enjoy reading ...
Nama Risty terus muncul di layar ponselku. Entah mengapa nona muda itu menghubungiku. Bukankah seluruh belanjaannya sudah kuantarkan ke unitnya? Atau ... dia diminta Kak Alfonso untuk menghubungiku agar kembali naik ke unitnya? Argh! Sial! Apa Risty mengatakan hubungan kerja sama kami kepada Kak Alfonso? Bukankah aku tadi sudah memberinya kode agar menyembunyikan hal ini darinya? Apa dia tidak mengerti?! "Sial!" kesalku lalu menendang dinding besi lift apartemen. Jika Kak Alfonso sampai tahu aku bekerja untuk Risty, lalu dia mengatakan semuanya pada Mas Kian, maka habislah aku. Mas Kian tidak akan melepaskanku begitu saja sampai dia mendapat jawaban penuh dariku. Andai saja! Andai saja aku bisa menemukan rekaman CCTV rumah yang menunjukkan kenakalanku karena begitu berani meniduri Mbak Sasha, istri Mas Kian, mungkin gangguan kelekatan dan kecemasanku tidak akan kambuh seperti ini. Dan aku tidak akan repot-repot mencari uang dengan menjadi bodyguard Risty demi mengobati kambuhnya
Jemariku bergerak lincah di atas laptop yang berada di atas meja belajar di dalam kamarku. Memilah-milah mana rekaman yang menunjukkan adegan saat aku tengah menggendong Mbak Sasha lalu membawanya menuju kamar. "Ini dia," ucapku diiringi senyum kelegaan. Video berdurasi tiga puluh detik itu menunjukkan betapa luwesnya aku menggendong kakak iparku itu menuju kamar saat dia tidak sadarkan diri. Bahkan aku nekat mencium bibirnya saat masih berada dalam gendonganku. Tapi sayangnya, video tiga puluh detik itu tidak bisa dipotong. Pilihannya ada dua, mentransfer atau menghapus keseluruhan video. Tidak mau pusing-pusing, aku menghapus seluruh rekaman itu kemudian merebahkan diri di atas ranjang dengan handuk yang hanya melilit di pinggangku. "Akhirnya, selesai juga," ucapku sambil menatap langit-langit kamarku. "Mas Kian nggak boleh tahu. Nggak boleh." *** Keesokan harinya, aku kembali keluar kamar setelah Mas Kian sudah berangkat bekerja. Dengan senyum yang lebih lepas, aku men
Kali ini aku tidak bisa lari. Kak Alfonso sudah memanggil namaku dengan lantang begitu aku akan meninggalkan UGD tempat Risty dirawat. Dia membawaku duduk di kursi panjang depan ruang UGD. Dengan perasaan cemas yang mulai menyerang, ditambah aku belum meminum obat anti depresan hari ini. Sial! Bagaimana jika aku tidak bisa mengendalikan kecemasan bercampur kepanikan ini dihadapan Kak Alfonso? Aku tidak mau banyak orang yang tahu jika aku mengalami gangguan mental. "Gue baru denger semuanya dari Kaika. Kalau lo ternyata bekerja untuk Risty." Dua kalimat Kak Alfonso membuatku mati kutu. Kedua mataku terbelalak sempurna tanpa mau memandang wajah Kak Alfonso sama sekali. Dasar Kaika sialan! Justru dia yang membuka segalanya! "Kenapa lo sampai bekerja buat Risty? Apa Kian nggak ngasih lo uang, Do?" Mas Kian bukan tidak memberiku uang. Melainkan aku yang tidak berani meminta uang lebih untuk membiayai pengobatan mentalku. Atau dia akan mengerti jika gangguan mentalku kambuh dan aku
