Mau tidak mau, Rania terpaksa menggunakan uang miliknya untuk membayar ongkos pulang perginya. “Aku kerja ngurangin beban orang tua atau malah justru nambahin beban orang tua, sih?” gumam Rania lirih.Rania justru merasa bersalah karena setiap ia akan berangkat ke kantor, ibunya selalu memberikan uang yang tidak seberapa itu pada Rania buat makan siang Rania di kantor. Rania merasa bersalah karena saat ini dirinya belum bisa membantu kedua orang tuanya.“Semoga gajian aku nanti tidak banyak yang dipotong. Biar aku bisa kasih ke Ibu buat biaya pengobatan Ayah,” batin Rania tersenyum miris mengingat bosnya yang selalu mengancam akan memotong gajinya.Sesampainya di tempat yang dituju, Rania segera memesan sandwich sesuai pesanan bosnya, kemudian membayarnya menggunakan kartu kredit milik bos killernya itu. Namun, malapetaka justru menimpa Rania saat wanita itu berada di dalam angkot. Seorang lelaki yang duduk berseberangan dengan Rania, tiba-tiba mengambil tas selempang yang rania kena
Rania yang mendengar teriakan bosnya pun langsung menghentikan pekerjaannya, kemudian bergegas ke ruangan bosnya dengan langkah terburu-buru.“Iya, Pak?” “Bikinkan kopi untuk saya. Kopi saya sudah habis.”“Baik, Pak.” Rania menundukkan kepalanya sebelum ia membalikkan badannya, kemudian keluar dari ruangan Reynald.Rania berjalan cepat menuju pantry. Wanita itu harus mengejar waktu agar malam ini ia tidak lembur lagi. Dengan gerakan cepat dan gesit Rania membuatkan kopi untuk bosnya, kemudian membawanya ke ruangan Reynald. Setelah mengantarkan kopi untuk bosnya, Rania lantas kembali mengerjakan tugas-tugasnya yang belum selesai.Sangking fokusnya Rania mengerjakan tugasnya, wanita itu sampai tak sadar jika hari sudah mulai senja. Rania melangkahkan kakinya ke pantry untuk membuat kopi cappucino buat dirinya. Namun, saat sedang mengaduk kopi yang telah ia seduh, Rania tiba-tiba kepikiran sesuatu.“Bikinin buat bos sekalian, lah. Daripada nanti aku harus ke dapur lagi.”Rania pun lantas
Vira dan Listy saling menatap dan bicara isyarat dari mata ke mata, kemudian keduanya berjalan menghampiri wanita itu."Rania?" Vira mencoba membangunkan Rania dengan cara menepuk pelan pundak rania.Ya, wanita yang mereka lihat adalah Rania. Vira dan Listy heran kenapa Rania tidur di kantor. Rania yang dibangunkan sontak terkejut. Wanita itu membuka kedua matanya dan mendoakan menatap ke arah orang yang membangunkannya."Kamu tadi malam gak pulang?" tanya Listy."Kamu nginep di kantor, Ran?" timpal Vira yang juga merasa penasaran.Rania mengucek kedua matanya sejenak sebelum menjawab pertanyaan teman-temannya.“Iya. Kerjaan aku banyak banget, jadi jam 04.00 baru selesai,” jawab Rania.“Terus kenapa gak langsung pulang? Tidur di rumah kan lebih nyaman,” sahut Vira.“Aku bingung mau pulang.” Rania menggaruk kepalanya yang tak gatal.Dahi kedua wanita itu berkerut. “Bingung kenapa?” tanya Listy, sedangkan Vira bertanya lewat isyarat matanya. “Kemarin aku kecopetan di jalan. Uang yang ad
