MELODIKeduanya tentu terkejut oleh kedatanganku. Lakeizia memandangku malu lalu menatap Ian kebingungan.Well, tadi aku hanya bermaksud mengambil juice di dalam kulkas. Tapi tiba-tiba saja aku mengurungkan niat ketika menyaksikan pemandangan itu. Rasa penasaranku tergelitik. Aku pikir mereka akan bermesraan atau berciuman. Tapi ternyata fakta yang kudengar begitu mengejutkan.Ternyata aku tertipu selama ini. Mereka hanya berpura-pura. Lalu ketika mendengar Lakeizia mengungkapkan perasaannya tiba-tiba sebuah ide melintas di benakku. Aku tidak dendam. Hanya ingin Lakeizia tahu bagaimana rasanya ditolak oleh orang yang kita sukai."Kalian pacaran? Tapi Ian bilang dia masih single." Lakeizia menatapku mengonfirmasi."Tentu Ian nggak akan sejujur itu, Kak. Ian sangat tahu diri. Kami pacaran backstreet. Mami dan Papi juga nggak tahu.""Terus pacar kamu si Juna gimana?" Lakeizia rupanya masih belum percaya padaku. Dia meragukan keteranganku."Aku udah putus sama Juna. Sekarang pacarku adal
MELODIAku masuk ke mobil dan membanting pintu. Ian hanya menatap sekilas. Dia sudah biasa dan sangat hafal kelakuanku.Dalam perjalanan aku menahan rasa sedih dan sakit hati sendiri. Aku memang sangat mencintai Juna, setidaknya sampai beberapa menit yang lalu. Tapi satu hal yang dilakukannya memupus rasa itu.Aku nggak pernah sudi orang tuaku dihina. Aku menyayangi mereka melebihi apa pun.Ian berbelok memasuki SPBU. "Bentar, aku mau ke toilet," ujarnya.Aku nggak menjawab.Setelah dia keluar aku melihat hp Ian di atas tempat duduk. Mungkin meluncur tanpa sengaja dari sakunya.Iseng aku mengambil benda itu. Aku tahu pattern lock-nya karena tanpa sengaja pernah mengintip. Lagian kalau ada yang mau mencuri akan dengan mudah membukanya. Masa Ian menggunakan huruf M sebagai pola. Bakal gampang ditebak oleh siapa pun.Dan hal pertama yang kutemui adalah percakapannya dengan Lakeizia. Kei: Ian, maaf ya, tolong lupakan soal kemarin. Anggap aku nggak pernah bilang itu. Aku nggak tahu kalau
MELODI Amanda menyambutku dengan sukacita begitu kutemui dia di kantin kampus."Ada Anya?" tanyaku sembari celingukan membaca situasi di sekeliling kami.Gelengan kepala Amanda adalah jawabannya yang membuatku merasa lega seketika. Jika Anya beredar di sekitar kami maka dipastikan rencana kami akan gagal total."Jadi gimana, Nda?" tanyaku tidak sabar agar Amanda segera menyampaikan gagasannya."Nggak sabar amat." Amanda tertawa. "Apa yang bikin lo jadi berubah pikiran begini?" tanyanya penasaran.Lalu kuceritakan mengenai kisah cintaku dengan Arjuna yang sudah kandas. Dan juga soal sepupuku yang kecentilan."Haaaaah!!!" Amanda membuka mulutnya lebar-lebar serta memegang kedua sisi pipinya dengan ekspresi yang lebay."Biasa aja dong!""Yang kayak gini nggak bisa ditanggapi secara biasa, Meloooo." Amanda menolak santai dan terus saja misuh-misuh. "For God's sake gue nggak percaya lo putus sama Juna. Secara lo cinta banget sama dia.""Najis." Aku bergidik jijik mendengarnya.Bagaimana b