"Jangan tinggalin gue, Do. Gue takut," ucap Risty dengan suara lemah dan wajah yang masih pucat.Ini kali pertama aku melihat nona muda ini dalam keadaan rapuh. Karena dalam kesehariannya, Risty selalu menunjukkan kebolehan dan kemandiriannya. Mataku bergerak memandangi tangannya yang masih menggenggam erat tanganku. Karena aku sendiri bukanlah seorang pemberi nasehat yang ulung, malah aku yang sering dinasehati psikologku untuk bersikap sesuai arahannya. "Lo bakal aman di rumahnya Rado, Ris. Kian sama Sasha itu sahabat baik gue. Mereka welcome sama lo, terutama Sasha."Aku menghela nafas pendek begitu mendengar ucapan Kak Alfonso. Karena aku yakin Mbak Sasha pasti akan melakukan hal-hal mengejutkan demi membuatku dekat dengan Risty. Padahal kami tidak lebih dari sekedar teman yang terlibat hubungan pekerjaan. Kepala Risty mengangguk lalu aku melepas eratan tangannya kemudian kami beriringan menuju apartemennya lebih dulu untuk mengambil baju-baju Risty selama menginap di rumahku. K
"Ris, lo jangan jadiin Rado sebagai alat balas dendam. Sekalipun dia bodyguard lo, tapi keluarganya udah berbaik hati ngasih lo tumpangan hidup. Meski mereka nggak tahu hubungan kalian yang sebenarnya," Kaika menasehati Risty.Aku yang masih menguping di balik pintu merasa cukup lega dengan nasehat yang Kaika berikan. "Lo seneng lihat gue babak belur gini, Kai?!""Lo nggak babak belur, Ris. Cuma lengan lo doang yang jadi korban.""Sama aja lah! Kenapa sih lo jadi belain Ziany?!""Ris, lo tahu kan Ziany nggak pernah main single. Dia punya duit buat nyewa preman atau residivis buat nyakitin lo. Sedang lo cuma punya Rado doang. Dia nggak bakalan sanggup.""Gue ---"Ah ... sial! Pintu Risty terbuka karena aku terlalu menempel. Alhasil Risty dan Kaika melihatku dengan ekspresi terkejut. "Lo nguping?" Risty bertanya.Sudah kepalang tanggung. Aku masuk ke dalam kamarnya sambil membawa baki berisi makan malam untuk mereka berdua. "Nikmati makan malam kalian." Saat tubuhku baru berbalik, Ri
Betapa leganya aku setelah menuntaskan satu tugas dari Risty untuk memberi pelajaran pada Ziany, saudara tirinya. Awalnya, Risty meminta hutang darah dibayar darah, namun Kaika akhirnya bisa membuat Risty mengurungkan niatnya dengan memberi pelajaran yang lain.Mencukur rambut panjang kesayangannya.Setidaknya aku tidak sampai menyakiti perempuan sekalipun Risty adalah majikanku. "Mana jatahku?" tanyaku pada Risty ketika masuk ke kamarnya. Betapa mulia nona muda ini karena mendapat izin dari Mas Kian dan Mbak Sasha untuk tinggal disini sampai lukanya sembuh.Dia membuka perlahan selimut hangatnya dan membiarkan televisi menyala. Tirai hanya disibak sedikit sehingga kamar terlihat temaram. Lalu dia duduk di tepi ranjang dengan baju tidurnya berwarna biru. "Sekarang?" "Iya." Risty memakai cardigan miliknya lalu mengikat rambut panjangnya, "Lo bebas apa-apain Mbak Sasha di kamarnya, gue bakal suruh Bik Nah keluar beli kebutuhan gue, dan Shakira biar sama gue. Satu jam. Cukup kan?!"
