“Sudahlah, tak perlu dijawab. Aku sudah tahu jawabannya,” ucap Haikal sambil tersenyum. Sungguh miris aku menatapnya. “Haikal, apa kamu menyesal menikah denganku?” tanyaku ketika kunyahan di mulutku telah habis tertelan. “A’ lagi,” ucapnya sambil mendekatkan tangan yang berisi makanan itu ke bibirku. Lelaki itu menggeleng. “Aku tak pernah menyesal menikahimu, Viv. Bahkan penyesalan terdalam ku adalah melepasmu pergi saat itu.”“Aku tidak bisa jadi istri yang baik untukmu.”“Bukan tidak bisa, tapi belum. Semua tergantung waktu.”Aku tersenyum. “Apa kamu menyesal menikahiku?” tanya Haikal. Aku terdiam, bingung antara menjawab jujur atau harus berdusta untuk tak kembali menyakiti hati lelaki di depanku. “Tak usah dijawab. Ayo makan lagi,” ucapnya, kembali menyuapiku makanan. “Malam ini aku ada urusan sebentar, kamu gak papakan jika aku tinggal sendiri?”Aku mengangguk. “Baguslah, kamu memang istri yang sempurna dimataku, Viv.”Entah itu kalimat sindiran, atau memang itu penilaia
Aku tak menjawab, lebih memilih mematikan panggilan itu. “Kak, kenapa kakak gak bicara?” “Sepertinya salah sambung , Les,” dustaku. **Aku duduk di kursi goyang, menatap bintang yang bertaburan di langit. Tempat dimana Haikal biasa menghabiskan waktunya. Lelaki yang dulunya galak, main tangan, kini benar-benar berubah menjadi lembut dan penyayang. Lelaki yang dulunya membuat ku ketakutan tatkala mendengar namanya, kini membawa ketenangan tatkala bersamanya. Sungguh, aku tak kuasa dengan hatiku. Pikiranku terus mencoba untuk menerima Haikal sepenuh hati dan membuang jauh pikiran tentang Rey. Tapi hati terus bergejolak. Kubuka ponsel milik Haikal, meskipun sebenarnya ini salah. Aku membuka privasi orang lain tanpa ijinnya. “Vivian” wajah cantik dengan bertuliskan namaku itu menjadi walpaper ponselnya. Hingga mampu menerbitkan senyum kecil dari bibirku. Kubuka galeri foto di benda itu, tak banyak, hanya foto lama Haikal dan keluarganya, juga beberapa foto pernikahan kami, baik ya
“Vivi, kamu dikamar?”Pertaanyaan bersamaan suara yang masuk membuatku mengurungkan niat, meletakkan benda yang kupegang meskipun aku tahu ada banyak rahasia di dalamnya. Aku tak ingin gegebah dengan langsung menanyakannya kepada haikal, ia pasti tak akan mengaku. Aku akan mencari tahu sendiri dengan caraku.“Vivian.”“Iya. Aku di sini.”Lelaki itu menyusulku di atas balkon, dan tersenyum tipis ke arahku. “Kamu disini, Viv. Segera masuk gih! Angin malam tak bagus untukmu.”Aku tersenyum, lalu bangkit dari dudukku, melewati ia yang tengah berdiri di ambang pintu, penghubung antara balkon dan kamar. Kulihat barang belanjaan yang menggunung di atas ranjang.“Barang belanjaanmu ketinggalan bukan, Viv?” tanya haikal yang kini mengedarkan pandangan ke arah yang sama denganku.“Iya, terima kasih.”“Kamu tidak terkejut?”“Tidak.”Aku duduk di bibir ranjang, membuka banyak tas belanjaan yang datang, saat itu aku sperti Wanita konsumtif yang khilaf, membelikan semua barang yang semestinya tak
