Home / Urban / Broken Wings / Pertemuan Kembali

Share

Broken Wings
Broken Wings
Author: Alfarin

Pertemuan Kembali

Author: Alfarin
last update Last Updated: 2021-10-30 18:24:38

"Mei?" Terdengar suara berat yang tak asing di telinga dari arah belakangku.

Aku berbalik memastikan bahwa telingaku tidak sedang berhalusinasi.

"Oh ... Hei, Dendra?" sapaku berusaha untuk membuat nada suara terdengar biasa.

"Ah! Ternyata benar kamu." Ada bias rindu yang menggantung di kedua belah mata teduhnya.

Satu dekade sudah aku tak melihat tatapan mata teduh itu. Senyumnya masih sama, caranya memandangku juga masih sama, bahkan rasa sakit yang kurasakan juga masih seperti terakhir kali melihatnya.

"Apa kabar? Ah basa-basi banget ya!" gelaknya memamerkan sederet gigi putih yang bersusun rapi di balik bibirnya.

"Ahaha ... Iya! Kalau sudah lihat seperti ini, tak perlu tanya kabar kan?" balasku masih berusaha menetralkan gemuruh yang berdesakkan di dada.

"Pah, sudah beres check-in nya?" Sesosok wanita dengan gamis ungu dan kerudung bewarna senada datang dari belakang Dendra. Pakaian yang di pakainya jelas menampilkan tampilan wanita sosialita. Sebuah tas keluaran perancang ternama tersampir indah di lengannya yang jenjang.

"Oh, sudah. Kebetulan aku bertemu teman lama. Mei ini istriku Nisya, Mah ... Ini Meinar teman seangkatanku ketika SMA dulu."

"Halo, Mei ... Senang bertemu dengan teman lama suamiku." Nisya mengulurkan tangannya yang putih bersih.

Senyum tulus terkembang di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna mauve. Iris mata yang ditutupi lensa kontak berwarna hijau membuat wajah cantiknya terlihat bagai manekin yang sempurna.

"Senang berkenalan denganmu," sahutku meredam rasa perih yang tiba-tiba muncul mendengar kata 'Teman lama' dari bibir Dendra.

Aku tak lebih dari teman lama yang bisa dilupakan begitu saja keberadaanku, karena kisah kami tak berlanjut sebab terhalang restu orangtua.

"Eh, pesawatku sudah mau boarding. Aku duluan ya," pamitku kepada kedua orang yang masih berdiri anggun di hadapanku. Penampilan mereka bak model majalah fashion, tampak serasi, membuat hatiku makin terasa perih.

"Eh ... Oh iya ... Sampai ketemu lagi, Mei." Dendra melambaikan tangannya yang terbalut kemeja lengan panjang biru langit yang mencetak otot lengannya yang kokoh.

"Ya ... Bye Nisya ...." Aku menyempatkan diri berpamitan pada wanita dengan sosok sempurna di hadapanku.

Wanita itu hanya membalas dengan seulas senyum yang begitu manis. Pantas saja Dendra lebih memilih wanita pilihan orangtuanya daripada memilihku yang telah membersamainya selama lima tahun.

Tatkala melewati toko yang menjual souvenir, aku melirik tampilanku yang terpantul pada cermin yang ada di toko kecil itu. Tampak sesosok perempuan dengan tampilan ala kadarnya, memakai celana kulot denim selutut, dengan kemeja berwarna putih longgar. Rambut panjang yang ku warnai burgundy, kuikat asal ke atas tengkuk. Wajahku polos tanpa riasan apa-apa, hanya memakai pelembab bibir yang memberikan sedikit warna pada kulit ku yang pucat. Tas ransel menggantung di pundak, dan sepatu kets putih membungkus kedua belah kakiku. Jauh dari kesan feminim.

Walaupun aku berprofesi sebagai pramugari, namun ketika sedang tidak bertugas, aku lebih memilih tidak menggunakan riasan apapun. Bagiku jika sedang tidak bertugas, lebih nyaman dengan tampilan apa adanya tanpa riasan.

