2 minggu berlalu.
Dika baru saja tiba di kantor. Dan dia sudah menerima panggilan masuk. Sambil masuk ke dalam lift, lelaki itu menjawab panggilan dari orang terkasihnya."Assalamualaikum, Mas. Siang nanti mau aku bawakan masakan apa?""Waalaiakumsalam, oh, ya, aku lupa bicara, ya. Bawakan aku sup saja seperti biasa," sahut Dika."Baiklah, aku hanya ingin menanyakan itu saja. Semangat kerjanya, Mas," tutur Sera."Iya, hati-hati saat ke sini," tutur Dika. "Assalamualaikum," salam Sera."Waalaikumsalam, Sayang," ucap Dika. Panggilan itu berakhir. Dika menaruh ponsel kembali ke dalam saku jas. Dia menunggu beberapa saat sampai loft itu berhenti.Saat sudah berhenti dan pintu lift terbuka, dia segera keluar segera masuk ke ruang kerjanya. Sebelum duduk, dia melepaskan jas dan menggantungnya di tempat tersedia. Lelaki itu duduk, helaan napas pelan terdengar.Senyumnya terbit. Bagaimana tidak senang? Jika pagi tadi sSera terisak di atas ranjangnya. Tubuh itu tertutup rapat oleh selimut. Apa ini salahnya menerima perjodohan yang sudah terjadi? Sera sendiri tak tahu kalau dia menikahi pria yang sudah memiliki kekasih. Sera merasa pusing. Kepalanya begitu berat. Lagi-lagi dia kembali menyalahkan dirinya karena telah datang di tengah-tengah kehidupan Dika dan Lia. Sera sudah terjebak atau termakan ucapan Lia. Bukankah dia menikah sudah kehendak Tuhan? Bukan salah Sera hadir terlambat, dan datang di tengah hubungan Dika dan Lia. Lia tak bisa menyalahkan Sera. Karena Dika juga menyembunyikan hubungannya dari kedua orang tuanya. Dan mau menerima perjodohan itu. Kalau gitu, salahkan saja Dika. "Mas... apa aku harus cerai denganmu?""Aku takut sesuatu terjadi pada orang tuaku, Mas.""Tapi, aku tak bisa membuat pilihan."Sera mengusap air matanya, tapi itu mengalir lagi, "aku sudah bahagia memiliki kamu yang mulai mencintaiku. K
"Sayang," panggil Lia. "Hm, apa kau lelah?" tanya Leon. "Apa kau butuh sesuatu? Tas atau handphone?" tanya Leon lagi.Leon memang pria kaya raya yang akan memberikan apa saja untuk wanita yang dicintainya. Namun, risikonya adalah satu. Perempuan itu harus mau tidur dengannya. Dan itu yang sedang Lia lakukan. "Boleh aku minta tas?" tanya perempuan itu. "Ada keluaran baru loh," ujar Lia. Wanita yang tengah merebahkan diri dilingkupi selimut sembari memainkan ponsel di atas ranjang melihat online shop itu terkejut saat pria yang duduk di sofa tadi sudah berpindah dan memeluknya dari belakang. Leon semakin menempeli tubuhnya. Tangan kekarnya itu dengan berani bermain di perut Lia. "Sayang, aku ingin main," Leon dengan mudah mengecup bahu Lia yang terekspos karena wanita itu juga hanya mengenakan tanktop tipis. Siapa pria yang tidak tertarik jika ditawari hal seperti ini?"Tinggalkan ponselmu itu," ucap Leon. Lia memejamkan mata.
