Sudah satu minggu Axe pergi meninggalkanku sendiri bersama Edward di sini. Selama itu pula tidak ada kabar darinya. Axe tidak menghubungiku, aku pun tak berani mengganggunya sekadar mengirim pesan—bertanya bagaimana kabarnya selama berada di sana.
Soal Edward? Pria itu sibuk menggantikan posisi Axe. Edward yang mengurus segala urusan kantor selama Axe pergi. Aku pernah mencari tahu tentangnya melalui Edward. Sayang sekali Axe juga tidak menghubungi tangan kanannya. Dia seperti hilang ditelan bumi, jejaknya tak terendus oleh apa pun.Jujur, ada sedikit kehilangan di dalam hatiku saat pria itu tidak berada di sini, di sampingku. Aku merasa hampa. Mungkin karena sudah terbiasa bersamanya, sehingga saat Axe tidak ada—dadaku dipaksa merindukannya.Mataku memejam merasakan setiap tarikan napasku yang terasa lelah. Apa sebaiknya aku pergi dari sini. Meninggalkan mansion ini karena sekarang adalah waktu yang tepat. Aku bisa memanfaatkan Edward untuk membukak“Bukan begitu caranya pegang kuas!” protes Axe melihat posisi tanganku yang jauh dari kata benar.“Jangan ditekan,” ocehnya begitu cerewet.Dia tidak tahu. Aku sengaja terlihat salah di matanya, dan—jackpot! Keputusanku benar. Axe terlihat sangat mendalami teknik dasar menggambar ataupun melukis. Bisa kusimpulkan bahwa gambar usang itu memang miliknya. Aku juga ingat kalau Axe begitu takut dengan burung. Gambar yang kulihat dengan ketakutan Axe terhadap burung jelas berkesinambungan. Tidak salah lagi, Axe adalah anak kecil yang mengutarakan rasa sedihnya ke dalam sebuah karya seni. Tapi kenapa? Apa selama tinggal bersama paman Danial dia tidak bahagia?Tidak mungkin! Paman Danial sendiri mengatakan padaku kalau dia sangat menyayangi Axe seperti anaknya kandungnya.“No. Not like that, baby girl.”Aku terlonjak begitu Axe memegang tanganku untuk diarahkan cara membalurkan warna ke dalam kanvas.“Kau melamun?” tanyanya tepat di samping telingaku.“Ti—tidak. A
“Bridgette, baby!”“Buka pintunya!”“Kau tahu aku tidak suka diabaikan!”Kalimat – kalimat darinya kuanggap sebagai angin lalu. Untuk saat ini aku tidak mau berurusan dengannya. Aku ingin sendiri. Menenangkan pikiran dan menyembuhkan luka hati akibat dari ucapannya.“Buka atau kudobrak pintunya!” ancamannya dari luar.Aku memang mengunci pintu kamarku. Sudah kubilang, aku ingin sendiri!“Jangan mengujiku, Bridgette!”Kutenggelamkan wajah dan menutup telinga dengan bantal. Persetan dengannya. Aku sudah tak peduli akan apa yang Axe lakukan nanti. Dia mau menghukumku lagi atau tidak, terserah!“Sialan kau, Bridgette!” umpatnya bersamaan dengan tubuhku ditarik paksa menatap tubuhnya yang sudah menjulang tinggi di depanku.Secepat itu Axe mendobrak pintu? How come? Aku bahkan tidak mendengar suara gebrakan darinya.“Kau ingin aku menghukummu lagi, hu
“Dengarkan aku baik – baik. Kartu merahmu ada bersamaku, Mr. Florenso. Sekarang sebaiknya kau bawa cecunguk itu pergi dari sini. Aku muak melihat wajah kalian.”Axe mengakhiri kalimatnya dengan melangkah ke arahku. Begitu melihat kedua orang itu pergi, di mana si kepala prontos berjalan tertatih – tatih. Dia langsung berjongkok di hadapanku. Memberikan tatapan penuh rasa bersalah.Tak mau melihatnya, aku segera memalingkan wajah. Hatiku terasa diremas – remas setiap kali mengingat bahwa Axe – lah yang membawaku ke tempat seperti ini.“Lihat aku.”Dia menangkup wajahku pelan. Tatapan penyesalan darinya begitu kentara. Benarkah apa yang kulihat? Kenapa hatiku menolak percaya. Jika Axe peduli padaku, dari awal dia tidak akan memilih jalan seperti ini untuk menghukum.“Kenapa kau membiarkan mereka menyentuhmu?”Sebenarnya apa yang ada di dalam isi kepala Axe? Dia berharap aku melawan dan mendapat lebih banyak pukulan, begitu?Aku sungguh tidak mengerti apa maunya. J