Aku melesat masuk gate menuju pesawat yang akan membawa ku ke kampung halaman.

"Mba Mei, lagi off ya?" sapa pramugari junior yang sedang bertugas dan kebetulan mengenalku.

"Eh iya, Lis. Kamu lagi ditugasin rute ini?" sahutku ramah.

"Iya, Mba ... Seat berapa Mba?"

"2 Alfa."

"Silahkan, Mba." Gadis berseragam kebaya oranye itu mempersilahkan aku menempati tempat duduk yang tertera pada boarding pass.

***

"Maaf Mei, bagiku ketika menikah yang paling utama adalah restu orangtua. Aku anak laki-laki, harus berbakti pada kedua orangtuaku ...." Kata-kata Dendra ketika mengucapkan salam perpisahan terngiang-ngiang lagi di telingaku.

Ya ... Aku harus berbesar hati melepaskan mimpi-mimpiku merajut masa depan dengan pria yang telah merajut asa bersamaku. Lima tahun bersama tak membuat ia berniat memperjuangkan hubungan yang sudah terjalin dalam waktu cukup lama itu.

"Ya ... Sudah, kalau memang harus begitu ... Aku bisa apa," sahutku dengan senyum yang ku buat secerah mungkin. Aku tak mau menampakkan wajah menyedihkan seorang perempuan yang dicampakkan begitu saja oleh orang yang telah merangkai mimpi masa depan bersama denganku.

"Kamu yakin baik-baik saja kan, Mei?" tanyanya seperti mencari kebenaran dalam kedua belah mataku.

"Menurutmu?" Aku balik bertanya. Bukankah pertanyaan aneh, ketika orang yang memutuskanmu menanyakan apakah ia baik-baik saja.

"Aku minta maaf sekali lagi, Mei. Bagiku ini keputusan berat." Dendra menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya, kemudian kembali memandangi ku.‌

"It's okay... Everything gonna be okay," sahutku masih dengan senyum yang menghiasi wajahku.

Aku tak mampu merangkai kata-kata untuk menggambarkan rasa patah hatiku saat itu. Yang jelas, jantungku terasa direnggut paksa dari tempatnya berdenyut. Seketika segala mimpi yang telah tergambar jelas seolah remuk begitu saja. Namun hidupku tak harus hancur begitu saja hanya karena seorang pria. Aku akan terus melanjutkan hidup, menggapai semua cita-citaku tanpa pria itu. Aku ingin memperlihatkan padanya bahwa duniaku tak kan hancur tanpa keberadaannya.

**HN**

Related chapters

  • Broken Wings   Pulang

    "Mba ... Kita sudah landing." Suara Lisa, pramugari junior yang menyapaku sebelum berangkat, menyentakkanku dari tidur."Oh, Thanks Lis." Buru-buru aku menurunkan ransel yang ada di bagasi kabin pesawat. Bergegas keluar dari garbarata, melewati beberapa penumpang yang telah lebih dahulu keluar dari pesawat.Seketika udara panas menyapu kulitku ketika keluar dari pintu kedatangan bandar udara Internasional Minangkabau. Beberapa supir taksi menawarkan jasanya berdesakan di depan pintu kedatangan bersama puluhan orang yang juga terlihat tengah menanti kedatangan kerabat mereka dari balik besi pembatas antara pintu kedatangan dengan lobi bandara."Taksi Kak?" tawar seorang pria paruh baya bertubuh gempal ketika aku celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. Kemeja yang dipakainya tampak terpaksa membungkus tubuhnya yang tambun. Peluh terlihat membanjiri pelipisnya yang berkerut dalam."Tidak, Pak. Sudah ada yang jemput,"