Ini adalah hari ketiga Dika mengikuti Lia sepulang kerja. Dia benar-benar harus hati-hati. Perempuan itu pergi menuju tempat parkir. Lelaki itu masih tak ingin mengatakan putus pada kekasihnya lantaran dia masih ingin mengumpulkan banyak bukti tentang Lia dan lelaki asing di matanya. Perempuan itu sepertinya merasa dirinya ada yang mengikuti. Maka, Dika dengan cepat bersembunyi di antara tiang-tiang besar. Bersembunyi seraya mengintip beberapa kali, dia mendapatkan perempuan itu masuk ke dalam mobil Honda hitam. Dika lantas memutuskan untuk menghubunginya. Satu yang dia ingin pastikan, akankah perempuan itu jujur padanya atau tidak? Sambil mengarahkan ponsel itu ke telinga, Dika segera berjalan menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari mobil tadi. Di sini adalah tempat parkir khusus. Jadi, Lia pergi dengan siapa barusan? Orang itu bukanlah orang sembarangan pastinya. Masuk ke dalam mobil sembari menyalahkan, Dika tak lama mendapatkan sahutan dar
"Duh, di mana Mas Dika?" Aku mondar-mandir di kamar. Cemas karena suamiku belum pulang. Memang baru jam 8 malam, namun suamiku bilang dia akan pulang cepat. "Mas, kamu di mana?" gumamku. Duduk di tepi ranjang, aku membuka ponsel seraya mengirim beberapa pesan pada Mas Dika. Sejujurnya, aku sangat cemas akan terjadi pada lelakiku. Tetapi, aku tidak ingin terus berpikir negatif. Aku berdoa yang terbaik untuknya. Semoga Allah selalu melindungi Mas Dika-- doaku. Sudah kukirim pesan panjang, Mas Dika tak juga membalas. Aku berpikir apa yang dilakukan priaku di luaran sana? Aku tetap sabar menunggu.Waktu terus berjalan. Aku tak bisa diam di tempat. Segala pikiran negatif selalu kusingkirkan. Dan aku tidak ingin berpikir kalau priaku sedang bersama kekasihnya. "Mas, pulanglah aku mencemaskanmu," ucapku. Lama-kelamaan menunggu aku merasa mengantuk. Aku membaringkan tubuhku di ranjang. Tak sanggup aku menahan diri untuk tidak tertid
Dia tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata. Bahwa dia sudah benar-benar bersatu dengan Dika. Pagi ini, pasangan tersebut masih membungkus dirinya dengan selimut. Menutupi tubuh mereka berdua. Beberapa saat kemudian, Sera lebih dahulu terbangun. Ia merasakan sesuatu melingkar di tubuhnya. Sudah dapat dipastikan itu tangan sang suami. Sera mendengar dengkuran halus di dekatnya. Tidur mereka memang begitu pulas setelah melakukan hubungan suami-istri.Menyingkirkan tangan kekar Dika, Sera sedikit terkejut saat pelukan itu semakin mengerat dan suaminya menggumam menyebut namanya. "Mas, bangun. Kita harus mandi," ujar Sera. "Mas," ujar Sera. Tetapi, Dika menghiraukan itu. Dia malah semakin mendekati tubuh Sera. Dan menaruh wajah di punggung wanita itu. Sera membalikkan. Dan kini dia dapat melihat wajah Dika yang tertidur pulas bersandar di dadanya. Dika terlihat seperti bayi besar. Sera memainkan rambut pria itu. "Bayi besar," ucap Sera. Senyum keci
"Sera pakaian yang mana yang cocok untukku?" tanya lelaki yang berdiri di depan cermin dengan menjejerkan kedua jasnya. "Yang mana saja yang dirasa cocok dan nyaman di kamu," kata Sera. Sera tak mau ambil pusing. Usai memakai hijab dengan pas, dia mencari ponselnya yang entah lupa dia taruh di mana. Sera ingin mengabari Nindy kalau dia akan pergi ke rumah sakit. Dia sudah banyak melewatkan harinya tak berkunjung ke butik. Ketemu. Ternyata ada di bawah bantal. Sera mengetikan pesan dengan cepat. Lalu, suami perempuan dengan kemeja hitam itu bertanya lagi. "Bagaimana, apa ini cocok?" Dika sudah pakai jas hitam. Dan dia memakai kaos hitam di dalamnya. "Ya, cocok di kamu," kata Sera singkat. "Singkat sekali, kau marah soal tadi?" Dika berjongkok seraya melempar jas yang lain yang dia pegang. "Tidak, Mas. Aku tidak marah," jawab Sera cepat. "Bohong, coba tatap aku atau aku cium?" ancam Dika. Kemudian, Sera menatap sang CEO. "Tid
