Dengan kasat mata, mereka tidak bisa melihat darahku yang terkuras. Bagaimana bisa darahku terkuras sedangkan aku tidak melihat sesuatu yang membuatku terjerumus, jika seperti ini kematian akan mengintaiku lambat laun. Harus secepatnya keluar dari rumah ini atau akan berakhir sebelum ajalku datang.
Saat melewati poto Pak Ibra, terlihat senyum tersungging di sana yang sejak awal tidak terlihat, membuat degup jantung tidak beraturan. Tidak lama melewati poto, aku melihat sosok wanita cantik bergaun merah darah, tapi tidak di seluruh bajunya. Menatapku nyalang dan menyeringai puas. Terasa keram di beberapa bagian tubuhku, hingga kucoba mempercepat langkahku.
Aku memberi pesan pada Bik Inah agar menjaga Ibunda Lia dengan baik untuk malam ini. Kurasakan debaran tidak menentu hingga membuatku sangat sesak. Sosok itu masih diam di sana menatapku tidak berpaling. Selama ini tidak pernah aku merasakan ketakutan yang cukup berarti saat menghadapi makhluk astral.
"Huust ... Bicara yang sopan Sopyan!" seru Umi. "Maaf, Umm" Dengan menunduk dia menjawab. "Bukannya saya takut kematian, tapi amanah yang saya pegang belum tuntas semuanya. Apa harus saya berikan ke orang lain?" jawabku, kesal. "Abah tidak menakutimu Nak, yang kamu hadapi adalah kekuatan Iblis laknatullah! Juga dari berbagai bangsa jin." tegas Abah. "Umi akan mendampingimu, Nak." tambah Umi. Pernyataan Umi membuat Abah sedikit ragu, digenggam tangan sang istri dan memberi isyarat dengan menggelengkan kepala. Aku yang merasa sedikit aman mendadak tegang sekali. Sekujur tubuhku mati rasa, membuat ketiga orang di depanku terperangah. Umi langsung menarik meja menjauh dan mengangkat kakiku, lalu memberi perintah pada Sopyan agar mengambil garam kasar dan memetik daun bidara juga mengambil seember air. Mereka begitu panik melihat aku hampir kesulitan napas. 'Aah ... Kematian sudah menjemputku.' pikirku. "Bukan, N
"Tapi Umi, kantukku teramat sangat. Terlalu lemah tubuhku," jawabku. "Itulah yang mereka harapkan!" Dengan nada keras dan tatapan tajam Umi bicara. "Baik, Umi. Saya coba terus berzikir," ucapku lirih, sulit sekali menahan kantuk. Pintu terdengar diketuk-ketuk seperti ada orang yang sedang ketakutan dan membutuhkan pertolongan. Setelah itu terdengar kikikan panjang,. Semua terhenti sejenak dari membaca Al-Quran namun tidak dengan Abah. Umi menatap tajam kearah pintu dan membuatku bergidik. Begitu banyak makhluk astral mengelilingi rumah ini. "Umi biarkan saya keluar," pintaku. "Bodoh kamu!" Sopyan menghardikku. Tapi tidak membuat Umi memalingkan pandangannya. Tangannya sedikit bergetar dan keringat dingin muncul di sekitar dahinya. "Sabar sebentar, Nak Nita. Sopyan taruh bidaranya di sana dan bacakan doa-doa." Umi memberi perintah. Sopyan dengan cekatan mematuhi perintah Umi. Dari atap terdengar langkah kaki orang
