Arrrrghhh parah! parah bgt tuh cowok! thx ya dah mmpirrrrrr.... like, komen, share yuk. lv u
“Astagfirullah, Mas!” sebut Sera. “Kenapa kau berbicara seperti itu?” beo Sera. “Tidak sama sekali, Mas!” aku Sera. Untuk apa ongkos pulang? Dia masih bisa memakai uang pribadinya. “Lalu apa?” tanya Dika. Lelaki itu menutup berkas dengan keras sampai terdengar bunyi. Berdiri, lalu menatap Sera dengan sinis. “Pergi kau dari ruangan ini!” usir Dika. “Iya, aku akan pergi,” ujar Sera. Dia menundukkan kepalanya. Dika sudah tak mengharapkan kehadirannya, tugasnya mengantarkan berkas pun sudah selesai. Jadi, tak ada yang perlu Sera tunggu. Terlebih lagi kata terima kasih yang pasti tidak akan Dika ucapkan. Dia melangkahkan kaki untuk pergi dari ruangan tersebut. Sera membalikkan badan kembali, mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Lalu, berjalan menuju meja Dika. Kartu debit itu dia taruh di atas meja, “aku tidak membutuhkannya.” “Apa maksudmu mengembalikannya?” tanya Dika. “Aku pamit,” lirih Sera. Sera keluar dari dalam ruangan dengan perasaan tersakiti. Kenapa Dika sama sekali tak
Sudah hampir gelap, Sera tak juga dapat taksi. Sialnya lagi ponselnya mati. Namun, ia tetap bersabar menunggu kendaraan yang lewat. Dia tidak tahu kalau area di sana jarang dilalui kendaraan umum. Sera duduk di halte seorang diri. Ia melihat ke kiri serta kanan, tak ada kendaraan yang lewat. Seharusnya dia tadi memesan taksi sebelumnya. Sera mengaku kalau dia melakukan kebodohan. Dan dia akan pulang telat malam ini. Sementara itu, seseorang yang tengah duduk di meja kerjanya itu tengah memijat pelipisnya. Dia membuka kacamata yang dia kenakan dan menaruhnya di atas meja. Saat ini pria itu tengah lembur. Tidak, lelaki itu tidak sedang di kantor. Tetapi, sudah pulang ke rumah. Namun, melanjutkan pekerjaannya di rumah. Di ruang kerja di mana dinding itu dilapisi cat berwarna abu-abu. Terdapat lemari beserta deretan buku-buku berjejer. Tempat ruang kerja yang nyaman itu didekorasi langsung oleh Dika sendiri. Dia ternyata termasuk pria yang rapi dan memiliki gaya tersendiri. Lelaki itu m
Karena kejadian tangisan semalam, pelukan yang terjadi begitu saja secara naluriah, membuat seorang pria yang berdiri di depan cermin yang sedang memakai dasi itu tak fokus. Bagaikan mimpi, namun hal itu nyata dia dan perempuan itu alami. Ada yang aneh dengan hatinya. Entah kenapa dia merasakan ikut merasakan tenggelam dengan tangisan perempuan tersebut.Menggeleng, Dika kembali memakai dasi tersebut dengan cepat. Dia menarik tas berisi dokumen yang berada di atas ranjang. Keluar dari kamar seraya mengunci pintu, Dika segera menuruni anak tangga. Dan ekor matanya menatap di meja makan terdapat banyak makanan. Menghampiri, Dika menjelajahi pemandangannya. Mencari keberadaan perempuan itu. Diliriknya jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul setengah 7 pagi. Ke mana perginya Sera? Pagi hari sudah tidak ada.Dika duduk, ia meneguk saliva. Tidak ada yang salah jika dia makan masakan tersebut. Lalu, Dika mendapati kertas kecil berisi note.Maaf dan terima kasih untuk semalam. – Sera.Ken
