Bab 3
Angel hanya bisa menghela napas panjang sambil menahan perasaan sedih kala menyaksikan bagaimana perusahaan peninggalan orang tuanya serta aset-asetnya berpindah ke tangan Ben. Sebagaimana surat wasiat tersebut, maka hari ini Ben menandatangani surat pengalihan aset atas namanya disaksikan oleh notaris dan pihak-pihak terkait.“Selamat Pak Ben, mulai hari ini Bapak resmi menjadi CEO PT. Galaxy.”Senyum samar terukir di bibir Ben. Mulai hari ini ia mendapat kuasa penuh tidak hanya atas Angel namun juga seluruh harta bendanya. Orang tuanya benar. Jika ia menikah dengan Angel maka ia dengan mudah menguasai perusahaan milik Angel yang sudah begitu besar dan memiliki cabang di beberapa daerah. Hanya saja Ben tidak menyangka jika langkahnya akan secepat dan semulus ini. Ia tidak perlu menanti bertahun-tahun untuk menjadi pemimpin Galaxy Group. Ia juga tidak perlu mengkhawatirkan hal-hal yang berhubungan dengan keuangan. Malah ia bisa menyelamatkan perusahaan orang tuanya yang sedang mengalami krisis finansial.Setelah penandantanganan dilakukan Ben dikenalkan secara resmi kepada seluruh karyawan perusahaan sebagai CEO Galaxy Group yang baru. Mereka menyambut dengan gembira pemimpin baru mereka. Selain masih muda Ben juga sangat gagah dan begitu memesona. Membuat siapa saja yang memandang tidak mampu melepaskan tatapan darinya.Dengan menahan sesak di dada Angel meninggalkan kantor. Perasaan sedih merayapi hatinya mengingat peninggalan orang tuanya sudah berpindah tangan. Tidak akan menjadi masalah jika Ben yang memegangnya andai lelaki itu bisa bersikap baik padanya. Yang terjadi adalah selama seminggu mereka menikah Ben tidak pernah menganggapnya sebagai istri. Lelaki itu kasar padanya. Ucapan yang keluar dari mulutnya selalu bernada ketus dan sinis hingga membuat perasaannya yang halus tergores. Namun, yang membuat Angel tidak habis pikir kenapa orang tuanya dengan begitu mudah percaya pada Ben. Andai saja keduanya tahu apa yang pria itu lakukan pada putri tunggal kesayangan mereka, Angel berani memberi garansi orang tuanya akan sangat menyesal. Dan juga, entah kapan surat wasiat itu dibuat Angel tidak pernah tahu.Angel berbelok memasuki kawasan elit yang dulu merupakan tempat tinggalnya. Rumah orang tuanya ada di sana. Sejak menikah dengan Ben, Angel tinggal bersama lelaki itu di apartemennya.Menepikan mobil, Angel berhenti tepat di depan sebuah rumah berwarna putih gading. Perempuan itu keluar dari dalam kendaraannya. Langkah kakinya terhenti di depan pagar. Tidak hanya karena pagar tersebut dikunci, namun juga karena ia melihat tulisan “RUMAH INI DIJUAL” di depannya.Angel menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri, mencari seseorang yang bisa memberinya informasi, tapi tidak satu pun manusia ada di sekitarnya. Lalu otaknya mengirim perintah agar ia menelepon pengacaranya yang segera ia lakukan.“Halo, selamat siang, Bu Angel.” Terdengar sapaan Candra di ujung telepon sana.“Selamat siang, Pak. Ini kenapa ada tulisan “RUMAH INI DIJUAL” di depan rumah orang tua saya? Maksudnya apa ya?” buru Angel tidak sabar.Candra tak seketika menjawab. Pria itu mencerna perkataan kliennya. Lalu setelah ia paham pria itu pun memberi jawaban.“Bu Angel di mana sekarang?”“Saya di depan rumah orang tua saya. Tapi saya kaget melihat tulisan itu, Pak. Siapa yang menyuruh menjualnya?”“Bu Angel, maaf. Saya pikir Ibu sudah tahu. Pak Ben yang meminta saya menjualnya.”