    Last Updated : 2021-10-30
  • Broken Wings   Adrian

    Mengabaikan perasaan yang mendadak tidak nyaman akibat pesan singkat dari Dendra, aku memencet nomor kontak ayah untuk mengabarkan kalau aku telah mendarat di Bandar udara Soekarno-Hatta.Setelah nada sambung ke tiga, terdengar suara lembut bundo menjawab, "Assalamualaikum, Mei. Sudah sampai ya?""Iya, Bun. Ayah lagi nyetir, ya?""Iya, nih. Nanti kalau udah nyampe rumah aja ayah nelpon balik ya," sahut bundo."Siap, Bun. Aku juga mau langsung balik. Dah, Bundo." Kututup sambungan telpon setelah bundo membalas salamku.Berbagai aroma makanan dan minuman memaksa masuk indera penciumanku ketika keluar melewati beberapa kios penjual makanan dan minuman yang terdapat di area kedatangan. Para penumpang yang baru saja turun bersamaku bergegas mengambil troli untuk memuat bagasi mereka yang akan diturunkan dari pesawat. Sebagian dari mereka telah berjejer mengelilingi conveyor tempat bagasi diturunkan. Aku melenggang keluar dari area kedatangan ka

    Last Updated : 2021-10-30
  • Broken Wings   Kembali Ke Rutinitas

    Suara nyaring alarm dari ponsel memaksaku terjaga dari tidur. Semalam aku malah bermimpi tentang Dendra. Mungkin karena efek pesan yang dia kirimkan kemarin. Seolah membuka kembali kotak kenanganku ketika bersamanya.Kupaksakan tubuh untuk bangkit dari baaring, mengumpulkan seluruh kesadaran. Mengenyahkan bayangan wajah Dendra dari pikiran. Dendra adalah masalalu yang telah kukubur dalam. Tak seharusnya ia kembali meminta tempat yang pernah ditinggalkannya dulu.Ngapain juga mikirin laki orang, kayak enggak ada laki-laki lain saja, Mei. Rutukku dalam hati.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah empat, aku harus bersiap karena ada jadwal penerbangan pagi ini. Tak mau terlambat, bergegas kuseret langkah ke kamar mandi.Hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk mandi dan bersiap. Seorang pramugari memang dilatih untuk bergerak cepat. Mulai dari dandan, sampai mengerjakan hal-hal lain. Karena pekerjaan kami juga dituntut untuk melakuk

    Last Updated : 2021-10-30
  • Broken Wings   Dia Lagi

    "Kamu tinggal di sini?" Wajah Dendra tampak begitu antusias ketika bertanya.Tak langsung menjawab pertanyaannya, aku membungkuk mengambil ponsel yang terjatuh. Meredam perasaan berkecamuk yang mendadak hadir.Ah! Kenapa hati ini masih saja belum mampu untuk benar-benar melepaskannya. Padahal rasa sakit yang dulu kurasakan, cukup menjadi alasan untuk tak lagi memberinya sepetak ruang dalam hatiku."Untuk saat ini, iya," sahutku sekenanya. Aku tak ingin Dendra tau kalau aku memang tinggal di sini."Aku juga baru pindah ke sini, kamu lantai berapa?" Nada suara itu masih saja mampu menggetarkan seutas senar yang membentang dalam hati. Namun aku tak mau terpedaya akan pesona nya, yang masih saja membuatku mabuk. Dia sudah dimiliki perempuan lain.Heran, dia masih mampu terlihat bersikap biasa setelah apa yang pernah terjadi diantara kami. Setelah meninggalkan luka yang begitu mendalam di hatiku. Entah karena aku hanya memang tak pernah ada di

