"Yoh, hadiah ini tidak murah." ujar Kayshila dengan senyuman menggoda yang tidak disembunyikan. "Dia cukup royal untukmu, ya.""Aku sudah bilang tidak mau." Jeanet mengerutkan kening. "Tapi dia keras kepala. Katanya, mobilnya sudah dibeli, dia juga tidak mungkin memakai mobil yang 'terlalu feminin' ini. Kalau aku tidak suka, disuruh buang saja."Apa boleh buat? Akhirnya dipakai juga."Ah."Setelah mendengarnya, Kayshila menghela napas. "Matteo masih sendiri?""Tidak tahu, mungkin untuk sekarang, iya."Jeanet menggeleng pelan.Dalam tiga tahun terakhir, Kayshila sibuk dengan kehidupannya, begitu juga Jeanet. Dia sibuk belajar, mengerjakan proyek penelitian, dan mengurus keluarga.Matteo juga tak kalah sibuk. Keluarganya sudah menyerahkan sebagian bisnis ke tangannya, membuat tanggung jawabnya bertambah besar.Tapi harus diakui, dalam tiga tahun ini, dia bekerja dengan sangat baik.Kalau dipikir-pikir, dalam tiga tahun terakhir, Jeanet dan Matteo tidak sering bertemu. Kalau b
"Tante …"Kayshila menundukkan kepala dengan rasa bersalah."Maaf, aku pergi terlalu lama.""..." Jolyn menangis sambil menggelengkan kepala, mencoba memaksakan sebuah senyuman. "Yang penting kamu sudah kembali, itu sudah cukup."Dia terisak, menarik napas dalam-dalam."Aku mengerti, kamu juga pasti sulit saat itu. Kalau bukan karena Cedric, kamu tidak akan pergi."Dia tahu Kayshila pergi karena tidak sanggup menghadapi Zenith."Kami paham, semua paham."Jolyn menepuk-nepuk tangan Kayshila, memperhatikannya dengan seksama. "Selain rambutmu yang lebih pendek, kamu masih sama seperti dulu, tidak banyak berubah."Dia bahkan sempat bercanda, "Seperti Cedric juga. Dia sekarang hanya rambutnya yang tumbuh panjang."Kayshila tertegun mendengar candaan itu. "Tante, kamu sungguh memiliki hati yang kuat.""Ah," Jolyn menghela napas ringan. "Cedric butuh perawatan. Kalau aku tidak punya hati yang kuat, bagaimana aku bisa menjaganya? Dokter bilang Cedric hanya sedang 'tidur'. Dia seben
Malam itu, Zenith berada di Miseri, bersama Farnley dan beberapa teman lainnya.“Sudah aku cek.”Farnley adalah yang terakhir datang. Dia duduk di sebelah Zenith. “Dia masuk ke Indonesia dua minggu lalu. Tiga tahun terakhir dia belajar di Philadelphia.”Belajar?Zenith memutar gelas anggur merah di tangannya, lalu meneguknya. Dia adalah seorang wanita, ditambah lagi membawa seorang anak …“Bagaimana dengan matanya?” tanyanya. “Bagaimana bisa sembuh?”“Itu belum di ketahui.”Farnley menggeleng, lalu menuangkan minuman untuk dirinya sendiri. “Di dokumen pribadinya, tidak ada catatan medis.”Setelah membasahi tenggorokannya, dia melanjutkan, “Saat ini, pihak imigrasi sedang memverifikasi dokumen-dokumennya. Setelah disetujui, dia baru bisa mengakses warisannya dan berpraktik sebagai dokter secara legal.”“Hmm.” Zenith mengangguk pelan, tanpa mengatakan apa-apa lagi.“Cuma ‘hmm’ saja?”Farnley menatapnya kesal. “Kamu tidak berniat melakukan sesuatu?”“Mau ngapain?” Zenith mengg
