“Tapi sepertinya tuan sedang tidur, Nona,” lanjutnya sukses membuat langkah kakiku terhenti.
“Apa Axe tidur bersama Oracle?”“Ya, Nona,” jawabnya membuatku dan Rose kompak saling melirik.“Buka saja pintunya, Bridgette,” ucap Rose mulai tak sabar.Aku menarik napas dalam – dalam memantapkan hati membuka pintu mobil. Kira – kira seperti apa pose mereka saat sedang tidur bersama? Apa mereka akan terlihat sama miripnya ketika mata mereka terbuka, atau justru sebaliknya?Membayangkan hal itu, perasaan asing tiba – tiba menyergap dadaku. Aku tidak tahu. Haruskah aku sedih atau senang menyadari bahwa Axe dan Oracle begitu mudah akrab. Tapi aku tak bisa bohong kalau di lubuk hatiku paling dalam, terbesit sebuah harapan yang dilambungkan setinggi angkasa. Aku ingin suatu saat nanti bisa jujur pada Oracle siapa aku sebenarnya. Selama ini yang dia ketahui adalah Rose ibunya, bukan aku. Aku juga kasihan padanya, sejak kecil dia tidak pernah merasakan kehadiran seorang a“Biar aku yang gendong.” Axe menarik paksa tubuh Oracle dari dekapanku, membuat rasa kosong menyelimuti ketika tubuh kecil Oracle sudah berpindah ke tangan ayahnya.Tadinya aku ingin protes, tapi karena kami sedang berjalan di lobi hotel. Aku mengurungkan niatku dan membiarkan Axe melangkah lebih dulu meninggalkanku. Punggung tegap Axe terlihat semakin jauh karena langkah lebarnya tak pernah terjeda.Axe terlihat sedang berburu waktu. Memangnya dia akan ke mana setelah ini? Batinku terus bertanya – tanya.Dengan cepat aku mengejar jejaknya yang kini tampak memasuki kamar hotel. Setiap gerakan yang Axe ciptakan terlihat aneh bagiku, atau itu hanya perasaanku? Aku segera menggeleng lalu mendorong pintu yang nyaris tertutup.Napasku terembus cukup lega melihat Axe sudah memindahkan tubuh kecil Oracle ke atas kasur, tidurnya masih senyenyak saat di mobil. Sama sekali tidak terganggu dari perpindahan satu ke perpindahan lain.“Ada ap
“Jadi aku harus memanggil om apa?” tanya Oracle begitu polosnya saat kami sedang jalan bersisian menuju kamar hotel yang kami tempati.“You can call me daddy.”“Daddy?” tanya Oracle kembali seakan memastikan kebenaran dari perkataan Axe.“Ya,” jawab Axe cepat. Pria itu masih setia menggandeng tangan kecil Oracle sembari menuntunnya melangkah.“Aunty. May I?” Kali ini Oracle beralih padaku. Tatapan penuh harap darinya berhasil memporak – porandakan isi hatiku. Kenapa rasanya sakit sekali melihat Oracle berharap agar bisa memanggil Axe dengan sebutan daddy. Sungguh. Dia membuatku merasa seperti orang jahat karena telah memisahkannya dari ayah kandungnya sendiri.“Aunty, kenapa diam? Apa aku boleh memanggil om ganteng dengan sebutan daddy?”Aku tersenyum kecil dan mengangguk sebagai jawaban. Tak ada yang bisa kukatakan selain hanya mengiyakan. Aku segera menghapus air mata yang n
Siapa dia?Mataku terus memperhatikan langkah tak terjamah itu. Semakin lama semakin dekat. Aku yakin napasku mulai tercekat. Wajah pria itu sama sekali tak terlihat, membuatku agak menyesal sudah mematikan seluruh lampu di kamar ini.Aku berusaha mencerna situasi di sini. Perlahan tapi pasti, tanganku bergerak mengambil ponsel dan menyalahkan senter. Cepat – cepat kuarahkan sinar dari ponselku ke arah pria itu. Hal yang tak lain membuatnya segera mengangkat tangan menutup wajah, terganggu akan silauannya cahaya.“Turn it off!” serunya tak suka bersamaan dengan hidupnya lampu di ruangan ini, dia yang menekan saklar lampu.Axe!Mataku seketika membulat mendapati wajah yang sedari tadi kukhawatirkan. “Ke mana saja kau, Axe?” tanyaku tak peduli tatapan tajam darinya. Ada sedikit kelegaan di hatiku melihat kondisinya. Aku senang bahwa Axe baik – baik saja.“Bukan urusanmu!” hardiknya sembari melangkah me
