“Axe.”
Aku kembali mengetuk pintu kamarnya. Sejak insiden di dapur tadi, pria itu sama sekali tidak keluar kamar. Dia sungguh seperti gadis perawan yang sedang marah karena permintaannya tidak dituruti. Bahkan sudah dua kali aku berdiri di depan pintu kamarnya dan dia sama sekali tidak berniat membukakan pintu untukku.Sebenarnya bisa saja aku menekan knop pintu untuk memastikan keadaannya, ntah pintunya terkunci atau tidak. Cuma kalimat terakhir darinya waktu kami berada di roof top masih terngiang – ngiang. Aku tidak boleh lancang, statusku di matanya hanya seorang penghangat ranjang.“Axe.”Masih belum ada jawaban. Oh, ayolah. Sekarang sudah hampir jam tujuh malam. Apa Axe ingin melewatkan makan malam dan tak ingin meminum obatnya?“Aku akan masuk kalau kau tidak mau membukakan pintu untukku,” ancamku meski tak ada balasan sama sekali.Apa yang Axe lakukan di dalam hingga tak meresponku?Tak mau me“Cepat sadar,” bisikku di samping telinganya. Hampir satu jam dan Axe belum juga membuka matanya. Dia begitu betah di alam bawah sadar, seakan kehidupan di sana jauh lebih menyenangkan daripada kembali ke sini memberikan sapaan selamat malam padaku.Apa Axe tidak tahu aku mengkhawatirkan dirinya. Setidaknya dia membuka mata dan membiarkanku bernapas dengan lega. Itu saja. Aku hanya butuh itu untuk menembus rasa bersalahku padanya.“Kau tidak merindukanku, Axe?” tanyaku meski belum ada jawaban darinya.Aku menarik napas lalu memeluk tubuhnya erat. Kueku yang gagal kembang sudah menantinya meski tak mungkin bisa dimakan, rasanya pasti aneh. Ya. Sebentar lagi hari esok akan tiba. Apa lagi yang Axe tunggu? Dia pingsan sekitar jam delapan malam, sedangkan sekarang waktu nyaris menunjuk ke angka sembilan. Dia tidak ingin mendengar ucapan selamat ulang tahun dariku, begitu?Aku menggeleng tak terima terhadap pikiranku. Cepat – cepat aku merangkak meraih wajahnya. Memberi kecupa
“Kenapa kau tiba – tiba memintaku membereskan pakaian?” tanyaku sembari menarik koper masuk ke dalam mobil.Axe aneh. Setengah jam yang lalu dia membangunkanku dan memberikan koper berukuran sedang, tak lupa memintaku menyiapkan beberapa pakaian. Kemudian sekarang aku dituntun keluar mansion dengan berbagai pertanyaan di dalam kepala.Apa yang akan Axe lakukan?“Kita akan pergi ke Canada,” jawabnya masih sibuk dengan laptop di atas paha.“Untuk apa?”“Aku sedang membangun sekolah di sana. Meninjau langsung ke lokasi, memastikan sudah berapa persen gedung itu didirikan.”“Aku boleh ikut?”“Tidak. Kau akan langsung ke hotel setelah kita sampai.”“Kenapa?”“Kau tidak boleh ikut. Di situ sangat berbahaya.” Axe menutup laptop kasar, menyampirkan benda persegi itu ke samping lalu menarik tubuhku di atas pangkuannya.“Aku tidak ingin
“Akh!”Axe meringis saat cubitan tak seberapa dariku malayang ke perutnya. Tidak biasanya dia seperti itu. Aku tahu Axe sedang tidak bercanda, sebab di raut wajahnya mengatakan keseriusan. Dia juga tipikal orang yang sanggup menahan rasa sakit fisik. Apa yang terjadi? Jika hanya cubitan dariku, tidak mungkin Axe bereaksi seperti itu.Tidak!Aku rasa aku melewatkan banyak hal di sini. Ada yang tidak beres, pasti ada luka tidak biasa yang bersembunyi di balik kaos hitam polosnya.“Apa yang kau lakukan?” tanyanya waspada melihat tanganku bergerak menyentuh ujung kaosnya.“Aku—“ Kuhentikan sejenak kalimat yang mengambang di tenggorokan. Kutatap matanya dalam – dalam hingga menyadari sesuatu. Aku harus memulai segalanya secara pelan, termasuk mencari tahu apa yang membuatnya meringis seperti itu.“Aku menginginkanmu.”Tanganku bergerak menyentuh rahang tegas miliknya. Mengelusnya pelan ke
