Mobil Jevan berhenti tepat di depan mobil yang tadi hampir ia tabrak. Jevan langsung memeriksan keadaan Maura yang masih memejamkan matanya. Jevan memegang pundak Maura.“Mau, kamu tidak apa-apa? Ada yang terluka?” Tanya Jevan dengan nada khawatir.Perlahan Maura mulai membuka matanya, pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah. Jevan dengan raut wajah khawatirnya.“Tidak apa-apa, Mas. Lebih baik kamu keluar. Sepertinya bapak itu marah.”Maura mengisyaratkan Jevan untuk melihat ke depan sana. Disana seorang bapak-bapak berusia sekiatr 40 tahunan keluar dari dalam mobil dengan ekspersi kesalnya. Sudah bisa Maura tebak, pasti bapak-bapak itu akan marah pada mereka.“Kamu tunggu disini ya, Maura. Aku keluar dulu.”Setelah mengatakan itu Jevan langsung keluar menghampiri Sang Bapak. Jevan meminta maaf dan menjelaskan kepada bapak itu bahwa tadi ia sedikit mengantuk. Untungnya bapak itu bisa diajak untuk berkomunikasi dengan kepala dingin. Jadi, masalah ini tak jadi rumit. Setelah seles
Rion berjalan hendak menuju ke kantin, dengan langkah santainya. Sesekali ia juga menyapa beberapa karyawan yang lewat, yang juga menyapanya terlebih dulu. Perutnya keroncongan, Untungnya jam makan siang belum habis. Jadi dia masih bisa makan siang dulu. Diperjalanan itu, Rion tak sengaja berpapasan dengan Maura. Rion tahu bahwa sebenarnya Maura sadar bahwa dirinya tadi bersampingan dengan Rion. Namun, Maura pura-pura tidak melihat Rion dan melengos begitu saja. Rion berdecak kesal, rupanya gadis itu masih marah padanya. Rion berbalik badan, laki-laki itu menghampiri Maura dan menarik tangan gadis itu. “Apa?” Tanya Maura dengan nada galaknya. “Kamu masih marah padaku?” “Gak!” “Tapi kenapa nadamu terlihat kesal begitu?” “Biasa saja!” “Benarkah?” “Ck, entahlah!” Maura kesal pada Rion, rupanya laki-laki ini tidak peka. Daripada Maura bertambah kesal akibat sikap Rion ini, lebih baik dirinya pergi saja tetapi, Rion dengan cepat menahan tangan Maura agar gadis itu tidak kemana-man
Tepat sekali, Jevan benar-benar mengikuti mobil Rion. Sebisa mungkin dirinya mencoba untuk tidak membuat Rion dan Maura curiga padanya. Jevan benar-benar tidak bisa menebak kemana mereka berdua akan pergi. Sampai dimana mobil yang ditumpangi Rion dan Maura belok ke halam rumah yang sangat megah. Jevan berhenti agak jauh, setelah mobil mereka berdua benar-benar masuk ke pekarangan rumah itu. Jevan seperti tak asing dengan rumah ini, bukannya ini rumah keluarga Antonio. Salah satu keluarga konglomerat itu. Iya, Jevan tak salah. Ini memang rumah kediaman Antonio. “Untuk apa mereka kesini?” Saat sudah sampai di rumah. Maura buru-buru keluar dari mobil. Gadis itu lantas berlari dengan rasa khawatir. Langsung saja dia berlari menuju ke kamar mamanya. Saat sampai di depan pintu kamar mamanya, disana Maura melihat mamanya itu terbaring di ranjang dan kemudian tersenyum kala mendapati putrinya kemari. “Mama!” Teriak Maura yang langsung berlari ke arah Sang mama. Maura kemudian memeluk mama
