Perdebatan di antara Yandi dan Andre semakin memanas. Kedua remaja itu terus saja saling berteriak satu sama lain.
Pemandangan panas itu, kini sedang menjadi tontonan Yena yang sangat memuaskan. Wanita itu tersenyum licik melihat kedua remaja itu bertengkar hebat, karena seorang gadis.
“Gue itu gak buta, Yandi. Jadi lo gak usah sok-sok merasa paling benar!” ujar Andre.
“Gue tahu banget kalau lo juga suka sama Reina. Jadi lo gak usah ngeles, deh. Lo pikir gue udah baru kenal sama lo kemarin?”
“Apaan, sih? Gue gak ngeles, kok. Lo aja yang hobinya nuduh orang,” balas Yandi.
“Lagian, lo tuh gak bisa nyalahin gue hanya karena Reina nolak lo. Itu kan suka-sukanya dia, terserah dia. Napa lo yang kek gini?”
“Yandi, Yandi... dasar, ya. Udah ketahuan, tapi masih aja gak mau ngaku.” Apa pun yang dikatakan Yandi tak akan memberi efek samping sedikit pun pada Andre. Semua perkataan yang ke
“Isi otaknya Andre apaan aja, sih? Kok makin gak beres sih jalan pikirannya dia?” Perdebatan di antara Yandi dan Andre kini telah berakhir. Namun, pertengkaran ini meninggalkan pilihan berat bagi Yandi.Pilihan yang diberikan Andre bukanlah pilihan yang mudah bagi Yandi. Ia tak bisa memilih salah satu di antara Reina atau Andre. Kedua orang itu sama-sama memiliki arti bagi Yandi.“Hohoho... ribut karena cewek, ya...” ujar Yena meledek putranya.“Mama apa-apaan, sih?” tanya Yandi kesal.“Loh? Kan emang benar, mama juga dengar tadi apa aja yang kalian ributin,” ujar Yena semakin membuat putranya kesal.“Lagian bisa-bisanya kalian rebutin cewek miskin kayak dia? Emang apa bagusnya dari cewek miskin melarat kayak dia?” tanya Yena membuat putranya kehilangan kesabaran.“Mama apa-apa, sih?! gak usah sok tahu bisa gak, sih?!”“Ho... kamu teriak? Berani ya neriakin
Hari ini adalah hari di mana masa putih abu-abu Yandi dan teman-temannya berakhir. Di hari ini, seharusnya mereka menyimpan berbagai kenangan indah untuk diingat kemudian hari. Tetapi, pada kenyataannya hanya ada kenangan pahit yang tertinggal untuk hari esok.Di bawah sinar rembulan dan para bintang, Yandi terus memikirkan pilihan yang diberikan Andre. Sekeras mungkin ia memutar otaknya, namun ia tetap tak bisa menemukan cara lain agar tak memilih salah satu dari kedua temannya.Yandi membuka jendela kamarnya dan membiarkan angin malam memenuhi ruangnya. Ia berbaring sambil menatap langit malam itu, sekaligus menikmati udara malam untuk membantunya berpikir.“Ha... kepala gue bisa pecah. Kenapa sih kalau urusan kek gini selalu aja ribet?” Yandi tak mengerti, mengapa urusan percintaan selalu terasa begitu sulit dibandingkan urusan lainnya.Rasa penat akibat memikirkan pilihan yang diberikan membuat Yandi membutuhkan seseorang untuk
Hari-hari Yandi terasa semakin membosankan, setelah status siswa terlepas dari dirinya. Kini ia hanya menghabiskan waktunya untuk menerima semua ocehan dari mamanya.Sejak matahari menampakkan diri hingga bulan menggantikan posisinya, Yena terus saja memarahi putranya tanpa henti. Wanita itu terus memaksa Yandi untuk belajar tanpa henti.Selama satu kali dua puluh empat jam, Yena terus menyuruh Yandi untuk belajar tanpa henti. Jika wanita itu melihat putranya sedang bersantai, ia pasti akan memarahi putranya dan menyuruhnya untuk segera belajar.Yena terus memantau putranya selama masa-masa pendaftaran mahasiswa baru sedang dimulai. Wanita itu menyuruh putranya belajar tanpa henti, agar dapat diterima di sebuah universitas ternama dengan nilai tertinggi.Hanya karena keinginannya, Yena terus memaksakan putranya untuk belajar tanpa henti. Hal ini dilakukan wanita itu, semata-mata karena ia ingin terlihat sebagai seseorang yang sempurna melalui keberhasilan