Mataku menatap lurus punggung lebar pria yang berdiri di depan kasir, sedang membayar barang belanjaanku yang sedikit banyak itu. Napasku terembus kasar, setelah Axe bercerita kemarin malam. Aku tak lagi bertanya lebih lanjut tentang kecelakaan kerja yang dia katakan. Anggaplah aku menerima segala bentuk alasan yang dia lontarkan, meskipun sebenarnya aku sedikit ragu akan kebenaran yang ada. Tapi aku tak ingin memperpanjang itu semua hanya karena rasa penasaranku. Sudahlah. Lagipula kejujuran tak akan bersembunyi terlalu lama jika yang Axe katakan adalah kebohongan.“Sudah selesai?” tanyaku begitu Axe menghampiriku sambil menenteng barang belanjaan di kedua tangannya.“Ya. Let’s go home.”Kata ‘home’ maksud Axe adalah hotel yang saat ini kami tempati selama di Kanada. Jangan merasa heran, itu memang kebiasaanya menyebut segala bentuk tempat tinggal adalah rumah.“Untuk apa kau membeli mainan anak laki – laki sebanyak ini, Bridgette?” tanya Axe sambil mengangkat barang be
“Oh. Astaga. Jadi pria itu kakakmu, Bridgette?"Aku meringis mendengar nada tak percaya yang Rose lontarkan. Dia tampak syok mengetahui kenyataan itu. Kenyataan bahwa pria yang bersamaku dan begitu lengket bersama Oracle adalah pria yang sudah menghamiliku lima tahun lalu—kakakku sendiri.Tentu saja Rose tahu siapa Axe dan apa status hubungan kami. Dia satu – satunya orang yang kuberitahu saat tak ada siapa pun yang bisa kupercaya di dunia ini. Jangan tanya seperti apa reaksi Rose saat kuceritakan permasalahan hidupku padanya. Dia begitu sakit membayangkan seorang pria seperti Axe benar – benar ada dan secara tidak langsung masuk ke dalam kehidupannya.“Kenapa kau bisa bersamanya, Bridgette?” tanyanya setengah mendesah.“Ceritanya panjang.” Aku menghela napas sejenak. Mungkin sudah takdirku seperti ini, aku bisa apa?“Kau tidak ingin pergi darinya?” bisik Rose hati – hati. Matanya bergerak cep
“Tapi sepertinya tuan sedang tidur, Nona,” lanjutnya sukses membuat langkah kakiku terhenti.“Apa Axe tidur bersama Oracle?”“Ya, Nona,” jawabnya membuatku dan Rose kompak saling melirik.“Buka saja pintunya, Bridgette,” ucap Rose mulai tak sabar.Aku menarik napas dalam – dalam memantapkan hati membuka pintu mobil. Kira – kira seperti apa pose mereka saat sedang tidur bersama? Apa mereka akan terlihat sama miripnya ketika mata mereka terbuka, atau justru sebaliknya?Membayangkan hal itu, perasaan asing tiba – tiba menyergap dadaku. Aku tidak tahu. Haruskah aku sedih atau senang menyadari bahwa Axe dan Oracle begitu mudah akrab. Tapi aku tak bisa bohong kalau di lubuk hatiku paling dalam, terbesit sebuah harapan yang dilambungkan setinggi angkasa.Aku ingin suatu saat nanti bisa jujur pada Oracle siapa aku sebenarnya. Selama ini yang dia ketahui adalah Rose ibunya, bukan aku. Aku juga kasihan padanya, sejak kecil dia tidak pernah merasakan kehadiran seorang a