“Ambil!” tegas Dika, dia menyodorkan kartu debitnya. Masih saja berkutat di sana. Tidak selesai masalah kartu debit saja. “Untuk apa, Mas?” tanya Sera. “Gunakan apa saja yang kamu mau, aku tidak ingin dicap tidak memberi nafkah,” kata Dika seraya memasukkan dompet miliknya. Kartu itu sudah dipegang Sera. “Jika kau tak mau berhutang, berikan aku makan siang di kantor,” ujar Dika seraya berjalan pergi menuju keluar rumah. “Kau akan memakan masakanku, Mas?” tanya Sera membalikkan badan. Dika berbicara memunggungi dirinya. “Tak usah banyak tanya, aku sudah telat,” jawabnya. Sera tersenyum tipis. Apa itu artinya Sera sudah mendapatkan celah? Dan apa Dika sudah mulai menyukai masakan Sera? Dika masuk ke dalam mobil, lelaki itu segera pergi menuju kantor. Di depan rumah seseorang memperhatikan kepergiannya. Ya, itu Sera. Sera tak bohong bahwa ada perasaan senang dalam dirinya. Usai suaminya berangkat, Sera masuk ke dalam rumah. Sera mendapatkan panggilan dari orang yang mengurus masalah pe
Sesuai janji, sebelum jam 12 siang, Sera sudah tiba di kantor Dika untuk mengantarkan makan siang. Ini mungkin adalah hal yang baik untuk rumah tangganya ke depan. Apapun yang suaminya pinta Sera akan lakukan selagi itu untuk kebaikan. Dan ini tak pernah terpikir bahkan terjadi. Sera sudah tiba di depan ruang Dika. Mengetuk pintu, dia tersenyum tipis, rasanya begitu deg-degkan. Padahal dia bukan mau presentasi. Sera menunggu lantaran tak ada sahutan dari dalam. Dia melirik makanan yang ia pegang di tangan kanan. Menoleh ke arah kanan dan kiri yang terasa sepi. Mengetuk pintu lagi, Sera tak mendapatkan jawaban. Apa Dika masih sibuk? Apa dia tidak ada di ruangannya? Bukankah Dika sendiri yang meminta diantar makan siang? Lantas, di mana dia? Ah, Sera lupa menanyakan pada staff di depan. Seharusnya dia bertanya lebih dahulu. Tidak langsung menuju ruang Dika begitu saja. Bisa saja CEO itu sedang berada di luar kantor bertemu dengan klien. “Ya, tapi kau hutang cerita padaku,” ucap seseor
Setibanya di pondok, Sera menjadi bahan perhatian beberapa pegawai panti yang melihat pasangan itu hadir. Sementara itu, Sera jadi sibuk melihat dan memperhatikan dirinya yang terbungkus dengan Jas Dika yang meski kebesaran di tubuhnya tetap terlihat cocok. Bukan sekedar cocok, Sera juga merasa nyaman. Bolehkan dia jujur bahwa saat ini hatinya tidak baik-baik saja lantaran dia terlalu senang? Entah lagi-lagi lelaki itu bersikap manis di depan orang lain karena sandiwara atau tidak, namun genggaman tangan Dika yang tiba-tiba membuat Sera semakin terasa dia butuh banyak pasokan oksigen. Dia seperti terkena serangan jantung. Seorang pria dengan jubah putih, memakai kopiah menghampiri Dika serta Sera. Menyapa dengan santun, orang itu membawa Sera beserta Dika menuju keluarga besar. Kali ini detak jantungnya yang berpacu cepat itu bukan karena disebabkan oleh Dika, tapi Sera itu karena takut akan keadaan sang papa, dia juga ingin menangis seketika. Padahal dia belum melihat wujudnya. Dika
Hap! Dika menggenggam tangan Sera yang tengah mengobati luka di dahinya. Terjadi keheningan yang cukup lama di antara keduanya. Senyap, manik mata mereka saling beradu. Debaran jantung Sera berdetak tak karuan. Bagaimana mungkin dia bersikap biasa saja ketika yang ditatap di depannya adalah Dika Purnama, CEO HOTEL CITRA QUEEN. Pria itu sangat tampan dua kali lipat saat dilihat dari dekat. Tidak, kenapa Sera menjadi gila seperti ini? Sadar, Sera menarik tangannya dari Dika. “Kenapa kau mau mengobati lukaku?” tanya Dika. Keduanya saling berjarak, duduk di kursi dengan normal. Sera sesaat menoleh ke jendela kaca mobil. “Apa yang salah jika aku mengobati lukamu?” tutur Sera. “Aku sudah jahat denganmu,” sadar Dika mengatakan hal itu. Sera bergeming. Dia menaruh sisa plester di dashboard. “Kita harus ke pondok sekarang, lukamu juga sudah selesai diobati,” ujar Sera. Dia mengalihkan pembicaraan. Dika akhirnya menyalakan mesin mobil kembali. Sera menunduk. Dia tidak pernah salah untuk b