Lima belas menit telah berlalu sejak bi Ami meninggalkan kamar Yandi. Namun remaja itu tak kunjung meninggalkan kasurnya. Ia masih terus saja berbaring dengan santainya dan terus saja mengoceh. Kedua orang tua Yandi yang seharusnya telah berada di tempat mereka bekerja, kini masih berada di ruang tamu seraya menunggu Yandi menampakkan batang hidungnya. Yena dan Yudi memutuskan untuk menunggu Yandi terlebih dahulu sebelum meninggalkan rumah, agar tak terjadi hal yang sama. Kesabaran kedua orang tua Yandi pun harus diuji, ketika menunggu Yandi. Karena remaja itu tak juga kunjung menampakkan batang hidungnya. “Awas aja kalau dia sengaja lagi bilang bakalan ke kampus, padahal nanti gak bakalan ke kampus,” ujar Yena kesal. “Lagian kalau kita nunggu kayak gini, dia gak bakalan turun dari kamarnya. Yang ada dia gak jadi masuk universitas yang bagus. Padahal waktu itu kalau dia ngumpulin formulir, kita sama sekali gak perlu nyewa bodyguard kayak gini,” gerutu Yudi.
Siang terus berganti menjadi malam, dan hari pun terus berganti tanpa henti. Musim demi musim pun turut berganti, dan Ami tetap menjalani kesehariannya seperti biasanya, sebagai seorang asisten rumah tangga.Tanggal demi tanggal telah berganti, dan bulan pun telah berjalan menuju bulan lainnya. Namun, Ami masih tetap tak ingin berbicara pada putrinya. Wanita itu tetap berdiri teguh pada pendiriannya, dan tak mau mendengarkan semua alasan yang diberikan putrinya.Ami tetap teguh pada persyaratan yang telah diberikannya pada Reina. Jika memang putrinya tak berhasil memenuhi persyaratan yang diberikannya, maka ia juga tak akan kembali lagi seperti Ami yang dikenal putrinya.Ami menyadari jika ia terlalu keras pada putrinya. Ia juga mengetahui bahwa putrinya begitu merasa sangat sedih. Namun, ia memiliki alasan yang kuat untuk tetap berdiri teguh pada pendiriannya.“Ami...” teriak Yena dari kamarnya. Mendengar suara nyonyanya, Ami yang sedan
“Ami, tunggu.” “Lepasin tangan aku!” Ami berusaha sekuat tenaga, melepaskan tangannya. Namun, ia tak cukup kuat untuk melakukan itu. “Ami, tunggu dulu. Aku mohon, jangan pergi.” “Aku gak mau!” “Ami, aku gak bakalan lepasin tangan kamu sebelum aku ngomong sama kamu.” “Tapi aku gak mau ngomong sama kamu lagi, Vian. Kita sekarang udah jadi orang asing,” teriak Ami. Tangan Ami kini berada dalam pegangan erat, dari sosok tak terduga yang baru saja dijumpainya. Sosok rak terduga itu bukanlah orang asing bagi Ami, karena sosok itu adalah orang yang pernah menjadi orang terpenting dalam hidupnya. Sosok itu adalah sosok masa lalu yang ingin dihapus oleh Ami selamanya. Sosok itu adalah seorang pria yang pernah dicintainya. Sosok pria yang kini sedang menahan Ami adalah mantan suaminya, Vian. Meski Ami bersikeras tak ingin berbicara padanya, namun Vian sama sekali tak berniat untuk melepaskan tangan wanita itu. “Aku ga