"Puas kamu menertawakanku? Puas hm?"Dika menarik Sera bukan untuk dipeluk, tetapi dia kelitiki. Sera semakin tertawa kencang. Merasa geli karena tangan Dika yang jahil. Dika juga ikut tertawa. Mereka seperti anak remaja yang tengah jatuh cinta. Tapi, mau bagaimanapun dan berapapun usianya, cinta selalu bisa membuat orang melupakan hal-hal seperti itu. Karena yang terpenting adalah kebahagiaan yang dirasakan di dalamnya. "Mas, geli, haha, Mas, lepaskan aku!""Sudah, sudah, aku tak sanggup!""Ampun, geli, haha...," napas Sera ngos-ngosan. Keduanya berbaring di atas ranjang. Tangan Dika dijadikan bantalan begitu saja dan entah sejak kapan. Sera merebahkan diri di samping pria itu. Keduanya melihat ke arah langit-langit kamar. "Capek?" ucap Dika. Sera mengangguk singkat. "Jangan nakal makanya," Dika mencibit pipi Sera. "Aw, Mas, sakit tahu!" aku Sera mengusap wajahnya. Dika tidur dengan posisi miring menghadap wanitanya. Membiarkan tangann
"Kenapa kamu dandan seperti itu?" Dika melihat Sera memakai make up yang lebih dari biasa. "Kenapa memangnya? Make up seperti ini adalah wajar, Mas. Aku tak memakai terlalu menor juga," sahut Sera. Dika menghela napas. Dia meraih jas seraya memakainya. "Pakaikan aku dasi," suruh Dika. "Iya, sebentar, Mas," Sera sedang memakai lipbalm. Setelah itu, tersenyum ke cermin. Merasa cantik dan bagus. Perempuan itu berjalan menghampiri sang suami seraya memakaikan dasi. "Kenapa kamu tak juga pandai memasang sendiri?" ucap Sera. Padahal, Dika bisa saja memakai sendiri walaupun tak sebagus Sera. Hanya saja, jika dipakaikan oleh sang istri langsung dia bisa berlama-lama menatap wajahnya dari dekat. "Cantik," ucap san CEO dengan suara pelan. Pujian itu keluar begitu saja. Sudut bibir kirinya terangkat. Sera yang sedang fokus dengan dasi itu mengangkat wajahnya. "Apa Mas? Kamu mengatakan sesuatu?" tanya Sera. Samar-samar dia mendengarkan
5 tahun kemudian."Kara!" Seorang pria dengan gagahnya menghampiri sang putri. Dan berjongkok seraya memeluknya. "Assalamualaikum Papa!""Waalaikumsalam, bagaimana sekolahnya?""Kara dapat bintang lima dari guru!" ungkap bocah kecil bernama Kara itu. "Wah, keren anak Papa! Kamu memang cerdas seperti mama kamu!""Papa juga cerdas! Papa punya hotel besar!"Mendengar celotehan sang anak, Dika pun terkekeh. "Papa, ayok pulang. Kara mau ketemu Mama!" ajaknya. Dika mengangguk seraya bangkit. Dia menggandeng putri kandungnya untuk masuk ke dalam mobil. Tak terasa, waktu lima tahun begitu cepat. Dika sudah menjadi pria sejati yang begitu baik menjadi suami untuk Sera. Dika amat merasa bersyukur karena diberikan istri soleha seperti Sera."Kara mau makan es krim, Papa." "Mau es krim?" ulang Dika. Gadis kecil berhijab itu mengangguk. "Oke, tapi kita pulang dulu jemput mama, ya?" "Iya, Papa, horeee Kara makan es krim sama mama dan papa!" Kara sangat menggemaskan. Dia juga memiliki pipi yang
"Se, ini apa?" Dika melotot sembari memegangi benda kecil, tipis bergaris dua. Lantas pria itu menoleh ke arah sang istri. "Sera... ini serius? Ka... kamu hamil?" Dika gugup. Sera mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Mas. Aku hamil. Aku hamil anak kamu, Mas. Aku bisa hamil. Kita punya buah hati sekarang!" tutur Sera antusias. Dika pun mendekap tubuh Sera dengan erat sembari mendaratkan kecupan di kening wanitanya. "Sera... terima kasih! Terima kasih banyak. Aku sangat bersyukur dengan hadiah ini. Aku bahagia telah memiliki wanita hebat seperti kamu." "Aku... aku juga, Mas. Aku bahagia karena telah dipertemukan dengan lelaki sesabar kamu. Yang begitu menyayangi diriku tanpa berpikir meninggalkan aku pergi di saat kamu tahu kekuranganku. Terima kasih, Mas...," kata Sera. Untuk sekejap saja, pelukan mereka yang hangat dan nyata dengan rasa syukur yang tiada henti. Jangan biarkan lagi dua insan saling mencinta itu berpisah. Diam-diam, Seda terisak dalam pelukan sang suami. Dia begitu
