enjoy reading ...
Risty mengulurkan jari kelingkingnya ke hadapanku. "Janji kalau lo nggak akan ninggalin gue. Lo bakal sama gue." "Kan ada Richard." Tangan kanan Risty menarik kelingking kananku hingga sendok yang sedang kupegang akhirnya terjatuh di atas piring dan menimbulkan suara dentingan. "Richard nggak bisa bela diri dan melindungi gue. Cuma lo yang bisa dan yang cocok di hati gue. Sampai kapanpun, gue nggak mau ganti bodyguard. Gue mau lo dan bakal gue bayar berapapun yang lo mau asal tetap di sisi gue, Do." Lalu Risty menautkan kelingking kami dengan keinginannya sendiri. Padahal aku sedang tidak ingin membuat janji apapun dengannya. "Ayo ucapin janji lo, Do." "Ris, gue --- " "Kalau lo nolak, gue sedih banget dan merasa kehilangan," selanya cepat. Melihat wajahnya yang memasang ekspresi memohon, membuat hatiku tidak kuasa menolak. Dan pikirku apalah arti sebuah janji pada Risty jika aku melakukannya hanya untuk membuat hatinya senang. Aku tidak memiliki niatan berjanji untuk bers
Kabar baik! Akhirnya setelah menemani Risty selama satu bulan lamanya untuk berjuang melawan trauma itu, akhirnya Dokter Rafael mengatakan jika trauma yang dialami Risty makin berkurang setiap harinya. Aku, Richard, Kak Alfonso, dan Kaika. Kami bekerja sama menemani Risty untuk menguatkannya. Ketika Richard sedang sibuk bekerja, maka aku yang menemani selayaknya adik kakak. Sebisa mungkin aku bersikap profesional pada Risty dengan mengesampingkan isi hati ini. Begitu Richard pulang kerja, maka tugasku luang sesaat dan memilih menuju gelanggang untuk berlatih bela diri. Ya, dengan meninju samsak atau melakukan latihan adu fisik, aku bisa melupakan kemesraan Risty dengan Richard. "Stop, Rado!" seru wasit. Aku tengah beradu fisik dengan Kevin, lelaki yang tempo hari memberiku informasi terkait penerimaan lowongan menjadi bodyguard di salah satu perusahaan asing yang baru berdiri di Jakarta. Namun, teriakan wasit seakan menandakan jika pukulan yang kulayangkan terlalu membabi
"Lama banget sih, Do?!" Risty melayangkan suara protesnya ketika aku baru menutup pintu unit apartemen. Namun raut wajahnya berubah ketika aku mengangkat wadah plastik berisi dua porsi tusuk sate beraroma lezat. "Mau nggak?" Selanjutnya ia tersenyum tidak tahu diri lalu berjalan ke arahku dan tangannya mengacak-acak rambutku. "Lo tahu aja gue lagi lapar. Mana pembalut gue?" Aku mengeluarkan pesanan Risty dari dalam tas lalu secepat kilat ia menuju kamar mandi. Sedang aku melangkah ke dapur untuk mengambil piring dan menyajikan dua porsi sate kemudian membawanya ke meja tengah. Tempat laptopnya menyala di atas meja kaca. Begitu melihat tampilan layarnya, benar saja Risty sedang merekap keuntungan apotek-apoteknya. Aku menepikan laptopnya lebih dulu kemudian meletakkan dua porsi sate yang sudah tersaji beserta nasinya. Begitu Risty keluar, dia langsung mendudukkan tubuhnya di sebelahku namun tangannya meraih laptop yang sudah kutepikan. "Makan dulu, Ris," ucapku lalu meraih lapto
"Maaf, tidak ada pelanggan kamar kami yang menginap dua malam lalu atas nama Richard." Ucapan resepsionis itu membuat keterkejutan sekaligus rasa penasaran menggulung keingintahuanku untuk terus bertanya. "Tapi saya lihat dia masuk ke dalam hotel ini, Mbak." "Mungkin itu adalah salah satu tamu pelanggan kami, Mas." Aku menghela nafas kemudian memutuskan keluar dari hotel dengan perasaan kecewa. Karena dua malam lalu aku benar-benar telah memastikan jika mobil yang terparkir itu adalah milik Richard yang biasa ia bawa saat bekerja atau mengunjungi Risty. Karena tidak menemukan apa yang kucari, aku pun bergegas memasuki mobil Risty lalu kembali ke ruko apoteknya. Aku tidak mau Risty terlalu lama diluar penjagaanku agar tidak kembali disambangi kemalangan itu. Cukup sekali saja hingga membuatnya trauma. "Lo habis dari mana sih, Do?" tanya Risty begitu aku baru saja memasuki ruangan yang biasa ia pakai untuk merekap hasil penjualan bisnis apoteknya. Dia tengah menyandarkan tubuhn
