MELODI "Pi, saya mau memberi tahu sesuatu." Ian mengalihkan topik."Ada apa, Ian? Serius banget muka kamu," ujar Papi."Beberapa waktu yang lalu saya apply lamaran di perusahaannya Kei, Pi. Dan syukurnya saya diterima. Dalam minggu depan saya sudah mulai kerja."Reaksi Mami dan Papi sama terkejutnya."Kenapa harus mencari pekerjaan lagi? Masih kurang gaji yang sekarang?" tanya Papi."Semua yang Papi beri sudah lebih dari cukup. Tapi saya juga harus memiliki pekerjaan. Saya nggak mungkin terus menerus menjadi bodyguard Melodi. Saya harus memiliki pegangan agar Melodi nggak malu. Kasihan Melodi, Pi, kalau ada yang nanya apa pekerjaan suaminya."Sialan. Dia malah menjual namaku.Papi dan Mami tersenyum mendengar alasan yang Ian tuturkan."Terus Melodi gimana?""Selama saya berada dalam jam kantor mungkin saya nggak bisa antar jemput Melodi. Jadi nanti saya akan cari supir untuk Melodi. Saya kenal beberapa orang yang bisa dipercaya.""Nggak perlu. Aku belajar nyetir aja!" potongku cepat.
MELODI"Aku mau ke dokter hewan. Kamu mau ikut?" kata Ian setelah masuk ke dalam kamar."Nggak," jawabku tanpa beralih dari iPad yang berada di dalam genggaman."Sekalian aku mau bilang Kei juga pergi nanti."Mendengar nama itu disebut membuatku dengan cepat mengalihkan tatapan pada Ian."Kok bisa Kak Kei ikut sama kamu?""Toro sakit.""Toro yang sakit kenapa kamu yang harus ke dokter hewan?" Aku mulai kesal lantaran Lakeizia selalu menemukan cara untuk menghabiskan waktu dengan Ian."Aku sekalian mau konsul mengenai steril seperti yang kamu inginkan.""Langsung steril aja kenapa sih? Kenapa harus pake konsul?""Segala sesuatu pasti ada side effect-nya, Melodi. Aku ingin tahu apa ada efek negatif buat Greya setelah steril nanti.""Berarti kamu bakal berubah pikiran? Kamu kan udah janji.""Nggak berubah. Aku akan penuhi keinginan kamu. Setidaknya dengan konsultasi lebih dulu akan lebih baik. Aku bisa antisipasi."Lalu setelahnya Ian keluar dari kamar. Meninggalkanku sendiri dengan kepa
MELODISuasana yang hening begitu menguntungkanku. Aku mendengar dengan jelas percakapan mereka."Ian, Melo masih marah ya sama aku? Tadi di kamar dia KDRT ya sama kamu?" tanya Lakeizia sambil terus mengelus-elus Greya.Caper banget. Apa jangan-jangan dengan mengelus Greya dia merasa sedang membelai Ian?Dan apa dia bilang? Aku KDRT? Kok nggak sopan banget tuh mulut?"Nggak. Dia istri yang baik. Nggak pernah kasar. Dia juga nggak marah sama kamu.""Dia marah. Aku tahu itu. Dan kayaknya dia bakal musuhin aku. Jujur tadi aku emosi. Dan aku nggak bisa menahan diri. Aku harus gimana, Ian?""Kamu nggak perlu melakukan apa pun. Kamu kan tahu karakter sepupumu itu. Jadi ya sudahlah, paling nanti juga baikan," jawab Ian santai.Enak saja dia bilang aku akan baikan. Jangan harap. Hatiku terlanjur sakit. Lakeizia nggak menghargai aku sebagai istri Ian. Mentang-mentang lebih tua jadi merasa berhak meremehkanku, begitu?"Dan tentang Greya keputusan aku udah final, Kei. Jadi nggak perlu dibahas
MELODIAku dan Ian menemui Mami dan Papi. Keduanya sedang duduk santai di beranda samping ketika kami muncul."Maaf, Pi, Mi, bisa minta waktunya sebentar? Ada yang mau saya bicarakan."Bola mataku otomatis berotasi mendengar gaya Ian bicara yang masih saja menggunakan gaya formal dengan kedua orang tuaku."Duduk, Ian." Papi memberi tempat pada Ian.Ian mengangguk sopan dengan sedikit membungkukkan badannya lalu mengambil tempat di dekat Papi. Sedangkan aku menjauh walau masih berada di tempat yang sama."Mi, Pi, saya dan Melodi berniat untuk hidup mandiri."Papi mengangkat alis mendengar kata-kata Ian."Jadi saya dan Melodi bermaksud pindah dari sini."Papi dan Mami saling bertukar tatap tanpa kata-kata. Mereka membiarkan Ian meneruskan ucapannya."Saya dan Melodi berencana tinggal di apartemen Pi, Mi.""Memangnya kalau tetap tinggal di rumah ini kalian nggak bisa mandiri?"