MELODIAku baru saja bangun tidur. Tadi setelah pulang dari kampus satu-satunya hal yang kuinginkan adalah lari dari kenyataan.Alarm tanda bahaya di kepalaku langsung menyala begitu mendengar tawa Lakeizia. Dia nggak mungkin ketawa sendiri kan? Pasti ada Ian.Aku mengikuti naluri untuk menuju sumber suara dan menemukan mereka di G Playground.Percayalah. Jika Ian adalah anak pertama maka Greya adalah anak bungsu di keluarga ini. Greya mendapat perlakuan istimewa sama seperti Ian.Selain kamarku, Ian dan Lakeizia, ada satu ruangan lagi bernama G Playground. Di sana adalah istananya Greya. Semua kebutuhan Greya dan aktivitas perkucingan ada di sana.Aku merapatkan tubuhku ke dinding lalu diam-diam menguping dengan penuh kewaspadaan.Ian sedang memandikan Greya di kitchen sink berdua dengan Lakeizia."Ya ampun, Ian, lucu banget ya dia," ujar Lakeizia sembari mengelus-elus kepala Greya, sedangkan Ian kebagian peran menyikat bulunya.Aku nggak mendengar jawaban Ian. Tapi kurasa dia hanya
MELODIPagi ini semua kembali berjalan normal. Aku sudah meminta maaf pada Mami dan Papi. Aku menyesal sudah melawan mereka. Keduanya juga tahu aku putus dengan Juna. Pada akhirnya aku yang malu sendiri."Ayah, Tante, Kei mau bicara sebentar," kata Lakeizia di penghujung sarapan pagi.Semua mata kini mengarah padanya."Iya, Kei, ada apa?" Mami yang menjawab."Tante, Kei rencananya mau pindah dari sini.""Lho, lho, lho, kenapa tiba-tiba mau pindah?" Mami terheran-heran."Nggak tiba-tiba juga, Tante.""Ada yang bikin Kei jadi nggak nyaman? Ada sikap Tante atau Melodi yang bikin Kei tersinggung ya?"Bersama dugaan Mami arah pandang Ian tertuju padaku. Apa maksudnya menatapku begitu? Mau menuduh kepindahan cewek idola yang akan bersatu dengannya di dunia paralel adalah karena aku?Lakeizia dengan cepat tersenyum. "Oh nggak kok. Kei sangat nyaman di sini. Kei cuma mau tinggal di dekat kantor.""Daripada mahal-mahal sewa apartemen mending uangnya ditabung," kata Mami lagi.Lakeizia menggig
MELODIKami pulang dari restoran dengan perut kenyang.Semua masuk ke kamar masing-masing termasuk aku. Tadi sebelum ke kamar aku berpesan pada Mami agar besok membangunkanku pagi-pagi sekali.“Tumben?” Mami keheranan.“Takut alarm aku nggak mempan, Mi. Besok Pak Braga mau ke Jepang dan bakal lama di sana. Jadi aku mau ketemu dia dulu. Pintu nggak aku kunci." Itu alasanku.Kulihat jam di dinding. Sudah lewat pukul sepuluh malam.Amanda mengirimiku chat.Amanda: Melo, gimana? Udah mulai?Me: Bentar lagi. Duh, gue nervous nih.Amanda: Awas hamil.Me: Bangsat!Detik demi detik yang berlalu terasa begitu menegangkan.Aku mengganti baju dengan tube dress senada kulit yang seksi hingga membuat dada besarku semakin membusung.Berdiri di depan kaca, kutatap refleksi diri.Am i doing the right thing?Aku hampir goyah. Tapi aku juga sudah sejauh ini.Setelah meyakinkan diri aku keluar dari kamar. Kuketuk pintu kamar Ian. Dia muncul dengan cepat. Terkejut melihat busanaku."Ian, ke kamar sebenta
MELODI"Astagaaaaa, Melodiiiii!"Gelegar suara Mami yang memekakkan telinga dan seakan hendak memecahkan ruangan membuatku sontak membuka mata.Ternyata aku tertidur setelah berusaha keras untuk tidak terlelap menunggu pagi datang."Beeen!!! Beeeeen!!! Cepat ke sini!" Mami berteriak histeris memanggil Papi.Hanya dalam hitungan detik Papi datang dengan Lakeizia.Wajah mereka menunjukkan ekspresi yang sama.Mendengar keributan itu, Ian yang tidur di sebelahku pun terbangun. Dahinya berkerut. Sebelah tangannya berada di pelipis. Dari gestur yang ditunjukkannya menggambarkan dengan jelas apa yang dirasakan Ian saat ini."Apa yang kalian lakukan?" suara dalam dan berat Papi keluar. Tidak ada kehangatan dalam matanya sebagaimana biasa.Papi, Mami, dan Lakeizia menatap kami bergantian.Aku hanya menunduk, tidak sanggup membalas tatapan mereka. Begitu pun dengan Ian di sebelahku yang tampak kebingungan."Om, saya tidak mengerti apa yang terjadi. Saya—" Ian memegang kedua sisi pelipisnya de