"Do, gue pengen jalan-jalan," ucap Risty tiba-tiba. Kami sedang berada di ruko apoteknya, setelah ia menyelesaikan rekapan keuangan untuk hari ini. Aku yang sedang membaca koran pada kolom olahraga, kemudian sedikit menurunkannya hingga bisa melihat Risty. Dia tengah duduk di atas kursi kerja yang bisa berputar 360 derajat dengan kedua telapak tangan diletakkan di belakang kepala sambil mendongak ke atas. "Jalan-jalan kemana?" "Ke rumah nenek." "Dimana?" "Norwegia." Kedua alisku terangkat seketika mendengar ucapannya. Apa Risty sedang berbohong? Lalu aku melipat koran dan meletakkannya di atas meja kaca. "Lo bercandanya kelewatan, Ris." "Nenek nikah sama laki-laki blasteran Norwegia - Indonesia. Lalu mereka menetap disana. Tapi anak-anaknya nenek lebih senang balik ke Indonesia." Kepalaku mengangguk paham. Pantas saja Risty memiliki paras wajah yang cantik karena memiliki keturunan darah bule meski tidak terlalu kentara. Mungkin karena Papanya menikah dengan Mamanya yang a
Aku memarkir mobil Risty di sebuah cafe and restaurant tempat Mas Kian menunggu dengan kenalannya yang berprofesi sebagai peretas. Dengan langkah lebar, aku menghampiri keduanya yang menunggu di meja paling pojok dengan intensitas pencahayaan minim. "Apa aku lama?" tanyaku begitu tiba. Mas Kian tersenyum lalu menarik kursi untukku di sebelahnya, "Nggak masalah. Duduk dulu. Waktu kita nggak banyak." Kepalaku menoleh ke Mas Kian, "Kenapa?" "Jam istirahat Mas tinggal dua puluh menit lagi." Aku menghela nafas panjang dan merasa kesal dengan kemacetan yang tadi menghadang. Tapi beruntung sekali Kaika begitu kooperatif. Dia tidak mengapa turun dari mobil lalu memesan taksi menuju rumah Kak Al untuk menemani Risty. Dan aku meminta Kaika tidak mengatakan maksud pertemuanku dengan Mas Kian pada Risty. "Silahkan, Mas Fais," Mas Kian mempersilahkan temannya berbicara. Tanpa banyak bicara, teman Mas Kian bernama Fais itu membuka ipad lebar miliknya lalu menunjukkan padaku tentang apa yang
Aku ingin sebelum pergi ke Norwegia, urusanku mencari tahu apa yang Richard sembunyikan sudah berada dalam genggaman. Dan untuk menemukan siapa perempuan yang mengaku sedang mengandung anak Richard, aku harus segera bergerak. Hari ini setelah berjibaku menemani Risty mengecek jumlah obat-obatan yang masuk ke apoteknya, aku segera menghubungi Kaika. Dia harus menemani Risty selagi aku keluar mencari tahu segalanya tanpa membuatnya curiga. "Lo pakai alasan apa, Do?" tanya Kaika waktu dia baru tiba di apotek. "Cewek yang gue taksir lagi butuh bantuan." Kaika menoleh ke arahku dengan menaikkan kedua alis. "Itu cuma modus. Sekarang lo temani Risty. Dia lagi di kamar mandi." "Lo nggak pamit?" "Ribet, Kai! Risty itu kayak polisi, suka menginterogasi." Kaika terkekeh lalu melanjutkan langkahnya menuju lantai dua tempat Risty berada. Sedang aku berjalan cepat keluar apotek lalu mengendarai mobilnya menuju satu titik yang harus kutuju. Baru saja, Mas Fais mengabari titik dimana pere
Hari menuju ke Norwegia makin dekat. Visa dan paspor milik Risty, Kaika, dan aku diperkirakan akan selesai esok hari. Semuanya terasa cepat karena menggunakan jalur belakang super cepat melalui bantuan tangan kanan Kak Alfonso. Pengusaha kaya sepertinya wajar jika memiliki akses lebih dengan beberapa orang birokrasi. Risty pun melakukan kegiatannya seperti biasa, termasuk jadwal berkencannya dengan Richard. Namun ada yang berbeda dengan hari ini waktu Richard menghubunginya. “Rich, aku kemana-mana harus sama Rado. Dia itu bodyguardku. Kamu tahu itu.” “Aku tahu, Ris. Tapi ‘kan kamu mau ke Norwegia. Disana nggak ada Ziany yang bakal melukai kamu lagi ‘kan?!” “Please, Rich. Jangan bikin pikiranku tambah pusing. Biar Rado ikut sama aku. Lagian kenapa sih kamu melarang dia ikut? Apa kamu nggak senang lihat aku aman-aman aja dimanapun berada?” “Masalahnya … siapa tahu Rado mengambil kesempatan dalam kesempitan?” Risty menautkan kedua alisnya dengan wajah setengah tidak percaya lalu me