Sedikit terperangah aku melihatnya memegang pisau dapur berukuran sedang. Jangan bilang Axe akan—membuktikan kalimatnya di kamar mandi tadi. Aku benar – benar tak habis pikir.“Jangan lakukan ini!” Langkahku sudah pasti semakin mundur menyadari jarak kami semakin menipis.“Pergi!” pekikku nyaris seperti orang gila. Dadaku naik turun merasa sesak melihat kilatan tak kenal ampun di matanya. Benarkah yang di depanku saat ini adalah Axe? Aku menggeleng sebagai jawaban untuk diriku sendiri. Tentu saja, manusia seperti dirinya hanya satu di muka bumi ini.Degh!Bunyi suara tertahan membuat jantungku seketika bertalu. Celakalah, tak ada lagi ruang gerak bagiku. Aku terkunci dengan tubuh tertahan oleh pantry. “ Berhenti di situ!” seruku berusaha meraih apa saja yang masih tersisa di sana, barangkali para koki meninggalkan beberapa sisa bahan makanan yang bisa kugunakan melempar wajah Axe.“Stop, Axe!” Tangi
“Aunty.”Panggilan kecil disusul kecupan lembut di pipi samar – samar membuatku membuka mata. Senyumku merekah mendapati Oracle sedang duduk manis di hadapanku.“Good morning, Aunty,” sapanya sukses menimbulkan rasa hangat di dada. Senang rasanya bisa terbangun di samping Oracle seperti ini.“Good morning, Oracle,” balasku sembari mencubit pipinya pelan.“Daddy di mana, aunty? Aku tidak melihatnya.”Hatiku mendadak buram mendengar nama itu, nama yang membuatku sulit tidur hampir semalaman. Napasku terembus kasar dan kutatap wajah polos Oracle dalam – dalam.“Daddy tidur bersama Om Edward di kamar lain,” jawabku asal. Aku bahkan tidak tahu Axe ada di mana sekarang. Firasatku mengatakan dia berada di kamar lain meskipun kemungkinannya kecil.“Daddy sibuk, ya, Aunty?”“Iya, sayang. Sambil nunggu daddy, sebaiknya kita siap – siap buat ketemu momy. Oracl
Sedari sore, hingga sekarang sudah larut malam. Ponselku terus bergetar dan menampilkan beberapa notifikasi pesan yang terus kuabaikan. Aku tak berniat mengangkat panggilan atau sekadar membaca isi pesan. Ponselku kubiarkan berada di atas nakas, tak sekalipun aku meliriknya. Sudah bisa kutebak kalau pelakunya tak lain tak bukan adalah Axe. Siapa lagi yang memiliki nomor baruku selain dia dan Edward. Benar. Axe memang memberikan ponsel untukku, tapi dengan catatan aku harus memakai sim card yang dia berikan padaku. Sehingga beberapa kontak lama yang kupunya tak bisa kusimpan. Jangankan punya orang lain, nomor mom dan dad saja aku tak punya. Itu sebabnya, aku tak menghubungi mereka padahal dulu satu – satunya keinginanku saat pertama kali berada di bawah tahanan Axe adalah menghubungi mereka.Lagipula seharusnya Axe tak perlu menghubungiku karena jelas dia tahu aku berada di mana mengingat alat pelacak yang ada di tubuhku. Ingat apa yang pernah Edward katakan padaku?N