“Kau baik – baik saja, Axe?” tanyaku usai melihatnya berjalan lesuh menghampiriku. Axe menjadi lebih diam setelah melakukan konsultasi dengan psikiater. Awalnya kami pergi menemui salah satu psikolog ternama. Tapi justru Axe dirujuk karena berdasarkan hasil diagnosis, pria itu butuh penanganan lebih serius.Tadinya Axe marah dan menolak pergi menemui psikiater, dia muak harus melakukan perjalanan yang memakan waktu lebih banyak. Syukurlah dengan kesabaranku, aku bisa membujuknya hingga menurut.Psikiater yang menangani Axe sebelumnya melakukan beberapa pemeriksaan. Axe harus melewati sesi wawancara, pemeriksaan fisik, serta mengisi kuesioner sebagai keperluan skrining dan penilaian dokter.Cukup lama bagiku menunggu proses tersebut. Ketika hasil diagnosis keluar. Aku harus menekan rasa sedih di hatiku dalam – dalam. Axe dinyatakan mengindap Bordeline Personality Dirsorder atau gangguan kepribadian ambang. Di mana gangguan mental tersebut mempen
“Axe.”Aku kembali mengetuk pintu kamarnya. Sejak insiden di dapur tadi, pria itu sama sekali tidak keluar kamar. Dia sungguh seperti gadis perawan yang sedang marah karena permintaannya tidak dituruti. Bahkan sudah dua kali aku berdiri di depan pintu kamarnya dan dia sama sekali tidak berniat membukakan pintu untukku.Sebenarnya bisa saja aku menekan knop pintu untuk memastikan keadaannya, ntah pintunya terkunci atau tidak. Cuma kalimat terakhir darinya waktu kami berada di roof top masih terngiang – ngiang. Aku tidak boleh lancang, statusku di matanya hanya seorang penghangat ranjang.“Axe.”Masih belum ada jawaban. Oh, ayolah. Sekarang sudah hampir jam tujuh malam. Apa Axe ingin melewatkan makan malam dan tak ingin meminum obatnya?“Aku akan masuk kalau kau tidak mau membukakan pintu untukku,” ancamku meski tak ada balasan sama sekali.Apa yang Axe lakukan di dalam hingga tak meresponku?Tak mau me
“Cepat sadar,” bisikku di samping telinganya. Hampir satu jam dan Axe belum juga membuka matanya. Dia begitu betah di alam bawah sadar, seakan kehidupan di sana jauh lebih menyenangkan daripada kembali ke sini memberikan sapaan selamat malam padaku.Apa Axe tidak tahu aku mengkhawatirkan dirinya. Setidaknya dia membuka mata dan membiarkanku bernapas dengan lega. Itu saja. Aku hanya butuh itu untuk menembus rasa bersalahku padanya.“Kau tidak merindukanku, Axe?” tanyaku meski belum ada jawaban darinya.Aku menarik napas lalu memeluk tubuhnya erat. Kueku yang gagal kembang sudah menantinya meski tak mungkin bisa dimakan, rasanya pasti aneh. Ya. Sebentar lagi hari esok akan tiba. Apa lagi yang Axe tunggu? Dia pingsan sekitar jam delapan malam, sedangkan sekarang waktu nyaris menunjuk ke angka sembilan. Dia tidak ingin mendengar ucapan selamat ulang tahun dariku, begitu?Aku menggeleng tak terima terhadap pikiranku. Cepat – cepat aku merangkak meraih wajahnya. Memberi kecupa
