"Sera pakaian yang mana yang cocok untukku?" tanya lelaki yang berdiri di depan cermin dengan menjejerkan kedua jasnya.
"Yang mana saja yang dirasa cocok dan nyaman di kamu," kata Sera.Sera tak mau ambil pusing. Usai memakai hijab dengan pas, dia mencari ponselnya yang entah lupa dia taruh di mana. Sera ingin mengabari Nindy kalau dia akan pergi ke rumah sakit. Dia sudah banyak melewatkan harinya tak berkunjung ke butik.Ketemu. Ternyata ada di bawah bantal. Sera mengetikan pesan dengan cepat. Lalu, suami perempuan dengan kemeja hitam itu bertanya lagi. "Bagaimana, apa ini cocok?" Dika sudah pakai jas hitam. Dan dia memakai kaos hitam di dalamnya."Ya, cocok di kamu," kata Sera singkat. "Singkat sekali, kau marah soal tadi?" Dika berjongkok seraya melempar jas yang lain yang dia pegang."Tidak, Mas. Aku tidak marah," jawab Sera cepat. "Bohong, coba tatap aku atau aku cium?" ancam Dika.Kemudian, Sera menatap sang CEO. "Tid"Puas kamu menertawakanku? Puas hm?"Dika menarik Sera bukan untuk dipeluk, tetapi dia kelitiki. Sera semakin tertawa kencang. Merasa geli karena tangan Dika yang jahil. Dika juga ikut tertawa. Mereka seperti anak remaja yang tengah jatuh cinta. Tapi, mau bagaimanapun dan berapapun usianya, cinta selalu bisa membuat orang melupakan hal-hal seperti itu. Karena yang terpenting adalah kebahagiaan yang dirasakan di dalamnya. "Mas, geli, haha, Mas, lepaskan aku!""Sudah, sudah, aku tak sanggup!""Ampun, geli, haha...," napas Sera ngos-ngosan. Keduanya berbaring di atas ranjang. Tangan Dika dijadikan bantalan begitu saja dan entah sejak kapan. Sera merebahkan diri di samping pria itu. Keduanya melihat ke arah langit-langit kamar. "Capek?" ucap Dika. Sera mengangguk singkat. "Jangan nakal makanya," Dika mencibit pipi Sera. "Aw, Mas, sakit tahu!" aku Sera mengusap wajahnya. Dika tidur dengan posisi miring menghadap wanitanya. Membiarkan tangann
"Kenapa kamu dandan seperti itu?" Dika melihat Sera memakai make up yang lebih dari biasa. "Kenapa memangnya? Make up seperti ini adalah wajar, Mas. Aku tak memakai terlalu menor juga," sahut Sera. Dika menghela napas. Dia meraih jas seraya memakainya. "Pakaikan aku dasi," suruh Dika. "Iya, sebentar, Mas," Sera sedang memakai lipbalm. Setelah itu, tersenyum ke cermin. Merasa cantik dan bagus. Perempuan itu berjalan menghampiri sang suami seraya memakaikan dasi. "Kenapa kamu tak juga pandai memasang sendiri?" ucap Sera. Padahal, Dika bisa saja memakai sendiri walaupun tak sebagus Sera. Hanya saja, jika dipakaikan oleh sang istri langsung dia bisa berlama-lama menatap wajahnya dari dekat. "Cantik," ucap san CEO dengan suara pelan. Pujian itu keluar begitu saja. Sudut bibir kirinya terangkat. Sera yang sedang fokus dengan dasi itu mengangkat wajahnya. "Apa Mas? Kamu mengatakan sesuatu?" tanya Sera. Samar-samar dia mendengarkan
"LEON!!""LEON BUKA PINTUNYA!""LEONNNN...""Aku tahu kamu ada di dalam, buka pintunya! Aku mohon padamu dengarkan penjelasan aku sebentar!" Perempuan itu sangat bekerja keras. Berusaha semaksimal mungkin agar Leonnya mau datang menemui dirinya dan mendengarkan dia bercerita. "Aarrgh! Leon, buka pintunya!"Sudah mengetuk pintu dengan keras. Memencet bel hampir tak ada jeda. Lelaki itu sama sekali tak mau menemui perempuan yang suaranya hampir serak. Lalu, dia pun mendapatkan ponselnya berdenting sekali. Notifikasi masuk. Dia dengan cepat mengecek ponsel. Dan saat dibaca, bukannya senang dengan isi pesannya. Dia malah semakin emosi. Leon Pergi kau! Kau hanya mengganggu ketenanganku. Tak ada untungnya kau berteriak seperti orang gila di rumahku. Pergi!"Sialan. Leon buka pintunya!! Bukaaaaa...""Ayok keluar! Tuan Leon tak senang rumahnya didatangkan oleh pengkhianat," seorang b