    Last Updated : 2021-10-30
  • Broken Wings   Pengakuan

    "Pagi Mba," sapa salah seorang pegawai coffe shop ramah. "Mau pesan apa, Mba?" lanjutnya masih dengan senyum terkembang, tak peduli dengan tampilanku yang masih muka bantal, memakai piyama, rambut diikat asal, dan mata masih agak sembab."Breakfast Sausage dan Kolasi Toraja, ya," sahutku menyebutkan pesanan.Setelah membayar, aku mencari tempat yang agak pojok untuk menikmati sarapan. Terpaksa kuurungkan niat untuk ke minimarket gara-gara pertemuan tak terduga dengan Dendra. Emosi, membuat perutku protes minta diisi.Ternyata Dendra cukup tebal muka, setelah apa yang kukatakan tadi padanya, dia masih saja mengikutiku ke coffee shop ini. Setelah memesan, dia dengan wajah tak berdosa, duduk di hadapanku. Aku tak ingin terlihat begitu kekanak-kanakan, jadi kubiarkan saja."Kenapa harus menghindar seperti itu, Mei? Apakah kamu masih marah padaku?" tanyanya menghenyakkan tubuh jangkungnya di kursi kosong di depanku.Ingin kuteriakkan k

    Last Updated : 2021-10-30
  • Broken Wings   Hati vs Logika

    Selepas kepergian Dendra, aku masih belum mampu meredakan perasaan yang mendadak kacau. Ingin rasanya kembali ke unitku, membenamkan diri di dalam kamar. Perutku yang belum sempat terisi mendadak protes. Masa bodohlah dengan Dendra, yang penting perutku terisi.Kopi yang kupesan sudah mulai dingin dan sedikit pahit, tapi rasa pahit dari kopi yang kuminum masih kalah dari rasa pahit yang kurasakan saat ini. Mengingat percakapan dengan Dendra membuat setitik harap yang pernah ada, muncul kembali.Perdebatan batin mulai hadir. Entah kenapa aku merasa besar kepala ketika Dendra mengatakan bahwa perempuan yang dia cintai hanya aku. Namun, logikaku membantah, jika memang dia mencintaiku, tak mungkin dulu dengan mudahnya dia melepaskanku.Terngiang-ngiang kembali bagaimana dulu dia dengan wajah dingin mengatakan bahwa hubungan kami tak lagi bisa berlanjut karena orangtuanya tak merestui. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Sekarang dengan seenaknya dia hadir dan

    Last Updated : 2021-10-30
  • Broken Wings   Kenangan

    Hampir tengah malam ketika aku bersama beberapa rekan pramugari lainnya tiba di hotel yang terletak tak jauh dari bandara. Hotel yang memang biasa dijadikan tempat peristirahatan para kru.Aku kebagian kamar Deluxe twin bersama Serin —gadis cantik berwajah eksotis khas timur tengah. Kami cukup beruntung, kamar yang kami tempati menyuguhkan pemandangan gunung Merapi yang menjulang angkuh dan terkesan dingin. Malam ini pemandangannya tak begitu terlihat indah, aku yakin besok, ketika matahari mulai muncul lukisan alam akan tersaji mempesona pada bingkai jendela kaca ini."Mau mandi duluan enggak, Mei?" tegur Serin. Aku memalingkan wajah dari pemandangan malam di luar jendela ke arah gadis itu."Duluan aja, Ser. Aku mau ngedinginin badan dulu, masih keringetan," sahutku, melepaskan sepatu dan duduk mengunjurkan kaki di sofa yang terletak di samping jendela."Oh, ok." Serin beranjak ke kamar mandi. Meninggalkanku yang kembali tenggelam dalam la

    Last Updated : 2021-11-01
  • Broken Wings   Ayah Posesif

    Berendam membuatku mengantuk, aku segera keluar dari bath-up. Sudah larut juga. Berniat untuk tidur, ketika teringat sehari tadi aku masih belum memeriksa ponselku. Sehari ini aku juga belum mengabari ayah dan bundo.Sambil mengeringkan rambut, kunyalakan ponsel dan menunggu. Seketika beberapa notifikasi pesan chat dan suara muncul di layar saat benda pipih itu telah menyala sepenuhnya. Beberapa pesan suara dari ayah. Laki-laki yang selalu merindukanku, ha-ha.Kubuka satu persatu pesan dari ayah, "Mei, hari ini kenapa tidak ada kabar?" pesan pertama pada jam 17.00. Pada saat itu aku sedang briefing dan ponsel telah kumatikan."Sudah malam begini ponselmu masih belum aktif. Kamu kemana? Ayah khawatir," pesan kedua pada jam 20.00, ketika aku on board. Tentu saja aku masih belum mengaktifkan ponselku."Mei, telpon ayah jam berapapun. Ayah tunggu.