“Kenapa kau tiba – tiba memintaku membereskan pakaian?” tanyaku sembari menarik koper masuk ke dalam mobil.Axe aneh. Setengah jam yang lalu dia membangunkanku dan memberikan koper berukuran sedang, tak lupa memintaku menyiapkan beberapa pakaian. Kemudian sekarang aku dituntun keluar mansion dengan berbagai pertanyaan di dalam kepala.Apa yang akan Axe lakukan?“Kita akan pergi ke Canada,” jawabnya masih sibuk dengan laptop di atas paha.“Untuk apa?”“Aku sedang membangun sekolah di sana. Meninjau langsung ke lokasi, memastikan sudah berapa persen gedung itu didirikan.”“Aku boleh ikut?”“Tidak. Kau akan langsung ke hotel setelah kita sampai.”“Kenapa?”“Kau tidak boleh ikut. Di situ sangat berbahaya.” Axe menutup laptop kasar, menyampirkan benda persegi itu ke samping lalu menarik tubuhku di atas pangkuannya.“Aku tidak ingin
“Akh!”Axe meringis saat cubitan tak seberapa dariku malayang ke perutnya. Tidak biasanya dia seperti itu. Aku tahu Axe sedang tidak bercanda, sebab di raut wajahnya mengatakan keseriusan. Dia juga tipikal orang yang sanggup menahan rasa sakit fisik. Apa yang terjadi? Jika hanya cubitan dariku, tidak mungkin Axe bereaksi seperti itu.Tidak!Aku rasa aku melewatkan banyak hal di sini. Ada yang tidak beres, pasti ada luka tidak biasa yang bersembunyi di balik kaos hitam polosnya.“Apa yang kau lakukan?” tanyanya waspada melihat tanganku bergerak menyentuh ujung kaosnya.“Aku—“ Kuhentikan sejenak kalimat yang mengambang di tenggorokan. Kutatap matanya dalam – dalam hingga menyadari sesuatu. Aku harus memulai segalanya secara pelan, termasuk mencari tahu apa yang membuatnya meringis seperti itu.“Aku menginginkanmu.”Tanganku bergerak menyentuh rahang tegas miliknya. Mengelusnya pelan ke
Hai, Kak. Selamat pagi. Mohon maaf setelan catatan penulis ini bukan update chapter Brother Luck(not) ya. Aku mau kasih tahu kalau sekuel sudah bisa dibaca lewat aplikasi Goodnovel. Yuk, mampir dan bantu aku dengan vote dan komen kalian😇 Boleh berikan review kalau suka ya. Kalian masih bisa ketemu Axelle🤭 But, he's not a main character anymore ya. Udah diganti Om T😅 Di sana para karakter penuh dengan misteri. Aku sudah up empat chapter. Kuy, merapat💃💃💃 migrain bareng aku lagi😁 besok aku akan double update juga. Berikan dukungan kalian buat Rose dan T😁 Btw, ada bab yang tidak ada di sini aku jelaskan di sana. Sebelumnya terima kasih banyak, sudah baca dan support karya pertamaku di sini. I love you guys❤❤❤
Several months later... Aku dengan tangan terinfus menatap Axe, di sampinnya terdapat Oracle, sedang berjalan menghampiriku. Dia membawa seorang bayi di dalam dekapan. Kepalanya terus menunduk memperhatikan wajah anak perempuan kami tanpa henti. Senyum sempurna melengkapi kebahagiaan Axe. Usahanya melayaniku saat sedang mengidamkan sesuatu berbuah manis, dia akhirnya dipertemukan secara langsung bersama anaknya.Aku ingat pernah memaksa Axe membuatkanku roti canai, makanan khas Asia, dengan tangannnya sendiri. Axe bisa memasak, tidak tahu dengan makanan sejenis itu, tapi subuh – subuh buta aku tetap mendorongnya bangun untuk menjadi koki dadakan demi keinginan anaknya.Butuh perjuangan membangunkan Axe saat dia sedang lelah – lelahnya setelah menyentuhku tanpa henti. Salahnya sendiri tidak pernah puas. Aku mana tahu kalau anaknya tiba – tiba menginginkan sesuatu.Meski dengan terpaksa, Axe tetap menjalankan kewajibannya. Waktu itu, dengan mata setengah terbuka