“Ben?”“Benar sekali, Bu. Pak Ben suami iBu.”Seketika perasaan kesal datang, membuat Angel ingin ngamuk pada Ben. Apa tidak cukup laki-laki itu menguasai harta orang tuanya? Apa masih kurang sehingga harus menjual rumah peninggalan mereka?“Tapi kenapa harus dijual, Pak? Apa alasannya?” Angel menjaga nada suaranya agar tidak terdengar emosi.“Menurut Pak Ben rumah itu sebaiknya dijual, Bu, karena tidak ada yang menghuninya.”“Saya akan tinggal di sana, Pak, saya akan menghuninya!” sahut Angel cepat.“Maaf sekali, Bu Angel, tapi sudah ada yang tertarik membeli rumah itu dan sudah membayar tanda jadi. Hanya saja saya belum sempat menurunkan tulisan di pagar.”“Batalkan, Pak! Saya nggak mau rumah itu dijual. Rumah itu peninggalan orang tua saya. Banyak kenangan di sana.”“Sekali lagi saya mohon maaf, Bu Angel. Saya tidak dapat berbuat apa-apa. Keputusan ada di tangan Pak Ben. Saya hanya menjalankan perintah. Sebaiknya Ibu berbicara dengan Pak Ben.”Kali ini Angel benar-benar tidak dapat menahan emosi. Perempuan itu hampir menangis saking kesalnya.Setelah memutus sambungan dengan sang pengacara, Angel langsung menghubungi Ben. Tapi ternyata pria itu tidak menjawab panggilan darinya sampai berkali-kali Angel meneleponnya.Membawa kemarahan bercampur dengan isakan, Angel kembali ke kantor. Setibanya di sana Angel langsung menerobos masuk ke ruangan Ben.Pria itu terlihat kaget atas gerakan keras Angel, namun terlalu piawai untuk menyembunyikannya. Ia memasang wajah datar dan sorot dinginnya yang khas."Ben, jelaskan padaku kenapa kamu menjual rumah orang tuaku?" sembur Angel atas perbuatan semena-mena suaminya."Aku nggak berkewajiban menjelaskan apa pun padamu," jawab Ben enteng yang membuat darah Angel sontak mendidih."Aku berhak tahu apa pun yang kamu lakukan atas harta orang tuaku termasuk rumah itu!" Rasa-rasanya baru kali ini Angel bicara dengan suara keras pada orang lain. Dan orang pertama itu adalah suaminya.Ben menegakkan duduk mendengar ucapan penuh protes yang dilayangkan wanita di hadapannya. Wanita yang bagi orang-orang adalah istrinya, namun bagi Ben status itu tetap hanya sebuah status."Mungkin aku perlu ingatkan lagi kalau rumah itu sudah menjadi milikku. Aku nggak perlu persetujuan dari siapapun untuk menjualnya."Benar-benar lelaki tidak punya perasaan. Egois. Otoriter. Semua umpatan itu Angel tujukan pada Ben di dalam hatinya."Tapi aku istri kamu, Ben, aku berhak tahu apa pun yang kamu lakukan, terlebih rumah itu adalah rumah orang tuaku yang artinya adalah rumahku juga."Angel salah kalau menyangka Ben akan melunak. Lelaki itu mempertegas tatapannya pada Angel."Harus berapa kali aku katakan kalau rumah orang tuamu itu sekarang sudah menjadi milikku? Dan apa pun yang menjadi milikku berada di bawah kekuasaanku. Aku berhak melakukan apa saja pada apa pun yang menjadi milikku tanpa pertimbangan atau izin dari siapapun. Dan tentang istri yang kamu gaung-gaungkan jangan pernah menggunakannya untuk menekanku. Bagiku itu hanya status. Kamu nggak lebih dari istri di atas kertas. Untuk kesekian kalinya aku katakan, aku nggak pernah mencintai kamu, Angel!""Kalau memang begitu kenapa kamu mau menikahiku, Ben?" tatap Angel dengan perasaan terluka. Ia menahan diri agar tidak mengeluarkan air mata di depan laki-laki itu. Ia tidak ingin terlihat rapuh sehingga membuat Ben menjadi leluasa untuk mengintimidasinya.