Dina sedikit tertegun, perhatian pria itu membuatnya terkejut sekaligus senang.Dia menggelengkan kepala, "Tidak."Lagi pula, jika pria itu saja tidak peduli pada Kayshila, kenapa dia harus merasa cemas? Takut pria itu akan kembali pada mantan pacarnya?Dia merasa telah bertindak terlalu gegabah.“Baguslah.” jawab Zenith sambil membawa Dina duduk di meja mahjong, bahkan memberikan kursi utama untuknya.“Malam ini, kamu gantikan aku bermain.”Sambil berbicara, dia memijat pelipisnya. “Aku sedikit pusing karena minum alkohol.”“Apakah tidak apa-apa?” Dina langsung merasa khawatir, “Kalau begitu, bagaimana kalau aku membantumu untuk memijat?”Saat berbicara, tangannya sudah terangkat.“Tidak perlu.”Zenith menolak, wajahnya tetap tersenyum seolah-olah ingin menenangkannya. “Kamu hanya perlu menggantikanku bermain.”“Tapi …” Dina menggigit bibirnya, “Aku tidak terlalu pandai bermain. Takutnya, aku akan kalah.”“Tidak masalah.”Zenith tertawa kecil, “Apa aku perlu khawatir kamu
Wajah Kayshila tampak kaku dan pucat, dia mengerutkan keningnya.“Maaf, tolong lepaskan tangan Anda.”Melihat situasinya, tampaknya masalah ini tidak akan selesai dengan mudah. Kayshila meraih walkie-talkie di pinggangnya, berniat meminta bantuan manajer.Namun, dia ragu ...Jika dia membuat masalah untuk manajer malam ini, permintaan yang ingin dia sampaikan nanti mungkin tidak akan diterima.Bisa-bisa, malam ini juga dia akan dikeluarkan dari tempat ini!“Tunggu.”Di tengah kebimbangannya, tiba-tiba terdengar suara Zenith.Kayshila tertegun, lalu mendongak menatapnya.Kebetulan, Zenith juga sedang melihatnya. Pandangan mereka bertemu sejenak. Namun, dia melihatnya tapi juga seperti tidak melihatnyaTatapan Zenith padanya tidak seperti sedang melihat seseorang, melainkan menilai sebuah objek.Begitu dia berbicara, semua orang di sekitar langsung berhenti.Zenith diam sejenak, menatap Kayshila, lalu memutar kepalanya ke arah Dina.Dengan nada serius, dia bertanya, “Menurut
Pintu lift akhirnya tertutup rapat, dan senyuman di wajah Zenith dengan cepat menghilang, tatapannya menjadi dingin.Dia menyipitkan matanya, menatap celah pintu lift ... dia setidaknya seorang doktor, meskipun untuk sementara tidak bisa berpraktik sebagai dokter, bukankah ada banyak pekerjaan lain di Jakarta?Bisa-bisanya seorang doktor, sampai harus menunduk dan melayani orang lain seperti ini.“CEO Edsel?” Dina memandangnya dengan hati-hati. “Kamu tidak apa-apa?”“Tidak apa-apa.”Zenith kembali sadar dan menatap wajahnya beberapa saat.Tiba-tiba, dia berkata, “Wajahmu, jangan operasi lagi.”“...” Dina tertegun, merasa agak tidak nyaman.Dia menyentuh wajahnya. “Apa tidak bagus?”Atau, karena Kayshila?Fitur wajahnya memang sedikit mirip dengan Kayshila sejak awal. Karena itu, ketika pertama kali memasuki dunia hiburan, dia menggunakan nama panggung ‘Kayshila’.Namun, Zenith tidak suka dan melarangnya menggunakan nama itu.Kemudian, setelah resmi terjun ke dunia hiburan
Pada hari Rabu, Kayshila adalah orang pertama yang tiba di tempat kerja. Dia datang lebih awal, mengabsen terlebih dahulu, dan mempersiapkan segala perlengkapan.Begitu supervisor tiba, dia segera mengambil tugasnya."Kayshila." supervisor melihatnya dan mengerucutkan bibir, mengingatkannya, "Pelanggan ini punya status penting, jadi hati-hati, ya.""Tenang saja," Kayshila tersenyum. "Tamu di sini, siapa yang tidak punya status penting?"Semua tamu di tempat itu adalah orang kaya atau pejabat."Tch." supervisor mendengus. "Tamu ini sudah langganan lama. Katanya sering tidak bisa tidur dan sakit kepala, bahkan bilang pijatan kita tidak berpengaruh.""Bayangkan saja, dia sudah ke dokter, diberi resep obat tidur pun tidak mempan. Ini jelas masalah medis yang sulit diatasi. Tapi dia berharap pijatan kita bisa menyelesaikannya?""Dia cuma mau cari pelampiasan."Kayshila tersenyum. "Tidak apa-apa, biarkan saja dia bicara. Saya hanya mendengarkan."Supervisor memandangnya. "Kamu meman
