"Di kamar kamu?" Aku menyipit menatap Juna. Bukannya aku nggak mau quality time berdua dengan Juna. Tapi kalau di kamar, kayaknya aku harus mikir dua kali."Kenapa harus di kamar kamu?" Aku ingin tahu apa alasannya."Nggak mungkin di kamar kamu kan? Kan ada Anya.""Maksudku kita tetap bisa menghabiskan waktu bersama tapi bukan di kamar.""Kamu kan tahu sendiri satu-satunya tempat yang paling aman dan privat untuk kita ya di kamar. Bodyguard-mu itu nggak mungkin ikut masuk kecuali kamu yang ajak.""Aku juga nggak sebodoh itu buat ngajakin dia," ucapku sewot.Juna tertawa mendengar perkataanku."Memangnya apa yang akan kita lakukan di kamar?" tanyaku mengujinya."Banyak. Salah satunya membicarakan mengenai pernikahan dan masa depan kita." Juna memberi senyum sembari mengedipkan sebelah matanya.Wajahku seketika berbinar. Biasanya Juna selalu menghindari topik ini. Dia selalu keberatan. Tapi entah mengapa kali ini dia yang memulainya."Ayolah, Melodi. Nggak usah kebanyakan mikir. Waktu k
MELODIIan terkejut melihatku datang dengan membawa air mata. Dia membalas pelukanku dan mengusap punggungku lembut. Air mataku semakin deras. Aku merasa berat untuk melepaskan diri dari pelukan Ian. Dan dia mengerti. Dia membiarkanku berada dalam dekapannya.Lalu setelah sadar apa yang kulakukan aku merasa malu sendiri."What happened, Melodi?" Ian menanyakannya yang kujawab dengan tundukan kepala.Mengingat apa yang baru saja kualami menumbuhkan rasa perih di hatiku. Sedikit pun tidak pernah terbersit di pikiranku kalau kekasihku sendiri berniat untuk menodaiku. Padahal semua harapan dan kepercayaan kutumpukan padanya.Air mataku kembali jatuh dalam bentuk tetesan-tetesan kecil.Tanpa kuduga Ian yang tadinya duduk di sebelahku pindah ke lantai. Dia jongkok di sana lalu mengangkat daguku yang tertunduk dengan ujung telunjuknya.Ian menyapukan jarinya ke pipiku untuk menghapus air mataku. Perlakuannya membuat tetesan bulir-bulir kristal itu semakin deras.Kenapa harus Ian? Kenapa dia
IAN Langkahku berderap melintasi lorong demi lorong yang sunyi. Aku sudah tidak sabar ingin menghabisi lelaki itu.Aku nggak akan bisa melihat Melodi disakiti. Dia adalah permata. Dia berlian yang langka dan sangat berharga. Dia sangat tidak ternilai harganya.Aku mengetuk kamar Juna dengan tidak sabar. Butuh waktu cukup lama sampai dia berani menampakkan muka. Berjalan terhuyung-huyung, dia terkejut mengetahui akulah sang pengetuk itu."Lo ternyata." Jelas ada nada tidak suka pada ekspresi dan suaranya."Lo apain Melodi?" tuntutku langsung.Sudut-sudut bibir Juna terangkat membentuk senyum miring. "Jadi anak manja itu udah ngadu sama kacungnya ternyata," ledeknya. Dia nggak hanya menghinaku tapi juga Melodi.Q"Dia nggak ngadu apa-apa tapi gue yang tahu sendiri.""Dan lo pikir gue percaya?""Gue nggak peduli lo percaya atau tidak. Nggak penting. Sekarang bilang apa yang lo lakuin ke Melodi?""Memangnya lo siapa sampai gue wajib lapor, hah?""Gue memang bukan siapa-siapanya. Tapi s