***Bab 4Rahang lelaki yang saat ini sedang duduk di hadapan Angel mengetat. Sementara sorot tajamnya semakin dalam menghujam Angel. Kilasan adegan demi adegan kini menari-nari di depan matanya. Saat itu kedua orang Ben memintanya untuk menerima perjodohan dengan Angel lalu menikahi perempuan itu.“Aku nggak mungkin nikah sama dia, Pi!” sentak Ben keras menolak permintaan orang tuanya. Ia baru saja kembali ke rumah, lalu tiba-tiba disuruh menikah dengan wanita yang tidak dicintainya.“Tapi kamu wajib menikahi Angel!” balas pria berbadan tegap yang wajahnya merupakan kopasan Ben versi senior.“Aku nggak mau, Pi. Aku nggak mencintai perempuan itu. Aku sudah punya kekasih!”Sekeras diri Ben menolak, maka sekuat itu pula ayahnya memaksa.“Putuskan kekasihmu itu! Papi nggak mau mendengar apapun alasan kamu. Atau kamu mau usaha kita hancur? Kalau memang itu yang kamu inginkan bersiap-siaplah untuk hidup miskin!”BRAAAK!!!Pintu dibanting sebelum Ben sempat menjawab.Ben Evano, pria muda berusi
Bab 5“Iya, aku Lolita. Jadi ini beneran kamu, Ngel?" Perempuan bernama Lolita itu berkata penuh rasa antusias lalu merengkuh tubuh Angel dan membawa ke dalam pelukannya.Angel membalas pelukan Lolita tanpa berkata apa-apa. Sedangkan Ben yang menyaksikan pemandangan tersebut kini diliputi kebingungan. Dari yang dirinya cerna, lelaki itu menyimpulkan bahwa kekasih dan istrinya saling mengenal satu sama lain. Entah ini merupakan sebuah kemalangan atau ia harus mensyukurinya.Kedua perempuan itu kemudian saling mengurai pelukan mereka lalu berpandangan satu sama lain."Ya ampun, Ngel, udah lama banget ya kita nggak ketemu. Kamu ke mana aja sih?" tanya Lolita sembari memindai tubuh Angel dari puncak kepala hingga bawah kaki."Aku kuliah di London, Ta," jawab Angel dengan lidah kelu. Pertemuan yang tidak disangka ini sungguh sangat mengejutkan baginya apalagi setelah mengetahui bahwa teman lamanya semasa SMU dulu adalah kekasih pria yang saat ini menjadi suaminya. Apa tidak ada lagi kejadi
Bab 6Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui sela-sela gorden yang tidak sepenuhnya tertutup memaksa Angel untuk membuka matanya. Perempuan itu mengerjap berkali-kali, menyesuaikan diri dengan pemandangan baru.Lalu hal selanjutnya yang Angel rasakan adalah perasaan tidak nyaman yang berasal dari sela-sela pahanya.Perempuan itu lantas meringis. Ia baru akan bergerak ketika menyadari sesuatu hal. Ternyata dirinya tidak sendiri di ranjang besar itu. Ada laki-laki tidur di sebelahnya. Dan laki-laki itu adalah suaminya.Seakan belum cukup mendapat kejutan, Angel kembali dibuat kaget ketika menyingkap selimut dan mendapati dirinya berada dalam keadaan polos tanpa sehelai pun kain pelapis kecuali selembar selimut yang menutupi tubuhnya dan Ben.‘Astaga, apa yang sudah kulakukan?’ pikir Angel di dalam hati.Berbagai pikiran berkejaran di kepalanya. Otaknya dipenuhi oleh tanda tanya besar.Begitu mendapat ingatannya, dengan perlahan adegan demi adegan kemarin malam melintas di depan ma