Sers kelelahan. Dika membuatnya kehabisan oksigen. Lelaki itu begitu rakus mencium bibir Sera. Begitu terluhat mendambakan sesuatu dan meminta lebih pada sang istri. CEO itu menghentikan aktivitasnya lantaran merasa kasihan dengan istrinya yang kewalahan dengan dirinya. Dia mundur dan duduk. "Maaf, Mas," ucap Sera. "Tak apa, kenapa harus minta maaf?" ucap Dika. Lelaki itu merapikan pakaiannya yang sedikit kusut. "Aku tahu kau lelah mengimbangiku," katanya. Ini salahnya, Dika memintanya setelah pulang kerja sekali."Aku lapar, Mas," aku Sera. Karena memang dia belum makan. Dan apa itu penyebabnya dia tak bertenaga?"Kalau begitu kita harus makan malam sekarang," Dika bangkit seraya menyodorkan tangan. Sera menerimanya seraya bangkit dari atas kasur king size tersebut. Setelah Sera berdiri di dekatnya, Dika memberikan bisikan yang membuat Sera takut serta merinding. "Setelah kamu bertenaga kita lanjutkan lagi permainan sampai puas." Dia tersenyum menyeringai pul
Seminggu berlalu. Sang suami makin sayang juga posesif padanya. Terkadang Sera merasa tertekan, tapi yang dilakukan Dika adalah untuk dirinya juga. Dika sampai menyewa orang untuk mengantar jemput dirinya. Sera harus mensyukuri hal itu. Suaminya rela mendatangkan sopir pribadi. Tak perlu repot soal mobil. Dika bisa dengan mudah menyiapkan itu untuk istrinya. Sera juga harus membalas kebaikan yang Dika berikan. Dan dia ingin memberikan yang terbaik juga untuk CEO yang sedang tertidur di pangkuannya. Sambil mengusap lembut rambut Dika, Sera berkata, "terima kasih untuk segalanya, Mas Dika. Kamu benar-benar pria idaman. Sekarang aku tak harus menyesal mencintai kamu." Sera tersenyum tulus. Dia memandangi wajah damai dan tenang pria itu. Wajah yang hampir tak terlihat ada kejelekan. Dika memiringkan tubuhnya. Lelaki itu menyilangkan tangan. "Apa kamu selalu tampan dalam kondisi apapun, Mas?" Sera bermonolog. Tak munafik bahwa d
"Hahaha."Biarkan Sera tertawa puas. Wanita itu sedang merasa amat bahagia. Tak ada lagi yang harus ia khawatirkan. Tak perlu lagi memikirkan tentang perceraian. Karena, hal itu sudah tidak ada lagi. Lia tak akan memberinya ancaman. Dan barusan dia tertawa lantaran tengah menonton drama Korea di laptop. Di usianya yang beranjak 26 tahun dia masih menyukai menonton Drakor. Rasanya sulit untuk tidak menonton drama. Terlebih Sera memimpikan juga bisa jalan-jalan ke negeri gingseng tersebut. Tak lama ponselnya berdering. Sera meraih ponsel di atas nakas. Ternyata Dika yang menelepon. Berhentikan film yang sedang ditonton, Sera mengangkat panggilan sang suami. "Assalamualaikum, Mas? Kenapa menghubungiku di jam kerja seperti ini?"Ya, itu masih jam 10 pagi. Dika seharusnya sedang bekerja. Tetapi, lelaki itu tengah santai di ruang kerjanya. "Aku merindukanmu, makanya aku menelepon. Aku juga sedang tak mengerjakan sesuatu. Aku bisa m
Sambil menangis Sera mengemas barang-barangnya ke dalam koper dengan cepat. Dia tak berpikir untuk begitu menyusun rapi. Dia ingin pergi dari rumah. Baginya, dia tak bisa mentolerir lagi kesalahan Dika yang sudah begitu fatal.Ini sekitar jam 4 pagi. Sera melirik suaminya yang berada di ranjang sangat pulas. Begitu tenggelam dalam mimpi. Dengan raut wajah sedih, tak bohong kalau dia tidak bisa meninggalkan pria itu. Namun, ini sebuah hal yang harus dia lakukan. Sera menaruh selembar kertas yang terlipat di atas meja. "Maafkan aku, Mas," cicit Sera. Memperhatikan wajah Dika sesaat. Menghela napas pelan, Sera harus tetap tegar. Yang dilakukannya demi kebaikan semuanya. Menarik koper, Sera pun keluar dari kamar. Dia segera meninggalkan rumah tersebut. Dan pergi berangkat mengenakan taksi. Dia tak tahu hendak pergi ke mana. Dia belum menemukan tempat tujuan. Pulang ke pesantren menemui orang tuanya? Sera rasa dia belum siap. Mengadu pada mertuanya? Tida
