Brak!Rein memukul meja makan seraya bangkit dari duduknya. “Papi kenapa jadi belain dia terus, sih?! Aku ini yang anak papi, bukan dia!” teriak Rein.“Rein, ini bukan masalah anak papi atau bukan—“ Rasa kesal membuat gadis itu tak ingin mendengarkan perkataan papinya lagi. “Udahlah, pi. Bilang aja kalau papi tuh emang lebih belain dia, kan! Papi tuh gak sayang sama aku lagi, makanya belain dia terus.” Rein segera berlari meninggalkan meja makan. Ia sangat kesal dengan semua perkataan Vian.“Pi, papi apa-apaan, sih? Tuh, lihat anak kita jadi sedih, kan,” ujar Nia.“Mami... papi dari tadi ngomong baik-baik, papi juga gak ada maksud buat bikin anak kita sedih. Lagi pula apa salahnya Reina tinggal sama kita? Kan bagus, mereka juga bisa sekaligus selesaian masalah mereka,” jelas Vian.“Pi, mami tetap gak terima, ya. Mami gak mau lihat anak ini tinggal di sini, karena mami gak suka anak mami satu-satunya sedih,” ucap Nia tegas.“Gak. Papi gak setuju. Kalau kayak begitu caranya, kapan anak
Teriakan Rein terdengar hingga ke segala penjuru rumah. Teriakan gadis itu membuat Reina merasa sangat bersalah. Tapi, ia bingung harus berbuat apa. Ia ingin meninggalkan rumah itu, namun Vian terus tak mengizinkannya. Teriakan Rein yang terdengar pun membuat Nia merasa sangat kesal. Ia yang tadinya berada di kamarnya, segera bergegas menuju kamar anaknya. “Papi! Papi apa-apaan, sih?!” ujar Nia geram.“Papi kenapa maksain anak kita terus, sih? Kenapa segitunya papi belain dia?!” tanya Nia geram. Vian menarik nafas dan menghembuskannya. Ia menahan emosinya dan berusaha bersabar. “Mami, papi ini gak belain siapa pun. Papi cuman mau anak kita jangan jadi anak yang pendendam dan ngebenci temannya sendiri. Papi juga mau bantuin Reina. Bagian mana yang salah, mi?” jelas Vian.“Bagian mana yang salah? Ya semuanya lah! Masih aja papi tanya,” ucap Nia tak terima dengan perkataan suaminya. “Jelas-jelas papi tuh maksain banget supaya anak itu tinggal di sini. Papi sengaja kan bela-belain ngebuj
Malam itu Reina baru saja mendengar sesuatu yang tak pernah ia sangka-sangka. Gadis itu merasa sangat terkejut, ketika ia mengetahui bahwa Vian adalah ayahnya yang selama ini dianggap sudah tiada.Air mata Reina perlahan mulai berjatuhan, hingga membanjiri pipinya. Ia tak tahu harus merasa apa. Apakah ia harus bahagia? Apakah ia harus sedih? Gadis itu merasa sangat bingung. Ia masih belum bisa mencerna semuanya dengan baik.Hingga kini Reina masih berada di depan pintu kamar Vian dan Nia. Ia masih berdiri mematung dan terus mendengarkan semua pertengkaran mereka. “Papi... jadi selama ini papi masih nyariin Ami?!” tanya Nia tak habis pikir. “Iya dong, mi. Tentu aja papi nyariin mereka. Karena gimana pun juga, mereka itu keluarga aku,” jawab Vian membuat sang istri geram. “Gak! Mereka bukan keluarga kamu lagi. Kalian itu udah pisah! Dia bukan istri kamu lagi,” ujar Nia.“Aku tahu, tapi aku gak pernah setuju dengan semua itu. Semuanya terjadi bukan karena kemauan aku, termasuk nikah sa