“Rion, bagaimana ini?”Maura menolah ke arah Rion dengan tatapan cemas. Dia takut jika ternyata Jevan sudah tahu kalau Maura memalsukan identitasnya.“Sudah jangan khawatir, atur nafasmu. Bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Sekarang kita keluar.”Setelah Rion berusaha untuk menenangkan Maura yang terlihat sangat cemas itu. Mereka berdua lantas keluar dari dalam mobil dan Jevan langsung saja berjalan mendekat ke arah mereka berdua.“Kalian ada perlu apa kesini?”Maura nampak melirik ke arah Rion yang berdiri di sampingnya, jujur saja dirinya bingung harus menjawab apa sekarang. Dia berharap Rion sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan Rion ini.“Aku bekerja disini,” ujar Rion membuat Jevan mengerutkan dahinya bingung. Tak paham akan yang dimaksud laki-laki itu.“Maksudnya?”“Iya, selain bekerja di perusahaanmu. Sebelumnya memang aku sudah bekerja di keluarga Antonio terlebih dahulu. Aku dipekerjakan sebagai orang yang mereka percaya untuk menjaga keluarga ini. Atau bisa disebut aku i
Mendengar apa yang dikatakan oleh Rion barusan membuat Maura diam membeku seketika. Maura masih tidak bisa mencerna apa maksud dari ucapan Rion barusan ini. Apa Rion hanya sedang berusaha untuk mencairkan suasana saja, atau memiliki arti yang lain dari ucapannya barusan.“Ahahah.”Tak Rion duga respon yang diberikan Maura rupanya hanya tawaan saja, apa pernyataan Rion barusan dianggap lelucon?“Kenapa kamu tertawa?”“Ayolah Rion, leluconmu itu sangat tidak lucu, kamu mencoba mecairkan suasana saja kan?”Rion tak merespon ucapan Maura barusan dirinya hanya diam saja. Apakah pernyataan Rion barusan memang terdengar seperti lelucon? Rion tidak boleh marah, wajar Maura berkata seperti itu memang dirinya ini siapa. Rion tak pantas untuk berharap lebih. Lagi pula Rion terlalu mendadak mengatakan hal sensitive seperti ini. Jadi, tidak heran jika Maura mengganggap jika Rion tengah bercanda.“Kenapa, Rion?”Rion yang awalnya tengah melamun itupun akhirnya tersadar.“Ah, ti-tidak. Tidak apa-apa
Maura memasuki kantornya dengan senyum merekah di wajahnya. Jika kebanyakan orang membenci hari senin, karena senin merupakan awal dari minggu yang akan penuh penderitaan. Berbeda hal nya dengan Maura, untuk senin di hari ini. Dia sangat menyukainya, karena apa. Karena pagi ini dia dibawakan bekal masakan mamanya yang dibuat langsung oleh mama Maura. Kemarin malam, niatnya dia akan kembali ke kost. Namun, mama Maura mencegahnya. Katanya ia masih rindu kepada Maura. Melihat wajah memelas Sang mam, Maura jadi tak tega meninggalkannya. Jadilah dia menambah satu malam untuk menginap di rumah.Begitu pula Rion, lkai-laki itu juga ditahan agar ikut menginap disini. Katanya agar mereka bisa berangat bersama besoknya. Dan dia sangat senang, saat Sang mama memberinya bekal untuk makan siang nanti. Ah, Maura sangat rindu masakan mamanya.Sesampainya di ruang kerja, Maura menyimpan kotak bekal di atas meja. Gadis itu kemudian mulai membereskan beberapa kertas dan alat tulis yang berantakan di a
Maura menyalakan kran wastafel kamar mandi. Gadis itu lantas membasuh wajahnya. Tepat sekali, setelah Maura melihat adegan menyakitan antara Jevan dan Sarah tadi. Maura memilih berlari ke kamar mandi dan menumpahkan seluruh air matanya disini. Sudah sekitar sepuluh menit Maura menangis sedari tadi, bahkan matanya kini sudah sembab. Gadis itu jadi tidak berani untuk keluar, apalagi kalau sampai dirinya bertemu Rion. Bisa tamat riwayatnya.“Sial, mataku sangat sembab. Bagaimana ini?”Maura masih terus membasuh wajahnya, berharap sembab dimatanya sedikit berkurang. Namun, nihil hasilnya tetap saja. Dirinya tidak mungkin keluar dengan keadaan seperti ini.“Bagaimana ini? Sangat mustahil, jika aku tidak bertemu Rion sama sekali.”Maura berpikir keras sekali saat ini. Dia harus memikirkan cara agar dirinya tak sampai bertatap muka dengan Rion. Namun, bagaimana?“Apa aku ijin saja, ya?”Awalanya Maura terfikirkan sebuah ide. Mungkin dia bisa saja ijin untuk pulang lebih awal. Namun, setelah
