“Bukan karena itu, Pak.”“Lalu?”“Aku tidak ingin anak-anakku memiliki ayah yang arogan dan otoriter. Yang bertindak semena-mena tanpa peduli kasta di bawahnya.”Lelaki itu tersenyum. “Aku bisa buktikan kalau aku tidak sepeti itu, Viv!”“Aku tidak butuh ucapan. Permisi. Saya printkan datanya ulang.”Aku menunduk hormat dan meninggalkan, kembali ke meja kerjaku, dan membuat salinan laporan. Tidak lupa menghubungi petugas kebersihan untuk membersihkan ruangan Reynan. Sesaat setelah seorang lelaki bertubuh kurus itu masuk membawa alat pel, ponselku berdering, dan aku bergegas mengangkat panggilan tersebut. Ulah apalagi yang akan dilakukan Reynan? Memintaku kembali untuk membersihkan ruangannya? “Ada perlu apalagi, bos Reynan yang terhormat. Apa akan memintaku membersihkan ruanganku seperti dulu?”“Aku Haikal, Viv.”Suara yang tampak berbeda itu terdengar di indraku, hingga kulihat layar ponselku dan mendapati nama yang berbeda. “Haikal” bukankah ia sedang ditahan? “Viv, jangan matikan
[ Aku tunggu kamu di bawah]Kembali kubaca pesan yang beberapa saat kubiarkan begitu saja, berharap lelaki yang mengirim pesan tersebut sudah kembali dan mengurungkan niatnya.Aku kembali menyibak sedikit gordennya, terlihat mobil sedan hitam dengan warna mengkilat itu masih ada di parkiran. Bagaimana dengan Reynan? Apakah ia mau mengijinkanku untuk beberapa jam meninggalkan jam kantor? Jika harus jujur kepadanya tentang alasan aku ijin, sudah pasti aku tak akan mengantongi ijin tersebut. Lelaki yang tengah berjalan melewati ku, mendadak menghentikan langkahnya. Aku dibikin spot jantung dengan kedatangannya yang tiba-tiba.“Mau ikut makan siang, Viv?”Aku menggeleng. “ Terima kasih, aku sudah pesan makanan online.”“Ya sudah.”Tanpa banyak tanya lelaki itu melangkah pergi, dan aku bisa bernafas dengan sedikit lega. Mungkin ini cara semesta untuk mempertemukan ku kembali kepada Lesta. Gadis cantik yang tengah butuh banyak dukungan. Secepat kilat aku turun ke lantai bawah, sambil me
Gadis kecil itu mengibaskan rambut panjangnya dan melakukan gerakan ala-ala kartun wanita cantik tersebut, hingga aku tersenyum senang melihatnya. Meskipun Lesta bukan adik kandungku, melihat ia tengah tersenyum bahagia pun, membawa energi positif tersendiri. “Aku pasti ikut dong.”“Hore !!!” Gadis kecil itu tampak bertepuk tangan riang, hingga beberapa saat kemudian ponselnya diraih seorang perawat, ia meminta ijin untuk mematikan panggilan, karena saatnya Lesta untuk makan siang. “Makan siang yang banyak yang sailor moon,” ucapku ketika panggilan itu hendak terputus. Lesta yang mendengar nama panggilan terbarunya itu sontak kembali kegirangan dengan binar mata yang sangat indah. Hingga beberapa saat kemudian panggilan terputus. Alangkah terkejutnya aku ketika ponsel tersebut, menampilkan layar depan, walpaper ponsel Haikal adalah foto gambar diriku, foto yang sama dengan saat 5 tahun lalu. Aku mengenakan gaun pernikahan putih nan indah, hingga beberapa saat kemudian Haikal data