    Last Updated : 2021-11-11

Latest chapter

  • Broken Wings   The End For Beginning

    Setelah tersiksa oleh rasa sakit selama lebih dari 12 jam, akhirnya makhluk mungil yang kami tunggu pun hadir dengan tangisnya yang lantang membelah malam. Hampir tengah malam kala tubuh mungil yang masih merah itu di telungkupkan di dadaku, menyesap makanan pertamanya dari tubuhku. Tidak hanya aku, Adrian juya terlihat sangat lelah. Rambutnya sudah tak lagi serapi saat datang, karena telah menjadi korban jambakanku ketika proses melahirkan. Ah! Maafkan aku suamiku. Namun, segala kesakitan dan rasa lelah itu terasa terbayar saat melihat mulut mungil itu mengecap-ngecap di dadaku. "Thanks, Mei," bisik Adrian mengecup lembut sisi kepalaku. Tiba-tiba seperti ada tetesan hangat jatuh di pipiku. Aku mendongak, mendapati mata Adrian yang basah, tetapi dengan senyum mengulas di bibirnya. "Makasih sudah berjuang untuk makhluk terindah ini," imbuhnya saat melihatku mengerjap-ngerjap menahan haru menatap ke arahnya. Aku masih merasa tak percaya saat menelisik wajah mungil yang dengan rakusnya

  • Broken Wings   Partus

    Memasuki hari ketujuh setelah aku dan Adrian keluar dari rumah sakit. Adrian sudah mulai kembali bekerja, meskipun dia belum bisa menyetir sendiri untuk berangkat ke kantor. Pak Isa—sopir keluarga ibu mertuaku—yang diperbantukan untuk menjemput dan mengantar suamiku itu ke kantor. Berhubung kantor Adrian merupakan perusahaan keluarga, jadi Adrian tidak terlalu dituntut untuk hadir sesuai jadwal kantoran. Dia bisa berangkat agak siang, dan pulang lebih awal. Sehingga lumayan menghemat tenaganya selama pemulihan, karena tidak terlalu lama terjebak di jalan. Tadinya ayah yang menawarkan diri untuk mengantar, tetapi Adrian menolak karena merasa sungkan. Pagi ini setelah melepas Adrian berangkat ke kantor, aku memilih berjalan-jalan di taman apartemen, ditemani oleh bundo. Sebenarnya aku masih agak takut berada di luar ruang seperti ini. Rasa trauma itu masih ada. Terkadang, aku kembali mengalami mimpi buruk. Terbangun di tengah malam dan berteriak kesetanan kala tak kudapati Adrian bera

  • Broken Wings   Ujian

    Hari ini Adrian sudah dipindah ke ruang rawat biasa. Aku masih saja terus mengucap syukur dalam hati. Kendati Adrian belum sepenuhnya bisa banyak gerak, tetapi melihat senyum tersungging di bibirnya, sudah membuat rasa syukurku berlipat. Dengan persetujuan dokter juga aku bisa dirawat dalam satu ruangan dengan Adrian, sehingga kami tak terlalu saling mencemaskan satu sama lain. Karena dengan kondisi seperti itu Adrian masih saja mencemaskan kandunganku, dia bahkan sampai lupa luka yang tengah ia derita kala melihatku harus meminimalisir gerak. "Apakah istri saya baik-baik saja, Dok?" See? Meskipun dia masih terbaring lemah, tetapi kalimatnya masih mengkhawatirkanku. "Tekanan darahnya sudah normal. Hanya kadar protein urin masih agak tinggi, besok istri bapak sudah bisa rawat jalan," terang dokter yang tengah memeriksa keadaan Adrian. Kulihat bibir Adrian menyunggingkan senyum. Lebih terlihat lega, setelah seharian tadi dia berkali-kali bertanya apa benar aku merasa baik-baik saja.