Maura memandang ngeri pria di depannya yang memandangi Maura dari atas sampai bawah sambil tersenyum menggoda sungguh Maura benar-benar ingin segera menghilang saja dari sini. Gadis itu kemudian mencoba untuk melangkah mundur menajuh dari pria di depannya. Namun, pria tersebut malah semakin mendekati Maura."Jangan coba-coba mendekati aku!" Tegas Maura kepada laki-laki itu. Bukannya takut, pria itu malah tertawa melihat Maura yang ketakutan."Kenapa, takut ya?" Maura masih terus melangkah mundur untuk menjauh dari pria itu sampai akhirnya, gadis itu terjtuh akibat tersandung batu di bawah.brukk."Aw!"Maura lantas mengusap-usap kakinya yang terluka akibat dia terjaruh barusan. Karena hal itu, pria di hadapa Maura lantas berjongkok."Hati-hati dong, kan lecet jadinya," ujar pria itu sambil mencoba untuk menyentuh kaki Maura yang terluka itu.Maura menepis dengan kasar tangan pria itu, dia benar-benar tidak sudi bagian tubuhnya disentuh olehmya. Walaupun sebenarnya Maura saat ini keta
Maura berjalan di koridor kantornya dengan perasaan lesu. Entah kenapa akhir-akhir ini banyak sekali kejadian yang menguras energinya. Dia bahkan beberapa kali tak selera makan. Namun, dia masih harus tetap bekerja. Sebenarnya dia malas sekali untuk berangkat ke kantor pagi ini. Dia malas jika nanti akan bertatap muka dengan Rion."Tuhan, aku mohon. Keberuntungan berpihak padaku hari ini. Hari ini saja, jangan pertemukan aku dengan Rion dn juga Pak Jevan."Setelah berdoa dan menyemangati dirinya. Maura melanjutkan langkah kakinya untuk menuju ke ruang kerjanya.Apa Maura sejahat itu, sampai-sampai Maura berdoa pun tak dikabulkan oleh Tuhan. Baru saja Maura berdoa tadi, belum sempat lima menit. Maura sudah dipertemukan oleh Rion. Laki-laki itu terlihat di depan sana hendak berjalan menuju ke arahnya. Mau menghindari pertemuannya itu pun tak bisa.Akhirnya Maura memasang wajah datarnya dan berjalan menghadap lurus ke depan tak memperdulikan Rion yang melewatinya. Tentu saja Rion gelisah
Maura sedang duduk di kursi riasnya. Gadis itu sedari tadi tak bisa berhenti untuk tidak tersenyum saat mengingat kejadian semalam. Maura melirik ke arah boneka beruang yang ada di atas ranjangnya. Saat ingat boneka itu adalah pemberian dari Jevan, lagi dan lagi Maura tersenyum malu. "Bisa gila aku, jika terus-terusan seperti ini." Jevan benar-benar berhasil, membuat Maura jatuh sangat dalam menaruh perasaan padanya. Maura merasa Jevan sudah benar-benar berubah kali ini. Bahkan, Maura juga merasa Jevan sudah lebih menjaga jarak dengan Sarah. Entahlah sebenarnya Maura tak begitu yakin tapi, itu yang Maura lihat sejauh ini. Namun, anehnya Sarah juga sekarang tidak pernah mengganggu Maura lagi. Ya seharusnya Maura senang tapi, Maura malah merasa aneh dengan sikap Sarah yang seperti itu. "Apa dia juga sudah berubah? Ah tidak mungkin tapi, ah sudahlah biarkan saja." Tak mau ambil pusing, Maura lebih memilih untuk tidak memikirkannya lagi. Kini gadis itu sudah siap untuk berangkat ke k