Faktanya, Dika memang sedang berada di pondok pesantren bersama Sera. Tapi, apa itu juga artinya Dika lebih memilih Sera daripada Lia? Itu tidak menjamin kan? Selesai. Pembicaraannya dengan Lia benar-benar selesai. Dan Dika tak membuka suara atas pertanyaan Lia karena perempuan itu sudah dimakan amarah. Sambungan itu dimatikan oleh pihak wanita. Salah Dika yang tidak dapat menepati janji. Padahal sudah jelas dia yang mengajak untuk makan malam. Tapi, justru sekarang dia berada di pondok pesantren. Hm, Dika melangkahkan kaki. Sudah terlalu lama dia berdiri di sana. Dan sudah terlalu lama juga Sidik dan keluarganya menunggu. Kepala Dika rasanya ingin pecah. Lia marah padanya. Sambil berjalan dengan wajahnya yang ketus dan datar, lelaki itu tak berpikir bahwa Sera belum kembali ke rumah. Dia mana tahu kalau Sera tengah menangis akan sikapnya. Apakah Dika terlihat tertarik untuk peduli? Untuk mengatakan terima kasih dengan tulus saja dia kesulitan. ***"Cih, menyebalkan!" wanita itu men
5 tahun kemudian."Kara!" Seorang pria dengan gagahnya menghampiri sang putri. Dan berjongkok seraya memeluknya. "Assalamualaikum Papa!""Waalaikumsalam, bagaimana sekolahnya?""Kara dapat bintang lima dari guru!" ungkap bocah kecil bernama Kara itu. "Wah, keren anak Papa! Kamu memang cerdas seperti mama kamu!""Papa juga cerdas! Papa punya hotel besar!"Mendengar celotehan sang anak, Dika pun terkekeh. "Papa, ayok pulang. Kara mau ketemu Mama!" ajaknya. Dika mengangguk seraya bangkit. Dia menggandeng putri kandungnya untuk masuk ke dalam mobil. Tak terasa, waktu lima tahun begitu cepat. Dika sudah menjadi pria sejati yang begitu baik menjadi suami untuk Sera. Dika amat merasa bersyukur karena diberikan istri soleha seperti Sera."Kara mau makan es krim, Papa." "Mau es krim?" ulang Dika. Gadis kecil berhijab itu mengangguk. "Oke, tapi kita pulang dulu jemput mama, ya?" "Iya, Papa, horeee Kara makan es krim sama mama dan papa!" Kara sangat menggemaskan. Dia juga memiliki pipi yang
"Se, ini apa?" Dika melotot sembari memegangi benda kecil, tipis bergaris dua. Lantas pria itu menoleh ke arah sang istri. "Sera... ini serius? Ka... kamu hamil?" Dika gugup. Sera mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Mas. Aku hamil. Aku hamil anak kamu, Mas. Aku bisa hamil. Kita punya buah hati sekarang!" tutur Sera antusias. Dika pun mendekap tubuh Sera dengan erat sembari mendaratkan kecupan di kening wanitanya. "Sera... terima kasih! Terima kasih banyak. Aku sangat bersyukur dengan hadiah ini. Aku bahagia telah memiliki wanita hebat seperti kamu." "Aku... aku juga, Mas. Aku bahagia karena telah dipertemukan dengan lelaki sesabar kamu. Yang begitu menyayangi diriku tanpa berpikir meninggalkan aku pergi di saat kamu tahu kekuranganku. Terima kasih, Mas...," kata Sera. Untuk sekejap saja, pelukan mereka yang hangat dan nyata dengan rasa syukur yang tiada henti. Jangan biarkan lagi dua insan saling mencinta itu berpisah. Diam-diam, Seda terisak dalam pelukan sang suami. Dia begitu