“Bridgette!”Mataku mengerjap samar mendengar ketukan pintu kamar. Sudah jam berapa ini? Pertanyaan itu berhasil membuat tubuhku sendiri bergerak cepat, hingga kini posisiku menjadi duduk dengan dada naik turun tak beraturan.Semalam begitu mudahnya aku jatuh tertidur di luar keinginan. Maksudku, kemarin malam aku berniat memastikan keberadaan Axe setelah 10 menit mematikan seluruh lampu agar dia berpikir aku benar – benar tak memedulikannya. Aku memang sengaja agar dia kembali ke hotel dan beristirahat di tempatnya. Sayangnya aku justru tertidur sebelum dua menit pertama setelah berbaring di atas ranjang. Sekarang risikonya, jantungku harus berdebar mempertanyakan keberadaannya.Dengan cepat kakiku melangkah menuju jendela. Kutarik gorden hingga silau pagi sedikit membuatku menghindar. Sepertinya aku kesiangan.Kucari – cari keberadaan Axe dan menemukannya masih berdiri di sana. Benarkah apa yang kulihat? Kucubit lenganku sejenak dan apa yang ada di hadapanku tak beruba
Enam hari sudah aku berada di apartemen Rose. Enam hari itu juga aku membiarkan Axe berdiri di taman menunggu maaf dariku. Ntahlah, waktu terasa cepat berlalu, padahal rasanya baru kemarin kami mengalami cekcok.‘Aku akan menunggumu di tempat ini sampai kau mau memaafkanku.’Masih terngiang – ngiang kalimat penuh percaya diri itu. Tapi aku salut pada Axe, dia mematri kata – katanya dengan perbuatan nyata. Enam hari lima malam tinggal di luar sana hanya demi diriku, sungguh perjuangan tak terelakkan.Aku tahu di balik semua itu sebenarnya Axe lelah. Tercatat hari pertama hingga kedua dia masih sanggup berdiri dan di hari ketiga sampai hari ini, posisinya sudah berubah. Axe tak lagi menjulang tinggi, melainkan duduk dengan kepala sedikit menunduk, pernah sesekali aku mendapatinya berbaring lelah. Kadang – kadang juga aku melihatnya memijat pangkal hidung dan meremas kepalanya kasar. Rasanya dadaku ngilu, aku tidak tahan melihatnya ter
Hai, Kak. Selamat pagi. Mohon maaf setelan catatan penulis ini bukan update chapter Brother Luck(not) ya. Aku mau kasih tahu kalau sekuel sudah bisa dibaca lewat aplikasi Goodnovel. Yuk, mampir dan bantu aku dengan vote dan komen kalian😇 Boleh berikan review kalau suka ya. Kalian masih bisa ketemu Axelle🤭 But, he's not a main character anymore ya. Udah diganti Om T😅 Di sana para karakter penuh dengan misteri. Aku sudah up empat chapter. Kuy, merapat💃💃💃 migrain bareng aku lagi😁 besok aku akan double update juga. Berikan dukungan kalian buat Rose dan T😁 Btw, ada bab yang tidak ada di sini aku jelaskan di sana. Sebelumnya terima kasih banyak, sudah baca dan support karya pertamaku di sini. I love you guys❤❤❤
Several months later... Aku dengan tangan terinfus menatap Axe, di sampinnya terdapat Oracle, sedang berjalan menghampiriku. Dia membawa seorang bayi di dalam dekapan. Kepalanya terus menunduk memperhatikan wajah anak perempuan kami tanpa henti. Senyum sempurna melengkapi kebahagiaan Axe. Usahanya melayaniku saat sedang mengidamkan sesuatu berbuah manis, dia akhirnya dipertemukan secara langsung bersama anaknya.Aku ingat pernah memaksa Axe membuatkanku roti canai, makanan khas Asia, dengan tangannnya sendiri. Axe bisa memasak, tidak tahu dengan makanan sejenis itu, tapi subuh – subuh buta aku tetap mendorongnya bangun untuk menjadi koki dadakan demi keinginan anaknya.Butuh perjuangan membangunkan Axe saat dia sedang lelah – lelahnya setelah menyentuhku tanpa henti. Salahnya sendiri tidak pernah puas. Aku mana tahu kalau anaknya tiba – tiba menginginkan sesuatu.Meski dengan terpaksa, Axe tetap menjalankan kewajibannya. Waktu itu, dengan mata setengah terbuka