Dika sudah seperti orang gila. Dua hari menuju tiga hari dia mencari-cari Sera tak juga menemukan keberadaannya. Dia baru berpikir untuk melihat cctv sejak kepergian Sera. Terlalu kalut dengan pikirannya karena Sera menghilang pergi tiba-tiba. Lupa ada cctv yang bisa dijadikan petunjuk olehnya.Ini membuat pria itu menggila. Terlebih lagi beberapa hari lalu dia telah membaca surat singkat yang ditulis istrinya yang berisikan seperti ini.Dear Mas Dika,Assalamualaikum, Mas. Aku sengaja menulis surat ini untukmu. Aku ingin berterima kasih karena rasa peduli kamu, kamu berusaha melindungiku, kamu mau aku bahagia. Aku berterima kasih sekali, Mas. Juga, terima kasih karena ungkapan cintamu ke aku. Terlepas itu tulus atau tidak. Aku tetap bersyukur dan beruntung. Mas Dika, bahagialah atas hidupmu. Begitu juga aku, aku harus bahagia atas hidupku. Jangan mencoba memaksakan perasaanmu, jika memang kamu tak ada rasa. Atau melakukan kar
5 tahun kemudian."Kara!" Seorang pria dengan gagahnya menghampiri sang putri. Dan berjongkok seraya memeluknya. "Assalamualaikum Papa!""Waalaikumsalam, bagaimana sekolahnya?""Kara dapat bintang lima dari guru!" ungkap bocah kecil bernama Kara itu. "Wah, keren anak Papa! Kamu memang cerdas seperti mama kamu!""Papa juga cerdas! Papa punya hotel besar!"Mendengar celotehan sang anak, Dika pun terkekeh. "Papa, ayok pulang. Kara mau ketemu Mama!" ajaknya. Dika mengangguk seraya bangkit. Dia menggandeng putri kandungnya untuk masuk ke dalam mobil. Tak terasa, waktu lima tahun begitu cepat. Dika sudah menjadi pria sejati yang begitu baik menjadi suami untuk Sera. Dika amat merasa bersyukur karena diberikan istri soleha seperti Sera."Kara mau makan es krim, Papa." "Mau es krim?" ulang Dika. Gadis kecil berhijab itu mengangguk. "Oke, tapi kita pulang dulu jemput mama, ya?" "Iya, Papa, horeee Kara makan es krim sama mama dan papa!" Kara sangat menggemaskan. Dia juga memiliki pipi yang
"Se, ini apa?" Dika melotot sembari memegangi benda kecil, tipis bergaris dua. Lantas pria itu menoleh ke arah sang istri. "Sera... ini serius? Ka... kamu hamil?" Dika gugup. Sera mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Mas. Aku hamil. Aku hamil anak kamu, Mas. Aku bisa hamil. Kita punya buah hati sekarang!" tutur Sera antusias. Dika pun mendekap tubuh Sera dengan erat sembari mendaratkan kecupan di kening wanitanya. "Sera... terima kasih! Terima kasih banyak. Aku sangat bersyukur dengan hadiah ini. Aku bahagia telah memiliki wanita hebat seperti kamu." "Aku... aku juga, Mas. Aku bahagia karena telah dipertemukan dengan lelaki sesabar kamu. Yang begitu menyayangi diriku tanpa berpikir meninggalkan aku pergi di saat kamu tahu kekuranganku. Terima kasih, Mas...," kata Sera. Untuk sekejap saja, pelukan mereka yang hangat dan nyata dengan rasa syukur yang tiada henti. Jangan biarkan lagi dua insan saling mencinta itu berpisah. Diam-diam, Seda terisak dalam pelukan sang suami. Dia begitu