Malam itu semuanya berakhir kacau balau. Rumah tangga Vian dan Nia kini berada di tengah ombak yang hebat, dan semuanya hanya tinggal menunggu waktu. Sosok yang telah dicari-cari Vian telah ditemukannya. Pria itu kini telah menemui Ami dan Reina. Hanya tinggal menunggu waktu, Vian pasti akan segera kembali kepada Ami, wanita yang dicintainya sejak dulu. Nia kini hanya bisa terduduk lemah di lantai, sambil meratapi nasibnya. Tubuh wanita itu terasa begitu lemah, setelah Vian beranjak pergi meninggalkannya. Nia merasa sangat takut. Wanita itu takut, jika ia harus kehilangan Vian. Kini ia hanya bisa berharap agar sang suami tak memilih untuk pergi meninggalkannya, dan kembali kepada Ami lagi.Sementara itu, Reina masih tak percaya dengan semua yang didengarnya. Gadis itu masih kesulitan mencerna semua yang telah didengarnya. “Bunda, kenapa bunda? Kenapa bunda bilang ayah udah gak ada?”Ada begitu banyak pertanyaan dalam kepala Reina. Gadis itu pun hanya duduk di bawah sinar bulan, sam
Sekujur tubuh Ami terasa lemah. Ia masih tak bisa menyangka dengan semua katak yang keluar dari mulut Yena. “Reina... bunda harusnya jagain kamu dari waktu itu. Maafin bunda, ini salah bunda.” Air mata Ami yang sedari tadi tertahan, kini tertumpahkah semuanya. Wanita itu menangis dalam diam sambil memikirkan putrinya. Hatinya terasa sangat sakit, saat mengetahui semua kronologi dari kejadian yang menimpa putrinya.Ami berpaling meninggalkan pekerjaannya. Ia tak bisa melanjutkan pekerjaannya setelah mendengarkan semua perkataan Yena. Ia berbalik dan segera menuju kamar tidurnya.Tak beberapa lama setelah Ami meninggalkan dapur, Yandi segera menuju dapur secepat mungkin dan mengambil benda-bendanya, dan menyembunyikan ke dalam ranselnya. Setelah mengambil semuanya, ia segera berlari kembali menuju kamarnya dan menguncinya. “Bagus, gue dapat buktinya,” gumam Yandi. “Sekarang aku harus bisa ngehindarin orang-orang mama, and do the next step.” Penjagaan Yandi kali ini tak seketat hari-h
Amarah membakar habis diri Yudi. Ia kembali ke rumahnya dengan api amarah yang membara. “Yandi!” teriak Yudi dari ruang depan. “Yandi yang mendengar teriakan Yudi pun segera berlari menemuinya. “Iya, pa,” jawab Yandi dengan suara yang bergetar.Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Yandi, tanpa sepatah kata apa pun. Yudi tak menjawab pertanyaan Yandi, dan langsung melayangkan tangannya pada Yandi. “Kamu benar-benar jadi anak kurang ajar yang gak tahu diri!” teriak Yudi dan melayangkan satu tamparan lagi pada pipi putranya.“Kamu tahu gak, kalau apa yang kamu perbuat bisa merusak nama keluarga ini! Kamu bakal bikin nama keluarga kita jadi tercoreng!” ujar Yudi dan melayangkan tangannya ke atas pipi Yandi sekali lagi. Emosi yang membara pada Yudi, bukan dikarenakan ia merasa sedih karena istrinya harus mendekam di dalam penjara. Semua emosi yang meluap-luap itu, dikarenakan sebuah gengsi.“Kamu itu udah ngahancurin nama baik keluarga kamu sendiri!” Setiap kali Yidi menyelesaikan
Nia dan Reina kini daling berhadap-hadapan di depan kamar gadis itu. Keduanya saling berdiri berhadapan, dan menatap satu sama lain. “Ehm... tapi tante, gimana dengan om Vian? Aku takut om Vian marah kalau aku keluar dari rumah ini,” ujar Reina beralasan.“Tapi Reina, apa kamu gak kasihan sama anak saya? Apa kamu gak kasihan lihat keadaan rumah tangga aku?” tanya Nia sengaja membuat Reina merasa tak enak hati. Malam ini Nia sudah bertekad untuk mengusir Reina. Apa pun yang terjadi, ia harus menggunakan kesempatan ini sebelum suaminya kembali ke rumah. “Apa kamu setega itu sama keluarga saya? Apa kamu mau ngehancurin keluarga saya?” tanya Nia terus mendesak Reina.Semua perkataan Nia membuat Reina merasa sangat tak enak hati. Ia memang merasa sangat bersalah, karena semenjak kehadirannya kedua suami istri itu selalu saja berdebat, hingga berakhir dengan pertengkaran. Rein pun terus-terusan meminta Vian untuk mengusirnya, hingga membuat Vian memarahinya. Namun, ia masih harus tetap tin