“Biar aku yang gendong.” Axe menarik paksa tubuh Oracle dari dekapanku, membuat rasa kosong menyelimuti ketika tubuh kecil Oracle sudah berpindah ke tangan ayahnya.Tadinya aku ingin protes, tapi karena kami sedang berjalan di lobi hotel. Aku mengurungkan niatku dan membiarkan Axe melangkah lebih dulu meninggalkanku. Punggung tegap Axe terlihat semakin jauh karena langkah lebarnya tak pernah terjeda.Axe terlihat sedang berburu waktu. Memangnya dia akan ke mana setelah ini? Batinku terus bertanya – tanya.Dengan cepat aku mengejar jejaknya yang kini tampak memasuki kamar hotel. Setiap gerakan yang Axe ciptakan terlihat aneh bagiku, atau itu hanya perasaanku? Aku segera menggeleng lalu mendorong pintu yang nyaris tertutup.Napasku terembus cukup lega melihat Axe sudah memindahkan tubuh kecil Oracle ke atas kasur, tidurnya masih senyenyak saat di mobil. Sama sekali tidak terganggu dari perpindahan satu ke perpindahan lain.“Ada ap
“Jadi aku harus memanggil om apa?” tanya Oracle begitu polosnya saat kami sedang jalan bersisian menuju kamar hotel yang kami tempati.“You can call me daddy.”“Daddy?” tanya Oracle kembali seakan memastikan kebenaran dari perkataan Axe.“Ya,” jawab Axe cepat. Pria itu masih setia menggandeng tangan kecil Oracle sembari menuntunnya melangkah.“Aunty. May I?” Kali ini Oracle beralih padaku. Tatapan penuh harap darinya berhasil memporak – porandakan isi hatiku. Kenapa rasanya sakit sekali melihat Oracle berharap agar bisa memanggil Axe dengan sebutan daddy. Sungguh. Dia membuatku merasa seperti orang jahat karena telah memisahkannya dari ayah kandungnya sendiri.“Aunty, kenapa diam? Apa aku boleh memanggil om ganteng dengan sebutan daddy?”Aku tersenyum kecil dan mengangguk sebagai jawaban. Tak ada yang bisa kukatakan selain hanya mengiyakan. Aku segera menghapus air mata yang n
Hai, Kak. Selamat pagi. Mohon maaf setelan catatan penulis ini bukan update chapter Brother Luck(not) ya. Aku mau kasih tahu kalau sekuel sudah bisa dibaca lewat aplikasi Goodnovel. Yuk, mampir dan bantu aku dengan vote dan komen kalian😇 Boleh berikan review kalau suka ya. Kalian masih bisa ketemu Axelle🤭 But, he's not a main character anymore ya. Udah diganti Om T😅 Di sana para karakter penuh dengan misteri. Aku sudah up empat chapter. Kuy, merapat💃💃💃 migrain bareng aku lagi😁 besok aku akan double update juga. Berikan dukungan kalian buat Rose dan T😁 Btw, ada bab yang tidak ada di sini aku jelaskan di sana. Sebelumnya terima kasih banyak, sudah baca dan support karya pertamaku di sini. I love you guys❤❤❤
Several months later... Aku dengan tangan terinfus menatap Axe, di sampinnya terdapat Oracle, sedang berjalan menghampiriku. Dia membawa seorang bayi di dalam dekapan. Kepalanya terus menunduk memperhatikan wajah anak perempuan kami tanpa henti. Senyum sempurna melengkapi kebahagiaan Axe. Usahanya melayaniku saat sedang mengidamkan sesuatu berbuah manis, dia akhirnya dipertemukan secara langsung bersama anaknya.Aku ingat pernah memaksa Axe membuatkanku roti canai, makanan khas Asia, dengan tangannnya sendiri. Axe bisa memasak, tidak tahu dengan makanan sejenis itu, tapi subuh – subuh buta aku tetap mendorongnya bangun untuk menjadi koki dadakan demi keinginan anaknya.Butuh perjuangan membangunkan Axe saat dia sedang lelah – lelahnya setelah menyentuhku tanpa henti. Salahnya sendiri tidak pernah puas. Aku mana tahu kalau anaknya tiba – tiba menginginkan sesuatu.Meski dengan terpaksa, Axe tetap menjalankan kewajibannya. Waktu itu, dengan mata setengah terbuka
