Rasa cemas dan khawatir terus menghantui Yandi, namun ia tak boleh terlihat mencurigakan. Ia terus saja berusaha menutupi semua perasaannya. Ia juga memastikan bahwa raut wajahnya tak terlihat aneh. “Ingat, harus biasa aja. Mereka pasti bisa handle semuanya.” Yandi juga merasa khawatir, karena teman-temannya ikut terlibat maslah dengan mamanya. Ia takut jika terjadi sesuatu yang buruk pada mereka. “Semoga aja mama gak tahu. Dan semoga mereka baik-baik aja.” Dalam hatinya Yandi terus berdoa. Ia memohon agar teman-temannya tak ada lagi yang terluka.Yandi terus melanjutkan semua aktivitasnya selama di kampus, dengan pengawasan dari para pria suruhan Yena. Ia terus bersikap malas selama berada di kampus seperti biasanya. Yandi yang terlihat tak membuat hal-hal lain selain kebiasaannya yang malas mengikuti perkuliahan, membuat para pria itu merasa bosan terus memantaunya. Rasa bosan itu membuat para pria itu sesekali membuang padangan mereka pada hal-hal lain.Melihat pria-pria yang men
Kedua mata Reina sudah terpejam. Gadis itu pun sudah tertidur lelap selama beberapa saat. Namun, ia seketika tersadar karena mimpi buruk yang menghantuinya. Mimpi yang mengingatkan semua kejadian-kejadian buruk yang terus menimpanya akhir-akhir ini.Mata Reina yang tadinya terpejamkan langsung terbuka lebar. Nafasnya pun menjadi tak teratur. “Hos... hos... hos...” Kengerian menyelimuti tubuhnya membuat dirinya merasa ketakutan. “Tenang, tenang. Itu cuman mimpi dan itu udah lewat,” gumam Reina menenangkan dirinya.Reina melirik ke arah teman-temannya, dilihatnya mereka masih terjaga. Doni, Rino, Andi dan Agus terlihat seperti sedang menjaganya dari sesuatu. “Iya, ada mereka. Pasti semuanya baik-baik, aja. Gak bakal ada kejadian kayak waktu itu.” Berada di dalam ruang rawat membuat Reina menjadi ketakutan. Ia menjadi traumanya semenjak kejadian itu.*(* eps. New Game Has Started)Hadirnya Rino, Doni, Andi dan Agus membuat Reina merasa lebih tenang. Kehadiran mereka juga membuat ia mampu
Hari demi hari terus berganti, tetapi Reina masih saja terbaring di rumah sakit. Kondisi Reina kini juga terus membaik. Luka-luka di tubuhnya pun sudah mulai membaik sedikit demi sedikit.Kondisi Reina yang terus membaik pun membuat teman-temannya dan Vian merasa senang. Selama ia dirawat di rumah sakit, ia tak pernah ditinggal sendirian lagi semenjak Doni, Rino, Agus dan Andi datang menjenguknya. Keempat pria itu akan selalu bergantian menjaganya dan tak membiarkan gadis itu sendiri.Doni, Rino, Andi dan Agus juga memberitahukan pada Vian agar tak sekali-kali meninggalkan Reina sendirian. Jika saat ia hanya sendirian dan ingin pergi ke mana saja, ia harus menghubungi mereka agar gadis itu tak sendirian. Namun, keempat pria itu belum memberitahu apa alasan dari semua itu. Tetapi Vian tetap melakukan seperti yang dikatakan teman-teman Reina.Setelah sekian lama terbaring di rumah sakit, akhirnya Reina diizinkan untuk pulang. Gadis itu diizinkan pulang dengan catatan untuk terus kembali