Aku bergegas mempercepat langkahku ke depan benda persegi panjang itu. “Ini bukan apa-apa, hanya bandrol harga baju yang kubeli,” dustaku. Aku mengambil benda itu, meremasnya dan membuang ke sampah.Sedangkan haikal sudah tampak memposisikan dirinya di Kasur, tidur terlentang dengan memeluk guling bermotif bunga itu. Aku tersenyum tipis, lalu mengekori ia yang tengah mengistirahatkan tubuhnya. “Haikal, tadi -.”Belum sempat aku melanjutkan kalimat, terdengar dengkuran halus dari lelaki itu. aku menoleh ke samping, mendapati kedua matanya yang telah terpejam. Mungkin hari ini begitu melelahkan untuknya, hingga ia bisa istirahat secepat ini.“Maafkan aku ya, Haikal. Untuk hari ke depannya, aku akan terus berusaha menjadi istri yang baik.”Aku membelakangi tubuh lelaki yang tengah tertidur itu, hingga bayangan reynan Kembali menyapaku. Lelaki itu tersenyum tatkala melepas ciuman dari bibirku, senyum yang indah, senyum yang begitu kurindukan.“selamat malam, Rey,” ucapku sambil mencoba
“Vivian,” ucap lirih dari bibir haikal dengan tatapan yang masih memaku ke arahku, bahkan tanpa sadar makanan yang di sendoknya tumpah ke bawah.Begitupun dengan alisa dan lesta, dua gadis itupun menatapku dengan senyum nan indah.“Kak Vivian cantik sekali,” ucap mereka bersamaan.Mereka seperti memindai penampilanku dari bawah ke atas, mengenakan sepasang sepatu kaca bening, sebuah gaun putih panjang dengan aksen pita besar di belakangnya, juga rambut yang sedikit ku gulung ke atas, menampakkan leher jenjangku. Tidak lupa kusapukan sedikit make up minimalis supaya wajahku tak terlalu terlihat pucat.“Kak reynan bakal bimbang nich, malah bingung pilih pengantin,” celetuk alisa.“Lisa kok jahat gitu, kan kak viv sudah menikah dengan kak haikal,” protes Lesta.“Duduk, Viv! Kita makan dulu,” ucap haikal sambil menggeser kursi di sebelahnya sedikit ke belakang.Aku menurut dan mencoba menikmati makanan yang tersaji.**Gemelut hati yang bak diombang ambing kan oleh angin ini, masih tak t
“Viv, Vivian ….” Aku terkaget tatkala haikal menepuk lembut lenganku.“Viv, perkenalkan ini pak andreas, dan ini istrinya bu Jenny.” Haikal tampak memperkenalkan salah satu rekan bisnisnya, hingga aku tersadar dengan lamunanku.“Salam kenal, Saya Vivian.”“Pak Haikal, istri anda cantik sekali,” puji bu jenny dengan mengembangkan sneyum.“Terima kasih, ibu terlalu berlebihan memuji saya.”“Istri saya memang Wanita yang sempurna, cantik paras maupun hatinya.” Haikal menatapku dengan senyum, lalu Kembali mengedarkan pandangan ke pasangan suami istri itu, tampak begitu bangga memperkenalkanku kepada orang lain.“Akadnya akan segera dimulai,” salah satu tamu tampak berbisik, hingga Langkah kami menuju ke tempat sama. Aku menatap reynan yang tengah terduduk di depan meja akad, tampak beberapa mas kawin dengan perhiasan mahal dan beberapa emas Batangan itu di atas meja. Kutarik nafas panjang, mencoba menguatkan hati.Tak terasa tanganku tersentuh, lalu di genggam erat oleh lelaki di sebelah
Dengan batin yang terus bertanya, aku kembali masuk ke ruangan pesta, namun semua sudah sepi, hanya tampak beberapa orang saja. Apa yang terjadi? Pernikahan batalkah?Dua bola mataku terus menyusuri seisi ruangan, mencari keberadaan lelaki bertubuh sedikit berisi yang berangkat bersamaku. Namun, ekor mataku menangkap lelaki bermata biru yang hutang banyak penjelasan kepadaku.“Indra,” teriakku kepada lelaki di sudut ruangan, tengah mengobrol kepada seseorang. Ia sedikit menoleh ke arahku, hingga terlihat panik dan bergegas pergi meninggalkan ruangan. Aku tak tinggal diam, mempercepat langkah untuk mengejarnya, hingga sepatu hak tinggi yang kukenakan membuatku tergelincir dan hampir terjatuh.“Viv, lain kali hati-hati.”Aku menoleh kearah suara yang mebantuku, lelaki bertubuh berisi itu menatapku dengan serius.“Kamu dari mana, Viv? Dari tadi aku mencarimu.”Mataku masih menatap kearah pintu sisi satunya, tempat dimana indra meninggalkan ruangan ini.“Itu … tadi, indra kan?”“Indra