Aku menatap cincin yang tersemat kembali di tanganku dengan senyum haru dan bahagia. Janji suci atas nama Axe sudah kuucapkan. Tersisa satu lagi, tapi Axe tak kunjung melakukannya. Dia hanya menatapku dengan mata berbinar bahagia, seperti seorang idiot yang mendadak menjadi seorang jutawan.Dia mau tunggu apa lagi?Sampai aku memulai lebih dulu? Yang benar saja!“Kau membuat semua orang menunggumu terlalu lama,” kataku pelan dan nyaris berbisik.“Yakin?” tanya Axe memastikan. Dia mengangkat sebelah alis menatapku curiga. “Mereka atau kau yang sebenarnya sudah tidak sabar?” lanjutnya lagi dengan senyum menggoda.“Terserah kau saja, Axe.”Aku langsung berpaling menatap wajah – wajah di sana. Orang – orang penting di hidupku berkumpul dalam satu frame. Ada Oracle, mom, dad, ayah dan ibu mertuaku, serta Rose yang begitu cantik dengan balutan dress hitam. Di sampingnya ada Theo yang selalu menguntit ke mana pun Rose pergi. Aku rasa pertanyaan Axe waktu itu sangat
Kau tahu ada apa dengan gugurnya bunga mawar? Karena saat pertama kali mekar, dia terlalu indah. -Theodore Witson. -------------------------------- “Rose, sekali lagi terima kasih. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku tanpa bantunmu.” Kupeluk erat – erat tubuh wanita cantik, yang saat ini membalas kehangatan dariku.“Sama – sama,” bisik Rose sembari mengusap naik turun pundakku pelan.“Harus dengan cara apa aku membayar semua kebaikanmu selama ini?”Aku tak tahan lagi sampai yakin suaraku terdengar getir. Tidak tega rasanya mengambil Oracle dari Rose. Tapi harus bagaimana? Jika aku membiarkan Oracle bersama Rose, anak itu akan kehilangan figur keluarga lengkap. Axe pasti tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia sudah terpisah dari Oracle sejak Oracle sendiri masih dalam kandungan, mana mungkin pria itu mau merelakan Oracle. Dan kalau harus jujur, aku juga menginginkan Oracle. Meski rasa bersalah pada Rose akan jauh lebih be
“Sudah siap?” Aku menoleh ke samping mendengar pertanyaan Axe.Dari bandara Kanada, kami langsung melaju menuju apartement Rose. Saat ini aku dan Axe masih berada di dalam mobil yang terparkir di basement.Dia bertanya apakah aku sudah siap ... jawabanku tidak. Aku tidak sanggup harus menerima penolakan Oracle, saat dia melihatku ada di hadapannya. Seperti kata Axe waktu itu, dia akan mengajakku menjemput Oracle setelah semuanya selesai.Ya, semua telah selesai terhitung sudah tiga minggu berlalu pembalasan dendam Axe.Paman Danial akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum seberat – beratnya selama 35 tahun penjara. Perlindungan dari perdana mentri atas dirinya tidak berlaku, karena bukti – bukti sudah di depan mata. Terlebih Paman Danial semakin diberatkan oleh kehadiran para tawanan yang Axe bebaskan sebagai saksi di pengadilan.Waktu itu, persidangan berlangsung selama kurang lebih dua minggu. Tidak ada penyangkalan dan uji banding membuat semuanya