"Ah segarnya, habis mandi." Kini Maura sudah terbaring di atas ranjangnya. Pulang dari jogging tadi Maura langsung saja mandi. Tubuh gadis itu terasa sangat lengket. Mandi sehabis olahraga sangatlah menyegarkan tubuh. Badannya terasa segar dan fresh. Sesuai dugaan Maura juga, punggung gadis itu yang tadi pagi terkena bola basket kini sudah tidak sakit lagi. "Untung saja, tidak keras tadi lemparannya. Kalau keras, bida patah tulang aku tadi." Sambil bermalas-malasan sehabis mandi, Maura juga sembari memainkan ponselnya. Ting! "Ada apa ya, dia menghubungiku hari ini?" Tiba-tiba saja sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya. Maura sudah sempat membaca siapa orang yang mengiriminya pesan barusan. Orang itu adalah Jevan. Jevan:: Sore nanti bisa antarkan aku membeli kado untuk adikku? Maura tak langsung menjawab pesan yang barusan Jevan kirimkan. Gadis itu masih menimang-nimang jawaban apa yang akan Maura berikan pada Jevan. Gadis itu bingung, Maura sebenarnya tak ada niat untuk m
Drtt. Drttt. Drrttt. Maura buru-buru keluar dari kamar mandinya saat mendengar ponselnya terus-menerus berdering. Di malam-malam begini siapa yang menghubungnya. Saat ponselnya sudah berada di genggamannya. Rupanya, Rion yang menghubunginya malam-malam begini. Langsung saja Maura menerima panggilan telepon itu. "Halo, Rion. Ada apa?" "Kamu diaman? Aku di depan." "Apa? Sebentar aku keluar." Maura terkejut saat mengetahui rupanya Rion berada di depan sana. Untuk apa laki-laki itu datang kesini malam-malam. Tadi Rion berkata jika dia ada urusan. Buru-buru Maura lari keluar dan menghampiri Rion. "Ada apa malam-malam begini, kamu kemari?" Pasalnya ini jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Dan Rion berada di hadapannya sekarang. "Kamu dari mana saja?" Tanya Rion pada Mauta. "Aku? Aku emm.." Maura diam, gadis itu masih memikirkann jawaban apa yang akan dia berikan pada Rion tentang pertanyaan barusam. Tidak mungkin sekali, Maura menjawab dengan jujur kalau dia tadi pergi makan ma
"Aku harus memakai baju apa?"Kini Maura terbaring di atas ranjangnya, bersama dengan tumpukan baju-bajunya yang tersebar di seluruh sudut ranjangnya. Sedari pulang dari kantor tadi Maura langsung membuka lemari bajunya dan hendak memilih baju mana yang akan ia gunakan untuk datang ke acara makan malam nanti.Sudah ada sekitar sepuluh baju yang Maura coba. Nun, dia belum merasakan ada yang cocok untuk dia pakai nanti. Jika dalam situasi ini dia lebih memilih untuk kembali ke kehidupan sebelumnya, dulu dia tidak pernah bingung memilih baju tapi, sekarang dia kebingungan sekali paslnya Maura hanya membawa sedikit baju ke kost nya."Apa aku pulang saja, untuk mengambil baju? Ah tapi jika begitu nanti Rion jadi tau ding. Parahnya lagi bisa saja aku diadukan ke Papa.""Lalu sekarang aku harus bagaimana?"Maura kemudian bangkit dari posisinya, gadis itu kembali menatap baju-bajunya yang terhambur di atas ranjang. Sebenarnya ada tiga baju yang menarik perhatian Mauta. Namun, tetap saja ia bi
"Eh eh eh, kamu mau membawaku kemana?" Maura terus memberontak, ia berusaha untuk bisa lepas dari Rion. Entah kenapa, secara tiba-tiba Rion datang ke ruangannya dan menyeret Maura begitu saja. Bahkan sedari tadi Maura berteriak, menanyakan apa yang akan Rion lakukan. Tapi laki-laki itu tak menjawabnya, Rion terus saja menyeret Maura sampai di depan dapur. "Rion, kamu ini ada apa sih? Tiba-tiba saja menarikku begitu saja?" "Kamu itu bawel ya, Maura." "Kamu saja yang tidak sopan!" "Aku ada sesuatu untukmu." "Apa?" Rion kemudian merogoh kantong celananya, laki -laki itu nampak mengeluarkan sebuah kotak berwarna pink yang tak begitu besar. Mungkin seukuran dengan kotak cincin. Rion kemudian menyodorkan kotak itu kepada Maura. "Untukmu." Gadis itu kemudian menerima kotak yang diberikan oleh Rion. Kemudian memandang Rion aneh. Maura rasa hari ini bukanlah hari ulang tahunnya. Lantas mengapa Rion memberikannya kado. "Dalam rangka apa kamu memberiku ini?" Rion tampak menggaruk bela