“Hal lain? Apa maksudmu?” tanyaku yang kini menoleh ke arahnya, memusatkan pandangan tajam ke arah lelaki berpakaian jas itu. “Sebenarnya -,”Belum sempat Haikal menjelaskan sedikitpun, waktu kembali tak berpihak kepadaku. “Kak Haikal ada tamu,” teriak Lesta dari balik pintu kamar. “Siapa?”“Om Gunawan.”“Iya, aku segera turun.”“Viv, pembicaraan kita dibahas lain kali saja ya.”Lelaki itu meninggalkan kamar begitu saja. Dan ketika aku masuk ke kamar, barulah menyadari ponsel milik Haikal terletak di atas kasur. Aku mendekat, menatap benda pipih milik suamiku. Tanpa pikir panjang kuambil benda yang menampakkan foto ku itu, langsung masuk ke dalam pesannya. Hingga nama Indra ada berada barisan chat bagian atas. Haikal : “Ini bukti transfernya.”Haikal menyertakan gambar transaksi pengiriman uang dari rekening namanya ke nama Indra, dengan nominal yang begitu fantastis. Indra : “Siap, Bos. Senang bekerja sama dengan anda.”Aku terdiam, mencerna chat dari mereka. Itu artinya ..
“Iya.” Lelaki itu mengangguk.“Tapi … Bagaimana bisa? Me-re-ka?” tanyaku yang masih tak percaya.“Tutup mulutnya, Viv. Kalau ada lalat masuk,” ucapnya yang membuatku menahan malu. “Bisa tidak, ngomongnya dihalusin dikit!”“Sayang, jangan bengong. Sini duduk sini, kita makan!”“Rey, kita bukan pasangan kekasih. Jangan panggil aku sayang.”“Kalau begitu, maukan kamu jadi kekasihku, Viv?” lelaki itu mendekat dan kini berjongkok di depanku. Sebuah kotak bludru berbuntuk hati itu dibuka hingga menampakkan sebuah cincin dengan kilauan indah di tengannya. Ingin rasanya kujawab iya, tapi saat ini gengsiku masih melebihi segalanya.“Viv, jawablah! Apa kamu mau jadi istriku? Ibu dari anak-anakku?”Aku masih terdiam. Antar hati dan ego kita tengah saling menyerang.“Iya, Viv. Kapan lagi kamu nunggu momen ini?” ucap hatiku.“Janganlah, Viv. Gengsian dikit napa. Meskipun janda, kamu punya harga diri bukan? Bisa jadi kan Reynan hanya iseng kepadamu,” ucap logikaku.“Rey, itu, makanannya sudah data
“Ayo masuk, Viv. Ada apa, ha?” tanya reynan sambil memandang aneh ke arahku. Ya, dari tadi aku terus berusaha melepas pegangan tangannya, juga memutar bola mata menatap sekitar.Suasana resto yang di desain khusus dan indah ini, seakan menjadi saksi antara keromantisan reynan dan agasthi. Sedangkan aku disini? Hanya sebatas obat nyamuk.‘Bodoh kamu, viv, kenapa kamu mau-maunya diajak reynan kesini. Sekarang kamu mati kutukan?’ batinku merutuki diri sendiri.“Vivian, ayo kita masuk, Sayang. Apa perlu aku membopong tubuhmu yang kurus itu,” ucapnya lagi dengan gemas. Apalagi ketika ia memberikan embel-embel sayang di belakang namaku, membuatku jengah. Bisa-bisanya ia mau ketemuan dengan perempuan, tapi tetap sok sayang-sayangan kepadaku.Aku memiringkan bibirku, menampakkan ekspresi tak suka. Dan justru itu membuat reynan terkekeh dan menghadirkan senyum di wajah tampannya.“Gendong atau jalan sendiri?” tanyanya lagi.“jalan,” ucapku dengan nada datar.Ya, aku masuk kedalam resto yang te