Dengan langkah cepat Rania masuk ke dalam ruangan Reynald. “Iya, Pak! Ada yang perlu saya bantu?” “Bawa berkas-berkas ini ke ruangan Tika. Bilang pada Tika sore nanti bertemu client.”“Baik, Pak. Saya permisi dulu.” Rania membawa berkas-berkas yang ada di meja Reynald untuk dibawa ke ruangan sekretaris bosnya, yang tak lai adalah Tika.Tok Tok!!“Permisi, Bu. Ini berkas-berkas dari Pak Reynald. Sekalian saya juga mau menyampaikan pesan dari Pak Reynald, beliau bilang jangan lupa nanti sore bertemu dengan client,” ucap Rania sopan.“Oh, iya. Saya pasti ingat, kok! Terima kasih, ya.” Tika tersenyum dengan ramah.“Iya, Bu. Kalau begitu saya kembali ke meja saya dulu, Bu.” Rania membungkukkan sedikit badannya.“Iya, silakan.”Rania pun berbalik dan keluar dari ruangan Tika menuju meja kerjanya, kemudian kembali melanjutkan tugas-tugasnya yang belum selesai. Baru satu jam Rania melanjutkan mengerjakan tugas-tugasnya setelah sebelumnya ia mengantarkan berkas ke ruangan Reynald. Tepat pukul
“Hehehe, nggak, Pak. Kalau gitu saya lanjut kerja ya, Pak!”Tanpa menunggu jawaban Reynald, Rania keluar begitu saja dari ruangan bosnya dan kembali melanjutkan pekerjaannya.“Maksudnya itu cewek apa, sih! Emang tissue-nya mau gua pake buat apa coba? Sampe harus pakai lima lembar segala. Dasar cewek aneh!” gerutu Reynald.Niat hati ingin cuek dan tak memikirkan perkataan membingungkan Rania, tapi otak Reynald justru terbayang-bayang ucapan Rania terus menerus. “Apa sih maksud itu cewek? Emang dia kira gua mau ngelap apaan?” Pikiran Reynald jadi tidak bisa berkonsentrasi. Pria itu mencoba meminum kopi yang ada di mejanya untuk menenangkan pikirannya agar tak terbayang-bayang dan penasaran dengan perkataan Rania. Namun, sampai kopi Reynald habis, pria itu tetap masih merasa penasaran dengan ucapan yang dilontarkan oleh Rania tadi.“Argh! Itu cewek selalu aja bikin gua pusing.” Reynald mengacak-acak rambutnya dengan kesal.Reynald yang merasa kesal pun memanggil Rania kembali dan menyuru
Suara telepon berdering. Semua karyawan yang ada di pantry itu pun sontak menoleh secara serentak ke arah letak telepon berada.Joe lantas mengangkat telepon itu yang ternyata dari bosnya. “Kasih teleponnya ke Rania.”Glek!!Dengan susah payah Joe menelan salivanya. “Baik, Pak.” Joe lantas memanggil Rania.“Apa?” tanya Rania bingung.“Bos mau ngomong,” bisik Joe.Deg!“Duh … pasti mau ngomel lagi,” batin Rania meringis.Rania lantas mengambil telepon yang disodorkan oleh Joe kepadanya. “Iya, Pak?” “Cepat bawa kopinya ke ruangan saya!” sentak Reynald.“I–iya, Pak.” Rania menutup teleponnya begitu saja, kemudian berbalik dan mengangkat nampan yang di atasnya ada gelas berisi kopi yang telah ia seduh tadi. Rania lantas segera membawa kopi itu ke ruangan bisenya.Tok Tok!!Tanpa dipersilakan oleh bosnya, Rania langsung masuk begitu saja ke dalam ruangan Reynald dan meletakkan kopi yang ia bawa di meja Reynald.“Ini kopinya, Pak. Maaf sudah menunggu lama.”“Bikin kopi dua menit, ngobrolnya
Rania memijat-mijat kakinya sembari sesekali menguap di dalam bilik toilet yang sempit. Saat ini wanita itu tengah menghabiskan waktu bersantai di kamar kecil. Demi menghindari Reynald, Rania terpaksa harus mencari tempat persembunyian agar ia tidak terus-terusan diperintah oleh bos diktator itu.Rania benar-benar lelah menghadapi bosnya. Padahal wanita itu baru bekerja beberapa hari di kantor Reynald, tapi Rania merasa ia sudah mengubur tulang-tulangnya di perusahaan itu selama 1 tahun. Pekerjaan Rania tak ada habisnya, dan wanita itu juga seperti tidak diberi kesempatan untuk beristirahat. Bagaimanapun juga Rania bukanlah robot yang bisa bekerja seharian tanpa henti. Rania juga bisa merasakan lelah dan wanita itu butuh istirahat yang cukup. Namun, apa pun yang terjadi kepadanya, Rania hanya bisa terus menyabarkan hatinya."Huft, akhirnya aku bisa bernafas juga. Lama-lama bisa mati aku kalau terus-terusan ngeladenin bos gila itu," gumam Rania sembari menyandarkan punggungnya.Namun,