Siapa yang tidak senang kalau suaminya yang kerja di luar kota akan kembali pulang ke rumah? Dengan dress panjang berwarna peach, wanita yang duduk di depan meja rias itu tak henti mengukir senyum. Ditambah lagi, dia memiliki kejutan untuk sang suami. Kejutan besar yang akan membuat Dika bahagia. Sera mengusap-usap perutnya dengan lembut dan perlahan. Tak menyangka, penantian yang selama ini dia nantikan akhirnya terwujud. Karena, sesungguhnya Tuhan Maha Baik. Sera tidak tahu bagaimana lagi mengungkap rasa syukurnya. Tuhan selalu punya cara untuk membahagiakan hambanya. Dari ujian yang dialaminya bertubi-tubi, Sera dihadiahi keinginannya untuk memiliki buah hati. Ia tak sabar memberikan kabar gembira itu pada sang suami. Sera sangat menantikan reaksi Dika. "Mas Dika, aku hamil anakmu, Mas. Aku bisa hamil juga. Akhirnya, Tuhan mewujudkan keinginanku. Aku tidak sungguh mandul.""Ya Allah, aku sungguh berterima kasih atas karunia yang Kau berikan dan titipkan. Aku akan menjaga buah ha
Hari-hari berlalu. Sebagai wanita yang ikut program hamil Sera harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani niatnya demi satu tujuan untuk segera bisa memiliki keturunan. Dia tak pergi seorang diri. Melainkan selalu ada Dika yang setia menemani. Di rumah sakit, tak hanya Sera yang diperiksa melainkan suaminya juga. Kondisi Sera dan Dika di sana semuanya dicek. Perkara tidak hamil ini tidak melulu berasal dari pihak wanita saja, karena bisa jadi suami jadi sumbernya. Untuk program kali ini mereka benar-benar begitu serius menjalani. Sampai pada akhirnya, ditemukan polip yang cukup besar dan banyak di rahim Sera. Sera yang memang didukung baik oleh Dika, tak bisa untuk berhenti program tersebut. Dokter mengambil tindakan untuk membersihkan polip yang ada di rahim Sera. Sempat takut, namun Sera harus semangat. Terlebih Dika juga tak pernah lelah memberikannya kekuatan. Setelah pembersihkan polip itu berhasil, minggu demi minggu berlalu, Sera berkeinginan untuk berangkat Umroh. Wan
“Mas, terima kasih, ya, untuk segala hal yang kamu lakukan padaku. Kebaikanmu semoga Tuhan yang membalas,” tulus Sera. Malam-malam membicarakan hal random dan hal serius adalah hal yang berharga dilalukan Sera dan Dika. Mereka tak ingin melewatkan momen itu sebelum mereka tenggelam dalam mimpi mereka masing-masing. “Hm, jangan pernah merasa kesepian, ya. Aku tahu yang kita usahakan belum ada hasilnya, tapi aku akan selalu mencari cara agar kamu tetap selalu bahagia,” ujar Dika. “Aku sudah bahagia, aku tidak kesepian lagi karena sudah ada kamu, aku punya kamu di hidupku,” sahut Sera. “Tetap saja. Aku tahu kamu masih merasa sedih di belakang aku. Menyembunyikan luka sendiri. Memendam masalah yang kamu punya. Padahal aku ingin kamu selalu libatkan aku mau sedih atau senang,” ungkap Dika. “Karena aku suami kamu, baik sekarang atau nanti.”“Dulu sekali, aku selalu berharap kalau kamu mau mengakui dirimu sebagai suami aku, Mas. Aku selalu b
Bucket Cokelat!Baru saja Sera keluar dari kamar mandi. Wanita itu terkejut kala di meja samping ranjangnya ada benda itu. Bukankah Dika sudah pergi berangkat ke kantor? Belum lama Sera mencium tangan suaminya. Siapa yang menaruhnya? Apa Bi Niken masuk ke kamar?Meraih bucket tersebut senyum wanita dengan hijab berwarna hijau itu mengembang di wajah. Siapa wanita yang tidak senang bila diberi cokelat? Sera lantas meraih ponsel dan hendak memotretnya. Dan bertepatan itu notifikasi dari sang suami masuk. Sera membuka pesan tersebut lebih dahulu. Tidak jadi mengambil foto cokelat itu. Mas DikaSe, sudah lihat kirimanku?Apa kamu suka? Benar sekali itu dari suaminya. Sambil mengetik, senyum wanita itu tak pernah lepas. Dia mengirim beberapa pesan pada suaminya.Aku gak tahu kapan kamu siapkan bucket cokelat ini, Mas?Tapi, terima kasih banyak, ya.Aku tentu suka.Mas DikaSyukurlah, aku balik kerja ya. Boleh kirim foto dengan cokelatnya? Aku ingin melihat wajahmu biar semangat bekerja.