Sebuah kamar megah yang dilengkapi dengan banyak benda yang tak ia miliki di kamarnya, dan juga kasur yang sangat besar. Kamar megah itu kini menjadi milik Reina untuk sementara waktu.Reina berjalan perlahan-lahan mengelilingi kamar megah itu. Ia sangat tercengang dengan kamar megah yang akan ditempatinya. “Gue tahu kalau kamar Rein itu emang segede ini. Tapi... gue masih gak nyangka aja nih segede ini.”“Tapi... apa gue bileh tinggal di sini,” ucap Reina murung. Ia teringat kembali bagaimana sikap Rein begitu melihat dirinya, dan saat Vian mengatakan bahwa ia akan tinggal bersama mereka. “Ha... ternyata dia masih benci sama gue. Mau gimana lagi, emang salah gue.”“Gue harus terima kapan pun kalau Rein ngusir gue. Karena bagaimana pun juga ini rumah dia, jadi terserah dia.” Mau tak mau Reina harus siap kapan pun itu, jika Rein tak ingin melihat ia berada di rumah ini. Gadis itu tahu ia hanya menumpang, dan ia juga tahu bahwa kehadirannya sangat tidak diinginkan Rein.“Udahlah, mendin
Hari itu adalah hari yang sangat mengejutkan bagi Vian dan juga hari yang sangat ia nanti-nantikan. Ia tak menyangka jika ia bisa bertemu dengan putrinya yang sudah lama dicarinya. Memang ia saat ini berada sangat dekat dengannya, namun ia baru saja mengetahui fakta itu.Vian merasa sangat bahagia, ia tak menyangka akan mengetahui keberadaan putrinya dengan situasi yang tak terduga. “Terima kasih, Tuhan. Ternyata selama ini aku sudah diberikan kesempatan berada di dekat anakku.” Dalam hatinya Vian sangat merasa bersyukur, atas kesempatan yang ia dapatkan. Ia sudah diberikan kesempatan untuk bertemu bahkan merawat gadis itu, yang ternyata adalah putrinya sendiri.“Reina, maafin ayah kamu. Andai saja ayah sama bunda kamu gak pisah, pasti semua ini akan terjadi. Kamu gak bakal kenapa-napa dan kamu juga gak bakal merasa sedih karena sudah tak memiliki sosok ayah lagi,” batin Vian.“Maaf, ayah ini bukan ayah yang baik buat kamu.” Vian memang merasa sangat bahagia sat mengetahui bahwa Reina
Brak!Rein memukul meja makan seraya bangkit dari duduknya. “Papi kenapa jadi belain dia terus, sih?! Aku ini yang anak papi, bukan dia!” teriak Rein.“Rein, ini bukan masalah anak papi atau bukan—“ Rasa kesal membuat gadis itu tak ingin mendengarkan perkataan papinya lagi. “Udahlah, pi. Bilang aja kalau papi tuh emang lebih belain dia, kan! Papi tuh gak sayang sama aku lagi, makanya belain dia terus.” Rein segera berlari meninggalkan meja makan. Ia sangat kesal dengan semua perkataan Vian.“Pi, papi apa-apaan, sih? Tuh, lihat anak kita jadi sedih, kan,” ujar Nia.“Mami... papi dari tadi ngomong baik-baik, papi juga gak ada maksud buat bikin anak kita sedih. Lagi pula apa salahnya Reina tinggal sama kita? Kan bagus, mereka juga bisa sekaligus selesaian masalah mereka,” jelas Vian.“Pi, mami tetap gak terima, ya. Mami gak mau lihat anak ini tinggal di sini, karena mami gak suka anak mami satu-satunya sedih,” ucap Nia tegas.“Gak. Papi gak setuju. Kalau kayak begitu caranya, kapan anak
Teriakan Rein terdengar hingga ke segala penjuru rumah. Teriakan gadis itu membuat Reina merasa sangat bersalah. Tapi, ia bingung harus berbuat apa. Ia ingin meninggalkan rumah itu, namun Vian terus tak mengizinkannya. Teriakan Rein yang terdengar pun membuat Nia merasa sangat kesal. Ia yang tadinya berada di kamarnya, segera bergegas menuju kamar anaknya. “Papi! Papi apa-apaan, sih?!” ujar Nia geram.“Papi kenapa maksain anak kita terus, sih? Kenapa segitunya papi belain dia?!” tanya Nia geram. Vian menarik nafas dan menghembuskannya. Ia menahan emosinya dan berusaha bersabar. “Mami, papi ini gak belain siapa pun. Papi cuman mau anak kita jangan jadi anak yang pendendam dan ngebenci temannya sendiri. Papi juga mau bantuin Reina. Bagian mana yang salah, mi?” jelas Vian.“Bagian mana yang salah? Ya semuanya lah! Masih aja papi tanya,” ucap Nia tak terima dengan perkataan suaminya. “Jelas-jelas papi tuh maksain banget supaya anak itu tinggal di sini. Papi sengaja kan bela-belain ngebuj