Berbagai rasa kini menghantui Ami, membuat pikirannya teracak-acak. Pertemuan yang tak pernah diduga-duganya, membuat ia tak bisa melupakan pertemuan itu. Akibat pertemuan tak diduga itu, emosi Ami menjadi tidak stabil. Apalagi, ia terus saja terbayang dengan perkataan nyonyanya, yang membuat hati dan pikiran Ami semakin berantakan. Setelah meninggalkan pemakaman, Ami segera bergegas mencari putrinya di area sekitar pemakaman. Ia sangat yakin jika putrinya belum pergi terlalu jauh dari area pemakaman. Dan benar saja, ia menemukan putrinya tak begitu jauh dari area pemakaman. Setelah berjalan beberapa meter, akhirnya Ami segera menemukan keberadaan putrinya. Tak jauh dari pemakaman, Ami menemukan putrinya sedang bersama putra majikannya. Kedua remaja itu sedang berjalan bersama, sambil asyik berbincang. Ingin rasanya Ami segera memisahkan putrinya dan putra majikannya. Namun, ia merasa tak enak hati melakukan itu pada tuan mudanya. Wanita itu pun
Rasa kecewa membuat Reina tak menghiraukan lagi semua perkataan bunda. Seberapa keras pun wanita itu berusaha membujuk putri semata wayangnya, gadis itu tetap tak mau membukakan pintu kamarnya.“Reina, buka pintunya sayang. Kamu belum makan, loh.”“Nak, kamu boleh marah sama bunda. Tapi kamu makan dulu, ya. Ini udah malam banget, loh.” Segala kata-kata telah dikeluarkan Ami demi membujuk putrinya, namun gadis itu tetap tak mengeluarkan suara apa pun.“Reina, ayo keluar. Kamu harus makan.”“Kamu boleh mau marah bunda atau apa pun, tapi yang terpenting kamu makan dulu, nak. Bunda gak mau kalau kamu sampai sakit, nak,” ucap Ami sambil terus mengetok pintu kamar putrinya.Tak ada satu suara pun membuat Ami memilih untuk berhenti membujuk putrinya dengan segala ucapannya. Ia merasa apa yang dilakukannya tak akan membuahkan hasil, hingga wanita itu lebih memilih untuk memberikan putrinya waktu dibanding ia
Kehidupan adalah suatu anugerah dari Tuhan. Kehidupan juga merupakan rahasia. Dalam kehidupan ini tentunya banyak hal-hal yang terjadi di luar dugaan, yang terkadang menghasilkan tawa tetapi dapat juga menghasilkan air mata.Setiap detik, setiap menit dan setiap jam dalam kehidupan ini selalu dipenuhi rahasia. Sebagai manusia kita pastinya tak akan tahu apa yang bisa terjadi beberapa waktu ke depan. Terkadang apa yang kita duga memang terjadi, tetapi sering juga terjadi hal yang tak pernah kita duga.Setelah menjalani kehidupan tanpa kedua orang tuanya, kini Yandi bersama dua saudaranya tak pernah kehilangan senyum lagi. Mereka pun selalu menikmati waktu berkumpul di meja makan.Yani, Yandi dan Yeri selalu memiliki waktu untuk satu sama lain, meski mereka pun sibuk dengan pekerjaan atau pun pendidikan mereka. Suasana rumah Yandi yang dulunya terasa suram, kini terasa lebih cerah. Selalu ada tawa dan kebahagiaan. Tak hanya ada tangis melulu, atau tekanan melulu. Ketiga bersaudara itu
Kehidupan memang selalu diisi oleh berbagai hal. Kadang yang mengisi kehidupan adalah hal-hal yang sudah kita duga. Tapi terkadang juga diisi dengan hal-hal yang tak pernah diduga. Hari-hari Ami dan Vian kini dijalani dengan penuh air mata. Keduanya kini resmi memilih untuk tak berjalan bersama lagi. Ami dan Vian telah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing. Namun mereka masih tetap mengurus Reina sebagai anak bersama-sama. Hanya saja, baik Vian maupun Ami saling membatasi diri. Setelah berhenti menjadi asisten rumah tangga Yandi dan keluarganya, kini Ami mulai membuka usaha kecil-kecil dari uang yang kerja kerasnya selama ini. Yani sendiri memberikan uang dalam jumlah yang cukup fantastis kepada Ami. Gasia itu memberikan Ami uang sebagai gaji terakhirnya dan juga sebagai ganti rugi atas perbuatan Yena. Uang yang diberikan Yani pada wanita itu adalah uang milik kedua orang tuanya. Ami kini telah membeli sebuah gerobak yang akan digunakannya untuk berjualan. Ia membeli gerob