MELODIHari-hari terus berlalu. Pengawalan padaku dilakukan lebih ketat. Agaknya Mami dan Papi berhasil membaca gelagatku. Mereka khawatir aku akan kabur. Aku nggak bisa lari. Saat ada temanku ke rumah aku juga nggak diizinkan keluar kecuali bersama Ian. Yang aku dengar syarat-syarat untuk pernikahan sudah diurus.Aku masih berharap orang tuaku akan berubah pikiran, tapi harapanku terlalu berlebihan. Anak mereka adalah Ian, bukan aku.Skripsiku ikut terbengkalai lantaran fokusku terbelah. Mana bisa aku konsentrasi karena masalah sialan ini.Siang ini Ian mengetuk kamarku. Dengan malas aku menemuinya."Melodi, aku baru dari KUA. Semua syarat sudah lengkap. Berdasarkan kesepakatan dengan Om dan Tante Jumat ini kita menikah."See? Betapa semena-mena mereka padaku. Aku dianggap tidak ada. Mereka tidak bertanya bagaimana pendapatku dan langsung saja memutuskan."Aku mau ajak kamu ngeliat cincin sekarang," kata Ian lagi."Kenapa nggak pergi sendiri?" ucapku ketus."Aku bisa pergi sendiri.
EpilogMELODISatu dekade terlewati seperti busur panah yang melesat cepat. Waktu berjalan begitu kilat. Anak-anak yang dulu masih bayi sekarang sudah duduk di kelas empat SD.Usiaku 33 tahun saat ini. Dalam sepuluh tahun terakhir begitu banyak yang terjadi. Delapan tahun lamanya aku mengabdi menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Hidupku hanya untuk mengurus anak-anak dan suamiku. Seluruh kasih sayang kulimpahkan untuk mereka. Menyaksikan pertumbuhan anak-anak dari waktu ke waktu adalah hal yang paling membahagiakan untukku.Ketiganya tumbuh dengan sehat, normal dan menjadi anak-anak yang manis dan cerdas.Seperti yang sudah dikatakan banyak orang, semakin ke sini Sean bertambah mirip dengan Ian. Kulitnya yang terang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah, alis hitamnya yang lebat dan tatapannya yang khas. Bahkan rahangnya mulai terbentuk dengan bagus. Ada dua cekukan di pipinya. Melihat Sean nggak ubahnya seperti memandang Ian. Aku yakin saat dewasa nanti Sean akan menjadi idol
MELODISembilan tahun sudah berlalu sejak kelahiran mereka. Anak-anak sekarang sudah duduk di kelas tiga SD. Membuatku kadang ingin menangis haru. Betapa aku sangat menikmati peranku sebagai ibu.Membesarkan tiga orang anak nggak pernah gampang bagiku. Apalagi mereka dengan segala tingkah ajaibnya membuatku kadang ingin mengeluh. Namun ketika akan menggerutu sesuatu menyadarkanku. Mereka adalah anugerah paling besar dan terindah yang kumiliki sepanjang usia.Selama sembilan tahun ini amat sangat banyak yang terjadi. Tentang aku yang akhirnya melanjutkan kuliah. Tentang karir Ian yang meroket tinggi. Dan tentu saja tentang anak-anak.Sean semakin dekat dengan Rara. Hubungan mereka seperti love hate relationship. Kadang mereka bertengkar dan nggak bertegur sapa. Tapi nggak begitu lama. Setelahnya keduanya akan kembali akrab, bercengkerama dan bercanda tawa seperti biasa.Sedangkan Javio, dia makin persis seperti papanya yang kalem dan lempeng. Aku masih ingat waktu dulu dia bilang akan