Malam itu Reina baru saja mendengar sesuatu yang tak pernah ia sangka-sangka. Gadis itu merasa sangat terkejut, ketika ia mengetahui bahwa Vian adalah ayahnya yang selama ini dianggap sudah tiada.Air mata Reina perlahan mulai berjatuhan, hingga membanjiri pipinya. Ia tak tahu harus merasa apa. Apakah ia harus bahagia? Apakah ia harus sedih? Gadis itu merasa sangat bingung. Ia masih belum bisa mencerna semuanya dengan baik.Hingga kini Reina masih berada di depan pintu kamar Vian dan Nia. Ia masih berdiri mematung dan terus mendengarkan semua pertengkaran mereka. “Papi... jadi selama ini papi masih nyariin Ami?!” tanya Nia tak habis pikir. “Iya dong, mi. Tentu aja papi nyariin mereka. Karena gimana pun juga, mereka itu keluarga aku,” jawab Vian membuat sang istri geram. “Gak! Mereka bukan keluarga kamu lagi. Kalian itu udah pisah! Dia bukan istri kamu lagi,” ujar Nia.“Aku tahu, tapi aku gak pernah setuju dengan semua itu. Semuanya terjadi bukan karena kemauan aku, termasuk nikah sa
Kehidupan adalah suatu anugerah dari Tuhan. Kehidupan juga merupakan rahasia. Dalam kehidupan ini tentunya banyak hal-hal yang terjadi di luar dugaan, yang terkadang menghasilkan tawa tetapi dapat juga menghasilkan air mata.Setiap detik, setiap menit dan setiap jam dalam kehidupan ini selalu dipenuhi rahasia. Sebagai manusia kita pastinya tak akan tahu apa yang bisa terjadi beberapa waktu ke depan. Terkadang apa yang kita duga memang terjadi, tetapi sering juga terjadi hal yang tak pernah kita duga.Setelah menjalani kehidupan tanpa kedua orang tuanya, kini Yandi bersama dua saudaranya tak pernah kehilangan senyum lagi. Mereka pun selalu menikmati waktu berkumpul di meja makan.Yani, Yandi dan Yeri selalu memiliki waktu untuk satu sama lain, meski mereka pun sibuk dengan pekerjaan atau pun pendidikan mereka. Suasana rumah Yandi yang dulunya terasa suram, kini terasa lebih cerah. Selalu ada tawa dan kebahagiaan. Tak hanya ada tangis melulu, atau tekanan melulu. Ketiga bersaudara itu
Kehidupan memang selalu diisi oleh berbagai hal. Kadang yang mengisi kehidupan adalah hal-hal yang sudah kita duga. Tapi terkadang juga diisi dengan hal-hal yang tak pernah diduga. Hari-hari Ami dan Vian kini dijalani dengan penuh air mata. Keduanya kini resmi memilih untuk tak berjalan bersama lagi. Ami dan Vian telah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing. Namun mereka masih tetap mengurus Reina sebagai anak bersama-sama. Hanya saja, baik Vian maupun Ami saling membatasi diri. Setelah berhenti menjadi asisten rumah tangga Yandi dan keluarganya, kini Ami mulai membuka usaha kecil-kecil dari uang yang kerja kerasnya selama ini. Yani sendiri memberikan uang dalam jumlah yang cukup fantastis kepada Ami. Gasia itu memberikan Ami uang sebagai gaji terakhirnya dan juga sebagai ganti rugi atas perbuatan Yena. Uang yang diberikan Yani pada wanita itu adalah uang milik kedua orang tuanya. Ami kini telah membeli sebuah gerobak yang akan digunakannya untuk berjualan. Ia membeli gerob