IANSaat aku sedang serius menatap setiap inci garis wajahnya, Melodi bergerak. Lalu suara-suara halus keluar dari mulutnya."Jangan, Jun, jangan ..."Dia menggigau."Jangan, Juna, aku nggak mau!!!" Melodi berteriak keras lalu terbangun dengan tangis dan napas memburu."Melodi, tenang, Melodi. Nggak ada Juna di sini. Ini aku, Ian." Aku mengusap-usap pundaknya agar dia sadar."Ian?" Dia menatapku dengan sorot yang begitu rapuh."Iya. Ian. Pembantu kamu."Melodi memelukku lalu sesenggukan di dadaku. Kejadian itu pasti membuatnya trauma."Sekarang lanjutin lagi tidurnya. Masih malam." Aku menyuruh setelah tangisnya reda.Melodi kembali berbaring tapi tangannya tidak lepas menggenggam jemariku.“Jangan pergi, Ian, temenin aku di sini. Kamu tidur di sini.”Aku menatap permukaan kasur di sebelah Melodi. Ranjang yang kutempati adalah single bed tapi bisa memuat satu orang lagi walaupun kapasitasnya pas-pasan. Tapi aku nggak mungkin tidur di sana kan?Melodi menarik tanganku agar aku berbarin
MELODIIan memegang pipinya yang barusan kutampar lalu buru-buru bangun dan membela diri. Persis seperti yang sudah kuduga."Melodi, semalam kita nggak melakukan apa pun. Kamu datang ke kamarku dalam keadaan menangis dan meminta untuk tidur di sini. Aku mengizinkan." Ian mengambil jeda sejenak untuk mengetahui ekspresiku sebelum melanjutkan. "Beberapa jam kemudian kamu bangun karena mimpi buruk. Kamu memelukku dan meminta aku tidur di dekat kamu. Selebihnya kita tidur sampai pagi tanpa melakukan apa-apa.""Nggak mungkin!" sanggahku cepat. Aku nggak percaya bahwa akulah yang memintanya untuk tidur di sebelahku."Kenapa nggak mungkin?""Tentu saja nggak mungkin. Itu mustahil. Aku nggak suka kamu. Aku benci kamu. Kamu tahu persis hal itu dari dulu.""Aku tahu. Tapi mungkin tadi malam kamu lupa kalau kamu membenciku. Sayangnya di kamar ini nggak ada CCTV."Ucapan Ian menuntun mataku memandang ke setiap sudut ruangan. Memang tidak ada apa-apa di sana."Ya, sayang sekali," sinisku menimpali
MELODIMalam harinya aku jalan bertiga dengan Anya dan Amanda. Selama di sini kami belum pernah jalan bersama. Amanda meminta Alva menyingkir sementara.Kami main di Bangla Road. Pusatnya hiburan malam di Phuket. Bar, kelab malam hingga kafe dan restoran, segalanya ada di sini. Setiap malam jalan untuk kendaraan ditutup di sini sehingga hanya tersedia untuk pejalan kaki.Kami bertiga nongkrong di outdoor kafe beratapkan langit."Ian mana, Melo?" Kepala Anya celingukan."Mana gue tahu," jawabku sebal."Lagian lo ngapain sih, Nya, ngerusak suasana melulu?" Amanda ikut mendelik jengkel pada sahabat beda arah kami.“Yaelah, gue kan cuma nanya kok dimarahin?”"Abisnya pertanyaan lo tuh nggak mutu banget. Ngerusak mood Melodi."Aku ikut memindai situasi di sekelilingku. Kali aja Ian mengekori kami lalu sembunyi di suatu tempat. Bersembunyi lalu muncul tiba-tiba adalah keahliannya.Tapi malam
IANAku tahu tidak akan mudah bagi Om Ben untuk melepasku begitu saja. Dan aku sangat paham kenapa dia menatapku heran."Apa yang terjadi di Phuket? Kenapa tiba-tiba minta berhenti?" Pertanyaan itu sudah ada di kepalaku sebelumnya."Tidak terjadi apa-apa, Om. Semua berlangsung lancar. Liburannya menyenangkan. Melodi sangat gembira.""Lalu kenapa Om harus mendengar permintaan ini keluar dari mulut kamu?""Maaf, Om, bukannya tidak bersyukur dan berterimakasih. Tapi saya nggak mungkin selamanya hidup bergantung pada Om dan keluarga. Saya ingin membangun kehidupan sendiri. Saya akan mencari pekerjaan yang lain.""Sudah ada pekerjaannya? Gajinya jauh lebih besar daripada yang kamu dapatkan selama ini?""Belum, Om.""Lalu kenapa kamu nekat keluar?""Kalau nggak begitu saya nggak akan pernah tahu apa-apa karena terus bergantung pada Om dan keluarga. Saya nggak bisa melakukan apa pun dan mencari pekerjaan yang baru karena waktu saya tersita untuk Melodi."Om Ben menatapku masygul. Dia mencub
