MELODISetelah tahu siapa Siti Nafiza, diam-diam aku mulai stalking dia di hpku. Aku nggak perlu repot-repot menelepon Ian karena informasi yang kudapat dari sosmed Siti jauh lebih update. Dan semakin kuikuti perkembangannya hatiku semakin teriris.Sakit menyaksikan suami sendiri lebih dekat dengan perempuan lain ketimbang dengan istrinya sendiri.Sudah tiga minggu Ian pergi. Dan sejak telepon terakhirnya Ian belum ada lagi menghubungiku. Aku membiarkannya. Bodoh amat. Kalau dia bisa mencari hiburan di sana, aku juga bisa mencari pengalihan di sini.Hari ini Amanda mengajakku ke acara ulang tahun sepupunya. Aku terpaksa ikut karena dia menjemputku langsung ke rumah. Sejak Anya diterima kerja, otomatis aku dan Amanda jadi sering jalan berdua. Salut aku sama Anya. Padahal ijazah kami belum resmi keluar."Gue males ke mana-mana, pengin rebahan aja." Itu kataku awalnya saat Amanda mengajak ke luar."Ngapain rebahan mulu? Kayak orang hamil aja. Eh, lo hamil nggak sih?""Ya nggak lah!" sah
MELODILalu kini aku dan Bintang tinggal berdua dalam kecanggungan. Maksudku bukan Bintang yang canggung, tapi aku. Sedangkan Bintang tampak biasa-biasa saja."Melodi, ke sana yuk." Bintang mengajakku menjauh, tepat ke bawah pohon. Ada bangku di sana.Aku menyetujui ajakannya. Di sini agak berisik oleh musik dan suara teman-teman Bintang.Beberapa temannya bersuit-suit saat aku dan Bintang melintas.Bintang memberi gelas berisi minuman untukku dan memegang gelas minumannya sendiri. Selama beberapa menit kami hanya diam tanpa suara."Udah kelar kuliah?" tanyaku."Gue?" Bintang menunjuk dadanya."Ya iyalah, kan gue lagi ngomong sama lo.""Udah. Gue udah lama lulus.""Terus, kenapa nggak pernah keliatan?""Kan kita nggak satu rumah."Aku tertawa. Benar juga sih jawabannya."Maksudnya bukan itu.""Abis wisuda gue tetep stay di NY. Kerja di sana."Aku manggut-manggut."Oh iya, gue belum kasih selamat. Manda bilang kalian wisuda barengan. Dan lo peraih IPK tertinggi tahun ini."Entah apa la
MELODIHandphone masih berada di genggamanku. Benda itu terus bergetar karena Ian belum berhenti memanggil. Dalam gelapnya kabin mobil, cahaya yang dihasilkan layar gawaiku begitu jelas dan menarik perhatian. Aku melirik Bintang yang sedang menyetir. Dia nggak terpengaruh oleh lirikanku. Perhatiannya terpusat ke jalan raya di hadapan kami.Menyadari aku memerhatikannya tiba-tiba Bintang memandangku. "Jawab aja, nggak usah sungkan, gue nggak bakal nguping kok," ucapnya sambil tersenyum.Ya, aku tahu dia nggak akan nguping pembicaraanku. Masalahnya adalah, aku nggak mungkin menjawab panggilan dari Ian saat ini. Di mana aku sedang berada di luar, tengah malam dan dengan laki-laki lain. Itu bunuh diri namanya."Nggak penting. Nanti aja di rumah."Aku membiarkan handphone terus berbunyi lalu memasukkannya ke dalam tas agar suaranya tersamarkan. Aku ingin tahu bagaimana reaksi Ian dikacangin dan dianggap tidak penting."Rahasia b
MELODI"Lo ke mana kemarin? Kenapa gue ditinggalin?" semburku galak saat hari ini Amanda menelepon."Sorry, sorry, gue buru-buru jadinya nggak kepikiran buat pamitan sama lo. Tapi kemarin lo aman kan?""Apanya yang aman? Kan gue lo tinggalin. Untung ada Bintang. Kalo nggak ada dia gue nggak yakin bisa naik taksi sendiri."Amanda tertawa mendengar cerocosanku."Kok malah ketawa?""Gue lagi ngebayangin wajah lo. Bintang bilang kemarin lo ketakutan. Muka lo pucat kayak orang mati. Hahahaaa ..." Amanda tertawa terbahak-bahak."Dasar sahabat nggak ada akhlak!" Aku mengumpatinya."Lo udah bilang makasih sama Bintang belum?" tanya Amanda setelah tawanya reda.Aku terdiam sesaat mengingat peristiwa kemarin malam. Karena khawatir Mami akan marah aku nggak sempat mengucapkan terima kasih pada Bintang."Hm, kayaknya belum deh. Gue lupa soalnya kemarin buru-buru.""Telfon dia gih."