MELODI"Melodi, apa nggak sebaiknya kita sekolahkan anak-anak?" kata Ian pada suatu hari meminta pertimbanganku."Uhm, sekolah ya, Bang?"Ian mengangguk.Saat ini baby triplet sudah berumur lima tahun. Sudah sepantasnya mereka bersosialisasi dengan dunia luar. Tapi kenapa aku yang nggak rela? Kalau mereka sekolah itu artinya waktuku bersama mereka akan jauh berkurang."Abang pikir dengan bersekolah maka mereka juga jadi mengenal dunia luar. Mereka juga butuh bersosialisasi.""Biar nggak kayak kamu kan? Temannya cuma dikit." Sesekali aku memang suka meledek Ian.Ian tersenyum. Dibelainya kepalaku. "Iya, biar nggak kayak Abang," ucapnya mengalah. Dia memang selalu mengalah untukku."Cieee ngambek." Aku tertawa.Dia hanya menatapku sambil memamerkan senyum segarisnya yang khas."Anak-anak emangnya mau, Bang?" tanyaku ragu."Abang yakin mereka pasti mau," ujar Ian mantap. Ian kemudian memanggil tiga bersaudara itu."Sean! Javio! Chiara!"Javio dan Chiara datang bersamaan dalam satu kali p
MELODIMenjadi seorang ibu bukan hanya perkara melahirkan lalu memiliki anak. Lebih dari itu menjadi seorang ibu adalah perjalanan paling menakjubkan dalam hidupku.Aku mengorbankan banyak hal untuk hal menakjubkan itu. Termasuk membatalkan rencana meneruskan S2.Aku sempat merasa sedih karena gagal mewujudkannya. Terlebih ketika melihat feed sosmed teman-teman yang pulang kuliah hangout di mal, ngopi, nonton, atau sekadar window shopping. Namun ketika melihat wajah tiga malaikat kecilku plus bapaknya, semua keinginan tadi sirna. Sean, Javio, serta Chiara jauh lebih berarti ketimbang gelar Melodi Paradisa Evano, SE, MM.Hari ini Amanda datang ke rumah. Dia baru saja pulang kuliah. Aku sedang menyuapi anak-anak makan dibantu oleh baby sitter. Saat ini Sean, Javio dan Chiara sudah berusia tujuh bulan dan telah memasuki masa MPASI sejak satu bulan yang lalu.Aku yang langsung turun tangan ke dapur untuk menyiapkan makanan mereka demi memastikan ketiganya mendapatkan yang terbaik. Bukan
MELODIHari ini rumah kami begitu ramai dan semarak. Tamu-tamu para undangan sudah berdatangan dan menjadikan tiga bayi kembarku dan Ian sebagai pusat atensi."Lucu-lucu ya mereka.""Ih, gemes banget.""Ini gedenya pasti cakep-cakep."Komentar-komentar tersebut berdatangan dari mulut para tamu yang hadir menyaksikan tiga bayi kembar: Sean, Javio dan Chiara.Tidak satu pun dari orang yang datang tidak merasa tertarik pada baby triplet itu. Mereka lucu, manis dan sangat menggemaskan. Tingkahnya membuat hari-hari di rumah kami menjadi lebih berwarna.Hari ini di bangunan megah berarsitektur mediterania milik Papi atau rumahku tersebut sedang digelar acara tedak siten.Acara tersebut begitu meriah. Bukan hanya karena banyaknya para tamu yang hadir, tetapi karena para bayi tersebut terlahir kembar tiga dengan orang tua yang masih belia.Rumah sudah dihias sedemikian rupa, disulap menjadi istana anak-anak yang mewah. Sama seperti aku dan Ian, baby triplet juga mengenakan pakaian adat denga
IANSetelah dua hari berada di rumah sakit hari ini Melodi diizinkan pulang.Rumah kami, maksudku rumah mertuaku terasa jauh lebih hidup. Tangis bayi menggema di mana-mana. Dan Sean adalah bintangnya.Semua penghuni rumah bersukacita. Termasuk Bi Inem dan Pak Pri.Begitu masuk ke kamar bayi kami disambut oleh balon-balon huruf dengan tulisan, 'Welcome babies made in Canada.'Papi memang seniat itu.Siapa sangka keteledoranku dulu membuahkan hasil. Melodi nggak percaya sampai sekarang kalau aku memang nggak sengaja ngeluarinnya di dalam. Tapi serius, aku nggak bohong. Aku memang nggak sengaja. Gara-gara Melodi terlalu nikmat aku jadi telat ngangkat.Hari-hari sebagai ayah pun dimulai. Aku menemani Melodi begadang setiap malam. Si kecil kami bergantian ingin disusui. Ada saja tingkah mereka.Kalau Sean menyusu maka Javio pup, dan Chiara akan menangis karena ingin digendong.Sejujurnya kami memang kewalahan. Tapi aku dan Melodi begitu menikmati masa-masa bahagia itu.Aku pikir Melodi