  • Broken Wings   Tak Sanggup Tanpamu

    Pihak rumah sakit akhirnya mengizinkanku untuk mengunjungi ruang rawat Adrian. Aku tak dapat membendung tangis begitu melihat tubuh lelaki yang kucintai itu terbujur dengan berbagai alat bantu di tubuhnya. Adrian belum sadarkan diri, meskipun telah melewati masa kritis akibat syok karena kehilangan banyak darah. Kantong darah yang masih menggantung pada salah satu sisi bed, menandakan seberapa banyak darah yang hilang diakibatkan oleh luka itu. Menurut cerita ibu mertuaku, tusukan Dendra mengenai paru-paru Adrian, sehingga tak hanya kehilangan banyak darah, Adrian juga harus menjalani operasi untuk mengeluarkan darah yang mengumpul di paru-paru, serta menjahit luka tersebut. Keluarga Adrian saat ini tengah memperkarakan kasus ini ke jalur hukum. Meskipun Dendra dibebaskan pada kasus penyerangan di kafe Adrian dengan alasan kondisi kejiwaan yang tidak stabil, keluarga Adrian tak peduli. Mba Olivia—kakak tertua Adrian— bersikeras untuk memperkarakan Dendra dan menuntut agar laki-laki i

  • Broken Wings   Takut

    Hari ini aku dan Adrian pergi ke pusat perbelanjaan, untuk mencari perlengkapan menyambut anggota keluarga baru kami. Sekalian mencari barang yang kuperlukan saat persalinan nanti. Masih banyak barang-barang persiapan persalinan yang belum kubeli. Selama memutari beberapa toko yang menjual perlengkapan bayi, tangan Adrian tak lepas menggenggam tanganku, seolah takut aku terlepas dan hilang di pusat perbelanjaan ini. Ia hanya melepas genggaman ketika aku mulai memilih barang-barang yang hendak kubeli dari rak toko. "Ini lucu nggak, Dri?" tanyaku memamerkan tuxedo berukuran mini di depan dada. Ya, bayi kami diprediksikan berjenis kelamin laki-laki, sehingga pakaian yang menarik perhatianku selama berbelanja adalah pakaian untuk bayi laki-laki. "Lucu." Adrian setuju dengan pendapatku. "Ah! Tapi harganya lumayan," ujarku ketika melihat tag harga sambil cengengesan. "Beli saja kalau suka."Aku menggeleng. "Tampaknya belum perlu bayi kita memakai tuxedo, kata Mbak Salma pakaian bayi yan

  • Broken Wings   Because You're My Lady

    Bandung dan setumpuk rindu di hati yang sulit kulerai. Rindu yang kurasa kali ini bukan lagi milik Dendra, tetapi rindu akan hal-hal yang pernah aku lakukan di sana tanpa Dendra. Pagi ini bersama Adrian, aku memilih pergi dengan kendaraan umum menuju tempat penjual kupat tahu yang kuidamkan itu. Adrian tampak agak kurang setuju dengan usulku, mengingat kondisiku yang terkadang tiba-tiba turun jika terlalu lelah. "Nggak apa-apa, aku baik-baik saja," ujarku berusaha meyakinkan suami protektif yang berkali-kali bertanya apakah aku tidak merasa pusing, karena angkot yang kami tumpangi berhenti terlalu lama menunggu penumpang. Berbeda jauh dengan saat aku masih kuliah dulu, angkot menuju pasar tradisional tujuan kami ini jarang sekali ngetem lama seperti ini. Mungkin karena pada saat aku kuliah dulu belum ada transportasi online, sehingga angkutan kotalah yang menjadi pilihan utama sebagai moda transportasi. Jarak tempuh dari tempat kami menginap ke tempat yang kami tuju sebenarnya hanya