Mendengar diri sendiri sedang menunggu kematian membuat pikiran menjadi tidak karuan. Antara zikir juga beban amanah beradu dalam sanubari. Tak ayal membuatku tertegun di antara kepanikan mereka. "Ehem ... ehem, kalau kematiamu sudah tertulis maka kamu akan tetap menemui ajalmu bagaimanapun caranya." Suara Abah membuyarkan lamunanku. "Bah, Umi sudah melamar Nita untuk Sopyan. Segera kita lakukan ijab qobul dulu, tak ada pesta tak mengapa." Umi menyela sebelum aku berucap. "Kamu siap Sopyan?" tanya Abah pada Sopyan. Anggukan tegas terlihat dari kepala pemuda itu dan aku mengernyitkan keningku, seolah aku sudah menerimanya. Abah diam sejenak dan melangkah pergi, dengan menahan sakit aku berbicara, "Bah, aku belum menerimanya. Akupun enggak kenal dia, untuk apa aku menikah dengan orang asing!" ujarku meringis. "Yakinlah, pernikahan ini akan membawa kebaikan untukmu, Nak." Umi pun berbicara. "Kalau kamu tidak yakin pada
"Aku tahu, kakakmu bisa jadi walinya. Tidak apa, meski melalui video. Ini darurat," ujar Sopayan menguatkan. Bingung harus menjawab apa, aku hanya diam. Tidak lama, Umi mendekati kami dan berkata, "Baiklah kita adakan sekarang saja. Eka yang jadi walinya." Perkataan Umi membuatku tak percaya. Belum sempat aku protes suara anak-anak memekakkan telinga. Mereka meneriaki ular besar yang tiba-tiba berada di kamar mereka. Umi menenangkanku, dan meminta proses ijab dilakukan. Abah menelpon dua orang tetangganya agar menjadi saksi nikah. Ingin menolak tapi diseberang video terlihat Emak dengan matanya yang berbinar-binar. "Sial," umpatku dalam hati. Dengan lantang Sopyan mengucapkan janji pernikahan untukku. Aku hanya menatap tidak percaya apa yang sudah terjadi, pernikahan yang aneh. Sopyan mengulurkan tangannya berharaf aku menciumnya dengan takjim, namun aku enggan melakukannya. Terdengar suara Emak membentakku agar aku menghormati suamiku
"Kita masuk sekarang, Bismilahi." Sopyan mendorong pintu pagar dengan membaca doa. Aku mengikutinya sambil memeluk tas amanah ini. Begitu pintu di buka terlihat sosok gagah sudah berdiri tegap di tengah ruangan didampingi wanita bergaun merah darah. "Ternyata kamu bisa lolos ya." ejek lelaki itu. "Manusia memiliki Allah, maka dia bisa menyelamatkan diri!" balas Sopyan. Terasa genggaman tangannya semakin kuat, hingga aku merasa sedikit kesakitan. "Dia adalah miliku!" ujar sosok itu, padaku. "Tidak dia Istriku," tegas Sopyan, lalu merangkul pinggangku. Terlihat pancaran cahaya dari tubuh wanita bergaun itu, wajahnya berubah hancur. Hampir menyisakan tengkorang. Dan sosok pria itu mendekat dan terlihat wajahnya, "Pak Ibra!" pekikku, hingga aku mundur karena merasakan aura buruk yang sangat besar. "Kamu seharusnya menjadi pengantinku, Cah ayu." celotehnya sembari meraihku. Baru ini aku ta
Mendengar itu aku hanya melongok, dengan menahan nyeri di sekujur tubuh. Terdengar beberapa langkah kaki memasuki ruangan tempat kami berada dan duduk diantara kami. Abah dan para jamaahnya. Mereka melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran bersamaan. Terlihat abah memercikan air ke dekat kami. Serangan bola api mengarah pada kami dan mengenai kakiku yang terluka. Hingga mengeluarkan darah lagi. "Baca ini!" perintah Sopyan dan aku membacanya perlahan. Makhluk-makhluk ini sepertinya tidak takut dengan suara dari lantunan ayat-ayat suci al-Quran. Terbukti, mereka mendekat dan menarikku mendekat ke Pak Ibra. Yang sudah menggenggam belati di tangannya. Pegangan tanganku terlepas dari Sopyan. Tubuhku diangkat Pak Ibra dan meletakanku di meja, seperti sebuah santapan yang siap dinikmati. Mahluk-mahluk itu mengelilingiku dan mencoba meraih setiap tetes darah yang keluar, tetapi segera di usir Pak Ibra. Saat Pak Ibra siap menancapkan belatinya di dadaku, suara teria
