nyeseg banget!! Dika cuma buat caper ajah di depan mamanya bawa Sera dandan ke salon. Parah banget nih suami satu. Jangan lupa share ya! komen n like, thx
"Assalamualaikum semua." Pintu terbuka lebar. Bukan, itu bukan suara Sera. Melainkan suara Dika. Keduanya sampai dengan senyum yang terbilang cerah. Tak hanya itu, Karina dan Deri yang menyambut kedatangan mereka pun turut tersenyum bahagia saat melihat keduanya muncul saling berpegangan tangan. Mashaallah, itu pemandangan yang luar biasa indah bukan? Namun, di balik itu semua Sera tidak benar-benar merasakan keindahan tersebut. Sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah, saat turun dari mobil, Dika bahkan tak ada niat membuka pintu untuk Sera. Saat turun, lelaki itu memarahinya berjalan terlalu lelet. Dan konyolnya lagi, Sera hanya disuruh diam saat tiba-tiba tangan Sera digandeng seperti saat ini. "Waalaikumsalam, mashaallah kalian serasi sekali," puji Karina. "Wah, Sera, kamu cantik sekali, Nak. Pakaian ini cocok untukmu," sambung Karina jujur dengan seraya mengusap lengan Sera. "Mas Dika yang memilihkannya, Ma," ujar Sera tersenyum tipis. "Oh ya? Benar begitu Dika?" Karina menga
“Mas Dika, maaf aku ada urusan mendadak, jadi aku harus pulang lebih dahulu, mas tidak marah kan?” Dika menyahut, “tidak, Mas mana bisa marah sama kamu.” “Kamu di mana sekarang?” “Aku sedang izin, Mas. Tiba-tiba aku tidak enak badan,” jawab wanita itu di seberang telepon. “Sebetulnya aku merindukanmu,” aku Dika. “Maaf, ya.” “Iya, Sayang. Kita bisa ketemu nanti,” ucap Dika. “Ya sudah, Lia matikan ya teleponnya, bye Mas Dika…muach!” “Bye Lia!” Dika mengacak rambutnya frustrasi. Dika berpikir kalau Lia tak mau menemui dirinya karena masalah atau pertengkaran besar kemarin. Kalau saja perempuan itu tidak pulang dalam situasi dia yang sedang bersama sang kekasih, mungkin semua aman-aman saja. Dia menaruh ponselnya di atas meja dengan sedikit dilempar. Dia malas pulang, lalu Lia juga tak bisa menemuinya. Apa dia tidur di apartemen saja? Ya, itu keputusan yang tepat! – Pikir Dika. Keadaannya saat ini sedang tidak baik. Jika dia bertemu wanita itu lagi yang ada hanya menambah emosi semat
Sera baru saja tiba di rumah pukul jam 8 malam. Acara kajian yang dia ikuti sebetulnya hanya beberapa jam saja. Namun, dia juga harus mengurus mengenai perbutikan. Sejujurnya, Sera mengalami kebingungan perihal lokasi. Dia ingin mengambil lokasi yang jauh dari rumahnya. Namun, takut jika terjadi sesuatu dia tidak bisa datang cepat. Sera masuk ke dalam kamar segera membersihkan diri dan juga beristirahat. Sera merasa lapar. Karena tak ada bahan masakan, akhirnya dia memutuskan membuat nasi goreng sederhana saja dengan diberi telur mata sapi. Alasannya, dia belum belanja bulanan. Mensyukuri apa yang ada, Sera memakan nasi goreng seorang diri. Lagi pula, siapa yang bisa diajak makan? Sang suamikah? Oh, tidak! Sepertinya itu hanya akan jadi khayalan semata. Mana mau Dika makan bersamanya. “Sial!” umpat lelaki itu ketika membuka lemari pendingin, namun tak ada apa-apa di sana. Dia mengusap perutnya yang terasa lapar. Sepulang kerja dari kantor dia tak makan di luar, memilih langsung pul