"Jika Anda takut, Anda bisa memejamkan mata." ujar Kayshila sebelum mulai melakukan akupuntur."Oke." Zachary langsung memejamkan mata. "Bukan karena saya takut, tapi supaya kamu lebih leluasa.""Baik."Kayshila tersenyum dan mulai menusukkan jarum di titik-titik akupuntur satu per satu.Zachary bertanya dengan heran, "Sudah mulai?""Ya, sudah selesai.""Eh?" Zachary tampak kagum. "Saya tidak merasakan apa-apa ... Sepertinya ini akan berhasil!""Saya juga berharap begitu."Kayshila berkata, "Ini sesi pertama Anda, jadi kita mulai selama setengah jam saja agar Anda bisa menyesuaikan diri.""Baik, ikuti kata-katamu."Setelah setengah jam berlalu, Kayshila melepas jarum akupuntur. "Anda sudah bisa membuka mata sekarang.""Oh, baik …"Zachary membuka mata dan berkomentar, "Kalau saja kamu tidak membangunkan saya, mungkin saya sudah tertidur.""Maaf jika mengganggu Anda.""Ah, tidak apa-apa." Zachary melambaikan tangan. "Eh?"Dia mengedipkan matanya beberapa kali. "Sepertiny
Azka yang bertubuh tinggi dengan mudah mengangkat Jannice di atas bahunya, ke mana pun pergi, Jannice tak perlu berjalan sedikit pun.Jannice pun girang dan berteriak, "Aku milik tempat ini! Tempat ini bagaikan surga!"Ucapan itu terdengar oleh para orang dewasa, membuat mereka tak bisa menahan tawa.Seiring berjalannya waktu, para tamu pun datang satu per satu.Pernikahan pun tiba sesuai jadwal.Di taman tua yang klasik, hamparan karpet merah digelar. Azka kembali menggendong Kayshila, mengantarnya menuju pernikahan.Ia menyerahkan sang kakak kepada Zenith, "Kakak ipar, kakakku kuserahkan padamu."Pemuda itu kini berbicara jauh lebih lancar daripada dulu."Tenang saja." Zenith menerima mempelainya, di belakangnya ada Jannice dan Kevin sebagai flower boy dan flower girl, menaburkan kelopak bunga ke udara.Saat sesi lempar bunga, dengan teriakan Kayshila, "Aku lempar ya! Satu, dua, tiga!"Dia melemparkan buket bunga ke belakang.Buket itu terbang di udara, dan di tengah riuh para tamu,
Awalnya, niat Kayshila adalah untuk tidak menggelar pernikahan lagi.Namun, saat urusan ini jatuh ke tangan Adriena, ditambah lagi dengan Ron, pasangan suami istri ini memang merasa sangat bersalah kepada putri mereka. Dengan adanya kesempatan seperti ini, bagaimana mungkin mereka tidak memanfaatkannya sebaik mungkin?Dan juga, Ron dan Calista telah resmi bercerai setengah tahun lalu, dan keesokan harinya, Ron langsung mendaftarkan pernikahan dengan Adriena, menjadikan mereka pasangan sah secara hukum.Pertikaian yang telah berlangsung selama lebih dari dua puluh tahun itu akhirnya mencapai sebuah akhir.Setidaknya, bagi mereka, ini adalah akhir yang baik.Pernikahan mereka digelar dengan sangat megah. Para tokoh kalangan elite dari seluruh Kanada yang bisa hadir, datang semua.Ron akhirnya bisa menegakkan kepala, menikahi perempuan yang telah dicintainya sejak muda, dan kini akhirnya ia bisa berdiri di sisinya secara sah.Dalam pernikahan itu, Kayshila dan Zenith mengambil cuti dan da