IANSeorang gadis bertubuh semampai mengenakan jeans dan blouse putih melambaikan tangan padaku saat melihatku muncul.Aku berjalan menghampirinya. Tadi Om Ben yang memintaku untuk menjemput Lakeizia. Hanya selang beberapa menit Lakeizia menghubungi langsung.Lakeizia membawa banyak barang. Dua koper besar, satu tas jinjing serta ransel di punggungnya.Airport helper membantu membawa barang-barang Lakeizia."Sorry ya, jadi ngerepotin." Lakeizia berucap di sela-sela langkah kami."That's okay," jawabku singkat. Ini bukanlah pertemuan pertamaku dengan Lakeizia. Aku sudah kenal dia sejak lama."Melodi apa kabar? Masih suka ngereog dia?" seloroh Lakeizia sambil tertawa setelah kami berada di mobil dan hendak meninggalkan area bandara.Aku menyimpan tawa di dalam hati. Melodi dan Lakeizia pernah terlibat salah paham sekitar empat tahun yang lalu. Hanya gara-gara laki-laki."Nggak kok. Dia udah dewas
EpilogMELODISatu dekade terlewati seperti busur panah yang melesat cepat. Waktu berjalan begitu kilat. Anak-anak yang dulu masih bayi sekarang sudah duduk di kelas empat SD.Usiaku 33 tahun saat ini. Dalam sepuluh tahun terakhir begitu banyak yang terjadi. Delapan tahun lamanya aku mengabdi menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Hidupku hanya untuk mengurus anak-anak dan suamiku. Seluruh kasih sayang kulimpahkan untuk mereka. Menyaksikan pertumbuhan anak-anak dari waktu ke waktu adalah hal yang paling membahagiakan untukku.Ketiganya tumbuh dengan sehat, normal dan menjadi anak-anak yang manis dan cerdas.Seperti yang sudah dikatakan banyak orang, semakin ke sini Sean bertambah mirip dengan Ian. Kulitnya yang terang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah, alis hitamnya yang lebat dan tatapannya yang khas. Bahkan rahangnya mulai terbentuk dengan bagus. Ada dua cekukan di pipinya. Melihat Sean nggak ubahnya seperti memandang Ian. Aku yakin saat dewasa nanti Sean akan menjadi idol
MELODISembilan tahun sudah berlalu sejak kelahiran mereka. Anak-anak sekarang sudah duduk di kelas tiga SD. Membuatku kadang ingin menangis haru. Betapa aku sangat menikmati peranku sebagai ibu.Membesarkan tiga orang anak nggak pernah gampang bagiku. Apalagi mereka dengan segala tingkah ajaibnya membuatku kadang ingin mengeluh. Namun ketika akan menggerutu sesuatu menyadarkanku. Mereka adalah anugerah paling besar dan terindah yang kumiliki sepanjang usia.Selama sembilan tahun ini amat sangat banyak yang terjadi. Tentang aku yang akhirnya melanjutkan kuliah. Tentang karir Ian yang meroket tinggi. Dan tentu saja tentang anak-anak.Sean semakin dekat dengan Rara. Hubungan mereka seperti love hate relationship. Kadang mereka bertengkar dan nggak bertegur sapa. Tapi nggak begitu lama. Setelahnya keduanya akan kembali akrab, bercengkerama dan bercanda tawa seperti biasa.Sedangkan Javio, dia makin persis seperti papanya yang kalem dan lempeng. Aku masih ingat waktu dulu dia bilang akan