Keputusan Ami untuk membiarkan Reina tetap berhubungan dengan Ayahnya adalah sebuah keputusan besar. Namun ia sadar, bahwa putrinya tak akan pernah bahagia jika ia terus melarangnya. Ia pun sadar bahwa Reina tak akan tinggal diam saja, jika ia terus melarangnya. Sehingga ia merasa apa pun larangan yang ia beri, itu tak akan membuat putrinya berhenti menemui ayahnya.Keputusan Ami untuk tetap membiarkan Vian berhubungan dengan putrinya lagi, membuat Vian merasa senang. Namun, di sisi lain ia pun merasa sedih. Saat memeluk Reina, Vian menyadari bahwa ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu. Ia sebenarnya tak hanya ingin membuat Ami menghilangkan larangannya itu. Sebenarnya Vian dan Ami menginginkan hal yang sama. Jauh di dalam lubuk hati mereka, ada suatu keinginan yang tertahan sejak lama dan kini harus dikubur mereka sedalam-dalam.Tak hanya Ami, Vian pun sangat ingin rumah tangga mereka telah hancur dulu, bisa kembali lagi. Namun, itu semua susah tak mungkin lagi. Sejak Vian
“Reina! Keluar lo, gue belum selesai ngomong!” teriak Rein gigih. Meski Reina sudah meninggalkan, namun ia tak menyerah. Reina pun kembali menemuinya. “Ada apaan lagi?” tanya Reina.“Gue mau tahu, ya. Lo harus jauh-jauh dati papi gue!” ujar Rein sembari menunjuk Reina.Reina memutar bola matanya dan menggeleng pelan kepalanya. “Lo paham kata-kata gue tadi?!” tanya Reina geram. “Gue rasa udah jelas, ya. Jadi gak perlu ulangin lagi.”“Gak! Gue gak terima, gue gak mau dan gak sudi lo ngerrbut semua milik gue!” balas Reina.“Gue gak pernah rebut milik lo, ya! Mau Yandi atau pun papi, lo gue kan udah bilang, gue udah bilang kalau gue gak ngerebut mereka,” jelas Reina. “Lagian om Vian bukan cuma papi lo, doang! Jadi lo gak bisa ngelarang gue!” tegas Reina.“Gue gak mau hidup gue hancur karena lo!” teriak Rein.“Gue gak pernah ngehancurin hidup lo, ya! Harusnya gue yang marah-marah ke lo dan lo, karena mami itu udah hancurin hidup gue!” balas Reina. “Asal lo tahu, gara-gara mami lo, gue jad
Hidup Rein sebagai anak tunggal dan satu-satunya anak kesayangan Vian hancur begitu saja dalam waktu singkat. Hidupnya terasa begitu gelap semenjak mengetahui semua kebenaran tentang kedua orang tuanya.Sejak saat itu, Rein hanya mengurung dirinya di kamar. Ia bahkan tak makan maupun minum sama sekali. Kondisi tubuhnya pun semakin melemah.Suasana rumah itu pun menjadi sangat gelap. Semenjak semuanya terbongkar, tak ada lagi percakapan yang terjadi, selain pertengkaran Nia dan Vian.Nia terus saja meminta Vian untuk tak kembali kepada Ami. Sesekali ia juga memaksa Vian untuk tak menemui Reina. Namun Vian tetap menolak semua permintaan sang istri.Semua pertengkaran itu selalu saja didengar oleh Rein. Pertengkaran itu membuatnya tak ingin menginjakkan kakinya di tempat lain, selain kamarnya. Ia yang selalu berada di dalam kamarnya pun membuat Vian khawatir. Vian selalu mendatangi kamarnya, namun gadis itu selalu mengusir Vian. Hal yang sama pun terjadi pada Nia. Rein sangat marah besa
Suasana yang canggung kini telah pergi dan diganti dengan suasana sedih. Air mata Reina banjir malam itu. Gadis itu hanya bersandar pada Yandi dan terus meneteskan air matanya.Yandi tak tahan melihat Reina terus-terusan meneteskan air matanya. Ia berusaha memikirkan sebuah cara. Namun, ia pun tak bisa menemukan cara yang tepat.Permasalahan dalam keluarga adalah permasalahan yang sering dialaminya. Namun, ia bukanlah orang yang suka mencari jalan keluar. Ia adalah orang yang sering membantah dan melawan. Sehingga sulit baginya untuk membantu Reina menemukan jalan keluar untuk masalahnya.“Eh... sorry, sorry. Gue malah nangis gak jelas lagi,” ucap Reina segera menghapus air matanya. “Gak papa kali. Gak perlu minta. Gue malah senang kalau lo mau cerita,” ucap Yandi lembut.“Eh... tapi kayaknya lo gak bisa di sini lama-lama, deh. Soalnya ini udah mau jam sepuluh,” ucap Yandi merasa tak enak hati. Tanpa sadar mereka menghabiskan cukup banyak waktu dan kini waktu hampir menunjukkan pukul