Hari terus berganti dan suasana rumah Vian semakin memburuk. Satu petunjuk pun tak ditemukan Reina lagi, selama ia berada di rumah Vian. Suasana yang semakin memburuk, membuat Reina berencana untuk segera meninggalkan rumah itu.“Udahlah, gak ada petunjuk apa pun juga selama gue tinggal di sini. Malahan suasana rumah ini yang makin gak enak. Gue jadi merasa bersalah sama Rein ama tante Nia,” pikir Reina sembari merapikan tempat tidurnya. Hari ini, seperti biasanya Reina menjenguk Yandi. Ia mulai merapikan kamarnya, dan segera bersiap untuk berangkat ke rumah sakit. “Oke, sebentar pas pulang gue ngomong aja ke om Vian.” Reina berencana memberitahu Vian, bahwa ia akan pulang ke rumahnya hari ini. Namun, ia berencana memberitahu pada Vian, saat ia menjemputnya dari rumah sakit.Setelah selesai bersiap, Reina segera berangkat bersama Vian. Keduanya berangkat, setelah Nia berangkat bekerja dan Rein pergi ke kampus. ***************Setibanya Reina di rumah sakit, Andi, Agus, Doni dan Rin
Kehidupan adalah suatu anugerah dari Tuhan. Kehidupan juga merupakan rahasia. Dalam kehidupan ini tentunya banyak hal-hal yang terjadi di luar dugaan, yang terkadang menghasilkan tawa tetapi dapat juga menghasilkan air mata.Setiap detik, setiap menit dan setiap jam dalam kehidupan ini selalu dipenuhi rahasia. Sebagai manusia kita pastinya tak akan tahu apa yang bisa terjadi beberapa waktu ke depan. Terkadang apa yang kita duga memang terjadi, tetapi sering juga terjadi hal yang tak pernah kita duga.Setelah menjalani kehidupan tanpa kedua orang tuanya, kini Yandi bersama dua saudaranya tak pernah kehilangan senyum lagi. Mereka pun selalu menikmati waktu berkumpul di meja makan.Yani, Yandi dan Yeri selalu memiliki waktu untuk satu sama lain, meski mereka pun sibuk dengan pekerjaan atau pun pendidikan mereka. Suasana rumah Yandi yang dulunya terasa suram, kini terasa lebih cerah. Selalu ada tawa dan kebahagiaan. Tak hanya ada tangis melulu, atau tekanan melulu. Ketiga bersaudara itu
Kehidupan memang selalu diisi oleh berbagai hal. Kadang yang mengisi kehidupan adalah hal-hal yang sudah kita duga. Tapi terkadang juga diisi dengan hal-hal yang tak pernah diduga. Hari-hari Ami dan Vian kini dijalani dengan penuh air mata. Keduanya kini resmi memilih untuk tak berjalan bersama lagi. Ami dan Vian telah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing. Namun mereka masih tetap mengurus Reina sebagai anak bersama-sama. Hanya saja, baik Vian maupun Ami saling membatasi diri. Setelah berhenti menjadi asisten rumah tangga Yandi dan keluarganya, kini Ami mulai membuka usaha kecil-kecil dari uang yang kerja kerasnya selama ini. Yani sendiri memberikan uang dalam jumlah yang cukup fantastis kepada Ami. Gasia itu memberikan Ami uang sebagai gaji terakhirnya dan juga sebagai ganti rugi atas perbuatan Yena. Uang yang diberikan Yani pada wanita itu adalah uang milik kedua orang tuanya. Ami kini telah membeli sebuah gerobak yang akan digunakannya untuk berjualan. Ia membeli gerob