Siapa yang tidak senang kalau suaminya yang kerja di luar kota akan kembali pulang ke rumah? Dengan dress panjang berwarna peach, wanita yang duduk di depan meja rias itu tak henti mengukir senyum. Ditambah lagi, dia memiliki kejutan untuk sang suami. Kejutan besar yang akan membuat Dika bahagia. Sera mengusap-usap perutnya dengan lembut dan perlahan. Tak menyangka, penantian yang selama ini dia nantikan akhirnya terwujud. Karena, sesungguhnya Tuhan Maha Baik. Sera tidak tahu bagaimana lagi mengungkap rasa syukurnya. Tuhan selalu punya cara untuk membahagiakan hambanya. Dari ujian yang dialaminya bertubi-tubi, Sera dihadiahi keinginannya untuk memiliki buah hati. Ia tak sabar memberikan kabar gembira itu pada sang suami. Sera sangat menantikan reaksi Dika. "Mas Dika, aku hamil anakmu, Mas. Aku bisa hamil juga. Akhirnya, Tuhan mewujudkan keinginanku. Aku tidak sungguh mandul.""Ya Allah, aku sungguh berterima kasih atas karunia yang Kau berikan dan titipkan. Aku akan menjaga buah ha
Hari-hari berlalu. Sebagai wanita yang ikut program hamil Sera harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani niatnya demi satu tujuan untuk segera bisa memiliki keturunan. Dia tak pergi seorang diri. Melainkan selalu ada Dika yang setia menemani. Di rumah sakit, tak hanya Sera yang diperiksa melainkan suaminya juga. Kondisi Sera dan Dika di sana semuanya dicek. Perkara tidak hamil ini tidak melulu berasal dari pihak wanita saja, karena bisa jadi suami jadi sumbernya. Untuk program kali ini mereka benar-benar begitu serius menjalani. Sampai pada akhirnya, ditemukan polip yang cukup besar dan banyak di rahim Sera. Sera yang memang didukung baik oleh Dika, tak bisa untuk berhenti program tersebut. Dokter mengambil tindakan untuk membersihkan polip yang ada di rahim Sera. Sempat takut, namun Sera harus semangat. Terlebih Dika juga tak pernah lelah memberikannya kekuatan. Setelah pembersihkan polip itu berhasil, minggu demi minggu berlalu, Sera berkeinginan untuk berangkat Umroh. Wan
“Mas, terima kasih, ya, untuk segala hal yang kamu lakukan padaku. Kebaikanmu semoga Tuhan yang membalas,” tulus Sera. Malam-malam membicarakan hal random dan hal serius adalah hal yang berharga dilalukan Sera dan Dika. Mereka tak ingin melewatkan momen itu sebelum mereka tenggelam dalam mimpi mereka masing-masing. “Hm, jangan pernah merasa kesepian, ya. Aku tahu yang kita usahakan belum ada hasilnya, tapi aku akan selalu mencari cara agar kamu tetap selalu bahagia,” ujar Dika. “Aku sudah bahagia, aku tidak kesepian lagi karena sudah ada kamu, aku punya kamu di hidupku,” sahut Sera. “Tetap saja. Aku tahu kamu masih merasa sedih di belakang aku. Menyembunyikan luka sendiri. Memendam masalah yang kamu punya. Padahal aku ingin kamu selalu libatkan aku mau sedih atau senang,” ungkap Dika. “Karena aku suami kamu, baik sekarang atau nanti.”“Dulu sekali, aku selalu berharap kalau kamu mau mengakui dirimu sebagai suami aku, Mas. Aku selalu b
Bucket Cokelat!Baru saja Sera keluar dari kamar mandi. Wanita itu terkejut kala di meja samping ranjangnya ada benda itu. Bukankah Dika sudah pergi berangkat ke kantor? Belum lama Sera mencium tangan suaminya. Siapa yang menaruhnya? Apa Bi Niken masuk ke kamar?Meraih bucket tersebut senyum wanita dengan hijab berwarna hijau itu mengembang di wajah. Siapa wanita yang tidak senang bila diberi cokelat? Sera lantas meraih ponsel dan hendak memotretnya. Dan bertepatan itu notifikasi dari sang suami masuk. Sera membuka pesan tersebut lebih dahulu. Tidak jadi mengambil foto cokelat itu. Mas DikaSe, sudah lihat kirimanku?Apa kamu suka? Benar sekali itu dari suaminya. Sambil mengetik, senyum wanita itu tak pernah lepas. Dia mengirim beberapa pesan pada suaminya.Aku gak tahu kapan kamu siapkan bucket cokelat ini, Mas?Tapi, terima kasih banyak, ya.Aku tentu suka.Mas DikaSyukurlah, aku balik kerja ya. Boleh kirim foto dengan cokelatnya? Aku ingin melihat wajahmu biar semangat bekerja.