"Kepada Rania Putri, diharapkan ke bawah sekarang." Salah sati dari bagian administrasi tiba-tiba memanggil nama Rania."Kamu dipanggil tuh, Ran! Ada apa?" Vira penasaran kenapa Rania dipanggil melalui mic oleh bagian administrasi."Nggak tau." Rania mengendikkan bahunya. Rania juga tidak tahu kenapa dirinya dipanggil. "Apa aku akan dipecat, ya? Tapi masa iya kalau dipecat ke bagian administrasi? Kayaknya nggak mungkin," batin Rania bingung."Ya udah ke administrasi dulu aja, yuk! Sekalian yang ke bawah, kan?" ajak Listy pada Rania.Ketiga wanita itu pun berjalan ke lantai bawah, menghampiri bagian administrasi."Ada apa, Mbak?" tanya Rania pada bagian administrasi."Ini, ada telepon. Katanya penting banget."Dari siapa?" tanya Rania lagi."Dari Ibu Mbak Rania," jawab wanita itu.Deg!"Pasti ibu khawatir," batin Rania. Wanita itu pun lantas mengangkat panggilan telepon dari ibunya.“Iya, Bu? Ini Rania.”“Ya ampun, Nduk, kamu kenapa gak pulang? Bapakmu sampe kumat gara-gara khawatir mi
Rania yang terkejut mendengar suara beling pecah pun lantas menoleh ke arah bosnya dan melihat telapak tangan Reynald yang mengeluarkan darah.Rania lantas bergegas mengambil sapu tangan di tasnya dan berlari ke meja Reynald. Mengelap telapak tangan Reynald yang penuh dengan darah. “Ya ampun, Pak! Kenapa bisa gini?” panik Rania. Namun, Reynald hanya diam membisu dengan tatapan kosongnya. Terlihat jelas mata pria itu yang tenah memancarkan emosi.Rania kemudian berlari mengambil betadine dan kain kasa guna membelitkan luka di tangan Reynald. Dengan pelan dan telaten, Rania mengobati luka itu. Setelah selesai mengobati tangan Reynald, Rania segera membersihkan beling-beling yang berceceran di lantai.Tatapan Reynald masih terpaku pada pikirannya. Pria itu bahkan tak sadar jika Rania sudah mengobati luka di tangannya, dan Rania juga yang membersihkan pecahan-pecahan beling itu.Rania lantas kembali ke mejanya setelah selesai membersihkan pecahan-pecahan gelas kaca itu. Namun, belum sampa
“Udah lama kerja sama Reynald?” tanya Irene seraya berdiri di samping Rania dan merapikan penampilannya.“Lumayan, Mbak!” jawab Rania. Wanita itu terpaksa harus berbohong sebab Rania melihat Irene ini agak sedikit sombong.“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Irene.“Mbaknya udah kenal sama Pak Reynald?” tanya Rania yang sengaja memancing Irene.“Ya. Kami sudah kenal cukup lama. Sangat lama, dan sangat kenal,” jawab Irene sombong.“Oh.” Rania mengangguk.“Reynald belum punya pacar, kan?” tanya Irene.“Kalau itu saya tidak tahu, Mbak. Karena itu bukan wewenang saya untuk mengurus hidup orang lain,” ujar Rania yang mampu merubah ekspresi wajah Irene.Wanita itu tampak kesal mendengar jawaban dari mulut Rania. Rania seolah seperti sedang menyindir Irene. Rania kemudian pamit untuk kembali ke ruangan Indira, sedangkan Irene justru mengepalkan tangannya seraya menatap punggung Rania yang semakin menjauh.***Setelah dari toilet Reynald memutuskan untuk kembali ke kantor bersama Rania. Pr
