enjoy reading ...
Aku menunggu kelanjutan ucapan Risty dengan jantung berdebar. Semoga saja, apa yang akan dia ucapkan bukan satu hal yang selama ini kutakutkan. “Dan apa, Ris?” tanyaku dengan raut wajah menelisik. Dia memandangku dengan sorot kesal, marah, dan terluka. Lalu ditelannya saliva yang terasa memenuhi kerongkongan untuk mengutarakan apa yang ingin dikatakan. “Dan … gue diperkosa, Rado.” *** Aku tidak bisa menunggu nanti. Aku ingin sekarang juga bertemu Kak Alfonso! Siang itu, setelah Risty mengatakan segalanya, tentang dirinya yang diperkosa oleh preman-preman yang disewa papa tirinya dan Ziany, aku tidak bisa membuka mata dengan tenang. Meski cintaku padanya hanya akan menjadi cinta bertepuk sebelah tangan, tapi aku tidak bisa membiarkan Risty menanggung kesedihannya sendiri. Dan sore yang hampir menjelang maghrib, aku bertandang ke rumah Kak Alfonso tanpa sepengetahuan Risty. Aku hanya berpesan padanya untuk di apartemen saja, karena akan keluar sebentar. Dan mengingatkan dia agar t
Setelah menyuapi Risty dan menemaninya menonton televisi yang tidak membuat senyumnya kembali seperti sedia kala, aku tetap menjaganya hingga dia mengantuk. Obat anti depresanku sudah bekerja dengan baik hingga dia ingin terlelap. Aku mengantar Risty menuju kamarnya lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan menyesuaikan suhu pendingin ruangan. Namun baru saja aku berbalik badan setelah meletakkan remote AC, pergelangan tanganku tiba-tiba digenggam kuat oleh Risty. “Jangan kemana-mana, Do. Gue takut kalau ada yang tiba-tiba masuk ke apartemen lalu nyulik gue lagi,” pintanya dengan ekspresi memohon. Wajar jika Risty mengalami trauma sebesar ini. “Oke, gue ambil selimut dulu buat alas.” Dan sudah sewajarnya aku sebagai bodyguard menjaganya sepenuh waktu dan ... hati. Setelah menggelar selimut di lantai dan menata bantal serta guling, aku merebahkan diri disana. Agak sedikit dingin sebenarnya tidur di bawah seperti ini. Lalu Risty memilih tidur di sisi ranjang yang berdekatan
“Saya tidak bisa lama-lama, Nyonya,” ucapku setelah duduk di kursi salah satu kafe yang tidak jauh dari rumah sakit. Aku meninggalkan Risty di rumah sakit untuk melakukan konseling dengan Kak Rafa. Sedang aku diam-diam memenuhi undangan Mamanya Risty untuk bertemu. Pikirku ini akan menjadi informasi yang penting terkait ulah suaminya yang begitu tega pada Risty. “Kenapa?” “Saya meninggalkan Risty yang sedang melakukan konseling dengan seorang psikiater. Mungkin waktu saya tidak sampai tiga puluh menit. Saya tidak mau ketika Risty keluar dari ruangan psikiater, saya tidak ada di hadapannya.” Wanita paruh baya yang masih cantik itu menghela nafas panjang lalu mengulum bibirnya. Tatapannya juga tidak sesombong biasanya. “Terima kasih udah menjaga Risty. Cuma kamu bodyguard sekaligus sahabat terbaik Risty. Aku mengaku kalah darimu, Rado.” “Apa yang ingin Nyonya sampaikan?” tanyaku to the point. “Alfonso udah cerita segalanya. Termasuk pemerkosaan yang dialami Risty.” “Lalu, langka
