kini, dekorasi yang sudah dirangkai sedemikian rupa harus terpaksa dilucuti sebab pasangan lain akan menggunakan gedung ini. Seharusnya pagi tadi adalah acara pernikahan keduanya, dan malam ini seharusnya mereka sudah menjadi pasangan suami istri. Tapi sekali lagi, manusia hanya bisa berencana. "Kamu udah ngantuk belum? Udah malem, kita pulang aja ya?" Tidak bisa dibohongi, jelas Batara juga merasa sedih atas gagalnya pernikahan mereka. Tapi mau dikata apa? Semuanya telah terjadi. Syaila menghela napas panjang. "Rasanya kalau aku bilang ini tidak adil, aku akan dicap sebagai manusia yang gak bersyuku
Persidangan pertama dibuka dengan hakim yang menanyakan alasan mengapa Azka tiba-tiba menggugat hak asuh anak padahal sebelumnya mereka sudah sepakat bahwa hak asuh anak diberikan kepada Syaila. Pengacara Azka menjelaskan alasannya. Seperti yang Azka sebelumnya bilang, perihal Syaila yang memiliki kekasih yang trampemental. Ia juga bilang bahwa ia memiliki buktinya. Sebab itu Azka khawatir jika anaknya yang diasuh Syaila akan mendapatkan dampaknya juga. Tidak hanya pihak Azka yang dimintai penjelasan. Syaila juga diberi kesempatan untuk menyanggah. Sama seperti Azka, Syaila menyerahkan semuanya kepada kuasa hukumnya. Kuasa hukum Syaila menceritakan semuanya. Dan perihal apa yang dikatakan Azka hanya sebuah kesalahpahaman. Juga Syaila yang sudah tidak menjalin hubungan lagi dengan Batara. Sidang berjalan lancar. Azka nampak tidak memiliki argumen lagi setelah kuasa hukum Syaila membeberkan semuanya. Dan tanpa sepengetahuan semua orang yang ada dipersidangan, pria yang memakai topi