Keputusan Ami untuk membiarkan Reina tetap berhubungan dengan Ayahnya adalah sebuah keputusan besar. Namun ia sadar, bahwa putrinya tak akan pernah bahagia jika ia terus melarangnya. Ia pun sadar bahwa Reina tak akan tinggal diam saja, jika ia terus melarangnya. Sehingga ia merasa apa pun larangan yang ia beri, itu tak akan membuat putrinya berhenti menemui ayahnya.Keputusan Ami untuk tetap membiarkan Vian berhubungan dengan putrinya lagi, membuat Vian merasa senang. Namun, di sisi lain ia pun merasa sedih. Saat memeluk Reina, Vian menyadari bahwa ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu. Ia sebenarnya tak hanya ingin membuat Ami menghilangkan larangannya itu. Sebenarnya Vian dan Ami menginginkan hal yang sama. Jauh di dalam lubuk hati mereka, ada suatu keinginan yang tertahan sejak lama dan kini harus dikubur mereka sedalam-dalam.Tak hanya Ami, Vian pun sangat ingin rumah tangga mereka telah hancur dulu, bisa kembali lagi. Namun, itu semua susah tak mungkin lagi. Sejak Vian
“Reina! Keluar lo, gue belum selesai ngomong!” teriak Rein gigih. Meski Reina sudah meninggalkan, namun ia tak menyerah. Reina pun kembali menemuinya. “Ada apaan lagi?” tanya Reina.“Gue mau tahu, ya. Lo harus jauh-jauh dati papi gue!” ujar Rein sembari menunjuk Reina.Reina memutar bola matanya dan menggeleng pelan kepalanya. “Lo paham kata-kata gue tadi?!” tanya Reina geram. “Gue rasa udah jelas, ya. Jadi gak perlu ulangin lagi.”“Gak! Gue gak terima, gue gak mau dan gak sudi lo ngerrbut semua milik gue!” balas Reina.“Gue gak pernah rebut milik lo, ya! Mau Yandi atau pun papi, lo gue kan udah bilang, gue udah bilang kalau gue gak ngerebut mereka,” jelas Reina. “Lagian om Vian bukan cuma papi lo, doang! Jadi lo gak bisa ngelarang gue!” tegas Reina.“Gue gak mau hidup gue hancur karena lo!” teriak Rein.“Gue gak pernah ngehancurin hidup lo, ya! Harusnya gue yang marah-marah ke lo dan lo, karena mami itu udah hancurin hidup gue!” balas Reina. “Asal lo tahu, gara-gara mami lo, gue jad
Hidup Rein sebagai anak tunggal dan satu-satunya anak kesayangan Vian hancur begitu saja dalam waktu singkat. Hidupnya terasa begitu gelap semenjak mengetahui semua kebenaran tentang kedua orang tuanya.Sejak saat itu, Rein hanya mengurung dirinya di kamar. Ia bahkan tak makan maupun minum sama sekali. Kondisi tubuhnya pun semakin melemah.Suasana rumah itu pun menjadi sangat gelap. Semenjak semuanya terbongkar, tak ada lagi percakapan yang terjadi, selain pertengkaran Nia dan Vian.Nia terus saja meminta Vian untuk tak kembali kepada Ami. Sesekali ia juga memaksa Vian untuk tak menemui Reina. Namun Vian tetap menolak semua permintaan sang istri.Semua pertengkaran itu selalu saja didengar oleh Rein. Pertengkaran itu membuatnya tak ingin menginjakkan kakinya di tempat lain, selain kamarnya. Ia yang selalu berada di dalam kamarnya pun membuat Vian khawatir. Vian selalu mendatangi kamarnya, namun gadis itu selalu mengusir Vian. Hal yang sama pun terjadi pada Nia. Rein sangat marah besa
Suasana yang canggung kini telah pergi dan diganti dengan suasana sedih. Air mata Reina banjir malam itu. Gadis itu hanya bersandar pada Yandi dan terus meneteskan air matanya.Yandi tak tahan melihat Reina terus-terusan meneteskan air matanya. Ia berusaha memikirkan sebuah cara. Namun, ia pun tak bisa menemukan cara yang tepat.Permasalahan dalam keluarga adalah permasalahan yang sering dialaminya. Namun, ia bukanlah orang yang suka mencari jalan keluar. Ia adalah orang yang sering membantah dan melawan. Sehingga sulit baginya untuk membantu Reina menemukan jalan keluar untuk masalahnya.“Eh... sorry, sorry. Gue malah nangis gak jelas lagi,” ucap Reina segera menghapus air matanya. “Gak papa kali. Gak perlu minta. Gue malah senang kalau lo mau cerita,” ucap Yandi lembut.“Eh... tapi kayaknya lo gak bisa di sini lama-lama, deh. Soalnya ini udah mau jam sepuluh,” ucap Yandi merasa tak enak hati. Tanpa sadar mereka menghabiskan cukup banyak waktu dan kini waktu hampir menunjukkan pukul