“Awas, Axe!”Dor!Aku memeluk Axe seerat mungkin, menjadikan tubuhku sebagai tameng untuknya. Dia pernah membiarkan peluru menggigit tubuhnya karena kesalahanku. Sekarang aku ingin melakukan hal yang sama, mengorbankan diri untuk orang yang kucintai.Bunyi tembakan memberi jeda untukku bernapas. Seharusnya aku sudah merasakan panas yang menjalar oleh peluru itu. Tapi sampai saat ini semua masih terasa aman. Aku tidak mengerti, tubuhku baik – baik saja tanpa alasan.“Lain kali jangan lakukan hal ini. Jangan melindungiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak cepat?”Tubuhku dilepas paksa dan baru kusadari senjata Axe mengeluarkan asap saat dia menurunkan tangannya.Apa yang telah kulewatkan?Cepat – cepat aku berbalik. Sedikit tak percaya mendapati Arthur tergeletak di lantai dengan mata terbuka dan peluru yang menancap tepat di dahinya.“Aku tidak ingin membunuh. Tapi membiarkan dirimu ditembak adalah kesalahan palin
Sebuah belaian terasa kasar, menarik kembali jiwa yang sempat hilang dari tubuh. Aku mengerjap, membuka mata secara perlahan. Tempat yang seharusnya berupa alam bebas tergantikan oleh tembok – tembok bercak putih. Aku seperti berada di sebuah kamar dengan langit – langit dihias lampu kuning.Satu pertanyaan menyentak isi kepala. Siapa yang membawaku ke sini?“Akhirnya kau sadar.”Suara serak itu menarik perhatianku menatap ke samping.Dia...Kenapa aku bisa bersamanya?“Kau semakin cantik dan berisi. Aku sangat suka.”Nada puas terdengar dari suara serak seorang pria yang pernah kutemui beberapa kali. Bahkan waktu itu nyaris menjadi suamiku, Arthur.“Kau kaget melihatku. Kenapa. Takut?”Arthur terkekeh. Tangan yang terulur hendak mengelus kepalaku tertahan di udara saat aku bergerak cepat, beringsut menjauhinya. Apa maunya membawaku ke tempat seperti ini? tanyaku sembari menatap penuh waspada seringai kejam di wajah Arthur.Dia sangat berbed
Author’s pov....Mata heterochormia dilapisi lensa kontak lunak itu menatap tajam bagian samping gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada tiga lantai, masing – masing memiliki penjagaan ketat. Bentuknya juga seperti labirin dengan jalur berliku – liku dan beberapa jalan dibuat buntu. Bagi seseorang yang awam, mungkin akan tersesat di tempat itu.Sebelum masuk, Axe harus memastikan penjaga di pintu depan sedang lengah agar dia bisa melakukan serangan dari belakang. Kakinya melangkah pelan. Menyembulkan kepala sedikit, mencari waktu paling tepat untuk mengokang senjata kedap suara di tangan.Belum saatnya. Dua penjaga di sana masih sigap menghisap cerutu dan mengembuskan asapnya ke udara. Axe akan menunggu salah satu dari mereka masuk, untuk menyerang yang lainnya. Dia tidak ingin menimbulkan kehebohan di bagian luar. Menyerang satu per satu adalah pilihan tepat.Selama kegiatan aksi belum dimulai. Seharusnya
Pandanganku lurus, menatap tanpa arti beberapa orang berbentuk tim—sedang berpencar ke berbagai hancurnya sisi gedung. Hampir dua jam, mereka belum juga menemukan keberadaan Axe. Tidak tahu mereka mencari sampai ke seluruh reruntuhan atau tidak. Sementara malam sudah semakin larut, akan sulit melakukan pencarian.Sempat ada beberapa hal yang membuat tim berdebat, salah satunya tangan yang kutemukan. Sebagian besar dari mereka beropini bahwa sisa dari tubuh Axe hancur tercerai berai, sulit untuk diidentifikasi. Tapi yang lain, terutama aku, masih percaya adanya potongan tubuh Axe karena ledakan itu.Sebenarnya mereka menemukan dua atau tiga kerangka kaki, milik orang lain. Kata Hema, ada beberapa pengawal Paman Danial yang berada di lantai tiga sedang menikmati pesta. Kemungkinan kerangka itu milik mereka.“Kita tidak menemukan apa pun di sini.”Tim dari kubu A berteriak, mungkin lelah—bekerja untuk sesuatu bersifat sia – sia. Seperti