"Welcome to new life, Melodi," gumamku pelan sembari meraup udara dalam-dalam begitu aku dan Ian memasuki tempat tinggal kami yang baru.Di sini aku merasa bebas sebebas-bebasnya. Apalagi kalau nanti aku bisa menyetir sendiri. Aku akan pergi ke mana pun ke tempat yang kuinginkan. Ian nggak akan bisa melarang karena dia sibuk mencari nafkah untuk kami berdua.Aku membayangkan hal-hal yang sudah lama nggak kulakukan. Hangout ke mal sambil cuci mata (baca: ngeliat cowok keren). Clubbing tipis-tipis atau nonton di bioskop. Selama ini pergerakanku tidak leluasa karena ada Ian. Gimana mau clubbing. Belum apa-apa dia sudah ceramah. Padahal aku nggak butuh nasihat sok bijaknya itu.Greya mengeong-ngeong sambil berputar-putar sendiri. Mungkin dia belum bisa beradaptasi dengan huniannya yang baru.Tiba-tiba terbesit di pikiranku, untuk apa Greya disteril? Toh di sini nggak ada kucing lain. Nggak ada si bastard Toro yang sering mencoba peruntungannya un
MELODI"Lepasin aku, Ian ...," pintaku sambil terus memberontak dalam usaha membebaskan diri dari belenggu tangan dan juga kakinya yang kini sudah mengunciku."Kenapa aku harus melepaskan kamu?" tanyanya dengan kungkungan yang semakin erat."Aku nggak suka diginiin ... Iaaaaaan ..." suaraku melirih karena tiba-tiba saja tangan Ian yang besar sudah menyelip masuk ke dalam bajuku lalu menangkup sebelah payudaraku yang masih dibungkus bra. "Kamu jangan macam-macam. Kalau kamu terus begini lebih baik kita kembali ke rumah," kataku mengancamnya tapi aku tidak tahu apa benar-benar ingin mengancam karena setelah Ian mengangkat braku dan menyelipkan tangannya di sana aku menginginkan Ian melanjutkannya.Selagi tangannya meremas payudaraku Ian menjilat leherku seperti sedang menjilat es krim. Dalam sekejap aku lembab. Maksudku bukan leher.Aku akan memprotes tindakan Ian yang semakin semena-mena terhadapku. Tapi tubuhku berkhianat. Saat Ian membungkam aksi protesku dengan kecupan lembut di bib
MELODIAku terbangun dengan keadaan yang aneh dan belum pernah kurasakan sebelumnya. Sendi-sendi yang terasa linu, pegal di bagian paha, pinggul, serta perih di area bawah tubuhku ada hal yang paling mendominasi. Sengatan nyeri menjalar ke sekujur tubuh. Perasaan pedih seakan mengiris terasa tepat di bagian kewanitaanku. Ternyata sesakit ini rasanya.Aku terperanjat dan hampir saja berteriak ketika mendapati permukaan kasur di sebelahku diisi oleh Greya, bukan Ian. Si betina itu sedang santai di tempat yang seharusnya diisi oleh tuannya."Hus!" Aku memukul kasur mengusirnya pergi.Greya terkejut lalu dengan cepat meloncat dari tempat tidur dan lari terbirit-birit.Aku menahan senyum melihat tingkahnya. Pasti dia bakal ngadu ke Ian. Dan kali ini aduannya itu akan percuma karena tuannya itu nggak akan lagi membelanya karena sudah menjadi milikku. Tuannya sudah menjadi suamiku.Rasanya agak aneh menyebut Ian sebagai suami. Hidup macam apa ini? Bagaimana bisa aku menikah dengan lelaki