“Aku tidak berbohong, Mas!” sungut wanita itu. “Alah, kau pikir aku ini bodoh?!” teriak Dika.“Terus ini apa? Hm?” Dika mengeluarkan ponsel. Menunjukkan foto di mana wanita yang sedang ia ajak bicara di dalam foto tersebut tengah bersama pria lain di sebuah restoran. “Apa ini?” desak Dika. Lia, wanita itu meneguk saliva. ‘Dari mana Mas Dika mendapatkan foto itu?’ batin Lia.“Mas…,” ucap Lia. “Dari mana kau mendapatkan foto itu?” ujarnya. Lia menggeleng, “kau salah paham, aku bisa jelaskan,” sambungnya. Lia tidak tahu kalau Dika sampai sebegitunya terhadap dirinya. “Jadi… kau mencari tahu tentangku selagi aku tidak bersamamu, Mas?” kernyitan di dahinya terlihat.Lia menyipitkan matanya. Menunggu kekasihnya itu menjawab. “Iya, Mas?” tanya Lia. “Kau tidak percaya padaku?”Keadaan kali ini berbalik. Lia kembali menyerang Dika. “Kenapa kau melakukan itu padaku? Orang di foto itu hanya temanku, Mas. Teman lama! Kami tidak sengaja bertemu!” Lia mendorong Dika dengan jari telunjuknya.“Kau ti
Flashback on* “Jadi, apa foto itu hanya kau rekayasa?” Ya, Dika mengakui kalau dia menyuruh orang lain yakni sekretarisnya untuk mengikuti Lia karena beberapa waktu gadis itu sering tak dapat dihubungi. “Apa yang kau katakan?” sebut Fendi. “Ah, tidak, maksudku apa yang Pak Dika katakan?” “Santai saja, kau bisa bicara santai padaku, tidak ada orang lain di sini,” sahut Dika. Baiklah, kali ini sepertinya mereka melupakan status mereka di kantor sebagai atasan dan bawahan. “Aku sungguh memotretnya bersama pria lain. Aku tidak merekayasa. Lagi pula kenapa kau penasaran dengan keseharian wanita itu? Kau… jangan bilang kau menyembunyikan sesuatu dariku?!” Fendi terkejut sendiri. “Sttt!” “Kau bisakan tidak berteriak seperti itu?” tutur Dika. Lelaki itu mengusap kepala belakangnya. ‘Sepertinya tidak masalah jika aku mengatakan ini semua kepadanya. Aku juga sedang butuh solusi,’ batin Dika. “Aku akan jujur dan ceritakan semua padamu, tapi kau bisakan jaga rahasia? Kita sudah lumayan
Dika hanya memberikan harapan palsu untuk Sera! Belum lama Dika memberinya kartu debit secara tiba-tiba yang membuat perasaan Sera tumbuh membaik, sekarang kabarnya justru tidak Sera ketahui. Tidak pulang ke rumah, ponselnya juga tidak aktif. Sera begitu khawatir. Apa lelaki itu benar-benar baik keadaannya? Apa yang Dika alami di luar sana? “Aw!” pekik Sera karena terkena cipratan minyak. Ya, dia tengah memasak. Ia buru-buru mengangkat ayam goreng di atas penggoreng tersebut. Sera tidak hati-hati, dia terlalu banyak melamun. Hari ini, malam ini dia tetap memutuskan masak untuk makan malam. Mencoba mengukir kembali kisah manis seperti kemarin. Seperti biasa, perempuan berhijab itu menata makanan di atas meja dengan rapi. “Sera, untuk mempertahankan rumah tanggamu kau harus kuat dan banyak-banyak sabar!” ujar Sera, tersenyum menatap makanan-makanan di atas meja. Sera lega dia sudah menyelesaikan dengan baik. Dia harus tetap berpikir positif, Sera harus yakin kalau hari ini Dika akan p
Lupa! Dika lupa membawa berkas penting dari rumahnya. Dia begitu bodoh. Mengumpat dalam hati, Dika menghela napas. Mau tak mau dia menghubungi orang rumah, yang tak lain adalah Sera. Dika tak dapat kembali ke rumah karena sudah dekat dengan kantor. Berkas itu juga akan disampaikan dalam rapat siang ini. Kemarin dia makan malam bersama dengan perempuan lain, menyuruh istrinya makan sendiri. Sekarang? Di saat darurat, dia tetap meminta pertolongan Sera. Pria aneh! Menyebalkan sekali pagi harinya. Dika menempelkan benda pipih berlogo apel itu ke telinga kanan, tangan kirinya digunakan untuk memegang setir mobil. Panggilan itu berdering, Dika bergeming sementara, sampai terdengar suara salam dari seorang wanita. “Assalamualaikum, Mas?” salam Sera. “Bawakan berkasku ke kantor sekarang,” sahut Dika. Bukan menjawab salam, dia langsung menyuruh Sera begitu saja. Tak sopan! Sera lantas menyahut, memberikan Dika sedikit ceramah, “Mas, tidak bisakah kamu menjawab salam terlebih dahulu? Apa me