Siapa yang tidak senang kalau suaminya yang kerja di luar kota akan kembali pulang ke rumah? Dengan dress panjang berwarna peach, wanita yang duduk di depan meja rias itu tak henti mengukir senyum. Ditambah lagi, dia memiliki kejutan untuk sang suami. Kejutan besar yang akan membuat Dika bahagia. Sera mengusap-usap perutnya dengan lembut dan perlahan. Tak menyangka, penantian yang selama ini dia nantikan akhirnya terwujud. Karena, sesungguhnya Tuhan Maha Baik. Sera tidak tahu bagaimana lagi mengungkap rasa syukurnya. Tuhan selalu punya cara untuk membahagiakan hambanya. Dari ujian yang dialaminya bertubi-tubi, Sera dihadiahi keinginannya untuk memiliki buah hati. Ia tak sabar memberikan kabar gembira itu pada sang suami. Sera sangat menantikan reaksi Dika. "Mas Dika, aku hamil anakmu, Mas. Aku bisa hamil juga. Akhirnya, Tuhan mewujudkan keinginanku. Aku tidak sungguh mandul.""Ya Allah, aku sungguh berterima kasih atas karunia yang Kau berikan dan titipkan. Aku akan menjaga buah ha
Hari-hari berlalu. Sebagai wanita yang ikut program hamil Sera harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani niatnya demi satu tujuan untuk segera bisa memiliki keturunan. Dia tak pergi seorang diri. Melainkan selalu ada Dika yang setia menemani. Di rumah sakit, tak hanya Sera yang diperiksa melainkan suaminya juga. Kondisi Sera dan Dika di sana semuanya dicek. Perkara tidak hamil ini tidak melulu berasal dari pihak wanita saja, karena bisa jadi suami jadi sumbernya. Untuk program kali ini mereka benar-benar begitu serius menjalani. Sampai pada akhirnya, ditemukan polip yang cukup besar dan banyak di rahim Sera. Sera yang memang didukung baik oleh Dika, tak bisa untuk berhenti program tersebut. Dokter mengambil tindakan untuk membersihkan polip yang ada di rahim Sera. Sempat takut, namun Sera harus semangat. Terlebih Dika juga tak pernah lelah memberikannya kekuatan. Setelah pembersihkan polip itu berhasil, minggu demi minggu berlalu, Sera berkeinginan untuk berangkat Umroh. Wan
“Mas, terima kasih, ya, untuk segala hal yang kamu lakukan padaku. Kebaikanmu semoga Tuhan yang membalas,” tulus Sera. Malam-malam membicarakan hal random dan hal serius adalah hal yang berharga dilalukan Sera dan Dika. Mereka tak ingin melewatkan momen itu sebelum mereka tenggelam dalam mimpi mereka masing-masing. “Hm, jangan pernah merasa kesepian, ya. Aku tahu yang kita usahakan belum ada hasilnya, tapi aku akan selalu mencari cara agar kamu tetap selalu bahagia,” ujar Dika. “Aku sudah bahagia, aku tidak kesepian lagi karena sudah ada kamu, aku punya kamu di hidupku,” sahut Sera. “Tetap saja. Aku tahu kamu masih merasa sedih di belakang aku. Menyembunyikan luka sendiri. Memendam masalah yang kamu punya. Padahal aku ingin kamu selalu libatkan aku mau sedih atau senang,” ungkap Dika. “Karena aku suami kamu, baik sekarang atau nanti.”“Dulu sekali, aku selalu berharap kalau kamu mau mengakui dirimu sebagai suami aku, Mas. Aku selalu b
Bucket Cokelat!Baru saja Sera keluar dari kamar mandi. Wanita itu terkejut kala di meja samping ranjangnya ada benda itu. Bukankah Dika sudah pergi berangkat ke kantor? Belum lama Sera mencium tangan suaminya. Siapa yang menaruhnya? Apa Bi Niken masuk ke kamar?Meraih bucket tersebut senyum wanita dengan hijab berwarna hijau itu mengembang di wajah. Siapa wanita yang tidak senang bila diberi cokelat? Sera lantas meraih ponsel dan hendak memotretnya. Dan bertepatan itu notifikasi dari sang suami masuk. Sera membuka pesan tersebut lebih dahulu. Tidak jadi mengambil foto cokelat itu. Mas DikaSe, sudah lihat kirimanku?Apa kamu suka? Benar sekali itu dari suaminya. Sambil mengetik, senyum wanita itu tak pernah lepas. Dia mengirim beberapa pesan pada suaminya.Aku gak tahu kapan kamu siapkan bucket cokelat ini, Mas?Tapi, terima kasih banyak, ya.Aku tentu suka.Mas DikaSyukurlah, aku balik kerja ya. Boleh kirim foto dengan cokelatnya? Aku ingin melihat wajahmu biar semangat bekerja.