Usiaku kini sudah mendekati 170 tahun, tapi tidak ada yang mengetahuinya kecuali keluarga terdekatku saja. Dulu, aku orang yang paling miskin di keluargaku dan paling tidak berdaya. Bullyan selalu aku terima dari keluarga-keluarga yang lebih mampu, terkadang di tendang, di lempari makanan basi oleh mereka dan banyak perlakuan mereka yang membuatku menyimpan dendam mendalam. Setiap acara keluarga, aku anak yang paling dekil dan jorok, menurut mereka. Karena baju yang aku kenakan di bawah standart mereka. Ibuku memilih menikahi Bapakku yang hanya petani biasa tanpa memiliki sawah. Dan Ibu diusir dari keluarganya tanpa membawa apa-apa. Ibu hidup pas-pasan bersama Bapak, tapi tidak menyurutkan cintanya. Aku di didik dengan baik oleh Bapak dan Ibu, bullyan dari saudara-saudara selalu terngiang di telingaku. Pelan tapi menusuk hingga ke jantung. Hingga saat itu datang, Ibuku sakit keras dan membutuhkan biaya untuk penyembuhannya. Jangankan membantu mengobati, datang untuk
"Hentikan, Kak. Sudah cukup! Apa yang kamu dapatkan setelah memuja iblis?" teriak Sopyan di ujung sana. Azizah melihat dengan bengisnya ke arah Sopyan, dibarengi dengan dengkusan yang keras. "Hei, Santri! Tidak usah kamu ajari aku. Kamu pun akan mati, kemudian aku akan abadi," pongahnya "Kak, dunia sementara Kak. Pulanglah ke pemilikmu, cukup sudah dosa yang Kakak tebarkan," ucap Sopyan lirih. "Persetan dengan ucapanmu!" bentak Azizah. Lalu tubuhnya melayang mendekati Sopyan dan, "Bangsat kau anak kemarin sore, aku kakakmu juga istrimu!" geram Azizah "Aku mencintaimu, Kak. Bertahun-tahun aku merindukanmu. Disaat yang lain mencemoohmu, aku yang selalu melawan mereka. Aku tidak rela mereka menghinamu meskipun kenyataannya seperti itu. "Terlihat tubuh Sopyan gemetar saat menancapkan belati itu tepat di dada Azizah. Perlahan Azizah berubah menjadi tulang berbalut kulit yang mengering. Dari tubuhnya keluar asap hitam menggum
"Masih ingat aku ...." tanya lelaki itu, tiba-tiba. "Kamu ... kamu itu," tunjukku pada polisi yang tidak kukenal, mencoba mengingat-ingat. "Lama tidak jumpa," sapanya. Lalu, dia mendekati dan mengulurkan tangannya. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Sopyan. Sopyan merasa ada sesuatu yang aneh, dia pun bertanya, "Kalian saling kenal?" tanyanya pada polisi itu. "Cukup kenal, saya hanya meminta milik saya di kembalikan," ujarnya dengan memicingkan matanya. "Kamu, mengambil miliknya," tanya Sopyan padaku. Aku hanya diam dan makin mengeratkan pegangan tanganku. Polisi itu makin mendekat dan berdiri di hadapanku. "Itu bukan milikmu, jika milikmu maka akan aku serahkan dengan suka rela," bentakku. "Kamu tak akan bisa lari dariku," ujarnya. "Tunggu ... Tunggu. Kalian saling kenal atau tidak?" tanya Sopyan, sambil melihat ke arahku dan polisi itu.