"Intinya, jangan terusin cinta lo ke kakak ipar sendiri, Do. Nafsu menguasai pikiran lo, tapi gue yakin di lubuk hati lo yang paling dalam, ada secerca perlawanan bahwa perasaan lo untuk Mbak Sasha itu sebuah kesalahan yang nggak seharusnya dilanjutin." Aku mengalihkan pandangan kemudian melangkah mendekati jendela kamar. Menatap sorot lampu jalanan yang berwarna kuning keemasan itu. "Gue nggak minta pendapat lo, Ris. Jangan campuri urusan gue." "Sebenarnya, gue nggak minat terlibat dalam cinta sialan ini sih, Do. Cuma ... gue kasihan aja lihat pengorbanan Mas Kian buat lo yang akhirnya dibalas kegilaan. Gue sampai jijik lihat lo gendong Mbak Sasha ke kamar," ucapnya dengan nada mencibir. "Pergi dari kamar gue, Ris!" bentakku sambil menatapnya nyalang. "Jangan bersikap kurang ajar sama gue, Rado. Gue majikan lo, inget itu," ucapnya tenang dengan dagu terangkat. "Dan satu lagi, dengan keluarga yang cukup berada kayak gini, kenapa lo milih diam-diam kerja jadi bodyguard gue? Ema
"Apa katamu? Mama?" Risty bertanya dengan nada mengejek, "Mama gatal begitu, kah?!" "Risty! Jaga bicaramu!" "Untuk apa aku menjaga bicara dihadapanmu, Nyonya Rira? Ah ... salah. Yang benar Nyonya Ferdinand. Istri si sopir Ferdinand yang ganjen itu." "Ini yang kamu dapat dari hidup di luar dengan dalih ingin mandiri, Risty?!" Risty dan ibunya saling beradu argumen dihadapanku tanpa tahu malu. "Dan apa yang kamu dapat dengan dalih ingin membuka bisnis sendiri?! Apa itu cuma alasan biar mendiang Papa nggak curiga kalau kamu dan si Ferdinand sialan itu lagi ena-ena di ruko yang kamu sewa?!" Tawa mengejek Risty makin terdengar penuh cibiran dan emosi. "Lalu menghasilkan produk manusia sampah kayak Ziany? Well, Bapaknya aja sampah, jadi jangan ngarep anaknya nggak lebih baik dari air comberan!" "Be***ah lo, Ris! Jangan hina gue!" Ketika Ziany akan merangsek menggapai tubuh Risty, aku segera menahan kedua tangannya ke belakang. Hingga ia memekik tidak terima dan kesakitan. "Lepa
Akhirnya persidangan perceraian Risty dan Richard selesai digelar. Perjuangan berat dan besar Kak Alfonso memenangkan harta Risty yang tidak seharusnya dibagi akhirnya dikabulkan oleh pengadilan. Richard mendapatkan harta gono gini namun tidak dengan warisan Risty dari Papanya yang telah tiada. Walau begitu, masih ada masalah lain yang belum terselesaikan tapi Risty memilih untuk mundur. "Aku mundur, Mas Al," ucapnya pada Kak Alfonso. Aku, Risty, Kak Alfonso, dan pengacaranya sedang duduk bersama di ruang tamu rumah Mas Kian untuk membahas hasil persidangan hari ini. Kemudian Risty meletakkan berkas pengadilan yang tebal itu di meja kaca ruang tamu. "Aku bertekad mandiri, Mas Al. Masalah warisanku yang masih dikuasai Nenek dan Kakek, aku nggak peduli lagi. Terserah mau mereka apakan harta Papa." Kak Alfonso memandang Risty tidak habis pikir. "Ris, itu hakmu. Warisan itu bisa kamu pakai untuk modal bisnismu." "Lalu berjuang lagi di pengadilan? Aku lelah, Mas Al." "Kakek da
Perceraian Risty sudah diserahkan pada pengacara kepercayaan Kak Alfonso. Dia hanya tidak mau waktunya terkuras habis memikirkan perceraian yang diprediksi bakal alot itu. “Aku mau perceraian kami tahu beres, Mas. Masa bodoh sama harta dan warisan itu. Yang penting aku bisa lepas dulu dari Richard,” ucap Risty malam itu di rumah Mas Kian. “Apa yang jadi hakmu bakal aku perjuangin sama pengacara, Ris.” Kepala Risty mengangguk, “Makasih, Mas. Tapi aku nggak berharap banyak.” “Belum dicoba. Jangan pesimis dulu.” Aku yakin jika Kak Alfonso bisa membantu Risty memenangkan perceraian itu secara adil Semoga saja karena Risty benar-benar seperti perempuan tanpa keluarga. Bahkan Risty merelakan warisan dari Papanya jatuh ke tangan nenek kakeknya karen tetap memilih bercerai dari Richard. Apapun konsekuensinya Risty sudah pasrah dan memilih menjalani kehidupan selanjutnya sesuai versi dan kemampuannya sendiri. Kini, ia jauh lebih selektif menggunakan uang dari pada biasanya. Sudah pasti k