Aku menatap cincin yang tersemat kembali di tanganku dengan senyum haru dan bahagia. Janji suci atas nama Axe sudah kuucapkan. Tersisa satu lagi, tapi Axe tak kunjung melakukannya. Dia hanya menatapku dengan mata berbinar bahagia, seperti seorang idiot yang mendadak menjadi seorang jutawan.Dia mau tunggu apa lagi?Sampai aku memulai lebih dulu? Yang benar saja!“Kau membuat semua orang menunggumu terlalu lama,” kataku pelan dan nyaris berbisik.“Yakin?” tanya Axe memastikan. Dia mengangkat sebelah alis menatapku curiga. “Mereka atau kau yang sebenarnya sudah tidak sabar?” lanjutnya lagi dengan senyum menggoda.“Terserah kau saja, Axe.”Aku langsung berpaling menatap wajah – wajah di sana. Orang – orang penting di hidupku berkumpul dalam satu frame. Ada Oracle, mom, dad, ayah dan ibu mertuaku, serta Rose yang begitu cantik dengan balutan dress hitam. Di sampingnya ada Theo yang selalu menguntit ke mana pun Rose pergi. Aku rasa pertanyaan Axe waktu itu sangat
Kau tahu ada apa dengan gugurnya bunga mawar? Karena saat pertama kali mekar, dia terlalu indah. -Theodore Witson. -------------------------------- “Rose, sekali lagi terima kasih. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku tanpa bantunmu.” Kupeluk erat – erat tubuh wanita cantik, yang saat ini membalas kehangatan dariku.“Sama – sama,” bisik Rose sembari mengusap naik turun pundakku pelan.“Harus dengan cara apa aku membayar semua kebaikanmu selama ini?”Aku tak tahan lagi sampai yakin suaraku terdengar getir. Tidak tega rasanya mengambil Oracle dari Rose. Tapi harus bagaimana? Jika aku membiarkan Oracle bersama Rose, anak itu akan kehilangan figur keluarga lengkap. Axe pasti tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia sudah terpisah dari Oracle sejak Oracle sendiri masih dalam kandungan, mana mungkin pria itu mau merelakan Oracle. Dan kalau harus jujur, aku juga menginginkan Oracle. Meski rasa bersalah pada Rose akan jauh lebih be
“Sudah siap?” Aku menoleh ke samping mendengar pertanyaan Axe.Dari bandara Kanada, kami langsung melaju menuju apartement Rose. Saat ini aku dan Axe masih berada di dalam mobil yang terparkir di basement.Dia bertanya apakah aku sudah siap ... jawabanku tidak. Aku tidak sanggup harus menerima penolakan Oracle, saat dia melihatku ada di hadapannya. Seperti kata Axe waktu itu, dia akan mengajakku menjemput Oracle setelah semuanya selesai.Ya, semua telah selesai terhitung sudah tiga minggu berlalu pembalasan dendam Axe.Paman Danial akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum seberat – beratnya selama 35 tahun penjara. Perlindungan dari perdana mentri atas dirinya tidak berlaku, karena bukti – bukti sudah di depan mata. Terlebih Paman Danial semakin diberatkan oleh kehadiran para tawanan yang Axe bebaskan sebagai saksi di pengadilan.Waktu itu, persidangan berlangsung selama kurang lebih dua minggu. Tidak ada penyangkalan dan uji banding membuat semuanya