"Baik, aku mengerti."Setelah menutup telepon, Kayshila berdiri di hadapan Zenith. Mata Zenith sedikit memerah, suaranya tenang namun terdengar datar."Dia sudah pergi."Kayshila memejamkan mata sejenak, tak mengatakan apa pun. Dia hanya melangkah maju dan memeluknya.Dia bisa merasakan tubuh Zenith sedikit gemetar.Di saat seperti ini, hatinya pasti sangat terluka, ya?Kini, tampak jelas bahwa yang paling patut dibenci adalah Gordon dan Morica. Hidup Jeromi bisa dibilang penuh dengan ketidakberuntungan.Akhir hidupnya yang seperti itu seolah-olah membuat seluruh perjalanan hidupnya di dunia ini menjadi sia-sia.Kayshila menepuk-nepuk punggung Zenith dengan lembut. "Adakan pemakaman yang layak untuknya. Iringi dia ke peristirahatan terakhirnya dengan baik.""Mm." Zenith mengangguk dengan suara serak.Meski berniat menggelar pemakaman yang layak, pada kenyataannya tak banyak orang yang hadir.Selama beberapa tahun terakhir, Jeromi tinggal di Toronto dan tak memiliki banyak teman. Dia me
Jeromi perlahan membuka mulut, menatap langit-langit, "Aku ini hidupnya pendek. Tapi sejujurnya, aku sudah lama merasa cukup dengan hidup ini.""Bagiku, sejak meninggalkan Jakarta, meninggalkan kamu, ibu, dan kakek … setiap hari setelahnya terasa lebih menyiksa daripada mati."Suasana dalam ruangan sunyi senyap.Kayshila diam-diam menggenggam tangan Zenith.Orang bilang, ketika seseorang menjelang ajal, kata-katanya menjadi tulus.Kalau dulu Jeromi mengucapkan kalimat seperti ini, orang mungkin akan curiga, apakah dia hanya sedang berpura-pura.Tapi melihat kondisinya sekarang … apa gunanya berpura-pura lagi?Sudah terlihat jelas, dia benar-benar sedang sangat menderita.Jeromi melanjutkan, "Satu-satunya keinginanku dalam hidup ini adalah kembali ke Jakarta, kembali ke sisi Ibu …"Ia perlahan menoleh ke arah Zenith, "Zenith, kumohon padamu, bawalah aku pulang, bolehkah?"Bibir Zenith menegang, hatinya terasa perih dan sesak.Pria di hadapannya ini dulu adalah saudara kandungnya, tapi j
Mereka tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, bahkan untuk mengurus Jannice pun sudah tidak diperlukan lagi.Paman Kevin sangat menyayangi keponakan perempuannya, dan ia sering mengajaknya bermain keliling seluruh area perkebunan.Tahun itu, saat mereka datang, Toronto sedang berada dalam musim dingin. Namun kini, musim semi telah tiba, bunga-bunga bermekaran, taman terlihat sangat indah, sangat cocok untuk anak-anak bermain.Memasuki bulan April, Toronto akan berganti ke musim panas, yang akan berlangsung hingga Oktober. Pada saat itu, perkebunan akan terlihat secantik lukisan cat minyak.Adriena pun mengusulkan, "Kayshila, bagaimana kalau nanti acara reuni kalian diadakan di sini saja?"Semakin dipikir, ia merasa ide itu sangat masuk akal."Tempatnya luas, kalian juga hanya mengundang kerabat dan teman dekat saja, pasti cukup untuk menampung semua. Kota Azka juga dekat dari sini, jadi kalau mau menjemput orang juga mudah. Momen ini langka, kalian kakak-beradik bisa berkumpul kembali."
