“Bos, apa sampai sini saja?” tanya salah seorang yang duduk di bangku depan. Alan menoleh ke apartemen kecil di pinggiran kota Angel City. Lingkungannya seperti tempat ia tinggal dulu semasa belum berada di Falsehood. Tapi bedanya, yang ia miliki hanyalah rumah susun yang sudah tampak kumuh. Tidak dicat, tidak dipelihara, dan kebanyakan penghuninya adalah orang-orang berekonomi rendah. “Aku turun di sini saja. Bila dua makhluk itu melihat aku diantar oleh sekelompok orang akan sangat bahaya.” Alan pun keluar dari mobil Van hitam milik anak buahnya. Sambil merapikan setelan jasnya, ia berjalan menuju ke lobi apartemen. Jalan raya di depan apartemen tidak terlalu padat seperti di pusat kota. Ia sangat senang karena dua perempuan itu bisa memilih tempat bersembunyi yang tepat. “Halo … kalian di lantai dan unit berapa?”[Kau meneleponku? Kukira kami sudah di blacklist karena sekarang kau sudah menjadi suami orang lain!]“Aku belum menikah. Tolong katakan di mana lokasi kalian. Ada hal
“Um … lakukanlah,” bisik Freya. Perempuan itu pasrah dengan apa yang akan terjadi. Tangan lelaki yang sebelumnya belum pernah meraba tubuhnya tampak lihai membuatnya hanyut dalam dimensi lain. Mata Freya tampak mengarah ke atas hingga pupilnya hanya terlihat warna putih saja. Suara napas yang terengah-engah membisik merdu di telinga Alan yang terus memainkan irama jantung napasnya. Ia tidak sedetik pun berhenti menyentuh lembutnya kulit perempuan itu. Desah candu yang merangsang kinerja otaknya tanpa sadar membawanya melalang buana ke inti dari sebuah kenikmatan. “Kecup aku … please ….” Freya meminta dengan lirih. Dan hal itu disanggupi. Tapi ketika rasa antara lembut bibir Freya dan detak jantungnya semakin dalam, Alan mengingat sepintas bayangan bosnya. Sesuatu hal yang membuatnya harus berhenti di sana. “Ada apa?” Freya heran karena lelaki yang ada di atasnya tampak melepas semua energi nafsunya. Alan terdiam sejenak sambil menatapnya dengan rapuh. “Maaf … aku … sepertinya me
“Syaratku cukup simpel. Bantu aku balas dendam dengan seseorang yang memiliki julukan sebagai Beelzebub!” Raut wajah Michael berubah drastis. Pancaran amarah terlihat jelas di sana. Rahangnya saling beradu dan matanya tampak membulat. Tatapan matanya pun tampak tajam. “Beelzebub? Ada apa dengannya? Kenapa kau ingin balas dendam dengannya?” tanya Alan. “Dia membunuh istri dan anakku! Kami bahagia di kota berjuluk ‘kota para malaikat’ ini! Tiba-tiba dia datang ke rumah dan membantai mereka tanpa belas kasih. Untungnya aku masih bisa melarikan diri,” jelas Michael. Tatapan matanya perlahan berubah menjadi sayup dan mengarah ke bawah. “Apa mungkin mereka tahu tentang jati dirimu?” pikir Alan. “Mereka takut dengan informasi yang kuketahui. Dan saat mendengar kau akan ke selatan, aku sudah berencana untuk bersekutu denganmu. Dan orang bernama Beelzebub itu adalah orang pertama yang harus mati ditanganku!” ucap pria yang tampak gusar. Alan pun terdiam sejenak. Perutnya juga sudah mulai
Hujan lebat mengguyur Angel City dengan sangat deras. Rentetan suara gemuruh petir saling bersahutan di kala suhu udara di dalam sebuah restoran mewah tampak begitu dingin. Tidak ada seorang pun yang makan di sana. Semua mejanya tampak kosong. Beberapa lampu yang berada di atap pun tidak menyala. Alan duduk tepat di samping jendela kaca besar yang basah pada bagian luar karena hujan. Tetesan air terus silih berganti membekas pada permukaan kaca. Lelaki itu menenggak segelas sampanye dengan tatapan kosong. Matanya tertuju lurus ke luar jendela. Ia seperti sedang sibuk bergulat dengan pikirannya. Obrolannya pada siang tadi bersama Michael Lawrence membuatnya terpaku pada sosok Beelzebub yang misterius. Rasa kesal seakan datang dan pergi silih berganti dan membuatnya bimbang mengerjakan misinya untuk menjaga para putri Hood. Ia justru lebih bersemangat untuk menemukan pembunuh bosnya. “Ternyata kau sudah datang. Kukira kau terjebak hujan.” Seorang pria lebih muda darinya duduk di kurs