MELODIAku akui kata-kata Summer cukup meracuniku. Membuatku terus kepikiran mengenai Ian di sana.Tadi setelah chatting sekian lama aku langsung vidcall Summer agar lebih jelas. Summer hanya mengedikkan bahu tidak tahu saat aku menanyakan apa reaksi Ian didekati cewek itu.Sampai aku bertemu Bintang di tempat yang ditentukannya pikiranku nggak jauh-jauh dari Ian."Lagi banyak pikiran?" tegur Bintang seakan bisa membaca isi kepalaku.Aku hanya nyengir."Itu makanya gue nggak berani LDR. Nggak bisa konsen.""Lo tahu gue lagi LDR?"Bintang menjawab dengan senyum tipis."Amanda yang bilang?""Satu-satunya yang bisa ngasih gue informasi yang valid kan cuma dia."Ini kenapa kesannya Bintang sudah lama nyari informasi tentang aku ya?"Manda bilang apa lagi? Bilang yang jelek-jelek ya?"Aku curiga dia membuka aibku. Apalagi Amanda anaknya petakilan."Nggak ada yang jelek. Yang bagus-bagus semua. Paling tentang kegalauan lo doang." Bintang mengulum senyum seakan sedang meledekku."Kegalauan
MELODIAku nggak bisa berhenti memikirkan saran Bintang.Kemarin saat ngopi di kafe kami mengobrol lama. Pada akhirnya aku curhat tentang keprotektifan Mami dan Papi. Aku nggak yakin mendapat surat jalan sendiri. Terus Bintang bilang kalau aku sudah dewasa. Aku harus membuktikan pada orang tuaku agar tidak lagi dianggap sebagai anak-anak. Salah satunya adalah dengan cara terbang sendiri.Bintang juga memotivasiku agar nggak curiga sama Ian. Jalan satu-satunya untuk mencegah kecurigaanku berkembang lebar adalah dengan mendatanginya langsung.Masalahnya saat ini adalah bagaimana cara bicara dan meyakinkan Mami Papi?Sambil memikirkannya aku memainkan hp.Saat ini masih jam sepuluh pagi. Artinya di sana sedang malam pada jam yang sama kalau aku nggak salah. Ian belum tidur jam segini. Aku mencoba peruntungan dengan menghubunginya.Dan aku beruntung. Dia menjawab panggilanku dalam dua puluh detik."Sorry, aku ngeganggu ya?" tanyaku langsung."Enggak lah. Masa ditelfon istri sendiri meng
MELODIBintang menghubungiku setelah aku tiba di rumah."Jadi ke Canada?" tanyanya."Jadi, besok.""Good luck ya."Aku tertawa."Pengin ditemenin nggak?""Haha, mana bisa. Gue udah pesan tiket.""Flight kapan?""Besok malam jam delapan.""Kalo lo izinin gue bisa usahain kok kita dapat flight yang sama."Emang siapa sih si Bintang ini? Apa hebatnya sehingga bisa mengatur penerbangan?"Nggak usah, Tang. Thank you.""Kalo ada masalah atau kalo pengin curhat nggak usah sungkan-sungkan hubungi gue ya. Gue stand by dua puluh empat jam buat lo."Kenapa bukan Ian yang begini? Kenapa harus orang lain?***Pakaianku sudah tersusun rapi di dalam koper. Aneka coat berbagai warna yang modis berada di lipatan paling atas. Kepergianku ke Canada yang merupakan untuk pertama kalinya nggak akan kusia-siakan. Aku akan memanfaatkannya dengan baik sekalian untuk liburan.Masalah terbesarku saat ini adalah bagaimana cara menghadapi Mami Papi.Pagi ini aku turun ke ruang makan dengan jantung berdebar kenca