“Astagfirullah, Mas!” sebut Sera. “Kenapa kau berbicara seperti itu?” beo Sera. “Tidak sama sekali, Mas!” aku Sera. Untuk apa ongkos pulang? Dia masih bisa memakai uang pribadinya. “Lalu apa?” tanya Dika. Lelaki itu menutup berkas dengan keras sampai terdengar bunyi. Berdiri, lalu menatap Sera dengan sinis. “Pergi kau dari ruangan ini!” usir Dika. “Iya, aku akan pergi,” ujar Sera. Dia menundukkan kepalanya. Dika sudah tak mengharapkan kehadirannya, tugasnya mengantarkan berkas pun sudah selesai. Jadi, tak ada yang perlu Sera tunggu. Terlebih lagi kata terima kasih yang pasti tidak akan Dika ucapkan. Dia melangkahkan kaki untuk pergi dari ruangan tersebut. Sera membalikkan badan kembali, mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Lalu, berjalan menuju meja Dika. Kartu debit itu dia taruh di atas meja, “aku tidak membutuhkannya.” “Apa maksudmu mengembalikannya?” tanya Dika. “Aku pamit,” lirih Sera. Sera keluar dari dalam ruangan dengan perasaan tersakiti. Kenapa Dika sama sekali tak
5 tahun kemudian."Kara!" Seorang pria dengan gagahnya menghampiri sang putri. Dan berjongkok seraya memeluknya. "Assalamualaikum Papa!""Waalaikumsalam, bagaimana sekolahnya?""Kara dapat bintang lima dari guru!" ungkap bocah kecil bernama Kara itu. "Wah, keren anak Papa! Kamu memang cerdas seperti mama kamu!""Papa juga cerdas! Papa punya hotel besar!"Mendengar celotehan sang anak, Dika pun terkekeh. "Papa, ayok pulang. Kara mau ketemu Mama!" ajaknya. Dika mengangguk seraya bangkit. Dia menggandeng putri kandungnya untuk masuk ke dalam mobil. Tak terasa, waktu lima tahun begitu cepat. Dika sudah menjadi pria sejati yang begitu baik menjadi suami untuk Sera. Dika amat merasa bersyukur karena diberikan istri soleha seperti Sera."Kara mau makan es krim, Papa." "Mau es krim?" ulang Dika. Gadis kecil berhijab itu mengangguk. "Oke, tapi kita pulang dulu jemput mama, ya?" "Iya, Papa, horeee Kara makan es krim sama mama dan papa!" Kara sangat menggemaskan. Dia juga memiliki pipi yang
"Se, ini apa?" Dika melotot sembari memegangi benda kecil, tipis bergaris dua. Lantas pria itu menoleh ke arah sang istri. "Sera... ini serius? Ka... kamu hamil?" Dika gugup. Sera mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Mas. Aku hamil. Aku hamil anak kamu, Mas. Aku bisa hamil. Kita punya buah hati sekarang!" tutur Sera antusias. Dika pun mendekap tubuh Sera dengan erat sembari mendaratkan kecupan di kening wanitanya. "Sera... terima kasih! Terima kasih banyak. Aku sangat bersyukur dengan hadiah ini. Aku bahagia telah memiliki wanita hebat seperti kamu." "Aku... aku juga, Mas. Aku bahagia karena telah dipertemukan dengan lelaki sesabar kamu. Yang begitu menyayangi diriku tanpa berpikir meninggalkan aku pergi di saat kamu tahu kekuranganku. Terima kasih, Mas...," kata Sera. Untuk sekejap saja, pelukan mereka yang hangat dan nyata dengan rasa syukur yang tiada henti. Jangan biarkan lagi dua insan saling mencinta itu berpisah. Diam-diam, Seda terisak dalam pelukan sang suami. Dia begitu