Sera menangis tersedu-sedu. Dia berulang kali mengusap air matanya yang terjatuh lagi dan lagi. "Semua baik-baik saja, Sera. Kamu tidak usah takut lagi," ujar Nindy memberikan pelukan hangat untuk teman sekaligus pemilik butik itu. "Tetap saja aku takut, Nin. Mantan suamiku selalu mengganggu aku dan juga Mas Dika," tutur Sera. "Tolong jangan beri tahu Mas Dika tentang ini, Nin," pinta Sera. "Kenapa?" Nindy bingung. "Aku takut dia semakin khawatir. Dia bisa saja melakukan sesuatu di luar nalar kalau tahu tentang kejadian tadi," ucap Sera dengan mata berlinang."Tapi, Sera, aku rasa dia juga perlu tahu. Kamu harus memberi tahu karena dia bisa melindungi kamu nantinya," ujar Nindy. "Dia pasti sangat khawatir istrinya kenapa-kenapa," sambung Nindy."Nindy, aku mohon...," Sera mempelihatkan wajah melasnya. Nindy menghela napas, "baiklah jika itu mau kamu. Aku akan rahasiakan kejadian ini. Aku harap pria itu tak
"Jadi, kau pergi dengan seorang dokter, Raisa?!" tanya Renal dengan nada tinggi. Seperti biasa, keduanya tak pernah berkomunikasi dengan baik. "Kenapa memangnya?" dengan wajah ketus, kedua tangan menyilang di depan dada, Raisa berbicara kepada sang suami. "Kenapa kau marah dengan itu? Bagaimana dengan kau sendiri yang pergi diam-diam tanpa sepengetahuanku?" ucap Raisa. "Jangan belaga sok suci, Mas, haha," wanita itu terkekeh di ujung kalimat. "Jangan kamu pikir aku tidak tahu kelakuanmu di belakang seperti apa," sambungnya. "Apa maksudmu, Raisa?" tanya Renal. Entah kenapa Renal merasa takut akan sesuatu. "Seharusnya kamu tetap bisa bersikap baik kepadaku. Dan jangan membuatku marah," Raisa tersenyum miring. Hal itu membuat Renal benar-benar takut."RAISA?" panggil Renal dengan nada suara yang keras. Raisa tak menggubris ucapan sang suami. Dia tetap pergi ke kamar.Dia menggumam, "kau pikir aku tidak tahu k
"Mas, Mas," Sera memanggil nama suaminya berulang. Keluar dari mobil lelaki itu berjalan lebih dahulu masuk ke dalam rumah. "Ya Tuhan, Mas Dika tunggu aku," pinta Sera. Sera menghela napas, andai tak bertemu dengan Renal, mungkin Dika akan baik-baik saja. Wajah lelaki itu juga berubah ketus dan menjadi dingin usai bertemu mantan suami Sera. "Mas," panggil Sera lagi ketika sudah berada di dalam kamar. "Kenapa kamu jadi cuek sama aku?" ucap Sera. "Apa aku ada salah? Mas aku juga kan tidak tahu kalau ada pria itu di restoran," keluh Sera. "Apa kamu mengajakku ke restoran itu untuk bernostalgia tentang masa lalumu, Se?" tanya Dika. "Ya Tuhan. Apa yang kamu pikirkan? Kamu berpikir aku seperti itu?" ucap Sera. "Mas, tak pernah terlintas sama sekali dalam diriku untuk mengingatkanmu tentang masa laluku. Aku mengajakmu ke sana murni untuk makan bersama!" sanggah Sera. "Tolong jangan marah sama aku. Katanya kita