Pukul delapan malam pesawat yang membawaku lepas landas dengan mulus. Aku mendapat tempat duduk di dekat jendela. Di sebelahku adalah bapak-bapak yang sejak tadi batuk-batuk nggak karuan. Lalu tiap sebentar sibuk mengoles minyak angin yang baunya membuatku pusing.Kenapa penerbanganku jadi nggak asyik gini sih?Aku nggak bisa membayangkan selama penerbangan yang lamanya lebih dari dua puluh empat jam bersebelahan dengan orang ini.Maskapai yang kunaiki bukanlah langganan kami. Tempo hari aku hanya asal pilih agar bisa mendapat penerbangan secepatnya lalu bertemu dengan Ian. Malah tadi Mami marah-marah karena aku sotoy dan nggak lewat Paradisa pesan tiketnya. Gimana mau lewat Paradisa. Rencanaku bisa terdeteksi dari awal dan bisa-bisa gagal total. Jadi metode satset yang kugunakan adalah cara yang paling tepat yang akan kupakai kapan-kapan saat darurat.Sambil mencoba untuk tidur aku membayangkan di kepala apa reaksi Ian saat kami bertemu besok.Aku tebak dia akan mematung beberapa det
EpilogMELODISatu dekade terlewati seperti busur panah yang melesat cepat. Waktu berjalan begitu kilat. Anak-anak yang dulu masih bayi sekarang sudah duduk di kelas empat SD.Usiaku 33 tahun saat ini. Dalam sepuluh tahun terakhir begitu banyak yang terjadi. Delapan tahun lamanya aku mengabdi menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Hidupku hanya untuk mengurus anak-anak dan suamiku. Seluruh kasih sayang kulimpahkan untuk mereka. Menyaksikan pertumbuhan anak-anak dari waktu ke waktu adalah hal yang paling membahagiakan untukku.Ketiganya tumbuh dengan sehat, normal dan menjadi anak-anak yang manis dan cerdas.Seperti yang sudah dikatakan banyak orang, semakin ke sini Sean bertambah mirip dengan Ian. Kulitnya yang terang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah, alis hitamnya yang lebat dan tatapannya yang khas. Bahkan rahangnya mulai terbentuk dengan bagus. Ada dua cekukan di pipinya. Melihat Sean nggak ubahnya seperti memandang Ian. Aku yakin saat dewasa nanti Sean akan menjadi idol
MELODISembilan tahun sudah berlalu sejak kelahiran mereka. Anak-anak sekarang sudah duduk di kelas tiga SD. Membuatku kadang ingin menangis haru. Betapa aku sangat menikmati peranku sebagai ibu.Membesarkan tiga orang anak nggak pernah gampang bagiku. Apalagi mereka dengan segala tingkah ajaibnya membuatku kadang ingin mengeluh. Namun ketika akan menggerutu sesuatu menyadarkanku. Mereka adalah anugerah paling besar dan terindah yang kumiliki sepanjang usia.Selama sembilan tahun ini amat sangat banyak yang terjadi. Tentang aku yang akhirnya melanjutkan kuliah. Tentang karir Ian yang meroket tinggi. Dan tentu saja tentang anak-anak.Sean semakin dekat dengan Rara. Hubungan mereka seperti love hate relationship. Kadang mereka bertengkar dan nggak bertegur sapa. Tapi nggak begitu lama. Setelahnya keduanya akan kembali akrab, bercengkerama dan bercanda tawa seperti biasa.Sedangkan Javio, dia makin persis seperti papanya yang kalem dan lempeng. Aku masih ingat waktu dulu dia bilang akan
MELODI"Melodi, apa nggak sebaiknya kita sekolahkan anak-anak?" kata Ian pada suatu hari meminta pertimbanganku."Uhm, sekolah ya, Bang?"Ian mengangguk.Saat ini baby triplet sudah berumur lima tahun. Sudah sepantasnya mereka bersosialisasi dengan dunia luar. Tapi kenapa aku yang nggak rela? Kalau mereka sekolah itu artinya waktuku bersama mereka akan jauh berkurang."Abang pikir dengan bersekolah maka mereka juga jadi mengenal dunia luar. Mereka juga butuh bersosialisasi.""Biar nggak kayak kamu kan? Temannya cuma dikit." Sesekali aku memang suka meledek Ian.Ian tersenyum. Dibelainya kepalaku. "Iya, biar nggak kayak Abang," ucapnya mengalah. Dia memang selalu mengalah untukku."Cieee ngambek." Aku tertawa.Dia hanya menatapku sambil memamerkan senyum segarisnya yang khas."Anak-anak emangnya mau, Bang?" tanyaku ragu."Abang yakin mereka pasti mau," ujar Ian mantap. Ian kemudian memanggil tiga bersaudara itu."Sean! Javio! Chiara!"Javio dan Chiara datang bersamaan dalam satu kali p