“Si–siapa sebenarnya mereka?” Elizabeth harus meletakkan dua orang pria mabuk itu bersama Freya di sofa. Salah satunya tidak sadarkan diri, tapi yang satunya lagi masih bisa bersuara meski tidak jelas apa yang ia bicarakan. Ia terus bilang bahwa mereka harus ke apartemen untuk menjaga kedua putri Hood. Wajah pria itu tampak memerah. Matanya juga tampak sayup. Saat Freya mendekat untuk menghentikan tingkah konyolnya, ia mencium alkohol yang begitu kematian dari mulutnya. “Dasar! Apa Alan menjawab pesanmu?” tanya Elizabeth. “Belum ada pesan masuk darinya. Apa yang harus kita lakukan pada mereka?” Freya kewalahan dengan tingkah salah satunya. “Itu mudah.” Elizabeth memukul belakang leher pria yang masih tersadar. Karena lumayan keras, pria itu pun mengalami syok dan seketika jatuh ke tubuh temannya yang telah tertidur di samping dirinya. “Kau mau membunuhnya?!” Freya terkejut dengan aksi ala pendekar kungfunya Elizabeth. “Dia tidak akan mati. Aku hanya membuatnya tidak sadarkan dir
“Kapan kita menyusulnya?!” Freya sudah tidak sabar. Sudah sekitar dua puluh menit ia menunggu di dalam mobil sport kepunyaan Rahu. “Tunggu sebentar lagi,” jawab lelaki itu. “Kenapa kita harus menunggu? Apa dia akan tahu kita mengikutinya? Memangnya dia sehebat itu?” Freya terus menggerutu. “Dia yang terbaik diantara kami. Tapi alasan sebenarnya bukan itu. Ada beberapa teman kami yang sudah berjaga di sekitar gedung kakakmu. Kita harus menunggu kabar dari mereka. Aku juga harus merahasiakan identitasku agar tidak diketahui oleh keluarga Gibbon,” ungkap Rahu. “Kenapa? Apa kau juga akan menikah dengan salah satu pembantu mereka?” sindir Freya. Lelaki itu sungguh tak paham dengan ucapan Freya. Ia baru mengerti kenapa bosnya selalu mengeluh tidak jelas soal putri-putri Hood. Tidak semudah menaklukan wanita normal di luar sana, Rahu merasa sifat para putri mendiang bosnya sangatlah berbeda. Tapi selama di dalam mobil, Freya selalu saja memainkan kukunya. Ia tidak bisa diam untuk sejen
“Apa yang kau lakukan di situ?” Alan tidak menyangka bisa menemukan perempuan yang selalu gusar padanya. “Aku … aku hanya ingin menghirup udara segar. Ternyata temanmu ini sangat jago menyetir.” Alasan Freya tampak absurd. Alan merasa kesal dan heran. Ia menundukkan lehernya hingga sejajar dengan tinggi pintu mobil dan melirik ke arah wakil ketuanya yang bodoh. Tatapan Alan tampak mengancam pikiran Rahu yang kaku terdiam di posisinya. “Kenapa kau membawanya?” tanya Alan. “A–Aku … aku hanya … hanya tidak mau melihatnya membentakku terus!” Ucapan Rahu tampak aneh. Alasan yang dibuatnya tidaklah masuk akal. Wakil ketua gangster kalah dengan artis drama kemarin sore? Aneh, ‘kan?“Kau ingin bercanda denganku?” Alan tidaklah marah, tapi ia geram melihat tingkah konyol Rahu. “Lalu kenapa kalau aku mau ikut?! Nggak boleh?! Apa Diana sebegitu berharganya untukmu?” Tiba-tiba Freya meracau mengganggu percakapan antara Alan dan Rahu. Lelaki itu tahu bila watak perempuan di sampingnya sangat
Reaksi Alan dan Rahu tampak terkejut. Keduanya saling memandang dan seakan berbicara dalam benak masing-masing. Apa yang sebelumnya diberitakan oleh Michael tampaknya merupakan informasi yang valid. Tapi sayangnya, Ferdinand Draco Gibbon adalah sosok yang belum pernah ditemui oleh Alan. Ia tidak tahu perawakannya seperti apa. “Siapa?” tanya Freya. Perempuan itu tidak tahu sama sekali tentang orang yang dibicarakan oleh si mata-mata. Namanya terdengar asing, tapi saat melihat raut wajah Alan yang serius, ia berpikir kalau dua lelaki di sampingnya mengenali pria itu. “Kenapa dia dicurigai? Dan kenapa hasil dari penyelidikan Gluttony bilang bahwa bukan dia si Beelzebub itu?” Alan penasaran. “Itu bermula pada pembunuhan sepuluh petinggi Gluttony dua tahun lalu. Mereka semua tewas dengan cap markah bergambar iblis Beelzebub. Cap itu sengaja ditinggalkan di tubuh korban untuk dikenali. Beberapa petinggi lainnya dan ketua telah mengadakan rapat besar kala itu. Dan sebuah nama menjadi ter