MELODIAku langsung mencubit tangannya kuat-kuat. Di saat yang sama aku ingat kejadian kemarin yang membuatku panik bukan kepalang."Kamu bilang mau beliin obat biar aku nggak hamil. Mana obatnya?""Ada kok. Nanti diminum setelah sarapan," jawab Ian tenang.Aku buru-buru ingin menyudahi mandi pagi kami agar segera bisa minum obat tersebut. Setelah kami selesai mandi Ian menggendongku ke kamar. Dia mendudukkanku di tepi ranjang serta mengambilkan bajuku."Ini udah Abang beliin obatnya," kata Ian setelah selesai berpakaian sembari memberikan Postinor padaku. "Obat ini obat keras dan sering disebut sebagai kontrasepsi darurat. Jadi belinya harus pake resep dokter," terang Ian lagi."Jadi tadi gimana caranya kamu bisa beli obat ini?" tanyaku bingung."Abang tadi udah ke apotik dan ditolak mentah-mentah. Lalu Abang ingat Kei. Dia punya teman dokter. Jadi tadi Kei yang nolongin."Detik itu juga tandu
EpilogMELODISatu dekade terlewati seperti busur panah yang melesat cepat. Waktu berjalan begitu kilat. Anak-anak yang dulu masih bayi sekarang sudah duduk di kelas empat SD.Usiaku 33 tahun saat ini. Dalam sepuluh tahun terakhir begitu banyak yang terjadi. Delapan tahun lamanya aku mengabdi menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Hidupku hanya untuk mengurus anak-anak dan suamiku. Seluruh kasih sayang kulimpahkan untuk mereka. Menyaksikan pertumbuhan anak-anak dari waktu ke waktu adalah hal yang paling membahagiakan untukku.Ketiganya tumbuh dengan sehat, normal dan menjadi anak-anak yang manis dan cerdas.Seperti yang sudah dikatakan banyak orang, semakin ke sini Sean bertambah mirip dengan Ian. Kulitnya yang terang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah, alis hitamnya yang lebat dan tatapannya yang khas. Bahkan rahangnya mulai terbentuk dengan bagus. Ada dua cekukan di pipinya. Melihat Sean nggak ubahnya seperti memandang Ian. Aku yakin saat dewasa nanti Sean akan menjadi idol
MELODISembilan tahun sudah berlalu sejak kelahiran mereka. Anak-anak sekarang sudah duduk di kelas tiga SD. Membuatku kadang ingin menangis haru. Betapa aku sangat menikmati peranku sebagai ibu.Membesarkan tiga orang anak nggak pernah gampang bagiku. Apalagi mereka dengan segala tingkah ajaibnya membuatku kadang ingin mengeluh. Namun ketika akan menggerutu sesuatu menyadarkanku. Mereka adalah anugerah paling besar dan terindah yang kumiliki sepanjang usia.Selama sembilan tahun ini amat sangat banyak yang terjadi. Tentang aku yang akhirnya melanjutkan kuliah. Tentang karir Ian yang meroket tinggi. Dan tentu saja tentang anak-anak.Sean semakin dekat dengan Rara. Hubungan mereka seperti love hate relationship. Kadang mereka bertengkar dan nggak bertegur sapa. Tapi nggak begitu lama. Setelahnya keduanya akan kembali akrab, bercengkerama dan bercanda tawa seperti biasa.Sedangkan Javio, dia makin persis seperti papanya yang kalem dan lempeng. Aku masih ingat waktu dulu dia bilang akan
MELODI"Melodi, apa nggak sebaiknya kita sekolahkan anak-anak?" kata Ian pada suatu hari meminta pertimbanganku."Uhm, sekolah ya, Bang?"Ian mengangguk.Saat ini baby triplet sudah berumur lima tahun. Sudah sepantasnya mereka bersosialisasi dengan dunia luar. Tapi kenapa aku yang nggak rela? Kalau mereka sekolah itu artinya waktuku bersama mereka akan jauh berkurang."Abang pikir dengan bersekolah maka mereka juga jadi mengenal dunia luar. Mereka juga butuh bersosialisasi.""Biar nggak kayak kamu kan? Temannya cuma dikit." Sesekali aku memang suka meledek Ian.Ian tersenyum. Dibelainya kepalaku. "Iya, biar nggak kayak Abang," ucapnya mengalah. Dia memang selalu mengalah untukku."Cieee ngambek." Aku tertawa.Dia hanya menatapku sambil memamerkan senyum segarisnya yang khas."Anak-anak emangnya mau, Bang?" tanyaku ragu."Abang yakin mereka pasti mau," ujar Ian mantap. Ian kemudian memanggil tiga bersaudara itu."Sean! Javio! Chiara!"Javio dan Chiara datang bersamaan dalam satu kali p