Bab 7Angel mendengar suara bantingan keras di pintu di saat dirinya keluar dari kamar mandi. Ben menghilang meninggalkan aroma parfum yang soft tapi maskulin. Menghela napasnya dalam-dalam, Angel memutuskan untuk mengabaikan apa yang baru saja terjadi. Lalu perempuan itu membuka lemari. Ia mencari baju yang akan dipakainya hari ini di antara susunan pakaian yang terdapat di sana. Meski hari ini ia sedang tidak baik-baik saja tapi Angel harus tetap ke kantor.Ia menjatuhkan pilihan pada sebuah blus berwarna coklat muda yang dipadu dengan pencil skirt berwarna senada.Ringisan menyembul di paras manis perempuan itu ketika ia mengangkat kakinya untuk memakai rok. Tidak hanya itu saja, pergerakan sekecil apapun membuatnya harus menahan nyeri. Rasa sakit di pangkal pahanya tak kunjung hilang. Dirinya harus menanggung sendiri rasa sakit itu. Seakan belum cukup perasaan sakit yang dialaminya Ben juga menorehkan luka batin di hatinya.Sampai setengah jam kemudian Angel tiba di kantor ia masi
Bab 8“Lolita? Kenapa harus dia?” tanya Angel memprotes.“Kenapa memangnya? Kamu keberatan?” Ben membalas pertanyaan dengan pertanyaan.Tentu saja Angel keberatan. Ia tidak mungkin membiarkan Lolita yang jelas-jelas berstatus sebagai kekasih Ben untuk bekerja di kantornya.“Aku memang keberatan. Apa nggak bisa cari orang lain saja?”“Nggak ada orang lain yang cocok denganku dan benar-benar mengerti aku kecuali Lolita,” jawab Ben bersikukuh dengan keinginannya.“Itu karena kamu belum mencoba. Kamu baru beberapa hari ngantor di sini tapi udah langsung bilang nggak cocok dengan Sofia.”“Jadi aku harus menunggu berapa bulan, hah?” tantang Ben mengangkat dagunya.Menghadapi Ben tidak akan mudah. Hal itu sudah Angel patrikan di dalam hatinya berkali-kali. Tapi tidakkah untuk kali ini lelaki itu bisa diajak berkompromi?“Dengar aku baik-baik, Angel. Aku ingatkan lagi kalau saja kamu lupa. Aku adalah pemilik perusahaan ini. Apa pun yang aku lakukan mutlak menjadi hakku. Aku nggak butuh pertim
Bab 9Angel dan Lolita serentak memandang ke sumber suara bersama dengan dekapan keduanya yang terurai.“Iya, Ben?” kata Lolita menanggapi.“Karena kamu sudah datang jadi aku pikir untuk membicarakannya sekarang dengan Angel. Ayo duduk dulu.” Ben berucap sambil menunjuk sofa yanng berada di ruangan tersebut.Tanpa menunggu diberi aba-aba kedua, segera saja Lolita melangkahkan kakinya menuju tempat yang Ben maksud.Angel masih berdiri terpaku karena merasa tidak diajak duduk bersama. Di dalam hati ia membandingkan cara Ben bicara padanya dan pada Lolita. Ben begitu kasar dan ketus pada Angel sedangkan saat berbicara dengan kekasihnya lelaki itu begitu lemah lembut. Entah kapan Angel akan berada di posisi itu.Ben dan Lolita mulai mengobrol. Setelah pertengkaran kemarin keduanya sudah kembali akur dan mesra seperti yang sudah-sudah. Angel tidak tahu bahwa hubungan keduanya membaik setelah Ben menjanjikan pada Lolita akan menceraikan Angel sesegera mungkin.Begitu menyadari bahwa Angel m
Bab 10Angel kembali ke ruangannya setelah pembicaraan bertiga dengan Ben dan Lolita selesai. Sambil membuka laptop perempuan itu memijit pelipisnya. Entah kenapa kepalanya mendadak berat. Mungkin karena kurang tidur atau bisa jadi karena ia baru saja menyetujui keputusan yang sebenarnya sangat bertentangan dengan hatinya. Namun, sekalipun Angel tidak menyetujui keputusan itu sikapnya tidak akan berarti apa-apa. Ben akan tetap mempekerjakan Lolita sebagai asisten pribadinya. Pria itu tidak butuh masukan dari Angel.Angel meraih gagang telepon lalu menghubungi Luna, meminta asistennya itu untuk datang. Tidak sampai lima menit perempuan berkacamata dengan frame oval serta rambut panjang bergelombang menampakkan diri di hadapannya.“Pagi, Bu, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.“Lun, saya butuh laporan progress pembangunan Mandala Apartemen. Bisa saya lihat sekarang?”“Bisa, Bu, tapi hard file-nya Pak Ben yang pegang. Bapak juga minta laporan itu ke saya.”Angel tertegun sejenak l