"Gue nggak bisa membalas perbuatan papa tirinya Risty kalau nyokapnya masih melindungi, Kai. Gue nggak punya kekuatan sebesar itu untuk melawan keluarga Risty yang bukan orang biasa." Kaika menghela nafas panjang sarat kegeraman. "Kok bisa sih, nyokapnya nggak ada empati sama Risty, Do? Lebih percaya sama suami pembohongnya itu?" *** Usai makan siang bersama, kami bertiga melanjutkan aktivitas dengan menonton film. Tujuannya untuk membuat Risty bahagia. Mengingat Richard, kekasihnya, juga sedang sibuk dengan urusannya. Dan sudah menjadi tugasku untuk menemani Risty. Bukan film action atau bertema pembunuhan yang kami tonton, tapi lebih ke film bergenre komedi. Dan di kesempatan itu, Risty akhirnya tersenyum senang melihat adegan film yang diputar di layar lebar. Aku pun mengulum senyum tipis melihatnya kembali bahagia. Setidaknya, jika papa tirinya tidak mendapat pelajaran yang setimpal, aku bisa membuat Risty kembali normal dan tegar menghadapi masa depannya. Agar dia tidak
Ketika Risty telah pergi bersama kekasihnya, Richard, aku meminjam mobilnya untuk pergi ke gelanggang bela diri. Tempat yang dulu kerap kukunjungi untuk mengasah kemampuan fisik. Maklum, hampir dua bulan lamanya aku tidak berlatih olah fisik disana sejak Risty diculik. Kurasa, malam ini adalah waktu terbaik untuk melepas segala kepenatan di dalam otak dengan membasahi raga dengan peluh. Setidaknya, aku memiliki satu prestasi membanggakan yang bisa kugunakan untuk menutupi kekurangan mental dan akademikku. Samsak yang menjulang terus menjadi sasaran tinjuku berkali-kali hingga tetes demi tetes peluh membasahi wajah. Kuandaikan samsak ini adalah masalah yang ada dihadapan dan harus kuhabisi. Tendangan tangan dan kakiku membuat samsak itu bergerak ke kanan dan kiri. Hingga gerakannya ditahan oleh seorang lelaki yang tidak kukenal. Dia mengajakku untuk adu kemampuan bela diri sekaligus berlatih bersama. Usai saling memberi salam hormat, kami saling mengambil kuda-kuda dan dia mulai me
"Gue bakal bilang ke nenek tentang ulah papa tiri dan Ziany. Gue mau mereka dapat batunya dari nenek," ucap Risty. Lega rasanya begitu tahu keputusan apa yang akan diambil Risty. Pikirku, dia akan mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan kami sebagai majikan dan bodyguard karena ia sudah kembali menjadi kekasih Richard. Jika Risty memutuskan hubungan kontrak kerja sama ini terlalu cepat, aku tidak bisa menerima karena setidaknya aku harus berjuang dulu untuk mendapatkannya. Bukan kalah sebelum bertarung. "Gue kira apa." "Menurut lo, apa keputusan gue udah bener, Do?" tanyanya dengan posisi berjarak dariku. Kepalaku mengangguk tegas, "Lo harus bikin papa tiri lo dan Ziany dapat konsekuensinya, Ris." "Dan cuma nenek yang mereka takuti." "Kenapa bisa begitu?" "Karena semua warisan masih ada di tangan nenek. Mereka nggak akan berani berkutik kalau nenek udah bertitah." "Tinggal nenek lo aja. Apa beliau udah dapat bisikan dari papa tiri lo atau belum." Risty menghela nafas
"Stop menghakimi diri lo kotor, Ris!" ucapku setengah membentaknya. Jujur, aku benci Risty yang tidak memiliki rasa percaya diri padahal banyak orang-orang yang disekitarnya memberi dukungan agar bisa segera bebas dari trauma itu. "Kalau nggak kotor apa namanya, Rado?! Para pecundang itu memaksa gue membuka kaki lebar-lebar! Mereka ngelakuin itu bergantian sampai gue merasa gila!" Apa? Bergantian? Hatiku bagai dihantam gada mendengar pengakuan Risty. "Arrghh!!!!" Tiba-tiba Risty berteriak lalu menjambak rambutnya sendiri berulang kali dengan air mata yang membasahi pipi. Dengan sigap, aku menarik tangannya yang terus menarik rambut. Karena Risty terus memberontak layaknya aku dulu saat depresi saat dipaksa memasuki rumah konseling, hatiku ikut tersisik sedih. Seperti inikah orang depresi itu terlihat? "Lepasin gue, kambing!" Karena Risty terus memberontak seperti bukan dirinya yang sebenarnya, aku langsung memeluknya dari belakang dengan mengapit tangannya agar tidak lagi meny