MELODI"Melodi, apa nggak sebaiknya kita sekolahkan anak-anak?" kata Ian pada suatu hari meminta pertimbanganku."Uhm, sekolah ya, Bang?"Ian mengangguk.Saat ini baby triplet sudah berumur lima tahun. Sudah sepantasnya mereka bersosialisasi dengan dunia luar. Tapi kenapa aku yang nggak rela? Kalau mereka sekolah itu artinya waktuku bersama mereka akan jauh berkurang."Abang pikir dengan bersekolah maka mereka juga jadi mengenal dunia luar. Mereka juga butuh bersosialisasi.""Biar nggak kayak kamu kan? Temannya cuma dikit." Sesekali aku memang suka meledek Ian.Ian tersenyum. Dibelainya kepalaku. "Iya, biar nggak kayak Abang," ucapnya mengalah. Dia memang selalu mengalah untukku."Cieee ngambek." Aku tertawa.Dia hanya menatapku sambil memamerkan senyum segarisnya yang khas."Anak-anak emangnya mau, Bang?" tanyaku ragu."Abang yakin mereka pasti mau," ujar Ian mantap. Ian kemudian memanggil tiga bersaudara itu."Sean! Javio! Chiara!"Javio dan Chiara datang bersamaan dalam satu kali p
MELODIMenjadi seorang ibu bukan hanya perkara melahirkan lalu memiliki anak. Lebih dari itu menjadi seorang ibu adalah perjalanan paling menakjubkan dalam hidupku.Aku mengorbankan banyak hal untuk hal menakjubkan itu. Termasuk membatalkan rencana meneruskan S2.Aku sempat merasa sedih karena gagal mewujudkannya. Terlebih ketika melihat feed sosmed teman-teman yang pulang kuliah hangout di mal, ngopi, nonton, atau sekadar window shopping. Namun ketika melihat wajah tiga malaikat kecilku plus bapaknya, semua keinginan tadi sirna. Sean, Javio, serta Chiara jauh lebih berarti ketimbang gelar Melodi Paradisa Evano, SE, MM.Hari ini Amanda datang ke rumah. Dia baru saja pulang kuliah. Aku sedang menyuapi anak-anak makan dibantu oleh baby sitter. Saat ini Sean, Javio dan Chiara sudah berusia tujuh bulan dan telah memasuki masa MPASI sejak satu bulan yang lalu.Aku yang langsung turun tangan ke dapur untuk menyiapkan makanan mereka demi memastikan ketiganya mendapatkan yang terbaik. Bukan
MELODIHari ini rumah kami begitu ramai dan semarak. Tamu-tamu para undangan sudah berdatangan dan menjadikan tiga bayi kembarku dan Ian sebagai pusat atensi."Lucu-lucu ya mereka.""Ih, gemes banget.""Ini gedenya pasti cakep-cakep."Komentar-komentar tersebut berdatangan dari mulut para tamu yang hadir menyaksikan tiga bayi kembar: Sean, Javio dan Chiara.Tidak satu pun dari orang yang datang tidak merasa tertarik pada baby triplet itu. Mereka lucu, manis dan sangat menggemaskan. Tingkahnya membuat hari-hari di rumah kami menjadi lebih berwarna.Hari ini di bangunan megah berarsitektur mediterania milik Papi atau rumahku tersebut sedang digelar acara tedak siten.Acara tersebut begitu meriah. Bukan hanya karena banyaknya para tamu yang hadir, tetapi karena para bayi tersebut terlahir kembar tiga dengan orang tua yang masih belia.Rumah sudah dihias sedemikian rupa, disulap menjadi istana anak-anak yang mewah. Sama seperti aku dan Ian, baby triplet juga mengenakan pakaian adat denga
IANSetelah dua hari berada di rumah sakit hari ini Melodi diizinkan pulang.Rumah kami, maksudku rumah mertuaku terasa jauh lebih hidup. Tangis bayi menggema di mana-mana. Dan Sean adalah bintangnya.Semua penghuni rumah bersukacita. Termasuk Bi Inem dan Pak Pri.Begitu masuk ke kamar bayi kami disambut oleh balon-balon huruf dengan tulisan, 'Welcome babies made in Canada.'Papi memang seniat itu.Siapa sangka keteledoranku dulu membuahkan hasil. Melodi nggak percaya sampai sekarang kalau aku memang nggak sengaja ngeluarinnya di dalam. Tapi serius, aku nggak bohong. Aku memang nggak sengaja. Gara-gara Melodi terlalu nikmat aku jadi telat ngangkat.Hari-hari sebagai ayah pun dimulai. Aku menemani Melodi begadang setiap malam. Si kecil kami bergantian ingin disusui. Ada saja tingkah mereka.Kalau Sean menyusu maka Javio pup, dan Chiara akan menangis karena ingin digendong.Sejujurnya kami memang kewalahan. Tapi aku dan Melodi begitu menikmati masa-masa bahagia itu.Aku pikir Melodi