Tangan lelaki itu, mulai menjamah kakiku, Kemudian, terus merangkak di atasku. Tubuhku masih terasa sakit, ketika didorong olehnya tadi. "Ayolah, aku tahu, ini juga hal yang diinginkan wanita kebanyakan, yaitu ranjang yang hot!" cibirnya. Auranya sangat membuatku takut, bukan karena ilmu hitam, tapi karena kekuatan tuuhnya yang tidak bisa dibandingakan dengan kekuatan seorang wanita sepertiku. Apakah aku akan berakhir seperti ini? Bruk! Tubuh lelaki pemangsa, jatuh terkulai di atas tubuhku. Kukira karena dia mulai ingin melakukan hal buruk padaku, tapi ternyata kepalanya dipukul kayu balok oleh Nadin. "Ayo, Kak!" ajaknya menahan rasa sakit. Aku mendorong tubuh lelaki yang mulai tidak berdaya, membuatnya terjatuh dari dipan kayu. Aku dan Nadin saling memapah, berharap isa selamat berdua. Teringat akan Sopyan yang tidka kunjung datang, apakah mungkin dia takut dan pergi? "Nita!" seru Sopyan, membuka pintu. Rasanya a
"Ayo kita keluar, sebelum penjahat itu datang lagi!" seruku. Aku mencoba memapah tubuh kecil itu, untuk keluar dari dalam gubuk. Namun, dikejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku yang setengah panik, mengangkat tubuh mungil di depanku. "Kak, pergilah dari sini! Nadin belum kuat untuk jalan," lirihnya "Kakak, kuat!" bantaku. Gadis kecil itu meringis, ketika lukanya tersenggol olehku. Ingin tidak memperdulikannya, tapi sepertinya dia benar-benar kesakitan. "Kak, pergila, jika dia kembali, kita berdua dalam bahaya!" pintanya. Baru saja aku ingin membuka pintu, sosok laki-laki menghadang langkahku. Matanya melotot dan napasnya memburu, tubuh yang tidak terbalut seelai benang pun membuatnya gaga, tapi sayangnya kelakuannya sungguh tidak manusiawi. "Siapa kamu? Mau apa? Kenapa mau bawa anak itu?" tanyanya beruntun. "Kamu sudah membunuh ibunya! Sekarang mau menyiksa anaknya?" tanyaku tanpa menjawab
"Apa kamu suka pria seperti itu?" tanyanya membuatku merasa aneh. Ingin rasanya kujawab, aku mulai menyukaimu meski menyebalkan. Namun, kutahan dalam diam. Suara azan berkumandang menandakan magrib sudah datang, dengan cekatan Sopyan mencari dimana tempat kami akan berhenti dan menunaikan kewajiban kami. Setelah menemukan Masjid Sopyan berhenti, lalu kami masuk dan melaksanakan kewajiban kami. Selesai sholat kami melanjutkan perjalanan kembali menuju rumah Umi, seperti pinta Sopyan sebelum mencari anak itu. "Ehem ... habis sholat koq diem aja," sindirnya. "Emang kalau habis sholat harus jungkir balik ya!" jawabku nyeleneh. "Harusnya salim dengan suami, itu baru afdhol. Cari pahala lagi," terangnya. "Ooo ... Kenapa nggak bilang aja langsung!" Tanyaku sengit. "Belajarkan pelan-pelan, masa mau ngegas nanti nabrak," ceramahnya. Dengan memaksakan diri, aku mengulurkan tangan dan disambut olehnya. "Barakallahu, semoga m
Aku menangis dalam pelukan Sopyan namun, teriakan juga isakan itu masih terdengar jelas di telingaku. Dieratkannya pelukan Sopyan, membuatku tenang sesaat. "Lepaskan! Jangan ... Jangan lakukan itu. Biarkan aku pergi," Suara anak itu kembali terdengar. Sopyan menarik tanganku menuju parkiran. Dirogoh saku celananya lalu mengambil ponsel, berulang kali melakukan panggilan akhirnya terhubung. Dilepaskan genggamannya dan sedikit menjauh dariku saat dia menerima panggilan itu. Aku terpaku menatap punggung lelaki setia itu, tapi sayang aku tidak mencintainya. Dikala aku asik memandanginya, dia berbalik dan menatapku dengan binar aneh dimatanya. "Ayo, kita pergi," ucapnya lirih. "Katanya ijin dokter dulu," bantahku. "Udah ada yang ngurus. Mau pergi apa nggak nih!" tantangnya. Tanpa menjawab aku mendekatinya, lalu dia menarikku mendekati sebuah mobil. Dari mobil itu turun seorang lelaki muda, bisa saja itu sepupu atau siapanya Sopyan. Akukan b
Tanpa mau mendengarnya lagi aku berjalan, namun dia mengekoriku seperti anak ayam kehilangan induknya. Menjengkelkan tapi tak bisa berbuat banyak. Pikiranku makin melayang mengingat amanah yang banyak aku pegang, namun belum juga aku selesaikan. "Tenang amanah dari James sudah hampir selesai, jangan jadi beban lagi!" ujar Sopyan, menghentikan langkahku. "Kamu buka tas milikku? Kenapa enggak ijin!" cecarku. "Kamu tau seberapa lama kamu di rumah sakit?" tanyanya, membuat aku sedikit merenung. Benar juga perkataannya, aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Luka didadaku cukup parah, hampir mematahkan tulangku dan menggores jantungku. Tak ingin berterimakasih aku melangkah lagi. Kesombonganku mengalahkan segalanya, hanya untuknya. Kami berjalan ke taman rumah sakit, di sana bisa melihat pemandangan sore. Menyejukan mata yang selama ini tertidur. Perlahan aku menceritakan niatku untuk menolong anak dari Suster Dian, pada Sopyan.