Kaki Reina terus melangkah menjauhi rumahnya. Semakin lama, semakin jauh ia melangkah. Namun, gadis itu bahkan tak tahu ia harus terus melangkahkan kakinya ke mana. Reina terus berjalan tanpa henti. Tubuh serasa lesu. Tenaganya habis terkuras setelah banyak meneteskan air mata. Pikirannya pun menjadi sangat kacau.Tit.... Tit....“Ha?” Reina terkejut dengan suara klakson mobil yang begitu dekat dengannya. “Reina, lo—lo habis kenapa?” tanya Andi khawatir setelah melihat mata Reina yang sembab. “Gak papa, kok,” jawab Reina dengan suaranya yang serak.“Tuh... tuh... suara lo serak kayak gitu, masih aja bilang gak papa.” Perkataan Reina tak mencerminkan keadaannya yang terlihat jelas tak baik-baik saja. “Lagian lo mau ke mana, sih?” tanya Andi.“Gak tahu,” jawab Reina. Andi pun merasa aneh dengan jawaban gadis itu. Namun satu hal yang biasa ia pastikan, bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. “Ya udah. Kalau gitu, mendingan lo naik, deh. Entar gue antarin lo ke mana, aja,” ujar And
“Reina...” teriak Ami, namun putrinya tak menghiraukannyaHari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Ami, karena hari ini ia bisa segara menjemput putrinya. Ia pun bisa kembali berkumpul bersama putrinya tanpa harus berpisah lagi. Hari ini, Ami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Ia memilih berhenti agar ia bisa mengurus putrinya yang sedang sakit. Meski Yani dan Yeri tak setuju, namun mereka tak bisa menahan Ami. Mereka pun harus melepaskan Ami, agar ia bisa merawat putrinya. Selain itu, mereka saat ini mulai mengalami masalah keuangan. Melepaskan Ami di kondisi sekarang adalah salah satu pilihan untuk mengurangi pengeluaran. Semenjak kedua orang tua mereka berada di tahanan, pekerjaan mereka pun tak ada yang mengurusnya. Baik Yani maupun Yandi, keduanya sama-sama tak berminat melanjutkan pekerjaan orang tua mereka. Belum lagi, mereka harus membayar tagihan rumah sakit Yandi.Yani adalah satu-satunya anggota keluarga yang susah bekerja selain kedua orang tuanya. Yand
Semua teka-teki dari beribu pertanyaan di kepala Reina kini telah terpecahkan. Namun, ia tak menyangka jika semuanya sangat menyakitkan. Rasa sakit itu bukan hanya semata-mata karena kebohongan Ami. Semenjak mendengar pertengkaran Vian dan Nia, Reina sudah tahu bahwa selama ini Ami telah membohongi dirinya tentang ayahnya yang susah meninggal.Reina memang merasa kecewa dan sedih. Namun, setelah ia mendengar perdebatan bundanya dan Vian, ia merasa sangat sakit hati dengan sikap bundanya. Reina yang terlanjur sakit hati pun memilih untuk menjauh dari Vian dan Ami. Ia berlari sekuat mungkin menjauhi mereka, tanpa tahu ke mana ia harus terus berlari.Kaki Reina terus melangkah dan melangkah, dan tanpa sadar ia berlari menuju tempat yang tak asing. Ya, tempat itu adalah tempat yang sering dikunjunginya. Tanpa sadar, Reina terus melangkahkan kakinya menuju tempat pemakaman umum. Suatu tempat yang sering ia kunjungi, ketika ia merindukan sosok seorang ayah.“Ayah?” Tubuh Reina terasa lem