Aku menatap cincin yang tersemat kembali di tanganku dengan senyum haru dan bahagia. Janji suci atas nama Axe sudah kuucapkan. Tersisa satu lagi, tapi Axe tak kunjung melakukannya. Dia hanya menatapku dengan mata berbinar bahagia, seperti seorang idiot yang mendadak menjadi seorang jutawan.Dia mau tunggu apa lagi?Sampai aku memulai lebih dulu? Yang benar saja!“Kau membuat semua orang menunggumu terlalu lama,” kataku pelan dan nyaris berbisik.“Yakin?” tanya Axe memastikan. Dia mengangkat sebelah alis menatapku curiga. “Mereka atau kau yang sebenarnya sudah tidak sabar?” lanjutnya lagi dengan senyum menggoda.“Terserah kau saja, Axe.”Aku langsung berpaling menatap wajah – wajah di sana. Orang – orang penting di hidupku berkumpul dalam satu frame. Ada Oracle, mom, dad, ayah dan ibu mertuaku, serta Rose yang begitu cantik dengan balutan dress hitam. Di sampingnya ada Theo yang selalu menguntit ke mana pun Rose pergi. Aku rasa pertanyaan Axe waktu itu sangat
Kau tahu ada apa dengan gugurnya bunga mawar? Karena saat pertama kali mekar, dia terlalu indah. -Theodore Witson. -------------------------------- “Rose, sekali lagi terima kasih. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku tanpa bantunmu.” Kupeluk erat – erat tubuh wanita cantik, yang saat ini membalas kehangatan dariku.“Sama – sama,” bisik Rose sembari mengusap naik turun pundakku pelan.“Harus dengan cara apa aku membayar semua kebaikanmu selama ini?”Aku tak tahan lagi sampai yakin suaraku terdengar getir. Tidak tega rasanya mengambil Oracle dari Rose. Tapi harus bagaimana? Jika aku membiarkan Oracle bersama Rose, anak itu akan kehilangan figur keluarga lengkap. Axe pasti tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia sudah terpisah dari Oracle sejak Oracle sendiri masih dalam kandungan, mana mungkin pria itu mau merelakan Oracle. Dan kalau harus jujur, aku juga menginginkan Oracle. Meski rasa bersalah pada Rose akan jauh lebih be
“Sudah siap?” Aku menoleh ke samping mendengar pertanyaan Axe.Dari bandara Kanada, kami langsung melaju menuju apartement Rose. Saat ini aku dan Axe masih berada di dalam mobil yang terparkir di basement.Dia bertanya apakah aku sudah siap ... jawabanku tidak. Aku tidak sanggup harus menerima penolakan Oracle, saat dia melihatku ada di hadapannya. Seperti kata Axe waktu itu, dia akan mengajakku menjemput Oracle setelah semuanya selesai.Ya, semua telah selesai terhitung sudah tiga minggu berlalu pembalasan dendam Axe.Paman Danial akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum seberat – beratnya selama 35 tahun penjara. Perlindungan dari perdana mentri atas dirinya tidak berlaku, karena bukti – bukti sudah di depan mata. Terlebih Paman Danial semakin diberatkan oleh kehadiran para tawanan yang Axe bebaskan sebagai saksi di pengadilan.Waktu itu, persidangan berlangsung selama kurang lebih dua minggu. Tidak ada penyangkalan dan uji banding membuat semuanya