Risty mengulurkan jari kelingkingnya ke hadapanku. "Janji kalau lo nggak akan ninggalin gue. Lo bakal sama gue." "Kan ada Richard." Tangan kanan Risty menarik kelingking kananku hingga sendok yang sedang kupegang akhirnya terjatuh di atas piring dan menimbulkan suara dentingan. "Richard nggak bisa bela diri dan melindungi gue. Cuma lo yang bisa dan yang cocok di hati gue. Sampai kapanpun, gue nggak mau ganti bodyguard. Gue mau lo dan bakal gue bayar berapapun yang lo mau asal tetap di sisi gue, Do." Lalu Risty menautkan kelingking kami dengan keinginannya sendiri. Padahal aku sedang tidak ingin membuat janji apapun dengannya. "Ayo ucapin janji lo, Do." "Ris, gue --- " "Kalau lo nolak, gue sedih banget dan merasa kehilangan," selanya cepat. Melihat wajahnya yang memasang ekspresi memohon, membuat hatiku tidak kuasa menolak. Dan pikirku apalah arti sebuah janji pada Risty jika aku melakukannya hanya untuk membuat hatinya senang. Aku tidak memiliki niatan berjanji untuk bers
Akhirnya persidangan perceraian Risty dan Richard selesai digelar. Perjuangan berat dan besar Kak Alfonso memenangkan harta Risty yang tidak seharusnya dibagi akhirnya dikabulkan oleh pengadilan. Richard mendapatkan harta gono gini namun tidak dengan warisan Risty dari Papanya yang telah tiada. Walau begitu, masih ada masalah lain yang belum terselesaikan tapi Risty memilih untuk mundur. "Aku mundur, Mas Al," ucapnya pada Kak Alfonso. Aku, Risty, Kak Alfonso, dan pengacaranya sedang duduk bersama di ruang tamu rumah Mas Kian untuk membahas hasil persidangan hari ini. Kemudian Risty meletakkan berkas pengadilan yang tebal itu di meja kaca ruang tamu. "Aku bertekad mandiri, Mas Al. Masalah warisanku yang masih dikuasai Nenek dan Kakek, aku nggak peduli lagi. Terserah mau mereka apakan harta Papa." Kak Alfonso memandang Risty tidak habis pikir. "Ris, itu hakmu. Warisan itu bisa kamu pakai untuk modal bisnismu." "Lalu berjuang lagi di pengadilan? Aku lelah, Mas Al." "Kakek da
Perceraian Risty sudah diserahkan pada pengacara kepercayaan Kak Alfonso. Dia hanya tidak mau waktunya terkuras habis memikirkan perceraian yang diprediksi bakal alot itu. “Aku mau perceraian kami tahu beres, Mas. Masa bodoh sama harta dan warisan itu. Yang penting aku bisa lepas dulu dari Richard,” ucap Risty malam itu di rumah Mas Kian. “Apa yang jadi hakmu bakal aku perjuangin sama pengacara, Ris.” Kepala Risty mengangguk, “Makasih, Mas. Tapi aku nggak berharap banyak.” “Belum dicoba. Jangan pesimis dulu.” Aku yakin jika Kak Alfonso bisa membantu Risty memenangkan perceraian itu secara adil Semoga saja karena Risty benar-benar seperti perempuan tanpa keluarga. Bahkan Risty merelakan warisan dari Papanya jatuh ke tangan nenek kakeknya karen tetap memilih bercerai dari Richard. Apapun konsekuensinya Risty sudah pasrah dan memilih menjalani kehidupan selanjutnya sesuai versi dan kemampuannya sendiri. Kini, ia jauh lebih selektif menggunakan uang dari pada biasanya. Sudah pasti k