Kaki Reina terus melangkah menjauhi rumahnya. Semakin lama, semakin jauh ia melangkah. Namun, gadis itu bahkan tak tahu ia harus terus melangkahkan kakinya ke mana. Reina terus berjalan tanpa henti. Tubuh serasa lesu. Tenaganya habis terkuras setelah banyak meneteskan air mata. Pikirannya pun menjadi sangat kacau.Tit.... Tit....“Ha?” Reina terkejut dengan suara klakson mobil yang begitu dekat dengannya. “Reina, lo—lo habis kenapa?” tanya Andi khawatir setelah melihat mata Reina yang sembab. “Gak papa, kok,” jawab Reina dengan suaranya yang serak.“Tuh... tuh... suara lo serak kayak gitu, masih aja bilang gak papa.” Perkataan Reina tak mencerminkan keadaannya yang terlihat jelas tak baik-baik saja. “Lagian lo mau ke mana, sih?” tanya Andi.“Gak tahu,” jawab Reina. Andi pun merasa aneh dengan jawaban gadis itu. Namun satu hal yang biasa ia pastikan, bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. “Ya udah. Kalau gitu, mendingan lo naik, deh. Entar gue antarin lo ke mana, aja,” ujar And
“Reina...” teriak Ami, namun putrinya tak menghiraukannyaHari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Ami, karena hari ini ia bisa segara menjemput putrinya. Ia pun bisa kembali berkumpul bersama putrinya tanpa harus berpisah lagi. Hari ini, Ami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Ia memilih berhenti agar ia bisa mengurus putrinya yang sedang sakit. Meski Yani dan Yeri tak setuju, namun mereka tak bisa menahan Ami. Mereka pun harus melepaskan Ami, agar ia bisa merawat putrinya. Selain itu, mereka saat ini mulai mengalami masalah keuangan. Melepaskan Ami di kondisi sekarang adalah salah satu pilihan untuk mengurangi pengeluaran. Semenjak kedua orang tua mereka berada di tahanan, pekerjaan mereka pun tak ada yang mengurusnya. Baik Yani maupun Yandi, keduanya sama-sama tak berminat melanjutkan pekerjaan orang tua mereka. Belum lagi, mereka harus membayar tagihan rumah sakit Yandi.Yani adalah satu-satunya anggota keluarga yang susah bekerja selain kedua orang tuanya. Yand
Semua teka-teki dari beribu pertanyaan di kepala Reina kini telah terpecahkan. Namun, ia tak menyangka jika semuanya sangat menyakitkan. Rasa sakit itu bukan hanya semata-mata karena kebohongan Ami. Semenjak mendengar pertengkaran Vian dan Nia, Reina sudah tahu bahwa selama ini Ami telah membohongi dirinya tentang ayahnya yang susah meninggal.Reina memang merasa kecewa dan sedih. Namun, setelah ia mendengar perdebatan bundanya dan Vian, ia merasa sangat sakit hati dengan sikap bundanya. Reina yang terlanjur sakit hati pun memilih untuk menjauh dari Vian dan Ami. Ia berlari sekuat mungkin menjauhi mereka, tanpa tahu ke mana ia harus terus berlari.Kaki Reina terus melangkah dan melangkah, dan tanpa sadar ia berlari menuju tempat yang tak asing. Ya, tempat itu adalah tempat yang sering dikunjunginya. Tanpa sadar, Reina terus melangkahkan kakinya menuju tempat pemakaman umum. Suatu tempat yang sering ia kunjungi, ketika ia merindukan sosok seorang ayah.“Ayah?” Tubuh Reina terasa lem