MELODIMenjadi seorang ibu bukan hanya perkara melahirkan lalu memiliki anak. Lebih dari itu menjadi seorang ibu adalah perjalanan paling menakjubkan dalam hidupku.Aku mengorbankan banyak hal untuk hal menakjubkan itu. Termasuk membatalkan rencana meneruskan S2.Aku sempat merasa sedih karena gagal mewujudkannya. Terlebih ketika melihat feed sosmed teman-teman yang pulang kuliah hangout di mal, ngopi, nonton, atau sekadar window shopping. Namun ketika melihat wajah tiga malaikat kecilku plus bapaknya, semua keinginan tadi sirna. Sean, Javio, serta Chiara jauh lebih berarti ketimbang gelar Melodi Paradisa Evano, SE, MM.Hari ini Amanda datang ke rumah. Dia baru saja pulang kuliah. Aku sedang menyuapi anak-anak makan dibantu oleh baby sitter. Saat ini Sean, Javio dan Chiara sudah berusia tujuh bulan dan telah memasuki masa MPASI sejak satu bulan yang lalu.Aku yang langsung turun tangan ke dapur untuk menyiapkan makanan mereka demi memastikan ketiganya mendapatkan yang terbaik. Bukan
MELODIHari ini rumah kami begitu ramai dan semarak. Tamu-tamu para undangan sudah berdatangan dan menjadikan tiga bayi kembarku dan Ian sebagai pusat atensi."Lucu-lucu ya mereka.""Ih, gemes banget.""Ini gedenya pasti cakep-cakep."Komentar-komentar tersebut berdatangan dari mulut para tamu yang hadir menyaksikan tiga bayi kembar: Sean, Javio dan Chiara.Tidak satu pun dari orang yang datang tidak merasa tertarik pada baby triplet itu. Mereka lucu, manis dan sangat menggemaskan. Tingkahnya membuat hari-hari di rumah kami menjadi lebih berwarna.Hari ini di bangunan megah berarsitektur mediterania milik Papi atau rumahku tersebut sedang digelar acara tedak siten.Acara tersebut begitu meriah. Bukan hanya karena banyaknya para tamu yang hadir, tetapi karena para bayi tersebut terlahir kembar tiga dengan orang tua yang masih belia.Rumah sudah dihias sedemikian rupa, disulap menjadi istana anak-anak yang mewah. Sama seperti aku dan Ian, baby triplet juga mengenakan pakaian adat denga
IANSetelah dua hari berada di rumah sakit hari ini Melodi diizinkan pulang.Rumah kami, maksudku rumah mertuaku terasa jauh lebih hidup. Tangis bayi menggema di mana-mana. Dan Sean adalah bintangnya.Semua penghuni rumah bersukacita. Termasuk Bi Inem dan Pak Pri.Begitu masuk ke kamar bayi kami disambut oleh balon-balon huruf dengan tulisan, 'Welcome babies made in Canada.'Papi memang seniat itu.Siapa sangka keteledoranku dulu membuahkan hasil. Melodi nggak percaya sampai sekarang kalau aku memang nggak sengaja ngeluarinnya di dalam. Tapi serius, aku nggak bohong. Aku memang nggak sengaja. Gara-gara Melodi terlalu nikmat aku jadi telat ngangkat.Hari-hari sebagai ayah pun dimulai. Aku menemani Melodi begadang setiap malam. Si kecil kami bergantian ingin disusui. Ada saja tingkah mereka.Kalau Sean menyusu maka Javio pup, dan Chiara akan menangis karena ingin digendong.Sejujurnya kami memang kewalahan. Tapi aku dan Melodi begitu menikmati masa-masa bahagia itu.Aku pikir Melodi