Keputusan Ami untuk membiarkan Reina tetap berhubungan dengan Ayahnya adalah sebuah keputusan besar. Namun ia sadar, bahwa putrinya tak akan pernah bahagia jika ia terus melarangnya. Ia pun sadar bahwa Reina tak akan tinggal diam saja, jika ia terus melarangnya. Sehingga ia merasa apa pun larangan yang ia beri, itu tak akan membuat putrinya berhenti menemui ayahnya.Keputusan Ami untuk tetap membiarkan Vian berhubungan dengan putrinya lagi, membuat Vian merasa senang. Namun, di sisi lain ia pun merasa sedih. Saat memeluk Reina, Vian menyadari bahwa ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu. Ia sebenarnya tak hanya ingin membuat Ami menghilangkan larangannya itu. Sebenarnya Vian dan Ami menginginkan hal yang sama. Jauh di dalam lubuk hati mereka, ada suatu keinginan yang tertahan sejak lama dan kini harus dikubur mereka sedalam-dalam.Tak hanya Ami, Vian pun sangat ingin rumah tangga mereka telah hancur dulu, bisa kembali lagi. Namun, itu semua susah tak mungkin lagi. Sejak Vian
“Reina! Keluar lo, gue belum selesai ngomong!” teriak Rein gigih. Meski Reina sudah meninggalkan, namun ia tak menyerah. Reina pun kembali menemuinya. “Ada apaan lagi?” tanya Reina.“Gue mau tahu, ya. Lo harus jauh-jauh dati papi gue!” ujar Rein sembari menunjuk Reina.Reina memutar bola matanya dan menggeleng pelan kepalanya. “Lo paham kata-kata gue tadi?!” tanya Reina geram. “Gue rasa udah jelas, ya. Jadi gak perlu ulangin lagi.”“Gak! Gue gak terima, gue gak mau dan gak sudi lo ngerrbut semua milik gue!” balas Reina.“Gue gak pernah rebut milik lo, ya! Mau Yandi atau pun papi, lo gue kan udah bilang, gue udah bilang kalau gue gak ngerebut mereka,” jelas Reina. “Lagian om Vian bukan cuma papi lo, doang! Jadi lo gak bisa ngelarang gue!” tegas Reina.“Gue gak mau hidup gue hancur karena lo!” teriak Rein.“Gue gak pernah ngehancurin hidup lo, ya! Harusnya gue yang marah-marah ke lo dan lo, karena mami itu udah hancurin hidup gue!” balas Reina. “Asal lo tahu, gara-gara mami lo, gue jad
Hidup Rein sebagai anak tunggal dan satu-satunya anak kesayangan Vian hancur begitu saja dalam waktu singkat. Hidupnya terasa begitu gelap semenjak mengetahui semua kebenaran tentang kedua orang tuanya.Sejak saat itu, Rein hanya mengurung dirinya di kamar. Ia bahkan tak makan maupun minum sama sekali. Kondisi tubuhnya pun semakin melemah.Suasana rumah itu pun menjadi sangat gelap. Semenjak semuanya terbongkar, tak ada lagi percakapan yang terjadi, selain pertengkaran Nia dan Vian.Nia terus saja meminta Vian untuk tak kembali kepada Ami. Sesekali ia juga memaksa Vian untuk tak menemui Reina. Namun Vian tetap menolak semua permintaan sang istri.Semua pertengkaran itu selalu saja didengar oleh Rein. Pertengkaran itu membuatnya tak ingin menginjakkan kakinya di tempat lain, selain kamarnya. Ia yang selalu berada di dalam kamarnya pun membuat Vian khawatir. Vian selalu mendatangi kamarnya, namun gadis itu selalu mengusir Vian. Hal yang sama pun terjadi pada Nia. Rein sangat marah besa
Suasana yang canggung kini telah pergi dan diganti dengan suasana sedih. Air mata Reina banjir malam itu. Gadis itu hanya bersandar pada Yandi dan terus meneteskan air matanya.Yandi tak tahan melihat Reina terus-terusan meneteskan air matanya. Ia berusaha memikirkan sebuah cara. Namun, ia pun tak bisa menemukan cara yang tepat.Permasalahan dalam keluarga adalah permasalahan yang sering dialaminya. Namun, ia bukanlah orang yang suka mencari jalan keluar. Ia adalah orang yang sering membantah dan melawan. Sehingga sulit baginya untuk membantu Reina menemukan jalan keluar untuk masalahnya.“Eh... sorry, sorry. Gue malah nangis gak jelas lagi,” ucap Reina segera menghapus air matanya. “Gak papa kali. Gak perlu minta. Gue malah senang kalau lo mau cerita,” ucap Yandi lembut.“Eh... tapi kayaknya lo gak bisa di sini lama-lama, deh. Soalnya ini udah mau jam sepuluh,” ucap Yandi merasa tak enak hati. Tanpa sadar mereka menghabiskan cukup banyak waktu dan kini waktu hampir menunjukkan pukul