"Nenek dan kakek nggak akan percaya gitu aja sama ucapanmu, Ris! Kecuali kamu punya bukti kalau Richard memang main perempuan kayak tuduhanmu!" Neneknya berseru tidak terima dengan menatap Risty tajam. "Aku malas kalau harus buka cctv rumah, Nek. Buat apa aku menenggelamkan diri ke tempat yang selama ini cuma bikin aku menderita. Itu bukan rumah, tapi ne-ra-ka!""Itu artinya kamu cuma fitnah! Bisa bicara tapi nggak ada bukti yang nyata! Ini lebih kejam dari pembunuhan, Ris! Apalagi yang kamu fitnah itu suamimu sendiri!" giliran Ibunya Richard yang berseru tidak terima dengan menunjuk wajah Risty.Risty menatap semua yang ada di ruangan ini lalu berdiri dari duduknya. Kemudian aku ikut berdiri. "Silahkan kalian lihat dan cek sendiri. Masih ada di cctv rumah. Jangan suruh aku ngurusin hal sam-pah kayak gitu! Aku muak! Lebih muak lagi menjadi anggota keluarga ini!" ucapnya sungguh-sungguh dengan hati kesal sekali. Kemudian ia menatap nenek dan kakeknya bergantian. "Kalau nenek dan kak
Malam ini, Mas Kian mengizinkanku tidur di rumahnya dengan alasan harus menjaga Risty yang tidak stabil emosinya. Sekaligus ingin berbicara empat mata dengan Mas Kian tentang perasaanku pada istrinya, Mbak Sasha, yang kini sudah tidak ada lagi. Berharap Mas Kian tidak perlu khawatir aku akan melakukan hal tidak benar seperti masa lalu pada istrinya."Hatiku benar-benar udah buat Risty, Mas. Udah nggak ada lagi cinta buat Mbak Sasha. Tapi, demi kebaikan bersama, setelah kakek neneknya Risty tiba di Indonesia, aku bakal balik ke apartemen." Kepala Mas Kian mengangguk pelan. Kami tengah duduk bersama di dapur, malam-malam begini. Membicarakan urusan lelaki."Apapun itu, Do. Mas akan dukung selama kamu bisa mengendalikan isi hatimu pada orang yang nggak seharusnya. Oh ya, kapan kakek neneknya Risty datang ke Indonesia?" "Diusahakan secepatnya sama Kak Al." Keesokan harinya, aku sengaja mengetuk pintu kamar Risty lebih dulu sambil membawa segelas susu hangat. Semoga saja dia sudah bangu
"Rado, kamu dimana? Risty mengurung diri di kamar. Mas takut dia nekat!" ucap Mas Kian melalui sambungan telfon dengan suara panik. Bulu kudukku meremang begitu mendengar ucapan Mas Kian. Apa Risty berpikir ingin mengakhiri hidupnya? Astaga, Tuhan! Tolong halangi Risty melakukan itu! Baru saja aku selesai membuat kesepakatan dan negoisasi dengan Richard tentang pernikahan mereka, mengapa Risty justru seperti ini? "Mas, coba terus bujuk Risty biar buka pintunya! Aku kesana sekarang!" "Oke. Cepat, Do!" Aku segera memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu memasang helm. Melihatku yang tergesa-gesa, Kak Alfonso kemudian membuka suara. "Kenapa, Do?" "Risty nggak mau buka pintu kamarnya, Kak." "Apa?!" Kak Alfonso ikut terkejut. "Aku balik dulu. Makasih untuk bantuannya malam ini." Aku segera melajukan motor sport milikku menuju kediaman Mas Kian. Meninggalkan Kak Alfonso dan para bodyguardnya yang masih bersiap kembali pulang. Semoga jalanan tidak terlalu macet karena ini ham