MELODIIan sudah mengambil cuti sejak kemarin. Kalau sesuai rencana aku akan melahirkan melalui prosedur operasi caesar besok lusa.Semua persiapan sudah dilakukan. Mamilah yang paling repot. Oh iya, jangan lupakan Papi yang paling antusias menyambut babies made in Canada. Sejak tahu akan punya cucu kembar, Papi merenovasi kamar Ian menjadi lebih besar dan menyulapnya menjadi istana bayi.Sampai hari kemarin Mami masih mengisi lemari dengan baju-baju bayi menggemaskan. Mami sama gregetannya denganku. Aku juga membeli banyak baju-baju lucu untuk si triplet. Sampai Ian geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Tapi nggak ada yang bisa dilakukannya selain membiarkanku. Ini adalah anugerah luar biasa bagi kami. Dan belum tentu juga aku akan hamil lagi.Sekarang tinggal aku yang harus menyiapkan mental untuk operasi lusa."Dimakan dulu, Princess." Ian meletakkan sepiring apple pie di hadapanku."Thanks, Bang Ian." Aku menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari gawai yang berada di tangan. S
MELODIIan benar-benar suami yang bisa diandalkan. Aku tahu dia lelah tapi seperti biasa dia tetap memenuhi permintaanku. Hampir setiap hari aku merengek padanya meminta keinginan yang berbeda, tapi dia nggak pernah mengeluh atau menunjukkan wajah lelah padaku. Pernah tengah malam aku membangunkannya karena aku pengen gelato padahal saat itu sedang hujan deras. Lagi-lagi tanpa mengeluh atau protes Ian mencarikannya. Saat Ian pulang aku malah nggak mau makan gelato tersebut dan membuangnya. Dia juga nggak pernah kesal atau mencoba mensubstitusi dengan yang lain. Aku mendapatkan semua yang kuinginkan dari Ian.Sambil mengusap-usap perut aku menunggu Ian pulang. Semakin besar usia kandunganku aku semakin malas bergerak ke mana-mana. Ruang gerakku hanya seputar rumah. Semingguan ini aku juga semakin sering jalan pagi seperti yang dianjurkan dokter. Ian menemaniku. Dan terkadang kami jalan pagi berempat dengan Mbak Karen dan suaminya.Saat aku sedang melamun Ian muncul membawa cemilanku."
IANHubungan persahabatan Melodi dan Anya akhirnya terputus sejak hari itu. Praktis sahabat Melodi hanya tinggal Amanda. Dan ... aku.Maksudku, sekarang Melodi sudah lebih terbuka padaku. Dia mau berbagi denganku menceritakan hal-hal yang selama ini hanya diceritakan pada sahabatnya.Sejak dia hamil, sejak Greya pergi, sejak fakta tentang Anya terungkap, dan khususnya sejak kami mengakui perasaan masing-masing, Melodi sudah mulai berubah. Hanya sedikit. Dia tetap Melodi yang pemarah dan emosian. Tapi untuk saat ini hal itu sudah cukup untukku."Jadi sampai kapan mau disembunyiin dari Melodi?"Pertanyaan Lakeizia membuatku mengembaIikan fokus pada Greya dan anak-anaknya. Sama seperti manusia dia juga sangat menyayangi anak-anaknya."Entahlah. Mungkin tunggu sampai situasinya tepat dulu," jawabku. Kalau sekarang tentu saja keadaannya belum memungkinkan. Melodi sedang hamil. Aku ingin menjaga perasaannya. Aku sering berpikir kenapa Melodi begitu cemburu pada Greya. Masalahnya Greya buka