  • Broken Wings   Bandung dan Sepenggal Kisah

    Ternyata masa-masa kehamilan pada trimester pertama tidak semulus bayanganku. Hampir setiap waktu aku merasa ingin mengeluarkan seluruh isi perut. Di saat perut sudah tak berisi apapun, rasa mual itu malah semakin menjadi. Serba salah, diisi salah, tak diisi pun makin parah. Adrian yang merasa khawatir dengan kondisiku, memilih untuk menemaniku di apartemen. Segala pekerjaan ia kerjakan di apartemen. Hanya sesekali ia keluar, itu pun tak lama. Bahkan Adrian berkali-kali menelpon dokter kandungan, menanyakan apakah kondisiku seperti itu normal. Adrian yang kukenal tenang selama ini, berubah penuh kecemasan. Wajahnya hampir sepanjang waktu terlihat tegang. "Mei, mau aku buatkan sesuatu?" Adrian kembali melongokkan kepala di ambang pintu kamar.Aku hanya menggeleng lemah. Entah pertanyaan yang keberapa kali ia ajukan semenjak tadi pagi. Aku menyuruhnya keluar, karena entah kenapa belakangan ini aroma tubuhnya selalu saja membuatku mual. Meski terlihat sedih, tetapi Adrian menuruti keing

  • Broken Wings   Putusan Hakim

    Senyum tak berhenti nengulas di bibir Adrian semenjak kami keluar dari ruang praktek dokter kandungan tadi. Janin yang kini tumbuh di rahimku masih berumur enam minggu, masih sebesar kacang. Aku harus memperhatikan asupan makanan yang bergizi agar janin ini tumbuh sempurna. Mengenai masalah mual yang belakangan mulai terasa, menurut dokter selagi aku tidak sampai lemas, seharusnya tak masalah. Karena itu hal wajar terjadi pada trimester pertama kehamilan. Kebahagiaan jelas terpancar pada raut wajah Adrian saat mengetahui janin di rahimku tumbuh sesuai usianya. Bahkan setiap kali berhenti di lampu merah, Adrian memandang takjub foto hasil USG calon bayi kami di layar ponselnya. "Sepertinya aku akan terlupakan setelah ini," godaku pura-pura merajuk, tatkala Adrian kembali menatap layar ponselnya. Adrian terkesiap, menoleh ke arahku dengan cepat. "Ah! Maaf!" Adrian meletakkan ponsel, tertawa gugup sembari menggaruk tengkuk, seakan menyadari kelakuannya yang membuatku merasa tersingkir

  • Broken Wings   Our Little Happiness

    Harusnya hari ini aku menghadiri acara sidang putusan kasusku dengan Dendra, tetapi dari semenjak selesai salat subuh, tubuhku seakan tak mampu berkompromi. Rasa mual yang tak tertahankan berkali-kali membuatku harus berlari ke kamar mandi. Sementara itu, Adrian dari semalam tidak kembali ke apartemen karena tengah sibuk mempersiapkan acara grand opening kafe barunya yang tinggal beberapa hari lagi. Rasa pusing dan mual yang kurasa sedari pagi, membuat tubuhku seakan kehilangan tenaga. Setelah menelpon pengacara dan mengatakan bahwa tak sanggup mengikuti acara persidangan hari ini, aku kembali merebahkan tubuh. Setelah kepala kembali menyentuh bantal, rasanya tubuhku mulai membaik. Entah berapa lama tertidur, ketika aku merasakan kecupan lembut dan sedikit geli menusuk kulit pipi. Saat membuka mata, kulihat Adrian mengulas senyum, wajahnya terlihat letih dengan rambut halus yang belum dicukur menghiasi dagu, dan sisi rahangnya. "Kamu baru pulang?" tanyaku dengan suara sedikit serak

DMCA.com Protection Status