Siapa yang tidak senang kalau suaminya yang kerja di luar kota akan kembali pulang ke rumah? Dengan dress panjang berwarna peach, wanita yang duduk di depan meja rias itu tak henti mengukir senyum. Ditambah lagi, dia memiliki kejutan untuk sang suami. Kejutan besar yang akan membuat Dika bahagia. Sera mengusap-usap perutnya dengan lembut dan perlahan. Tak menyangka, penantian yang selama ini dia nantikan akhirnya terwujud. Karena, sesungguhnya Tuhan Maha Baik. Sera tidak tahu bagaimana lagi mengungkap rasa syukurnya. Tuhan selalu punya cara untuk membahagiakan hambanya. Dari ujian yang dialaminya bertubi-tubi, Sera dihadiahi keinginannya untuk memiliki buah hati. Ia tak sabar memberikan kabar gembira itu pada sang suami. Sera sangat menantikan reaksi Dika. "Mas Dika, aku hamil anakmu, Mas. Aku bisa hamil juga. Akhirnya, Tuhan mewujudkan keinginanku. Aku tidak sungguh mandul.""Ya Allah, aku sungguh berterima kasih atas karunia yang Kau berikan dan titipkan. Aku akan menjaga buah ha
Hari-hari berlalu. Sebagai wanita yang ikut program hamil Sera harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani niatnya demi satu tujuan untuk segera bisa memiliki keturunan. Dia tak pergi seorang diri. Melainkan selalu ada Dika yang setia menemani. Di rumah sakit, tak hanya Sera yang diperiksa melainkan suaminya juga. Kondisi Sera dan Dika di sana semuanya dicek. Perkara tidak hamil ini tidak melulu berasal dari pihak wanita saja, karena bisa jadi suami jadi sumbernya. Untuk program kali ini mereka benar-benar begitu serius menjalani. Sampai pada akhirnya, ditemukan polip yang cukup besar dan banyak di rahim Sera. Sera yang memang didukung baik oleh Dika, tak bisa untuk berhenti program tersebut. Dokter mengambil tindakan untuk membersihkan polip yang ada di rahim Sera. Sempat takut, namun Sera harus semangat. Terlebih Dika juga tak pernah lelah memberikannya kekuatan. Setelah pembersihkan polip itu berhasil, minggu demi minggu berlalu, Sera berkeinginan untuk berangkat Umroh. Wan
“Mas, terima kasih, ya, untuk segala hal yang kamu lakukan padaku. Kebaikanmu semoga Tuhan yang membalas,” tulus Sera. Malam-malam membicarakan hal random dan hal serius adalah hal yang berharga dilalukan Sera dan Dika. Mereka tak ingin melewatkan momen itu sebelum mereka tenggelam dalam mimpi mereka masing-masing. “Hm, jangan pernah merasa kesepian, ya. Aku tahu yang kita usahakan belum ada hasilnya, tapi aku akan selalu mencari cara agar kamu tetap selalu bahagia,” ujar Dika. “Aku sudah bahagia, aku tidak kesepian lagi karena sudah ada kamu, aku punya kamu di hidupku,” sahut Sera. “Tetap saja. Aku tahu kamu masih merasa sedih di belakang aku. Menyembunyikan luka sendiri. Memendam masalah yang kamu punya. Padahal aku ingin kamu selalu libatkan aku mau sedih atau senang,” ungkap Dika. “Karena aku suami kamu, baik sekarang atau nanti.”“Dulu sekali, aku selalu berharap kalau kamu mau mengakui dirimu sebagai suami aku, Mas. Aku selalu b
Bucket Cokelat!Baru saja Sera keluar dari kamar mandi. Wanita itu terkejut kala di meja samping ranjangnya ada benda itu. Bukankah Dika sudah pergi berangkat ke kantor? Belum lama Sera mencium tangan suaminya. Siapa yang menaruhnya? Apa Bi Niken masuk ke kamar?Meraih bucket tersebut senyum wanita dengan hijab berwarna hijau itu mengembang di wajah. Siapa wanita yang tidak senang bila diberi cokelat? Sera lantas meraih ponsel dan hendak memotretnya. Dan bertepatan itu notifikasi dari sang suami masuk. Sera membuka pesan tersebut lebih dahulu. Tidak jadi mengambil foto cokelat itu. Mas DikaSe, sudah lihat kirimanku?Apa kamu suka? Benar sekali itu dari suaminya. Sambil mengetik, senyum wanita itu tak pernah lepas. Dia mengirim beberapa pesan pada suaminya.Aku gak tahu kapan kamu siapkan bucket cokelat ini, Mas?Tapi, terima kasih banyak, ya.Aku tentu suka.Mas DikaSyukurlah, aku balik kerja ya. Boleh kirim foto dengan cokelatnya? Aku ingin melihat wajahmu biar semangat bekerja.