Cuaca perlahan mulai menghangat.Ketika Kayshila mengajak Jannice turun ke bawah untuk mencuci tangan dan bersiap makan malam, langit di luar masih terang.Kayshila bergumam, "Rasanya belum malam ya.""Mama!""Hmm?"Saat menunduk, ia melihat Jannice meletakkan kedua tangannya di perut, lalu menepuknya pelan, "Aku bisa makan! Aku lapar! Aku mungkin bisa makan semuanya!""Puhaha ..."Kayshila tak bisa menahan tawa, lalu mengelus pipinya. "Baiklah! Putri kecil Jannice sudah lapar ya! Makan malam akan segera siap!"Di ruang makan, Zenith sudah menyendokkan nasi untuk ibu dan anak itu.Hari ini ia pulang lebih awal, bahkan sempat memasak sendiri satu hidangan.Kayshila menarik kursi dan duduk. Setelah melihat jumlah nasi di mangkuknya, ia mengernyit, lalu mengambil sebagian dan memindahkannya ke mangkuk Zenith."Kebanyakan, aku nggak sanggup ngabisin.""Kamu tuh ya …" Zenith menggeleng, tak berdaya tapi tetap sayang, "Sore tadi kebanyakan ngemil, ya?"Satu kalimat langsung membongkar rahasi
"Aku mengerti."Setelah menutup telepon, Jeanet merasa pikirannya melayang entah ke mana.Dia tahu betul, kecelakaan pesawat itu adalah kenyataan. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan hanyalah mencoba menghubunginya ...Kalau beruntung, dia mungkin hanya terluka.Tapi apakah kemungkinan itu besar?Jeanet tak berani membayangkannya.Tak lama kemudian, seluruh Keluarga Gaby pun mengetahui kabar tersebut.Jeanet duduk di sofa, terdiam, wajahnya tampak pucat kehijauan. Sesekali dia mengangkat ponsel untuk melihat, takut melewatkan pesan dari Kayshila.Namun sepanjang malam, tidak ada kabar sama sekali.Kembali ke kamar, ia berbaring. Tapi Jeanet tak bisa tidur, berguling ke sana ke mari.Akhirnya ia memutuskan untuk menelepon Kayshila, "Kayshila, ini aku.""Belum ada kabar."Kayshila langsung mengerti maksudnya. "Pihak bandara sudah memberikan daftar, dan Zenith juga sudah menghubungi mereka. Tapi keadaan di sana masih cukup kacau, daftar korban luka dan meninggal belum keluar ... Jeanet,
Tas, ditambah dengan gelang.Itu semua adalah barang kesukaan Jeanet. Farnley tanpa banyak bicara, diam-diam langsung mengirim semuanya ke hadapan Jeanet.Jeanet merasa rumah ini dipenuhi oleh ‘mata-mata’."Ayo, makan dulu."Audrey datang membawa sarapan dan meletakkannya di atas meja teh. Dia melirik tas di atas meja, "Wah, cantiknya! Siapa yang ngasih nih?""Siapa yang ngasih?"Jeanet menyipitkan mata, "Heh, kamu pura-pura nggak tahu?""Mana aku tahu?" Audrey pura-pura bodoh."Kalau nggak ngaku ya sudah."Jeanet juga tidak memaksa. Meski ibunya mengaku, apa dia bisa berbuat apa pada ibunya sendiri?Namun Audrey duduk dan mulai bicara dengan nada serius, "Jeanet, Ibu rasa ...""Bu." Jeanet mengernyit, sedikit jengkel."Kamu ini ..."Audrey takut anaknya kesal, jadi menghela napas dan berkata, "Ibu bukan menyuruh kamu langsung balikan\ sama dia, cuma … coba kasih dia kesempatan. Nggak ada manusia yang sempurna. Anak muda seperti Farnley itu, langka lho."Dia tidak bicara panjang, takut
Masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa, adik iparnya, Jeanet, menunjukkan antusiasmenya sepenuhnya, menarik Chelsea untuk mengobrol tanpa henti.Anak perempuan selalu punya banyak topik sosial yang alami, seperti soal kosmetik, perhiasan, tas, ingin akrab jadi sangat mudah."Warna lipstik kamu hari ini cantik banget.""Kamu suka? Kebetulan aku bawa, mau coba?""Mau dong." Jeanet sama sekali nggak sungkan. "Tas kamu juga cantik banget.""Oh, yang ini ya."Chelsea tersenyum sambil melirik Jenzo, "Ini kakakmu yang beliin. Aku awalnya nggak tahu, kalau tahu, pasti nggak akan izinin dia beli."Alasannya cuma satu, karena tas itu terlalu mahal."Kenapa nggak boleh?"Jeanet nggak setuju. "Tasnya cantik banget, lho."Lalu dia tunjuk jempol ke Jenzo, "Kak, mantap! Selera bagus, dan yang paling penting, berkarisma!"Jenzo jadi agak malu dipuji adiknya.Tapi Farnley bisa lihat jelas, Jeanet benar-benar suka tas itu. Waktu meletakkannya, masih tampak enggan dan beberapa kali melirik."Chelsea, aku