MELODIMenjadi seorang ibu bukan hanya perkara melahirkan lalu memiliki anak. Lebih dari itu menjadi seorang ibu adalah perjalanan paling menakjubkan dalam hidupku.Aku mengorbankan banyak hal untuk hal menakjubkan itu. Termasuk membatalkan rencana meneruskan S2.Aku sempat merasa sedih karena gagal mewujudkannya. Terlebih ketika melihat feed sosmed teman-teman yang pulang kuliah hangout di mal, ngopi, nonton, atau sekadar window shopping. Namun ketika melihat wajah tiga malaikat kecilku plus bapaknya, semua keinginan tadi sirna. Sean, Javio, serta Chiara jauh lebih berarti ketimbang gelar Melodi Paradisa Evano, SE, MM.Hari ini Amanda datang ke rumah. Dia baru saja pulang kuliah. Aku sedang menyuapi anak-anak makan dibantu oleh baby sitter. Saat ini Sean, Javio dan Chiara sudah berusia tujuh bulan dan telah memasuki masa MPASI sejak satu bulan yang lalu.Aku yang langsung turun tangan ke dapur untuk menyiapkan makanan mereka demi memastikan ketiganya mendapatkan yang terbaik. Bukan
MELODIHari ini rumah kami begitu ramai dan semarak. Tamu-tamu para undangan sudah berdatangan dan menjadikan tiga bayi kembarku dan Ian sebagai pusat atensi."Lucu-lucu ya mereka.""Ih, gemes banget.""Ini gedenya pasti cakep-cakep."Komentar-komentar tersebut berdatangan dari mulut para tamu yang hadir menyaksikan tiga bayi kembar: Sean, Javio dan Chiara.Tidak satu pun dari orang yang datang tidak merasa tertarik pada baby triplet itu. Mereka lucu, manis dan sangat menggemaskan. Tingkahnya membuat hari-hari di rumah kami menjadi lebih berwarna.Hari ini di bangunan megah berarsitektur mediterania milik Papi atau rumahku tersebut sedang digelar acara tedak siten.Acara tersebut begitu meriah. Bukan hanya karena banyaknya para tamu yang hadir, tetapi karena para bayi tersebut terlahir kembar tiga dengan orang tua yang masih belia.Rumah sudah dihias sedemikian rupa, disulap menjadi istana anak-anak yang mewah. Sama seperti aku dan Ian, baby triplet juga mengenakan pakaian adat denga
IANSetelah dua hari berada di rumah sakit hari ini Melodi diizinkan pulang.Rumah kami, maksudku rumah mertuaku terasa jauh lebih hidup. Tangis bayi menggema di mana-mana. Dan Sean adalah bintangnya.Semua penghuni rumah bersukacita. Termasuk Bi Inem dan Pak Pri.Begitu masuk ke kamar bayi kami disambut oleh balon-balon huruf dengan tulisan, 'Welcome babies made in Canada.'Papi memang seniat itu.Siapa sangka keteledoranku dulu membuahkan hasil. Melodi nggak percaya sampai sekarang kalau aku memang nggak sengaja ngeluarinnya di dalam. Tapi serius, aku nggak bohong. Aku memang nggak sengaja. Gara-gara Melodi terlalu nikmat aku jadi telat ngangkat.Hari-hari sebagai ayah pun dimulai. Aku menemani Melodi begadang setiap malam. Si kecil kami bergantian ingin disusui. Ada saja tingkah mereka.Kalau Sean menyusu maka Javio pup, dan Chiara akan menangis karena ingin digendong.Sejujurnya kami memang kewalahan. Tapi aku dan Melodi begitu menikmati masa-masa bahagia itu.Aku pikir Melodi