Saat ketiga orang itu sedang fokus membicarakan perkembangan bisnis kain di perusahaan Reynald, tiba-tiba seorang wanita misterius datang dan mengetuk pintu ruangan Indira.“Masuk!” seru Indira mempersilakan.Wanita misterius itu pun masuk ke dalam ruangan Indira dengan langkah percaya dirinya bersama dengan seorang office girl yang kebetulan juga berada di depan pintu ruangan Indira. Rania menoleh sesaat untuk melihat orang yang datang tersebut, kemudian kembali fokus pada percakapan antara Reynald dan Indira.Wanita misterius itu tampak berjalan beriringan bersama dengan office girl tersebut, kemudian office girl itu meletakkan kopi yang ia buat di meja yang ada di depan ketiga orang itu, sedangkan Irene berdiri di samping office girl itu.Pembicaraan spontan terhenti saat office girl tersebut mempersilakan para tamu untuk meminum kopi yang telah ia buat. “Silakan diminum, Pak, Bu!” ucap office girl itu dengan ramah.Reynold menoleh menatap depan. Di mana office girl itu berdiri dan
Sesampainya di tempat yang telah ditentukan, Reynald dan Rania segera turun dari mobil. Keduanya berjalan beriringan menuju meja tempat bertemu dengan klien. Baru saja keduanya duduk di bangku yang telah dipesan oleh Reynald, klien itu datang. Reynald dan Rania sontak kembali berdiri dan menyambut klien mereka. “Selamat pagi, Pak Reynald. Bagaimana kabarnya?” sapa klien Reynald.“Baik. Sangat baik. Silakan duduk, Pak.” “Ini sekretaris barunya atau calon Pak Reynald, nih?” tanya klien itu saat bersalaman dengan Rania.Rania yang mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh klien itu pun mencoba menyanggahnya. Takut jika Reynald tersinggung. “Ah, saya–” Belum selesai Rania berbicara, Reynald lebih dulu memotongnya. “Dia sekretaris pribadi saya,” ucap Reynald tersenyum.“Oh, pantes. Hahahaha. Ya ya ya, saya mengerti.” Klien itu spontan tertawa. Mengerti maksud dari ucapan Reynald, sedangkan Rania justru mengerutkan keningnya merasa bingung kenapa orang itu tertawa.****“Udah dari tadi
Tak lama mobil Reynald berhenti di sebuah toko. Reynald segera keluar dari mobilnya, sedangkan Rania yang bingung pun hanya diam membeku di dalam mobil. Reynald yang melihat Rania hanya diam pun memberikan kode lewat gerakan kepalanya agar Rania keluar dari kendaraan itu.“Pilihkan sepatu yang bagus untuk dia,” titah Reynald seraya menunjuk Rania yang masih berada di belakangnya. “Baik, Pak!” patuh pelayan itu.“Ukuran sepatunya nomor berapa, Kak?” tanya pelayan itu pada Rania yang kini menatapnya bingung.“Hah? Saya?” tanya Rania bingung.“Iya, Kak. Ukuran kaki kakak nomor berapa?” “Tiga puluh delapan. Kenapa, Mbak?”“Tidak apa-apa, Kak. Sebentar ya, saya carikan dulu,” ujar pelayan itu yang kemudian mengambil beberapa wedges dan high heels yang bagus dan cocok untuk Rania.Rania hanya diam berdiri menatap bos dan pelayan toko itu dengan bingung. Beberapa saat kemudian pelayan toko itu pun datang dengan membawa beberapa kardus yang isi di dalamnya adalah model sandal dan sepatu yan
“Pagi, Pak!” sapa Rania pada satpam penjaga kantor.“Pagi juga, Bu Rania,” balas satpam tersebut.Rania melangkah masuk ke dalam kantor. Tak lama disusul oleh seorang pria berbadan tegap yang juga baru datang.“Pagi, Pak!” siapa para satpam pada Reynald.“Pagi,” jawab Reynald.Rania yang sedang menatap layar teleponnya sedikit terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang berjalan di sampingnya. Wanita itu sontak menoleh dan melihat siapa orang yang berada di sampingnya. Ternyata orang itu adalah bosnya.“Eh, Bapak,” nyengir Rania. “Pagi, Pak!” sambung wanita itu.“Segera bersiap. Sebentar lagi kita berangkat,” ujar Reynald tanpa menjawab sapaan dari Rania.“Baik, Pak.” Keduanya lantas menuju ke meja kerja mereka masing-masing. Namun, tiba-tiba Reynald memanggil Rania.***Seorang wanita memasuki gedung perusahaan besar dengan langkah anggun bak model ternama papan atas. Kacamata yang bertengger di hidungnya ia naikkan hingga di atas kepala. Semua mata tertuju padanya. Dengan angkuhnya