“Ayo turun!” Lelaki itu sedikit menjauh, dan hendak membuka pintu mobilnya. “Haikal, tunggu!”Aku mendekat dan menarik lengannya. Kenapa mendadak perasaanku tak karuan seperti ini? “Viv, mau ngapain?” tanya lelaki berkaca mata hitam tersebut. Ia melepas sambungan pandangannya, lalu menatapku penuh arti.“Aku hanya mau mengganti perban yang kamu pakai,” ucapku sambil menahan tangan itu, melepas balutan yang terlihat kotor, lalu membersihkan lukanya dan kembali memperban lengan tersebut. Untung saja di tas yang biasa aku bawa kerja, selalu ada obat-obat p3k. “Harusnya kamu tak sebaik ini kepadaku?”“Kenapa? Bukankah sesama makhluk bumi harus saling membantu? Manusia ditakdirkan memiliki otak dan hati, yang bisa digunakan untuk berpikir dan merasakan. Termasuk rasa kemanusiaan.”“Viv!”“Hem...”“Apakah kamu melakukannya hanya karena rasa kemanusiaan?”Aku mengangguk, dengan mata yang masih terfokus dengan kassa, dan tangan yang terus membalut luka tersebut. “Kamu tak pernah memilik
Au, kepalaku,” ucap Reynan yang kini memegangi kepalanya, ditekannya pedal gas dengan mendadak, hingga mobil ini terhenti dan tubuh kami sedikit terpental. “Kamu kenapa, Rey?” Terlihat Reynan menahan sakitnya dengan mendekap kepalanya sendiri. “Rey, kamu kenapa?” Aku bingung sendiri harus berbuat apa. Andai aku bisa menyetir mobil mungkin aku akan menggantikan posisinya dan membawanya ke rumah sakit. Tapi untuk sekarang ? Aku sekilas menatap jalanan, tampak sepi, tak ada kendaraan yang lewat hingga tak ada yang bisa kumintai tolong. “Rey, kamu tidak apa-apa kan?” Aku mengelus rambutnya, dan ia menoleh ke arahku, untuk sesaat wajah kami saling bertatapan dan mendadak sebuah cengiran tersungging menyebalkan di wajah lelaki di depanku. “Kamu khawatirkan dengan keadaanku?” Lelaki itu mengangkat salah satu alisnya ke atas, kemudian terkekeh, dan kembali menyalakan mesin mobilnya. “Bercandamu tidak lucu,” ucapku sambil membuang muka, memilih menatap jalanan melalui jendela pintu mob
Aku melirik ke arah adikku. Bukankah ia bilang kalau kita diminta untuk makan? Kutatap tajam gadis kecil yang beberapa hari ini seperti menjauh dariku. Ia meringis. “Kak Reynan memintanya lewat ponsel.” Tanpa merasa bersalah Alisa menampakkan ponsel yang dipegangnya, sebuah percakapan dengan nama Kak Reynanku. Sejak kapan ia membubuhi kata ku di nama Reynan, apa maksudnya? Ah, tidak mau ambil pusing, aku menyantap makanan yang tersaji di meja, sup jagung dan ayam goreng menjadi pilihanku malam ini. **“Kak!” “HM,”“Kakak masih ngantuk?”“Iya. Kan ini masih jam satu dini hari, Sa. Belum saatnya bangun,” ucapku sambil melirik jam Beker di atas meja.“Kak.”“Ada apa sih, Sa?”Bibirku mengeluarkan suara, tapi tubuhku mengeratkan pelukanku ke guling bermotif ini. “Kak, Kak Reynan belum pulang sampai sekarang. Perasaan Alisa gak enak.”“Reynan itu pebisnis besar, Sa. Jadi wajar kalau ia pulang larut, atau mungkin ia tidur di apartemen miliknya.”“Tapi kayaknya enggak, Kak.”“Sa, sejak
“Kak, makan dulu! Kak Reynan juga harus kuat, harus sehat, kak Vivian pasti sedih kalau lihat kakak seperti ini.”Aku tersenyum getir. ‘Iyakah? Aku bahkan tak yakin kalau Vivian pernah memikirkan aku. Aku bahkan tak percaya dengan semua yang Vivian lakukan, gadis yang dulunya manja dan selalu seenaknya sendiri itu, memang benar-benar tak bisa berubah. Untuk apa ia kembali kepada Haikal? Karena dia lebih kaya dari aku kah?’“Kak Reynan makan dulu ya,” ucap Alisa yang kini memberikan piring yang telah berisi nasi dan lauknya. Aku hanya menatap, tanpa rasa ingin menjajalnya meskipun sedikit. Penolakan Vivian tempo lalu, benar-benar mengiris hatiku, apalagi saat aku bilang kalau ibunya meninggal. Wanita cantik berambut panjang itu sama sekali tak merespon. Lalu, kedatangannya saat ibu Diandra hendak dimakamkan? Dia menyadari kesalahannya? Terlambat, sangat terlambat. Andai ia tidak berbuat konyol dengan datang di rumah Haikal pasti mereka tak akan kehilangan ibunya. “Kak Reynan, dengar A