Sore ini Lesta sudah boleh pulang, reynan pun sudah pulang ke rumahnya. Aku berdiri di balkon kamar terus menatap ke arah halaman, berharap lelaki itu kembali datang untuk menghampiriku.‘Viv, kenapa kamu kegatelan sepeti ini?’ batinku.‘Bukan kegatelan, tapi hanya meluruskan omongan reynan,’ balas batinku kembali.Aku masuk ke kamar, merebahkan diri, lalu kembali bangkit dan ke balkon, melakukan aktifitas yang tak jelas. Hari telah berganti malam, cahaya sang mentari mulai menghilang, diganti rembulan dan bintang yang berkelip di langit dengan indahnya. Suasana hatiku semakin memburuk, tatkala mengingat malam ini reynan ada acara bertemu dengan Agasthi.Kuraih layar pipih di sakuku, tak ada pesan selain dari operator yang mengabarkan kuota mulai menipis.‘Rey, apakah karena kamu akan bertemu dengan agasthi, hingga melupakan aku seperti ini? Bukankah kamu berjanji ketika sampai ke rumah, akan memberiku kabar?’Aku kembali masuk ke dalam kamar, duduk di bibir ranjang. Entah, untuk keb
“I-ini ....”Lelaki itu tampak sungkan, ketika aku membaca jejeran huruf di dalamnya. “Agasthi?” tanyaku kaget. Entah kenapa aku merasa cemburu, ketika ada nama wanita lain di dalam ponsel reynan. “I-iya, Viv.”Lelaki itu terdiam, memilih menaruh ponsel kesayangannya ke sofa. “Diangkat saja, Rey, takutnya penting.”“Bukan apa-apa, Viv, dia hanya ....”Belum juga reynan melanjutkan perkataannya, aku sudah menggeser tombol hijau itu ke atas, hingga panggilan agasthi dan rey tersambung. Ini memang bukan perlakuan yang bijak, bahkan tidk beratitude, tapi tak tahu kenapa, rasa penasaranku semakin memuncak. Apalagi aku tahu kalau agasthi adalah wanita mantan calon istri reynan, dan bahkan ia sangat mencintai lelaki yang kini duduk di dekatku. Tidak lupa kutekan tombol speaker, supaya pembicaraan ini terdengar bersama, hingga tak ada dusta antara reynan kepadaku. “Rey, jadi kan kita ketemuannya?” tanya Agasthi dengan suara khas manjanya. Ketemuan? Apa maksudnya? Lelaki itu berjanji ak
“Rey, aku bertanya serius. Kamu datang kapan? Kenapa gak bangunin aku?”Lagi-lagi ia hanya menjawabnya dengan senyuman, membuatku kesal. Kucubit lengannya, hingga ia mengaduh kesakitan. “Viv, i-itu ... Bisa pelan dikit?”Aku tak menggubrisnya, masih kesal dengan apa yang ia perbuat, juga dengan mimpi yang baru saja kudapat. Meskipun sebenarnya, aku bersyukur karena semua hanya mimpi. Reynan datang kesini, masih dengan ia yang semula, tanpa predikat seorang Nara pidana. “Viv, beneran sakit,” ucapnya sambil meringis. Aku menatap tangan yang baru saja Kucubit, darah segar mengalir. Aku baru menyadari jika Medan keisenganku adalah bekas luka Rey. “Rey, maaf,” ucapku penuh rasa bersalah. “Tak apa.”“Tapi sampai berdarah ni tanganmu.” Aku masih menatap darah segar yang kini mengalir melewati jarinya. “Ya sudah, bantu obati, Viv.”“Aku Carikan perban dan obat merah dulu.”Baru saja aku bangkit, tangan ini diraih oleh Reynan. “Obatnya bukan itu, tapi ...”Lelaki itu berdiri mendekatk
Malam ini kuhabiskan di kamar rumah sakit, menemani Lesta yang keadaannya mulai membaik. Ia terus bercerita dengan mimpi dan cita-citanya, hingga tetesan air mata membasahi pipi gadis cantik itu tatkala menceritakan tentang kakaknya. “Kak Viv disini, Les. Aku akan selalu ada untukmu,” ucapku sambil memeluk lembut tubuh ringkihnya. Aku bahkan tak menyadari baru beberapa hari saja tubuh kecil Lesta semakin mengurus.Wanita cantik itu tersenyum, lalu membalas pelukanku. Hingga jam minum obat tiba, dan ia mulai terlelap ke dalam mimpinya. Kulihat jam dinding di ruang kamar ini, waktu telah menunjukkan pukul 22.00 wib, Alisa pun telah tidur di atas sofa tanpa selimut yang menutup tubuhnya. Aku meraih tas kecilku yang berada di atas meja, mengeluarkan benda pintar yang dibelikan haikal untukku. Kosong. Tak ada notif pesan maupun panggilan sama sekali. “Ya Tuhan, jaga Reynan. Semoga ia baik-baik saja,” ucapku yang kini kembali duduk di sofa sebelah Lisa tertidur. Akupun ikut menyanda