Bab 11“Jadi begini sikap yang baik? Baru datang di saat semua sudah berkumpul dan meeting sudah dimulai?”Selama hitungan detik Angel tertegun mencerna kata-kata Ben padanya. Pria itu marah padanya hanya karena Angel terlambat beberapa menit saja.Bukan hanya Angel sendiri, namun seluruh peserta meeting melongo menatap Angel yang sukses menjadi pusat atensi. Mereka tak menduga jika atasan mereka akan sekeras itu pada istrinya sendiri.“Maaf, Pak, saya salah.” Angel melafalkan kata itu sembari matanya menyebar mencari tempat duduk kosong yang tersedia. Ia menemukan satu kursi tak berpenghuni di sebelah Luna. Ia bisa menggunakannya nanti.Ben menggeram kesal di hatinya melihat sikap yang ditunjukkan Angel. Perempuan itu meminta maaf padanya tapi bola matanya bergulir ke mana-mana seakan kata maaf yang baru saja disampaikannya hanya sekadar syarat agar Ben mengizinkannya masuk lalu bergabung bersama peserta rapat yang lain.“Semua orang bisa mengaku salah dan meminta maaf. Tapi apa itu
Detik waktu seakan berhenti berputar ketika pria itu memutar tubuhnya hingga bertemu mata dengan Angel. Sekujur tubuh Angel seketika menggigil. Pria itu adalah satu-satunya manusia yang tidak ingin Angel temui di muka bumi ini. Kalau pun dirinya harus bertemu dengan pria tersebut maka dia adalah orang terakhir yang ingin Angel lihat."Angel ..." Bibir Ben gemetar saat melafalkan nama perempuan yang sudah bertahun-tahun menghilang dari kehidupannya.Angel membeku di tempat. Kakinya terasa selunak agar-agar hingga ia merasa tidak sanggup lagi menopang tubuhnya sendiri."Mama, Om itu lagi bicara sama Mama." Bobby menggoyang-goyangkan tangan Angel karena ibunya itu terpaku membisu.Angel masih belum sanggup melakukan apa-apa. Semua ini begitu mendadak dan sangat mengejutkannya.Sementara itu Ben masih belum berkedip memandang Angel. Adegan demi adegan yang terjadi di masa lalu kini berputar-putar di kepalanya seperti tayangan film yang diputar ulang. Namun yang paling berkesan adalah saat
Ben yang tadi berdiri tegak membungkukkan sedikit badannya agar sejajar dengan Bobby. Melihat cara anak itu memandangnya membuat Ben mengerti bahwa Bobby meragukannya."Bobby, jangan takut. Om bukan orang jahat atau penculik anak. Maksud Om sebenarnya baik. Om hanya kasihan dan nggak mau Bobby lama menunggu di sini.”Meski Ben sudah mencoba meyakinkannya namun Bobby masih merasa bimbang. Mamanya mengajarkan pada anak itu agar berhati-hati pada orang tidak dikenal."Dari mana Om tahu namaku?" tatap Bobby curiga.Ben menahan senyum melihat ekspresi Bobby yang menggemaskan. Tangannya lantas menyelinap ke balik jas. Dikeluarkannya sesuatu dari sana. Kertas gambar yang kemarin ditemukannya."Ini, Om tahu dari sini."Sepasang mata anak itu terbuka lebar menyaksikan kertas yang kemarin dicarinya ternyata ada bersama Ben."Ini dia yang aku cari. Om ketemu di mana?" kejarnya antusias."Om ketemu di sekolah ini. Kemarin kertasnya jatuh tapi Bobby sudah pulang. Ini ambillah." Ben memberikan kert