Aku menunggu mereka di parkiran, bahkan sengaja mobil kuletakkan di sebelah mobil Haikal, bagaimana reaksi Vivian setelah ia ketahuan mencuri jam kerja? Benar saja, tak berapa lama mereka datang, dan Vivian tampak terkejut ketika menatapku, kucari jalan agar Vivian ikut kembali, tapi sayang, semua tak seindah bayanganku. Vivian memilih pergi, melepaskan tanganku, meninggalkan aku yang tengah berdiri mematung menatapnya. Tak berhenti di situ, aku melayangkan sebuah panggilan kepada adiknya, memastikan ucapan Vivian kalau ia akan mengunjungi undangan di sekolah Alisa. “Iya, Kak Rey. Ada apa?”“Sa, apa hari ini ada pertemuan wali murid di sekolah?”Sesaat tak terdengar jawaban dari sebrang sana. “pertemuan apa, kak? Wali murid apa? Bahkan sekarang Alisa sudah di rumah, ini lagi bikin brownies sama bibi.”“Terima kasih, Sa.”Tak menunggu lama, aku bergegas memutar balikkan mobil, melajukan mobil ini begitu kencang, hingga sesaat kemudian terdengar teriakan. Aku menekan pedal rem begi
“Iya.” Lelaki itu mengangguk.“Tapi … Bagaimana bisa? Me-re-ka?” tanyaku yang masih tak percaya.“Tutup mulutnya, Viv. Kalau ada lalat masuk,” ucapnya yang membuatku menahan malu. “Bisa tidak, ngomongnya dihalusin dikit!”“Sayang, jangan bengong. Sini duduk sini, kita makan!”“Rey, kita bukan pasangan kekasih. Jangan panggil aku sayang.”“Kalau begitu, maukan kamu jadi kekasihku, Viv?” lelaki itu mendekat dan kini berjongkok di depanku. Sebuah kotak bludru berbuntuk hati itu dibuka hingga menampakkan sebuah cincin dengan kilauan indah di tengannya. Ingin rasanya kujawab iya, tapi saat ini gengsiku masih melebihi segalanya.“Viv, jawablah! Apa kamu mau jadi istriku? Ibu dari anak-anakku?”Aku masih terdiam. Antar hati dan ego kita tengah saling menyerang.“Iya, Viv. Kapan lagi kamu nunggu momen ini?” ucap hatiku.“Janganlah, Viv. Gengsian dikit napa. Meskipun janda, kamu punya harga diri bukan? Bisa jadi kan Reynan hanya iseng kepadamu,” ucap logikaku.“Rey, itu, makanannya sudah data
“Ayo masuk, Viv. Ada apa, ha?” tanya reynan sambil memandang aneh ke arahku. Ya, dari tadi aku terus berusaha melepas pegangan tangannya, juga memutar bola mata menatap sekitar.Suasana resto yang di desain khusus dan indah ini, seakan menjadi saksi antara keromantisan reynan dan agasthi. Sedangkan aku disini? Hanya sebatas obat nyamuk.‘Bodoh kamu, viv, kenapa kamu mau-maunya diajak reynan kesini. Sekarang kamu mati kutukan?’ batinku merutuki diri sendiri.“Vivian, ayo kita masuk, Sayang. Apa perlu aku membopong tubuhmu yang kurus itu,” ucapnya lagi dengan gemas. Apalagi ketika ia memberikan embel-embel sayang di belakang namaku, membuatku jengah. Bisa-bisanya ia mau ketemuan dengan perempuan, tapi tetap sok sayang-sayangan kepadaku.Aku memiringkan bibirku, menampakkan ekspresi tak suka. Dan justru itu membuat reynan terkekeh dan menghadirkan senyum di wajah tampannya.“Gendong atau jalan sendiri?” tanyanya lagi.“jalan,” ucapku dengan nada datar.Ya, aku masuk kedalam resto yang te