Kedua lelaki itu mendekat, dimana tiap langkah lebar yang mengarah menuju kami, menambah rasa ketakutan dalam hatiku. Suara sepatu dinas yang bersentuhan dengan lantai rumah sakit, seperti membawa alunan genderang kematian. Tubuhku gemetar, bahkan aku harus menarik nafas panjang untuk sedikit melegakan rasa panik ini. Rey melirik ke arahku, menggenggam tangan yang mulai bergerak tak jelas karena Tremor, “Semua akan baik-baik saja,” Tak ada ucapan itu, tapi dari sorot mata teduh Rey, seperti mengutarakan hal untuk aku bisa tenang. “Ma-maaf, ada perlu apa, Pak?” tanyaku yang memulai pembicaraan terlebih dulu. “Selamat sore, Bu Vivian, Pak Reynan. Saya hanya ingin meminta bapak reynan untuk datang ke kantor polisi. Ini surat panggilannya,” ucap salah satu petugas tersebut sambil memberikan sebuah lampiran. Rey mengambil kertas tersebut, sekilas membacanya dengan fokus mata yang menyusuri jejeran huruf di dalamnya. “Saya akan datang, Pak.”“Baik, terima kasih atas kerja samanya.”Ked
Baik Rey dan aku dibuat kikuk kala menatapnya. "Indra sudah ditemukan. Ayo ikut aku," ucap Om Gunawan menatap lelaki di sebelahku. "Kamu mau pergi, Rey?" tanyaku ragu. Masih tersimpan dalam ingatan bagaimana om Gunawan mengarahkan senjata ke arah Reynan, lalu berbalik arah menembakkan timah panas ke arahku, dna berakhir dengan Haikal yang menerima tembakan itu. Masih terekam begitu jelas bagaimana darah Haikal mengalir bersamaan ia yng menutup mata dan menghembuskan nafas terakhirnya. Aku menggeleng, seperti tak ikhlas jika lelaki yang pernah menjadi bos ku itu pergi. "Maafkan aku. Aku janji pasti akan kembali," ucapnya sambil melepas genggaman tangannya perlahan. "Rey," ucapku lirih. Aku begitu takut terjadi sesuatu hal kepada Reynan. Apalagi ia akan pergi bersama om Gunawan, dan hendak bertemu Indra. Mereka berdua adalah musuh, ya g ingin sekali menghabisi Reynan. Reynan masih berjalan mengekori om Gunawan. Hingga punggung keduanya mulai lenyap dari pandangan, ketik melewati
"Viv, apa tadi ada yang masuk ke kamar kalian?" tanyanya panik. Aku semakin bingung tatkala mengingat perawat tadi masuk dan menyuntikkan cairan obat ke tubuh Lesta. "Iya. Seorang perawat masuk dan memberikan obat. Apa ada yang salah, Rey?"Aku tak tahu lagi, harus bertanggung jawab seperti apa jika keadaan Lesta semakin memburuk karena kecerobohan ku. "Tidak apa, Viv. Aku kira Indra kabur dan masuk kesana.""Maksudmu Indra belum ketemu juga? Bagaimana keadaan di luar? Apa semua baik-baik saja.""Iya, Indra kabur setelah tembakan mengenai lengannya, dan sekarang aku bersama Gunawan.""Om Gunawan?""Aku akan segera datang kesana." Benar saja dalam hitungan menit, Dua lelaki masuk ke dalam kamar, satu lelaki yang paling kucintai dan paling kunanti kedatangannya, dan satunya lagi lelaki yang paling kutakuti. Aku memindai tubuh lelaki itu dari bawah ke atas, takut jika ada senjata bertimah panas melekat di antara pakaiannya. Namun, dari sorot mata kedua lelaki itu seperti tak memil