MELODIIan sudah mengambil cuti sejak kemarin. Kalau sesuai rencana aku akan melahirkan melalui prosedur operasi caesar besok lusa.Semua persiapan sudah dilakukan. Mamilah yang paling repot. Oh iya, jangan lupakan Papi yang paling antusias menyambut babies made in Canada. Sejak tahu akan punya cucu kembar, Papi merenovasi kamar Ian menjadi lebih besar dan menyulapnya menjadi istana bayi.Sampai hari kemarin Mami masih mengisi lemari dengan baju-baju bayi menggemaskan. Mami sama gregetannya denganku. Aku juga membeli banyak baju-baju lucu untuk si triplet. Sampai Ian geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Tapi nggak ada yang bisa dilakukannya selain membiarkanku. Ini adalah anugerah luar biasa bagi kami. Dan belum tentu juga aku akan hamil lagi.Sekarang tinggal aku yang harus menyiapkan mental untuk operasi lusa."Dimakan dulu, Princess." Ian meletakkan sepiring apple pie di hadapanku."Thanks, Bang Ian." Aku menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari gawai yang berada di tangan. S
MELODIIan benar-benar suami yang bisa diandalkan. Aku tahu dia lelah tapi seperti biasa dia tetap memenuhi permintaanku. Hampir setiap hari aku merengek padanya meminta keinginan yang berbeda, tapi dia nggak pernah mengeluh atau menunjukkan wajah lelah padaku. Pernah tengah malam aku membangunkannya karena aku pengen gelato padahal saat itu sedang hujan deras. Lagi-lagi tanpa mengeluh atau protes Ian mencarikannya. Saat Ian pulang aku malah nggak mau makan gelato tersebut dan membuangnya. Dia juga nggak pernah kesal atau mencoba mensubstitusi dengan yang lain. Aku mendapatkan semua yang kuinginkan dari Ian.Sambil mengusap-usap perut aku menunggu Ian pulang. Semakin besar usia kandunganku aku semakin malas bergerak ke mana-mana. Ruang gerakku hanya seputar rumah. Semingguan ini aku juga semakin sering jalan pagi seperti yang dianjurkan dokter. Ian menemaniku. Dan terkadang kami jalan pagi berempat dengan Mbak Karen dan suaminya.Saat aku sedang melamun Ian muncul membawa cemilanku."
IANHubungan persahabatan Melodi dan Anya akhirnya terputus sejak hari itu. Praktis sahabat Melodi hanya tinggal Amanda. Dan ... aku.Maksudku, sekarang Melodi sudah lebih terbuka padaku. Dia mau berbagi denganku menceritakan hal-hal yang selama ini hanya diceritakan pada sahabatnya.Sejak dia hamil, sejak Greya pergi, sejak fakta tentang Anya terungkap, dan khususnya sejak kami mengakui perasaan masing-masing, Melodi sudah mulai berubah. Hanya sedikit. Dia tetap Melodi yang pemarah dan emosian. Tapi untuk saat ini hal itu sudah cukup untukku."Jadi sampai kapan mau disembunyiin dari Melodi?"Pertanyaan Lakeizia membuatku mengembaIikan fokus pada Greya dan anak-anaknya. Sama seperti manusia dia juga sangat menyayangi anak-anaknya."Entahlah. Mungkin tunggu sampai situasinya tepat dulu," jawabku. Kalau sekarang tentu saja keadaannya belum memungkinkan. Melodi sedang hamil. Aku ingin menjaga perasaannya. Aku sering berpikir kenapa Melodi begitu cemburu pada Greya. Masalahnya Greya buka