Sera menangis tersedu-sedu. Dia berulang kali mengusap air matanya yang terjatuh lagi dan lagi. "Semua baik-baik saja, Sera. Kamu tidak usah takut lagi," ujar Nindy memberikan pelukan hangat untuk teman sekaligus pemilik butik itu. "Tetap saja aku takut, Nin. Mantan suamiku selalu mengganggu aku dan juga Mas Dika," tutur Sera. "Tolong jangan beri tahu Mas Dika tentang ini, Nin," pinta Sera. "Kenapa?" Nindy bingung. "Aku takut dia semakin khawatir. Dia bisa saja melakukan sesuatu di luar nalar kalau tahu tentang kejadian tadi," ucap Sera dengan mata berlinang."Tapi, Sera, aku rasa dia juga perlu tahu. Kamu harus memberi tahu karena dia bisa melindungi kamu nantinya," ujar Nindy. "Dia pasti sangat khawatir istrinya kenapa-kenapa," sambung Nindy."Nindy, aku mohon...," Sera mempelihatkan wajah melasnya. Nindy menghela napas, "baiklah jika itu mau kamu. Aku akan rahasiakan kejadian ini. Aku harap pria itu tak
"Jadi, kau pergi dengan seorang dokter, Raisa?!" tanya Renal dengan nada tinggi. Seperti biasa, keduanya tak pernah berkomunikasi dengan baik. "Kenapa memangnya?" dengan wajah ketus, kedua tangan menyilang di depan dada, Raisa berbicara kepada sang suami. "Kenapa kau marah dengan itu? Bagaimana dengan kau sendiri yang pergi diam-diam tanpa sepengetahuanku?" ucap Raisa. "Jangan belaga sok suci, Mas, haha," wanita itu terkekeh di ujung kalimat. "Jangan kamu pikir aku tidak tahu kelakuanmu di belakang seperti apa," sambungnya. "Apa maksudmu, Raisa?" tanya Renal. Entah kenapa Renal merasa takut akan sesuatu. "Seharusnya kamu tetap bisa bersikap baik kepadaku. Dan jangan membuatku marah," Raisa tersenyum miring. Hal itu membuat Renal benar-benar takut."RAISA?" panggil Renal dengan nada suara yang keras. Raisa tak menggubris ucapan sang suami. Dia tetap pergi ke kamar.Dia menggumam, "kau pikir aku tidak tahu k
"Mas, Mas," Sera memanggil nama suaminya berulang. Keluar dari mobil lelaki itu berjalan lebih dahulu masuk ke dalam rumah. "Ya Tuhan, Mas Dika tunggu aku," pinta Sera. Sera menghela napas, andai tak bertemu dengan Renal, mungkin Dika akan baik-baik saja. Wajah lelaki itu juga berubah ketus dan menjadi dingin usai bertemu mantan suami Sera. "Mas," panggil Sera lagi ketika sudah berada di dalam kamar. "Kenapa kamu jadi cuek sama aku?" ucap Sera. "Apa aku ada salah? Mas aku juga kan tidak tahu kalau ada pria itu di restoran," keluh Sera. "Apa kamu mengajakku ke restoran itu untuk bernostalgia tentang masa lalumu, Se?" tanya Dika. "Ya Tuhan. Apa yang kamu pikirkan? Kamu berpikir aku seperti itu?" ucap Sera. "Mas, tak pernah terlintas sama sekali dalam diriku untuk mengingatkanmu tentang masa laluku. Aku mengajakmu ke sana murni untuk makan bersama!" sanggah Sera. "Tolong jangan marah sama aku. Katanya kita