"Nenek dan kakek nggak akan percaya gitu aja sama ucapanmu, Ris! Kecuali kamu punya bukti kalau Richard memang main perempuan kayak tuduhanmu!" Neneknya berseru tidak terima dengan menatap Risty tajam. "Aku malas kalau harus buka cctv rumah, Nek. Buat apa aku menenggelamkan diri ke tempat yang selama ini cuma bikin aku menderita. Itu bukan rumah, tapi ne-ra-ka!""Itu artinya kamu cuma fitnah! Bisa bicara tapi nggak ada bukti yang nyata! Ini lebih kejam dari pembunuhan, Ris! Apalagi yang kamu fitnah itu suamimu sendiri!" giliran Ibunya Richard yang berseru tidak terima dengan menunjuk wajah Risty.Risty menatap semua yang ada di ruangan ini lalu berdiri dari duduknya. Kemudian aku ikut berdiri. "Silahkan kalian lihat dan cek sendiri. Masih ada di cctv rumah. Jangan suruh aku ngurusin hal sam-pah kayak gitu! Aku muak! Lebih muak lagi menjadi anggota keluarga ini!" ucapnya sungguh-sungguh dengan hati kesal sekali. Kemudian ia menatap nenek dan kakeknya bergantian. "Kalau nenek dan kak
Malam ini, Mas Kian mengizinkanku tidur di rumahnya dengan alasan harus menjaga Risty yang tidak stabil emosinya. Sekaligus ingin berbicara empat mata dengan Mas Kian tentang perasaanku pada istrinya, Mbak Sasha, yang kini sudah tidak ada lagi. Berharap Mas Kian tidak perlu khawatir aku akan melakukan hal tidak benar seperti masa lalu pada istrinya."Hatiku benar-benar udah buat Risty, Mas. Udah nggak ada lagi cinta buat Mbak Sasha. Tapi, demi kebaikan bersama, setelah kakek neneknya Risty tiba di Indonesia, aku bakal balik ke apartemen." Kepala Mas Kian mengangguk pelan. Kami tengah duduk bersama di dapur, malam-malam begini. Membicarakan urusan lelaki."Apapun itu, Do. Mas akan dukung selama kamu bisa mengendalikan isi hatimu pada orang yang nggak seharusnya. Oh ya, kapan kakek neneknya Risty datang ke Indonesia?" "Diusahakan secepatnya sama Kak Al." Keesokan harinya, aku sengaja mengetuk pintu kamar Risty lebih dulu sambil membawa segelas susu hangat. Semoga saja dia sudah bangu
"Rado, kamu dimana? Risty mengurung diri di kamar. Mas takut dia nekat!" ucap Mas Kian melalui sambungan telfon dengan suara panik. Bulu kudukku meremang begitu mendengar ucapan Mas Kian. Apa Risty berpikir ingin mengakhiri hidupnya? Astaga, Tuhan! Tolong halangi Risty melakukan itu! Baru saja aku selesai membuat kesepakatan dan negoisasi dengan Richard tentang pernikahan mereka, mengapa Risty justru seperti ini? "Mas, coba terus bujuk Risty biar buka pintunya! Aku kesana sekarang!" "Oke. Cepat, Do!" Aku segera memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu memasang helm. Melihatku yang tergesa-gesa, Kak Alfonso kemudian membuka suara. "Kenapa, Do?" "Risty nggak mau buka pintu kamarnya, Kak." "Apa?!" Kak Alfonso ikut terkejut. "Aku balik dulu. Makasih untuk bantuannya malam ini." Aku segera melajukan motor sport milikku menuju kediaman Mas Kian. Meninggalkan Kak Alfonso dan para bodyguardnya yang masih bersiap kembali pulang. Semoga jalanan tidak terlalu macet karena ini ham
"Rado, aku bilang pu-lang!" Risty kembali memekik di ujung sambungan telfon. Aku membasahi bibir sambil berperang dengan pikiran sendiri. "Sekali lagi aku tegasin kalau aku nggak cinta kamu! Jadi, jangan bahayakan dirimu demi aku! Nggak usah berjuang terlalu dalam demi aku karena nggak pernah ada cinta di hatiku buat kamu!" Serius kah Risty berkata demikian? Benarkah dia tidak mencintaiku barang setitik pun? Kenyamanan yang selama ini kuberikan dan segenap perhatian? "Aku tahu, kalau yang paling jatuh cinta tuh aku, Ris. Aku cinta kamu, sangat! Karena aku cinta kamu, aku putusin untuk ngasih satu kenangan yang bikin kamu bisa selalu ingat sama siapa itu Rado. Kenangan baik yang bikin kamu ingat aku dan bikin kamu bisa lepas dari pernikahan yang cuma bisa bikin kamu tertekan." "Bodoh! Aku bilang balik, Rado!" Kepalaku menggeleng dengan telfon masih menempel di telinga. "Sekali ini aja, Ris. Biar aku bantu kamu lepas dari Richard." "Kalau tahu begini, mending kamu nggak usah