“Awas, Axe!”Dor!Aku memeluk Axe seerat mungkin, menjadikan tubuhku sebagai tameng untuknya. Dia pernah membiarkan peluru menggigit tubuhnya karena kesalahanku. Sekarang aku ingin melakukan hal yang sama, mengorbankan diri untuk orang yang kucintai.Bunyi tembakan memberi jeda untukku bernapas. Seharusnya aku sudah merasakan panas yang menjalar oleh peluru itu. Tapi sampai saat ini semua masih terasa aman. Aku tidak mengerti, tubuhku baik – baik saja tanpa alasan.“Lain kali jangan lakukan hal ini. Jangan melindungiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak cepat?”Tubuhku dilepas paksa dan baru kusadari senjata Axe mengeluarkan asap saat dia menurunkan tangannya.Apa yang telah kulewatkan?Cepat – cepat aku berbalik. Sedikit tak percaya mendapati Arthur tergeletak di lantai dengan mata terbuka dan peluru yang menancap tepat di dahinya.“Aku tidak ingin membunuh. Tapi membiarkan dirimu ditembak adalah kesalahan palin
Sebuah belaian terasa kasar, menarik kembali jiwa yang sempat hilang dari tubuh. Aku mengerjap, membuka mata secara perlahan. Tempat yang seharusnya berupa alam bebas tergantikan oleh tembok – tembok bercak putih. Aku seperti berada di sebuah kamar dengan langit – langit dihias lampu kuning.Satu pertanyaan menyentak isi kepala. Siapa yang membawaku ke sini?“Akhirnya kau sadar.”Suara serak itu menarik perhatianku menatap ke samping.Dia...Kenapa aku bisa bersamanya?“Kau semakin cantik dan berisi. Aku sangat suka.”Nada puas terdengar dari suara serak seorang pria yang pernah kutemui beberapa kali. Bahkan waktu itu nyaris menjadi suamiku, Arthur.“Kau kaget melihatku. Kenapa. Takut?”Arthur terkekeh. Tangan yang terulur hendak mengelus kepalaku tertahan di udara saat aku bergerak cepat, beringsut menjauhinya. Apa maunya membawaku ke tempat seperti ini? tanyaku sembari menatap penuh waspada seringai kejam di wajah Arthur.Dia sangat berbed
Author’s pov....Mata heterochormia dilapisi lensa kontak lunak itu menatap tajam bagian samping gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada tiga lantai, masing – masing memiliki penjagaan ketat. Bentuknya juga seperti labirin dengan jalur berliku – liku dan beberapa jalan dibuat buntu. Bagi seseorang yang awam, mungkin akan tersesat di tempat itu.Sebelum masuk, Axe harus memastikan penjaga di pintu depan sedang lengah agar dia bisa melakukan serangan dari belakang. Kakinya melangkah pelan. Menyembulkan kepala sedikit, mencari waktu paling tepat untuk mengokang senjata kedap suara di tangan.Belum saatnya. Dua penjaga di sana masih sigap menghisap cerutu dan mengembuskan asapnya ke udara. Axe akan menunggu salah satu dari mereka masuk, untuk menyerang yang lainnya. Dia tidak ingin menimbulkan kehebohan di bagian luar. Menyerang satu per satu adalah pilihan tepat.Selama kegiatan aksi belum dimulai. Seharusnya
Pandanganku lurus, menatap tanpa arti beberapa orang berbentuk tim—sedang berpencar ke berbagai hancurnya sisi gedung. Hampir dua jam, mereka belum juga menemukan keberadaan Axe. Tidak tahu mereka mencari sampai ke seluruh reruntuhan atau tidak. Sementara malam sudah semakin larut, akan sulit melakukan pencarian.Sempat ada beberapa hal yang membuat tim berdebat, salah satunya tangan yang kutemukan. Sebagian besar dari mereka beropini bahwa sisa dari tubuh Axe hancur tercerai berai, sulit untuk diidentifikasi. Tapi yang lain, terutama aku, masih percaya adanya potongan tubuh Axe karena ledakan itu.Sebenarnya mereka menemukan dua atau tiga kerangka kaki, milik orang lain. Kata Hema, ada beberapa pengawal Paman Danial yang berada di lantai tiga sedang menikmati pesta. Kemungkinan kerangka itu milik mereka.“Kita tidak menemukan apa pun di sini.”Tim dari kubu A berteriak, mungkin lelah—bekerja untuk sesuatu bersifat sia – sia. Seperti