Ben menekuri dengan saksama kertas putih di tangannya. Di kertas itu berisi gambar. Bukan gambar biasa melainkan gambar pesawat. Dilihat sepintas lalu gambar tersebut digambar oleh orang dewasa atau seseorang yang begitu berbakat. Gambar tersebut begitu bagus dan rapi. Mulai dari goresannya yang begitu estetik hingga kombinasi warna yang digunakan. Tidak akan ada yang menyangka jika gambar tersebut adalah hasil goresan tangan dari seorang anak yang masih berusia lima tahun. Bahkan Ben sendiri.Kertas itu Ben dapat di sekolah Taman Kanak-Kanak tempatnya bertemu dengan anak yang begitu mirip dengannya. Saat anak itu pergi bersama lelaki yang Ben duga adalah ayahnya Ben baru menyadari anak tersebut meninggalkan sesuatu.Ben memungut kertas gambar tersebut dari tanah. Lalu akibat terlalu penasaran lelaki itu membawa kertas tersebut bersamanya.‘Bobby Fernanda.’ Ben mengeja di dalam hati dua potong kata yang merupakan nama anak tersebut.Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya yang
Enam tahun kemudian. "Papa!!!" Segaris senyum tipis terselip di bibir Refal di ketika melihat seorang anak laki-laki memanggil lalu berlari menghampirinya. Anak laki-laki itu berkulit putih dan memiliki paras yang rupawan. Tinggi badannya juga melebihi anak-anak seusianya. Refal tersenyum lantas menyambut tangan anak itu saat ingin bersalaman dengannya. "Gimana sekolahnya, By?" tanyanya pada Bobby, nama anak itu. "Menyenangkan, Pa. Aku suka sekolah di sini." Refal membelai kepala Bobby. Mereka melangkah bersisian menuju tempat mobil Refal diparkir. Tiba-tiba seorang lelaki yang berjalan terburu-buru dari arah berlawanan dengan mereka tidak sengaja menabrak Bobby hingga anak itu terjatuh. "Aduuuuh, Papaaa ...," rintihnya dengan ringisan di wajah. Sontak pria yang menabrak memandang ke arah Bobby. "Maaf, Om nggak senga—" Perkataan pria itu terputus. Wajah anak yang ditabraknya terasa tidak asing lagi dengannya. Matanya, hidungnya, bibirnya, serta bentuk dahinya bagai copy pa
Setelah meninggalkan kamar Angel dan menyuruh perempuan itu beristiraharat Refal muncul tak lama kemudian dengan membawa nampan berisi nasi dan dua buah gelas. Masing-masing gelas tersebut berisi air putih dan teh. Lelaki itu lantas meletakkan di atas nakas."Makanlah dulu," suruhnya pada Angel. Setelah berkata demikian lelaki itu keluar dari kamar.Menghela napasnya, Angel bangkit dari posisinya berbaring. Perempuan itu memijit-mijit pelipisnya. Sementara itu pikirannya mulai mengurai kejadian demi kejadian yang terjadi dalam hidupnya.Apa yang dilakukan Ben sekarang? Apa lelaki itu mencarinya? Apa lelaki itu tidak merasa penasaran karena Angel tidak pulang?Angel menepis pikiran demi pikiran itu dari kepalanya. Mana mungkin Ben mencarinya. Lelaki itu sudah mengusirnya dan terlihat begitu membenci Angel.Memejamkan mata, Angel mengusir pikiran tersebut jauh-jauh. Ia tidak boleh lagi memikirkan Ben apalagi berharap lebih dengan menginginkan lelaki itu mencarinya."Kenapa tidak dimakan
Sore itu Refal baru saja pulang dari tempat kerjanya. Hari ini pasiennya tidak terlalu banyak sehingga ia bisa meninggalkan rumah sakit lebih awal.Sejak pagi hujan turun tanpa henti. Titik-titik air masih terus membasahi hingga saat ini.Refal mengemudi dengan santai. Namun lama kelamaan ia mulai merasa ngantuk. Berkali-kali lelaki yang berprofesi sebagai dokter kandungan tersebut menutupi kuap dengan telapak tangan. Ia berencana setibanya nanti di rumah akan tidur sepuasnya. Bergelung di dalam selimut adalah hal yang sangat diinginkannya saat ini.Tiba-tiba sesuatu mengejutkannya. Lelaki muda itu sontak menekan pedal rem dengan mendadak ketika tiba-tiba melihat seorang perempuan berlari ke tengah jalan dan menabrakkan diri ke mobilnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga ketika orang tersebut ambruk ke aspal tepat di depan mobilnya.Refal buru-buru keluar dari mobil dan melihat sendiri perempuan itu. Kantuknya lenyap. Matanya yang tadi begitu berat mendadak terbuka leb