Sore ini Lesta sudah boleh pulang, reynan pun sudah pulang ke rumahnya. Aku berdiri di balkon kamar terus menatap ke arah halaman, berharap lelaki itu kembali datang untuk menghampiriku.‘Viv, kenapa kamu kegatelan sepeti ini?’ batinku.‘Bukan kegatelan, tapi hanya meluruskan omongan reynan,’ balas batinku kembali.Aku masuk ke kamar, merebahkan diri, lalu kembali bangkit dan ke balkon, melakukan aktifitas yang tak jelas. Hari telah berganti malam, cahaya sang mentari mulai menghilang, diganti rembulan dan bintang yang berkelip di langit dengan indahnya. Suasana hatiku semakin memburuk, tatkala mengingat malam ini reynan ada acara bertemu dengan Agasthi.Kuraih layar pipih di sakuku, tak ada pesan selain dari operator yang mengabarkan kuota mulai menipis.‘Rey, apakah karena kamu akan bertemu dengan agasthi, hingga melupakan aku seperti ini? Bukankah kamu berjanji ketika sampai ke rumah, akan memberiku kabar?’Aku kembali masuk ke dalam kamar, duduk di bibir ranjang. Entah, untuk keb
“I-ini ....”Lelaki itu tampak sungkan, ketika aku membaca jejeran huruf di dalamnya. “Agasthi?” tanyaku kaget. Entah kenapa aku merasa cemburu, ketika ada nama wanita lain di dalam ponsel reynan. “I-iya, Viv.”Lelaki itu terdiam, memilih menaruh ponsel kesayangannya ke sofa. “Diangkat saja, Rey, takutnya penting.”“Bukan apa-apa, Viv, dia hanya ....”Belum juga reynan melanjutkan perkataannya, aku sudah menggeser tombol hijau itu ke atas, hingga panggilan agasthi dan rey tersambung. Ini memang bukan perlakuan yang bijak, bahkan tidk beratitude, tapi tak tahu kenapa, rasa penasaranku semakin memuncak. Apalagi aku tahu kalau agasthi adalah wanita mantan calon istri reynan, dan bahkan ia sangat mencintai lelaki yang kini duduk di dekatku. Tidak lupa kutekan tombol speaker, supaya pembicaraan ini terdengar bersama, hingga tak ada dusta antara reynan kepadaku. “Rey, jadi kan kita ketemuannya?” tanya Agasthi dengan suara khas manjanya. Ketemuan? Apa maksudnya? Lelaki itu berjanji ak
“Rey, aku bertanya serius. Kamu datang kapan? Kenapa gak bangunin aku?”Lagi-lagi ia hanya menjawabnya dengan senyuman, membuatku kesal. Kucubit lengannya, hingga ia mengaduh kesakitan. “Viv, i-itu ... Bisa pelan dikit?”Aku tak menggubrisnya, masih kesal dengan apa yang ia perbuat, juga dengan mimpi yang baru saja kudapat. Meskipun sebenarnya, aku bersyukur karena semua hanya mimpi. Reynan datang kesini, masih dengan ia yang semula, tanpa predikat seorang Nara pidana. “Viv, beneran sakit,” ucapnya sambil meringis. Aku menatap tangan yang baru saja Kucubit, darah segar mengalir. Aku baru menyadari jika Medan keisenganku adalah bekas luka Rey. “Rey, maaf,” ucapku penuh rasa bersalah. “Tak apa.”“Tapi sampai berdarah ni tanganmu.” Aku masih menatap darah segar yang kini mengalir melewati jarinya. “Ya sudah, bantu obati, Viv.”“Aku Carikan perban dan obat merah dulu.”Baru saja aku bangkit, tangan ini diraih oleh Reynan. “Obatnya bukan itu, tapi ...”Lelaki itu berdiri mendekatk
Malam ini kuhabiskan di kamar rumah sakit, menemani Lesta yang keadaannya mulai membaik. Ia terus bercerita dengan mimpi dan cita-citanya, hingga tetesan air mata membasahi pipi gadis cantik itu tatkala menceritakan tentang kakaknya. “Kak Viv disini, Les. Aku akan selalu ada untukmu,” ucapku sambil memeluk lembut tubuh ringkihnya. Aku bahkan tak menyadari baru beberapa hari saja tubuh kecil Lesta semakin mengurus.Wanita cantik itu tersenyum, lalu membalas pelukanku. Hingga jam minum obat tiba, dan ia mulai terlelap ke dalam mimpinya. Kulihat jam dinding di ruang kamar ini, waktu telah menunjukkan pukul 22.00 wib, Alisa pun telah tidur di atas sofa tanpa selimut yang menutup tubuhnya. Aku meraih tas kecilku yang berada di atas meja, mengeluarkan benda pintar yang dibelikan haikal untukku. Kosong. Tak ada notif pesan maupun panggilan sama sekali. “Ya Tuhan, jaga Reynan. Semoga ia baik-baik saja,” ucapku yang kini kembali duduk di sofa sebelah Lisa tertidur. Akupun ikut menyanda