"Rado, aku bilang pu-lang!" Risty kembali memekik di ujung sambungan telfon. Aku membasahi bibir sambil berperang dengan pikiran sendiri. "Sekali lagi aku tegasin kalau aku nggak cinta kamu! Jadi, jangan bahayakan dirimu demi aku! Nggak usah berjuang terlalu dalam demi aku karena nggak pernah ada cinta di hatiku buat kamu!" Serius kah Risty berkata demikian? Benarkah dia tidak mencintaiku barang setitik pun? Kenyamanan yang selama ini kuberikan dan segenap perhatian? "Aku tahu, kalau yang paling jatuh cinta tuh aku, Ris. Aku cinta kamu, sangat! Karena aku cinta kamu, aku putusin untuk ngasih satu kenangan yang bikin kamu bisa selalu ingat sama siapa itu Rado. Kenangan baik yang bikin kamu ingat aku dan bikin kamu bisa lepas dari pernikahan yang cuma bisa bikin kamu tertekan." "Bodoh! Aku bilang balik, Rado!" Kepalaku menggeleng dengan telfon masih menempel di telinga. "Sekali ini aja, Ris. Biar aku bantu kamu lepas dari Richard." "Kalau tahu begini, mending kamu nggak usah
"Aborsi."Kedua mataku membelalak tidak percaya mendengar pengakuan Risty. "Aku pernah hamil anaknya Richard. Karena aku benci sama dia dan pernikahan kami, akhirnya aku mutusin untuk ... aborsi, Do.""Ris?" panggilku lirih dengan kepala menggeleng tidak percaya. "Kenapa? Apa kamu mikir aku gila? Tukang tega?" ucapnya lirih dengan sorot sendu.Aku hanya memandang Risty tanpa berani berkata-kata lagi. Takut melukai egonya yang sudah lama terluka karena pernikahannya dengan Richard. Khawatir dia tidak nyaman jika aku terlalu menghakimi perbuatannya. Karena aku yakin Risty melakukan aborsi itu karena ada alasannya. "Waktu itu aku mikirnya, kehamilan ini terjadi karena Richard ngasih aku obat perangsang berkali-kali. Lalu, apa yang harus aku lakuin selain gugurin anak ini.""Aku nggak mau anak itu nanti hidup di dalam keluarga yang toxic. Keluarga yang nggak pernah ada cinta di dalamnya. Karena sampai kapanpun aku nggak akan bisa mencintai Richard atau nerima dia sebagai suami sebenarn
Hatiku takluk karena Risty memelukku dari belakang seerat ini. Amarah yang tadinya membumbung tinggi, mendadak tenggelam oleh sentuhannya yang sangat kudamba. Kepalaku menunduk lalu melihat eratan jemari indahnya yang melingkari perutku. Perlahan aku menyentuh tangannya itu. Apakah ini benar atau hanya tipuan? Benarkah Risty memintaku tetap ada di sisinya? "Jangan marah kayak tadi lagi, Do. Aku takut. Lalu, kalau kamu pergi, aku hidup sama siapa? Aku udah keluar dari rumah. Udah mengingkari janji pernikahanku sama Richard. Dan sekarang, aku cuma punya kamu. Please, jangan pergi." Aku pergi meninggalkan Risty? Itu tidak mungkin. Kecuali dia yang menyuruhku pergi. "Maaf, Ris. Tadi aku kebawa emosi," ucapku dengan mengusap tangannya lembut yang masih melingkari perutku. Bagaimana tidak emosi jika Risty menganggap keseriusanku tadi sebagai guyonan semata. Kemudian ia melepas tangannya lalu berjalan ke depanku. "Aku nggak tahu apa aku cinta kamu atau nggak. Yang pasti untuk
Di apartemenku yang sederhana, aku mengundang Risty untuk bermalam di sini usai melepaskan diri dari pernikahan beracunnya dengan Richard. Risty merebahkan tubuhnya di sofa panjang sambil memejamkan mata usai aku meletakkan kopernya. "Mau makan apa, Ris?" tanyaku dengan duduk di single sofa. "Tidur." Lalu Risty memiringkan tubuhnya ke kanan dengan nyaman. Kemudian senyumku terbit melihat tingkahnya yang masih saja menggemaskan. Meski perabotan di apartemenku tidak semewah di rumahnya, aku bersyukur Risty tidak merasa terganggu. "Aku keluar bentar. Beli stok isi kulkas. Kamu di sini atau ikut?" Risty membalik tubuhnya lalu menghadapku sambil berbaring. "Apa lo bilang? Kamu? Aku?" Kepalaku mengangguk karena telah merubah panggilan ke Risty dengan sebutan lebih akrab. "Kesambet angin apaan lo berubah seratus delapan puluh derajat?" ucapnya dengan senyum tipis sarat akan ejekan.Aku mengangkat bahu santai sambil menatapnya."Aku cuma mau membiasakan diri manggil kamu dengan sebut