Sera menangis tersedu-sedu. Dia berulang kali mengusap air matanya yang terjatuh lagi dan lagi. "Semua baik-baik saja, Sera. Kamu tidak usah takut lagi," ujar Nindy memberikan pelukan hangat untuk teman sekaligus pemilik butik itu. "Tetap saja aku takut, Nin. Mantan suamiku selalu mengganggu aku dan juga Mas Dika," tutur Sera. "Tolong jangan beri tahu Mas Dika tentang ini, Nin," pinta Sera. "Kenapa?" Nindy bingung. "Aku takut dia semakin khawatir. Dia bisa saja melakukan sesuatu di luar nalar kalau tahu tentang kejadian tadi," ucap Sera dengan mata berlinang."Tapi, Sera, aku rasa dia juga perlu tahu. Kamu harus memberi tahu karena dia bisa melindungi kamu nantinya," ujar Nindy. "Dia pasti sangat khawatir istrinya kenapa-kenapa," sambung Nindy."Nindy, aku mohon...," Sera mempelihatkan wajah melasnya. Nindy menghela napas, "baiklah jika itu mau kamu. Aku akan rahasiakan kejadian ini. Aku harap pria itu tak
"Jadi, kau pergi dengan seorang dokter, Raisa?!" tanya Renal dengan nada tinggi. Seperti biasa, keduanya tak pernah berkomunikasi dengan baik. "Kenapa memangnya?" dengan wajah ketus, kedua tangan menyilang di depan dada, Raisa berbicara kepada sang suami. "Kenapa kau marah dengan itu? Bagaimana dengan kau sendiri yang pergi diam-diam tanpa sepengetahuanku?" ucap Raisa. "Jangan belaga sok suci, Mas, haha," wanita itu terkekeh di ujung kalimat. "Jangan kamu pikir aku tidak tahu kelakuanmu di belakang seperti apa," sambungnya. "Apa maksudmu, Raisa?" tanya Renal. Entah kenapa Renal merasa takut akan sesuatu. "Seharusnya kamu tetap bisa bersikap baik kepadaku. Dan jangan membuatku marah," Raisa tersenyum miring. Hal itu membuat Renal benar-benar takut."RAISA?" panggil Renal dengan nada suara yang keras. Raisa tak menggubris ucapan sang suami. Dia tetap pergi ke kamar.Dia menggumam, "kau pikir aku tidak tahu k
"Mas, Mas," Sera memanggil nama suaminya berulang. Keluar dari mobil lelaki itu berjalan lebih dahulu masuk ke dalam rumah. "Ya Tuhan, Mas Dika tunggu aku," pinta Sera. Sera menghela napas, andai tak bertemu dengan Renal, mungkin Dika akan baik-baik saja. Wajah lelaki itu juga berubah ketus dan menjadi dingin usai bertemu mantan suami Sera. "Mas," panggil Sera lagi ketika sudah berada di dalam kamar. "Kenapa kamu jadi cuek sama aku?" ucap Sera. "Apa aku ada salah? Mas aku juga kan tidak tahu kalau ada pria itu di restoran," keluh Sera. "Apa kamu mengajakku ke restoran itu untuk bernostalgia tentang masa lalumu, Se?" tanya Dika. "Ya Tuhan. Apa yang kamu pikirkan? Kamu berpikir aku seperti itu?" ucap Sera. "Mas, tak pernah terlintas sama sekali dalam diriku untuk mengingatkanmu tentang masa laluku. Aku mengajakmu ke sana murni untuk makan bersama!" sanggah Sera. "Tolong jangan marah sama aku. Katanya kita