"Aborsi."Kedua mataku membelalak tidak percaya mendengar pengakuan Risty. "Aku pernah hamil anaknya Richard. Karena aku benci sama dia dan pernikahan kami, akhirnya aku mutusin untuk ... aborsi, Do.""Ris?" panggilku lirih dengan kepala menggeleng tidak percaya. "Kenapa? Apa kamu mikir aku gila? Tukang tega?" ucapnya lirih dengan sorot sendu.Aku hanya memandang Risty tanpa berani berkata-kata lagi. Takut melukai egonya yang sudah lama terluka karena pernikahannya dengan Richard. Khawatir dia tidak nyaman jika aku terlalu menghakimi perbuatannya. Karena aku yakin Risty melakukan aborsi itu karena ada alasannya. "Waktu itu aku mikirnya, kehamilan ini terjadi karena Richard ngasih aku obat perangsang berkali-kali. Lalu, apa yang harus aku lakuin selain gugurin anak ini.""Aku nggak mau anak itu nanti hidup di dalam keluarga yang toxic. Keluarga yang nggak pernah ada cinta di dalamnya. Karena sampai kapanpun aku nggak akan bisa mencintai Richard atau nerima dia sebagai suami sebenarn
Hatiku takluk karena Risty memelukku dari belakang seerat ini. Amarah yang tadinya membumbung tinggi, mendadak tenggelam oleh sentuhannya yang sangat kudamba. Kepalaku menunduk lalu melihat eratan jemari indahnya yang melingkari perutku. Perlahan aku menyentuh tangannya itu. Apakah ini benar atau hanya tipuan? Benarkah Risty memintaku tetap ada di sisinya? "Jangan marah kayak tadi lagi, Do. Aku takut. Lalu, kalau kamu pergi, aku hidup sama siapa? Aku udah keluar dari rumah. Udah mengingkari janji pernikahanku sama Richard. Dan sekarang, aku cuma punya kamu. Please, jangan pergi." Aku pergi meninggalkan Risty? Itu tidak mungkin. Kecuali dia yang menyuruhku pergi. "Maaf, Ris. Tadi aku kebawa emosi," ucapku dengan mengusap tangannya lembut yang masih melingkari perutku. Bagaimana tidak emosi jika Risty menganggap keseriusanku tadi sebagai guyonan semata. Kemudian ia melepas tangannya lalu berjalan ke depanku. "Aku nggak tahu apa aku cinta kamu atau nggak. Yang pasti untuk
Di apartemenku yang sederhana, aku mengundang Risty untuk bermalam di sini usai melepaskan diri dari pernikahan beracunnya dengan Richard. Risty merebahkan tubuhnya di sofa panjang sambil memejamkan mata usai aku meletakkan kopernya. "Mau makan apa, Ris?" tanyaku dengan duduk di single sofa. "Tidur." Lalu Risty memiringkan tubuhnya ke kanan dengan nyaman. Kemudian senyumku terbit melihat tingkahnya yang masih saja menggemaskan. Meski perabotan di apartemenku tidak semewah di rumahnya, aku bersyukur Risty tidak merasa terganggu. "Aku keluar bentar. Beli stok isi kulkas. Kamu di sini atau ikut?" Risty membalik tubuhnya lalu menghadapku sambil berbaring. "Apa lo bilang? Kamu? Aku?" Kepalaku mengangguk karena telah merubah panggilan ke Risty dengan sebutan lebih akrab. "Kesambet angin apaan lo berubah seratus delapan puluh derajat?" ucapnya dengan senyum tipis sarat akan ejekan.Aku mengangkat bahu santai sambil menatapnya."Aku cuma mau membiasakan diri manggil kamu dengan sebut