Kedua lelaki itu mendekat, dimana tiap langkah lebar yang mengarah menuju kami, menambah rasa ketakutan dalam hatiku. Suara sepatu dinas yang bersentuhan dengan lantai rumah sakit, seperti membawa alunan genderang kematian. Tubuhku gemetar, bahkan aku harus menarik nafas panjang untuk sedikit melegakan rasa panik ini. Rey melirik ke arahku, menggenggam tangan yang mulai bergerak tak jelas karena Tremor, “Semua akan baik-baik saja,” Tak ada ucapan itu, tapi dari sorot mata teduh Rey, seperti mengutarakan hal untuk aku bisa tenang. “Ma-maaf, ada perlu apa, Pak?” tanyaku yang memulai pembicaraan terlebih dulu. “Selamat sore, Bu Vivian, Pak Reynan. Saya hanya ingin meminta bapak reynan untuk datang ke kantor polisi. Ini surat panggilannya,” ucap salah satu petugas tersebut sambil memberikan sebuah lampiran. Rey mengambil kertas tersebut, sekilas membacanya dengan fokus mata yang menyusuri jejeran huruf di dalamnya. “Saya akan datang, Pak.”“Baik, terima kasih atas kerja samanya.”Ked
Baik Rey dan aku dibuat kikuk kala menatapnya. "Indra sudah ditemukan. Ayo ikut aku," ucap Om Gunawan menatap lelaki di sebelahku. "Kamu mau pergi, Rey?" tanyaku ragu. Masih tersimpan dalam ingatan bagaimana om Gunawan mengarahkan senjata ke arah Reynan, lalu berbalik arah menembakkan timah panas ke arahku, dna berakhir dengan Haikal yang menerima tembakan itu. Masih terekam begitu jelas bagaimana darah Haikal mengalir bersamaan ia yng menutup mata dan menghembuskan nafas terakhirnya. Aku menggeleng, seperti tak ikhlas jika lelaki yang pernah menjadi bos ku itu pergi. "Maafkan aku. Aku janji pasti akan kembali," ucapnya sambil melepas genggaman tangannya perlahan. "Rey," ucapku lirih. Aku begitu takut terjadi sesuatu hal kepada Reynan. Apalagi ia akan pergi bersama om Gunawan, dan hendak bertemu Indra. Mereka berdua adalah musuh, ya g ingin sekali menghabisi Reynan. Reynan masih berjalan mengekori om Gunawan. Hingga punggung keduanya mulai lenyap dari pandangan, ketik melewati
"Viv, apa tadi ada yang masuk ke kamar kalian?" tanyanya panik. Aku semakin bingung tatkala mengingat perawat tadi masuk dan menyuntikkan cairan obat ke tubuh Lesta. "Iya. Seorang perawat masuk dan memberikan obat. Apa ada yang salah, Rey?"Aku tak tahu lagi, harus bertanggung jawab seperti apa jika keadaan Lesta semakin memburuk karena kecerobohan ku. "Tidak apa, Viv. Aku kira Indra kabur dan masuk kesana.""Maksudmu Indra belum ketemu juga? Bagaimana keadaan di luar? Apa semua baik-baik saja.""Iya, Indra kabur setelah tembakan mengenai lengannya, dan sekarang aku bersama Gunawan.""Om Gunawan?""Aku akan segera datang kesana." Benar saja dalam hitungan menit, Dua lelaki masuk ke dalam kamar, satu lelaki yang paling kucintai dan paling kunanti kedatangannya, dan satunya lagi lelaki yang paling kutakuti. Aku memindai tubuh lelaki itu dari bawah ke atas, takut jika ada senjata bertimah panas melekat di antara pakaiannya. Namun, dari sorot mata kedua lelaki itu seperti tak memil