MELODIIan sudah mengambil cuti sejak kemarin. Kalau sesuai rencana aku akan melahirkan melalui prosedur operasi caesar besok lusa.Semua persiapan sudah dilakukan. Mamilah yang paling repot. Oh iya, jangan lupakan Papi yang paling antusias menyambut babies made in Canada. Sejak tahu akan punya cucu kembar, Papi merenovasi kamar Ian menjadi lebih besar dan menyulapnya menjadi istana bayi.Sampai hari kemarin Mami masih mengisi lemari dengan baju-baju bayi menggemaskan. Mami sama gregetannya denganku. Aku juga membeli banyak baju-baju lucu untuk si triplet. Sampai Ian geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Tapi nggak ada yang bisa dilakukannya selain membiarkanku. Ini adalah anugerah luar biasa bagi kami. Dan belum tentu juga aku akan hamil lagi.Sekarang tinggal aku yang harus menyiapkan mental untuk operasi lusa."Dimakan dulu, Princess." Ian meletakkan sepiring apple pie di hadapanku."Thanks, Bang Ian." Aku menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari gawai yang berada di tangan. S
MELODIIan benar-benar suami yang bisa diandalkan. Aku tahu dia lelah tapi seperti biasa dia tetap memenuhi permintaanku. Hampir setiap hari aku merengek padanya meminta keinginan yang berbeda, tapi dia nggak pernah mengeluh atau menunjukkan wajah lelah padaku. Pernah tengah malam aku membangunkannya karena aku pengen gelato padahal saat itu sedang hujan deras. Lagi-lagi tanpa mengeluh atau protes Ian mencarikannya. Saat Ian pulang aku malah nggak mau makan gelato tersebut dan membuangnya. Dia juga nggak pernah kesal atau mencoba mensubstitusi dengan yang lain. Aku mendapatkan semua yang kuinginkan dari Ian.Sambil mengusap-usap perut aku menunggu Ian pulang. Semakin besar usia kandunganku aku semakin malas bergerak ke mana-mana. Ruang gerakku hanya seputar rumah. Semingguan ini aku juga semakin sering jalan pagi seperti yang dianjurkan dokter. Ian menemaniku. Dan terkadang kami jalan pagi berempat dengan Mbak Karen dan suaminya.Saat aku sedang melamun Ian muncul membawa cemilanku."
IANHubungan persahabatan Melodi dan Anya akhirnya terputus sejak hari itu. Praktis sahabat Melodi hanya tinggal Amanda. Dan ... aku.Maksudku, sekarang Melodi sudah lebih terbuka padaku. Dia mau berbagi denganku menceritakan hal-hal yang selama ini hanya diceritakan pada sahabatnya.Sejak dia hamil, sejak Greya pergi, sejak fakta tentang Anya terungkap, dan khususnya sejak kami mengakui perasaan masing-masing, Melodi sudah mulai berubah. Hanya sedikit. Dia tetap Melodi yang pemarah dan emosian. Tapi untuk saat ini hal itu sudah cukup untukku."Jadi sampai kapan mau disembunyiin dari Melodi?"Pertanyaan Lakeizia membuatku mengembaIikan fokus pada Greya dan anak-anaknya. Sama seperti manusia dia juga sangat menyayangi anak-anaknya."Entahlah. Mungkin tunggu sampai situasinya tepat dulu," jawabku. Kalau sekarang tentu saja keadaannya belum memungkinkan. Melodi sedang hamil. Aku ingin menjaga perasaannya. Aku sering berpikir kenapa Melodi begitu cemburu pada Greya. Masalahnya Greya buka