“Awas, Axe!”Dor!Aku memeluk Axe seerat mungkin, menjadikan tubuhku sebagai tameng untuknya. Dia pernah membiarkan peluru menggigit tubuhnya karena kesalahanku. Sekarang aku ingin melakukan hal yang sama, mengorbankan diri untuk orang yang kucintai.Bunyi tembakan memberi jeda untukku bernapas. Seharusnya aku sudah merasakan panas yang menjalar oleh peluru itu. Tapi sampai saat ini semua masih terasa aman. Aku tidak mengerti, tubuhku baik – baik saja tanpa alasan.“Lain kali jangan lakukan hal ini. Jangan melindungiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak cepat?”Tubuhku dilepas paksa dan baru kusadari senjata Axe mengeluarkan asap saat dia menurunkan tangannya.Apa yang telah kulewatkan?Cepat – cepat aku berbalik. Sedikit tak percaya mendapati Arthur tergeletak di lantai dengan mata terbuka dan peluru yang menancap tepat di dahinya.“Aku tidak ingin membunuh. Tapi membiarkan dirimu ditembak adalah kesalahan palin
Sebuah belaian terasa kasar, menarik kembali jiwa yang sempat hilang dari tubuh. Aku mengerjap, membuka mata secara perlahan. Tempat yang seharusnya berupa alam bebas tergantikan oleh tembok – tembok bercak putih. Aku seperti berada di sebuah kamar dengan langit – langit dihias lampu kuning.Satu pertanyaan menyentak isi kepala. Siapa yang membawaku ke sini?“Akhirnya kau sadar.”Suara serak itu menarik perhatianku menatap ke samping.Dia...Kenapa aku bisa bersamanya?“Kau semakin cantik dan berisi. Aku sangat suka.”Nada puas terdengar dari suara serak seorang pria yang pernah kutemui beberapa kali. Bahkan waktu itu nyaris menjadi suamiku, Arthur.“Kau kaget melihatku. Kenapa. Takut?”Arthur terkekeh. Tangan yang terulur hendak mengelus kepalaku tertahan di udara saat aku bergerak cepat, beringsut menjauhinya. Apa maunya membawaku ke tempat seperti ini? tanyaku sembari menatap penuh waspada seringai kejam di wajah Arthur.Dia sangat berbed
Author’s pov....Mata heterochormia dilapisi lensa kontak lunak itu menatap tajam bagian samping gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada tiga lantai, masing – masing memiliki penjagaan ketat. Bentuknya juga seperti labirin dengan jalur berliku – liku dan beberapa jalan dibuat buntu. Bagi seseorang yang awam, mungkin akan tersesat di tempat itu.Sebelum masuk, Axe harus memastikan penjaga di pintu depan sedang lengah agar dia bisa melakukan serangan dari belakang. Kakinya melangkah pelan. Menyembulkan kepala sedikit, mencari waktu paling tepat untuk mengokang senjata kedap suara di tangan.Belum saatnya. Dua penjaga di sana masih sigap menghisap cerutu dan mengembuskan asapnya ke udara. Axe akan menunggu salah satu dari mereka masuk, untuk menyerang yang lainnya. Dia tidak ingin menimbulkan kehebohan di bagian luar. Menyerang satu per satu adalah pilihan tepat.Selama kegiatan aksi belum dimulai. Seharusnya
Pandanganku lurus, menatap tanpa arti beberapa orang berbentuk tim—sedang berpencar ke berbagai hancurnya sisi gedung. Hampir dua jam, mereka belum juga menemukan keberadaan Axe. Tidak tahu mereka mencari sampai ke seluruh reruntuhan atau tidak. Sementara malam sudah semakin larut, akan sulit melakukan pencarian.Sempat ada beberapa hal yang membuat tim berdebat, salah satunya tangan yang kutemukan. Sebagian besar dari mereka beropini bahwa sisa dari tubuh Axe hancur tercerai berai, sulit untuk diidentifikasi. Tapi yang lain, terutama aku, masih percaya adanya potongan tubuh Axe karena ledakan itu.Sebenarnya mereka menemukan dua atau tiga kerangka kaki, milik orang lain. Kata Hema, ada beberapa pengawal Paman Danial yang berada di lantai tiga sedang menikmati pesta. Kemungkinan kerangka itu milik mereka.“Kita tidak menemukan apa pun di sini.”Tim dari kubu A berteriak, mungkin lelah—bekerja untuk sesuatu bersifat sia – sia. Seperti