Sera menangis tersedu-sedu. Dia berulang kali mengusap air matanya yang terjatuh lagi dan lagi. "Semua baik-baik saja, Sera. Kamu tidak usah takut lagi," ujar Nindy memberikan pelukan hangat untuk teman sekaligus pemilik butik itu. "Tetap saja aku takut, Nin. Mantan suamiku selalu mengganggu aku dan juga Mas Dika," tutur Sera. "Tolong jangan beri tahu Mas Dika tentang ini, Nin," pinta Sera. "Kenapa?" Nindy bingung. "Aku takut dia semakin khawatir. Dia bisa saja melakukan sesuatu di luar nalar kalau tahu tentang kejadian tadi," ucap Sera dengan mata berlinang."Tapi, Sera, aku rasa dia juga perlu tahu. Kamu harus memberi tahu karena dia bisa melindungi kamu nantinya," ujar Nindy. "Dia pasti sangat khawatir istrinya kenapa-kenapa," sambung Nindy."Nindy, aku mohon...," Sera mempelihatkan wajah melasnya. Nindy menghela napas, "baiklah jika itu mau kamu. Aku akan rahasiakan kejadian ini. Aku harap pria itu tak
"Jadi, kau pergi dengan seorang dokter, Raisa?!" tanya Renal dengan nada tinggi. Seperti biasa, keduanya tak pernah berkomunikasi dengan baik. "Kenapa memangnya?" dengan wajah ketus, kedua tangan menyilang di depan dada, Raisa berbicara kepada sang suami. "Kenapa kau marah dengan itu? Bagaimana dengan kau sendiri yang pergi diam-diam tanpa sepengetahuanku?" ucap Raisa. "Jangan belaga sok suci, Mas, haha," wanita itu terkekeh di ujung kalimat. "Jangan kamu pikir aku tidak tahu kelakuanmu di belakang seperti apa," sambungnya. "Apa maksudmu, Raisa?" tanya Renal. Entah kenapa Renal merasa takut akan sesuatu. "Seharusnya kamu tetap bisa bersikap baik kepadaku. Dan jangan membuatku marah," Raisa tersenyum miring. Hal itu membuat Renal benar-benar takut."RAISA?" panggil Renal dengan nada suara yang keras. Raisa tak menggubris ucapan sang suami. Dia tetap pergi ke kamar.Dia menggumam, "kau pikir aku tidak tahu k
"Mas, Mas," Sera memanggil nama suaminya berulang. Keluar dari mobil lelaki itu berjalan lebih dahulu masuk ke dalam rumah. "Ya Tuhan, Mas Dika tunggu aku," pinta Sera. Sera menghela napas, andai tak bertemu dengan Renal, mungkin Dika akan baik-baik saja. Wajah lelaki itu juga berubah ketus dan menjadi dingin usai bertemu mantan suami Sera. "Mas," panggil Sera lagi ketika sudah berada di dalam kamar. "Kenapa kamu jadi cuek sama aku?" ucap Sera. "Apa aku ada salah? Mas aku juga kan tidak tahu kalau ada pria itu di restoran," keluh Sera. "Apa kamu mengajakku ke restoran itu untuk bernostalgia tentang masa lalumu, Se?" tanya Dika. "Ya Tuhan. Apa yang kamu pikirkan? Kamu berpikir aku seperti itu?" ucap Sera. "Mas, tak pernah terlintas sama sekali dalam diriku untuk mengingatkanmu tentang masa laluku. Aku mengajakmu ke sana murni untuk makan bersama!" sanggah Sera. "Tolong jangan marah sama aku. Katanya kita