Kaki Reina terus melangkah menjauhi rumahnya. Semakin lama, semakin jauh ia melangkah. Namun, gadis itu bahkan tak tahu ia harus terus melangkahkan kakinya ke mana. Reina terus berjalan tanpa henti. Tubuh serasa lesu. Tenaganya habis terkuras setelah banyak meneteskan air mata. Pikirannya pun menjadi sangat kacau.Tit.... Tit....“Ha?” Reina terkejut dengan suara klakson mobil yang begitu dekat dengannya. “Reina, lo—lo habis kenapa?” tanya Andi khawatir setelah melihat mata Reina yang sembab. “Gak papa, kok,” jawab Reina dengan suaranya yang serak.“Tuh... tuh... suara lo serak kayak gitu, masih aja bilang gak papa.” Perkataan Reina tak mencerminkan keadaannya yang terlihat jelas tak baik-baik saja. “Lagian lo mau ke mana, sih?” tanya Andi.“Gak tahu,” jawab Reina. Andi pun merasa aneh dengan jawaban gadis itu. Namun satu hal yang biasa ia pastikan, bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. “Ya udah. Kalau gitu, mendingan lo naik, deh. Entar gue antarin lo ke mana, aja,” ujar And
“Reina...” teriak Ami, namun putrinya tak menghiraukannyaHari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Ami, karena hari ini ia bisa segara menjemput putrinya. Ia pun bisa kembali berkumpul bersama putrinya tanpa harus berpisah lagi. Hari ini, Ami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Ia memilih berhenti agar ia bisa mengurus putrinya yang sedang sakit. Meski Yani dan Yeri tak setuju, namun mereka tak bisa menahan Ami. Mereka pun harus melepaskan Ami, agar ia bisa merawat putrinya. Selain itu, mereka saat ini mulai mengalami masalah keuangan. Melepaskan Ami di kondisi sekarang adalah salah satu pilihan untuk mengurangi pengeluaran. Semenjak kedua orang tua mereka berada di tahanan, pekerjaan mereka pun tak ada yang mengurusnya. Baik Yani maupun Yandi, keduanya sama-sama tak berminat melanjutkan pekerjaan orang tua mereka. Belum lagi, mereka harus membayar tagihan rumah sakit Yandi.Yani adalah satu-satunya anggota keluarga yang susah bekerja selain kedua orang tuanya. Yand
Semua teka-teki dari beribu pertanyaan di kepala Reina kini telah terpecahkan. Namun, ia tak menyangka jika semuanya sangat menyakitkan. Rasa sakit itu bukan hanya semata-mata karena kebohongan Ami. Semenjak mendengar pertengkaran Vian dan Nia, Reina sudah tahu bahwa selama ini Ami telah membohongi dirinya tentang ayahnya yang susah meninggal.Reina memang merasa kecewa dan sedih. Namun, setelah ia mendengar perdebatan bundanya dan Vian, ia merasa sangat sakit hati dengan sikap bundanya. Reina yang terlanjur sakit hati pun memilih untuk menjauh dari Vian dan Ami. Ia berlari sekuat mungkin menjauhi mereka, tanpa tahu ke mana ia harus terus berlari.Kaki Reina terus melangkah dan melangkah, dan tanpa sadar ia berlari menuju tempat yang tak asing. Ya, tempat itu adalah tempat yang sering dikunjunginya. Tanpa sadar, Reina terus melangkahkan kakinya menuju tempat pemakaman umum. Suatu tempat yang sering ia kunjungi, ketika ia merindukan sosok seorang ayah.“Ayah?” Tubuh Reina terasa lem