Langkah kaki Angel semakin menjauh meninggalkan Galaxy Group. Ia mulai lelah lantaran tenaganya yang terus terkuras. Hingga pertolongan itu akhirnya datang.Angel melihat ada taksi melintas di tengah-tengah hujan yang bertambah deras. Diulurkannya tangan ke arah jalan, meminta agar taksi tersebut berhenti.Taksi menepi lalu berhenti di dekat Angel. Beruntung taksi tersebut sedang kosong sehingga Angel bisa masuk ke dalamnya.“Ke mana, Mbak?” Supir taksi menanyakan tujuan Angel saat telah bergerak pelan.Angel tak lantas menjawab karena memang dirinya tidak tahu harus pergi ke mana. Ia hanya ingin menjauh dari Ben yang telah mengusirnya.“Mbak, kita akan ke mana?” Untuk kedua kali supir taksi menanyakannya lantaran Angel belum memberi jawaban.“Jalan saja dulu, Pak.” Angel menjawab. Sambil taksi berjalan ia akan memikirkan tujuannya.Menuruti keinginan penumpangnya, taksi melaju membelah jalan raya. Hingga tiba di traffic light Angel belum bisa menentukan tujuannya.“Mbak, saya harus m
Hari ini Angel tetap beraktivitas seperti biasa. Perempuan itu datang ke kantornya. Kehamilan yang dialaminya sama sekali bukan halangan baginya untuk menjalankan rutinitas. Lagipula ia ingin bertemu dengan Ben. Ia ingin tahu apa suaminya itu sungguh-sungguh dengan keinginan untuk menyuruh Lolita pergi.‘’Kamu yakin tetap kerja hari ini?” tanya Rendra bimbang mengingat saat ini sepertinya keadaan Angel tidak benar-benar sehat.“Aku akan baik-baik saja, Rend. Nggak usah terlalu mengkhawatirkanku,” kata Angel meyakinkan.“Jadi nanti setelah dari kantor kamu juga akan kembali ke apartemen Ben?” Rendra bertanya lagi.“Aku harap begitu.”Kalau sampai Lolita belum pergi juga dari apartemen tersebut maka Angel benar-benar tidak akan kembali ke sana. Sudah cukup. Ia tidak tahan lagi.“Terus kapan Tante ke sini lagi? Sasa kan belum puas main sama Tante,” sela Marsha sambil memandangi Angel dengan wajah polosnya.Angel mengalihkan perhatiannya pada Marsha. Lalu diberinya anak itu segaris senyu
Butuh waktu beberapa detik bagi Lolita untuk meresapi ucapan Ben sebelum perempuan itu berkata, “Hamil?”“Aku juga baru tahu kalau dia hamil,” ucap Ben menimpali.“Kamu yakin kalau dia hamil anakmu?”Pertanyaan yang dilontarkan Lolita tentu mengejutkan Ben. Iya, tadi Ben juga melafalkan hal yang sama saat berada di rumah Rendra. Hanya saja itu merupakan bentuk kekagetannya atas hal yang sekali pun tidak pernah melintas di kepalanya, bukan berarti ia meragukan kalau anak yang dikandung Angel bukan anaknya.“Maksudmu apa, Ta?” Ben ingin Lolita memperjelas kata-katanya yang ambigu.“Maksudku adalah bagaimana mungkin dia bisa hamil anakmu sedangkan kalian baru beberapa waktu belakangan ini berbaikan. Jadi menurutku sangat nggak masuk akal.”Ben sontak membisu. Pria itu mencoba mencerna perkataan kekasihnya. Belum sempat pria itu menyimpulkan, Lolita sudah kembali berbicara.“Aku tahu kamu nggak bodoh, Ben. Kamu sangat cerdas. Jadi aku harap kamu bisa menggunkan kecerdasanmu itu. Jangan ma