Diperjalanan baik Maura dan juga Rion belum ada yang membuka pembicaraan. Maura masih terbayang-bayang tentang kejadian barusan. Sedangkan Rion masih sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri."Mau."Panggilan dari Rion itu akhirnya mengalihkan pandangan Maura. Gadis kemudian menoleh ke arah Rion yang berada disampingnya."Iya?""Kemana saja kamu tadi? Apa yang terjadi sebenarnya?"Sejujurnya Maura bingung harus menjawab apa pertanyaan Rion ini. Maura tidak mungkin mengatakan apa yang telah Jevan lakukan tadi. Dan Maura juga tidak mungkin bercerita tentang apa yang dia alami barusan. Jika Rion yahu tentang apa yang terjadi sebenarnya, Maura bisa pastikan bahwa Rion tidak akan benar-benar membiarkan Maura sendiri lagi mulai saat ini. Dan Rion pasti akan menentang keras Jevan dengannya, dan lebih parahnya lagi Maura bisa saja disuruh untuk resign dari kantor."Maaf karena tidak mengabarimu sama sekali, tadi aku hanya sedang pusing dengab kerjan kantor jadi aku memutuskan untuk berjalan-
Maura memandang ngeri pria di depannya yang memandangi Maura dari atas sampai bawah sambil tersenyum menggoda sungguh Maura benar-benar ingin segera menghilang saja dari sini. Gadis itu kemudian mencoba untuk melangkah mundur menajuh dari pria di depannya. Namun, pria tersebut malah semakin mendekati Maura."Jangan coba-coba mendekati aku!" Tegas Maura kepada laki-laki itu. Bukannya takut, pria itu malah tertawa melihat Maura yang ketakutan."Kenapa, takut ya?" Maura masih terus melangkah mundur untuk menjauh dari pria itu sampai akhirnya, gadis itu terjtuh akibat tersandung batu di bawah.brukk."Aw!"Maura lantas mengusap-usap kakinya yang terluka akibat dia terjaruh barusan. Karena hal itu, pria di hadapa Maura lantas berjongkok."Hati-hati dong, kan lecet jadinya," ujar pria itu sambil mencoba untuk menyentuh kaki Maura yang terluka itu.Maura menepis dengan kasar tangan pria itu, dia benar-benar tidak sudi bagian tubuhnya disentuh olehmya. Walaupun sebenarnya Maura saat ini keta
Maura menyalakan kran wastafel kamar mandi. Gadis itu lantas membasuh wajahnya. Tepat sekali, setelah Maura melihat adegan menyakitan antara Jevan dan Sarah tadi. Maura memilih berlari ke kamar mandi dan menumpahkan seluruh air matanya disini. Sudah sekitar sepuluh menit Maura menangis sedari tadi, bahkan matanya kini sudah sembab. Gadis itu jadi tidak berani untuk keluar, apalagi kalau sampai dirinya bertemu Rion. Bisa tamat riwayatnya.“Sial, mataku sangat sembab. Bagaimana ini?”Maura masih terus membasuh wajahnya, berharap sembab dimatanya sedikit berkurang. Namun, nihil hasilnya tetap saja. Dirinya tidak mungkin keluar dengan keadaan seperti ini.“Bagaimana ini? Sangat mustahil, jika aku tidak bertemu Rion sama sekali.”Maura berpikir keras sekali saat ini. Dia harus memikirkan cara agar dirinya tak sampai bertatap muka dengan Rion. Namun, bagaimana?“Apa aku ijin saja, ya?”Awalanya Maura terfikirkan sebuah ide. Mungkin dia bisa saja ijin untuk pulang lebih awal. Namun, setelah