[01.33, 30/3/2022] Dwi: "Maaf Sus," ucapku lirih. Setelah pemeriksaan, para suster keluar ruangan untuk memeriksa pasien yang lain. Rasa sedih menjalar keseluruh badanku, mengingat senyum sang Suster yang sangat manis. Begitu melihat Sopyan datang, rasa kesal memuncak. Menahan amarah yang tertunda semalam, "Ngapain datang ke sini, menolong manusia lain saja kamu keberatan!" omelanku menyambutnya. "Maaf, banyak pertimbangan kenapa aku tidak bisa keluar semalam. Semua sudah takdir ilahi, bersabarlah," ujarnya lembut. "Mudah sekali menukar nyawa orang. Sudah pergi sana!" teriakku kesal. "Kamu jangan lupa, aku suamimu meski hanya secara agama!" ucapnya penuh penekanan. Aku hanya diam mendengar kata-katanya. Rasanya tak kuasa menahan amarah yang bergejolak, tapi harus dipendam. "Pergilah ke ruang dokter, tanyakan apakah aku sudah diperbolehkan pulang. Rasanya sudah tidak betah," pintaku dingin. Tidak lama dia p
[01.31, 30/3/2022] Dwi: "Sudah sembuhkan dirimu dulu, baru aku ceritakan. Apa yang kamu lihat hingga seperti ini?" Tanyanya. "Entahlah, samar." Jawabku, lalu aku merebahkan diriku kembali. Dan Sopyan menggengam tanganku erat. Lalu aku mencoba tertidur kembali. Tiada henti mulut ini berzikir mengharap tidur lelap kembali. Namun penghuni di kamar ini sepertinya ketakutan akan hal yang aneh, bukan karena diriku atau pun Sopyan. Entahlah, terdengar auman keras yang bersahutan.Lalu terlihat dua harimau yang pernah aku lihat dikamar Sopyan. "Eh, bangun," Kugoncangkan tubuh Sopyan. "Ada apa, baru juga tidur!" jawabnya. "Tu pengikutmu." Aku menunjuk ke sampingnya. "Biarin, mereka menjaga kita," ucapnya ngawur. Belum sempat aku berbicara lagi, harimau itu mendekatiku dan duduk tepat dibawah ranjangku. Terdengar jeritan saling bersahutan, membuatku tak tenang. Setiap kali jeritan terdengar auman harimua
"Enggak apa-apa Bu, saya sudah terbiasa." Jawabnya santai. Aku bingung mengutarakan padanya perihal apa yang terlihat, lalu dia pergi. Hampir saja jam sembilan malam, kembali terlintas kejadian yang akan menimpa Suster tadi. Aku semakin gemetar, saat Sopyan masuk aku langsung memintanya memanggil Suster yang mengurus diriku tadi. Meski ingin bertanya Sopyan pun berlalu pergi mencari Suster. Kegelisahan makin membuatku tak tenang. Sopyan kembali dan mengatakan jika Suster tersebut sudah pulang. Sedikit kecewa tapi apalah daya. Lalu aku mencoba memejamkan mataku, terdengar Sopyan berbicara. Ku abaikan Sopyan dan memilih memejamkan mataku. "Ampuun ... ampuun, jangan sakiti saya," teriak seorang wanita. "Kamu harus mati, kamu yang menyebabkan ini semua," bentak seorang lelaki. Lalu, pemandangan itu semakin samar, membuat tubuhku menggigil. Terasa sesuatu di dahiku, ternyata Sopyan sedang mengkompresku. Mataku terbuka dan melihat sekita