MELODIIan sudah mengambil cuti sejak kemarin. Kalau sesuai rencana aku akan melahirkan melalui prosedur operasi caesar besok lusa.Semua persiapan sudah dilakukan. Mamilah yang paling repot. Oh iya, jangan lupakan Papi yang paling antusias menyambut babies made in Canada. Sejak tahu akan punya cucu kembar, Papi merenovasi kamar Ian menjadi lebih besar dan menyulapnya menjadi istana bayi.Sampai hari kemarin Mami masih mengisi lemari dengan baju-baju bayi menggemaskan. Mami sama gregetannya denganku. Aku juga membeli banyak baju-baju lucu untuk si triplet. Sampai Ian geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Tapi nggak ada yang bisa dilakukannya selain membiarkanku. Ini adalah anugerah luar biasa bagi kami. Dan belum tentu juga aku akan hamil lagi.Sekarang tinggal aku yang harus menyiapkan mental untuk operasi lusa."Dimakan dulu, Princess." Ian meletakkan sepiring apple pie di hadapanku."Thanks, Bang Ian." Aku menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari gawai yang berada di tangan. S
MELODIIan benar-benar suami yang bisa diandalkan. Aku tahu dia lelah tapi seperti biasa dia tetap memenuhi permintaanku. Hampir setiap hari aku merengek padanya meminta keinginan yang berbeda, tapi dia nggak pernah mengeluh atau menunjukkan wajah lelah padaku. Pernah tengah malam aku membangunkannya karena aku pengen gelato padahal saat itu sedang hujan deras. Lagi-lagi tanpa mengeluh atau protes Ian mencarikannya. Saat Ian pulang aku malah nggak mau makan gelato tersebut dan membuangnya. Dia juga nggak pernah kesal atau mencoba mensubstitusi dengan yang lain. Aku mendapatkan semua yang kuinginkan dari Ian.Sambil mengusap-usap perut aku menunggu Ian pulang. Semakin besar usia kandunganku aku semakin malas bergerak ke mana-mana. Ruang gerakku hanya seputar rumah. Semingguan ini aku juga semakin sering jalan pagi seperti yang dianjurkan dokter. Ian menemaniku. Dan terkadang kami jalan pagi berempat dengan Mbak Karen dan suaminya.Saat aku sedang melamun Ian muncul membawa cemilanku."
IANHubungan persahabatan Melodi dan Anya akhirnya terputus sejak hari itu. Praktis sahabat Melodi hanya tinggal Amanda. Dan ... aku.Maksudku, sekarang Melodi sudah lebih terbuka padaku. Dia mau berbagi denganku menceritakan hal-hal yang selama ini hanya diceritakan pada sahabatnya.Sejak dia hamil, sejak Greya pergi, sejak fakta tentang Anya terungkap, dan khususnya sejak kami mengakui perasaan masing-masing, Melodi sudah mulai berubah. Hanya sedikit. Dia tetap Melodi yang pemarah dan emosian. Tapi untuk saat ini hal itu sudah cukup untukku."Jadi sampai kapan mau disembunyiin dari Melodi?"Pertanyaan Lakeizia membuatku mengembaIikan fokus pada Greya dan anak-anaknya. Sama seperti manusia dia juga sangat menyayangi anak-anaknya."Entahlah. Mungkin tunggu sampai situasinya tepat dulu," jawabku. Kalau sekarang tentu saja keadaannya belum memungkinkan. Melodi sedang hamil. Aku ingin menjaga perasaannya. Aku sering berpikir kenapa Melodi begitu cemburu pada Greya. Masalahnya Greya buka