Reynald menoleh menatap ibunya yang ternyata juga sedang menatapnya dengan senyum yang begitu manis. Pria berusia 30 tahun itu mengerutkan keningnya melihat sikap sang ibu yang tampaknya sangat menyukai Rania. Padahal mereka baru bertemu satu kali.“Tidak. Dia dekil. Nyebelin. Keras kepala, dan–,” ucap Reynald menggantung.“Dan?” tuntut Bella agar Reynald melanjutkan ucapannya.“Ngangenin.” ***Rania berjalan ke ruang makan dengan langkah yang dihentakkan. Wanita itu kesal karena penampilannya selalu dinilai buruk oleh orang lain. Padahal menurutnya penampilan dirinya sudah kece dan cukup cantik, tetapi kenapa orang lain selalu tak suka melihatnya? Entahlah, Rania bingung.Wanita itu melahap sarapannya dengan diam. Tak ada percakapan antara dirinya dengan orang tuanya. Bagas yang melihat anak dan istrinya hanya diam membisu pun menatap mereka satu per satu. Keduanya tampak sedang fokus menyantap sarapannya. Terlihat jelas raut kesal di wajah Rania, sedangkan wajah Mirna tampak acuh
"Sudah siap!" Rania menatap pantulan dirinya di depan cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Pagi-pagi sekali wanita itu sudah mandi dan bersiap dengan pakaian yang rapi dan cantik. Namun, sayangnya tampak seoerti ada yang kurang. Baju pemberian Reynald yang telah Rania pakai memang sudah menunjang penampilannya, tapi sayangnya wajah Rania tanpa polesan make up. Wanita itu hanya memakai lip tint berwarna merah di bibirnya. Ditambah lagi Rania tetap mengenakan sepatu kumal yang selalu ia pakai setiap harinya. Benar-benar tak habis pikir.Mirna, ibu dari Rania itu sontak menoleh saat melihat putrinya sudah keluar dengan berpakaian rapi, lalu menghampiri putrinya."Kamu udah mau berangkat, Ran?" tanya Mirna."Iya, Ma. Rania mau berangkat lebih awal," jawab Rania.Mirna memandang putrinya dari ujung kaki hingga sampai kepala Rania dengan dahi yang berkerut. Wanita paruh baya itu benar-benar tak habis pikir dengan penampilan putrinya yang terlihat aneh. Bagaimana tidak? Pasalnya Rania
“Sebenarnya dia itu orang yang juga sudah membantu membiayai pengobatan Ayah saat operasi kemarin,” ungkap Rania.Dengan terpaksa gadis itu harus berkata jujur pada orang tuanya, siapa orang yang telah membelikan baju-baju mahal pada dirinya agar kedua orang tuanya tidak salah paham.“Hah? Serius kamu, Ran? Kamu udah nemuin orang yang bantu biaya pengobatan Ayah?” Mirna terkejut setengah mati saat mendengar ucapan anaknya.“Iya, Bu. Rania udah tahu siapa orangnya.”“Siapa itu, Ran? Ayah mau ketemu sama dia, dong!” Bagas benar-benar penasaran dengan orang yang telah membantu menolong dirinya untuk biaya operasi di rumah sakit.“Jadi, ternyata orang yang udah bantu bayarin pengobatan Ayah itu adalah Bos di kantor Rania. Mungkin karena dia kasihan ngelihat Rania kesusahan cari pinjaman atau gimana, akhirnya dia mau bantuin Rania buat bayar biata tagihan rumah sakit kita.”“Oh jadi yang bayarin biaya rumah sakit Ayah itu bos kamu?” Mirna benar-benar tidak menyangka jika bos di tempat kerj