Kepulan asap rokok saling bersahutan di antara mereka yang memadu kasih di salah satu kamar motel. Keduanya hanya saling menatap sambil menikmati rokok yang terselip di jarinya. Malam yang begitu dingin bukan masalah. Dengan pakaian lengkap, salah satu dari mereka tersulut sumbu gairahnya. Keremangan kamar motel seolah mendukung imajinasi untuk lebih berani. Tanpa sadar, tanpa tahu siapa yang memulai, keduanya sudah terjebak dalam keliaran asmara buta yang kehilangan seluruh indranya.
“Bi, kenapa lu mau sama gue?”
“Enggak ada alasan buat nolak cewek seksi kayak lu.”
“Fisik yang utama, ya,” jawab si cewek dengan kepala mengangguk-angguk seakan paham betul.
Cowok yang sedari tadi hanya menatap langsung mematikan rokoknya dan beranjak menghampiri si cewek. Malam itu semakin bisu, tirai jendela yang tidak sepenuhnya tertutup rapat menampilkan beberapa daun yang bergoyang gemulai. Dekapan cowok itu menghangatkan si cewek, membuat debar yang tidak biasa. Rokok si cewek belum juga dimatikan, sesekali masih diisap oleh bibir tebalnya.
“Gue enggak tahu kenapa takut kehilangan lu, Rine.”
“Halah, basi! Dasar playboy.”
“Oke, gue tahu itu. Cuma lu harus paham bahwa sejak sama lu, gue enggak pengin berpindah hati ke mana pun,” jelasnya sembari mengacak pelan rambut Rine yang dipotong seperti cowok.
Rine merasakan kebahagiaannya meletup-letup memenuhi rongga dadanya yang masih kembang kempis akibat rokok. Dia masih berpegang teguh kepada prinsip untuk tidak mencintai secara penuh. Cewek berkulit sawo matang itu enggan terpenjara dalam hubungan yang suatu saat bisa terlepas kapan saja. Matanya yang tajam menatap nanar langit-langit kamar motel, membuat si cowok menyangka kode. Satu kecupan mendarat di leher Rine yang beraroma apel, manis dan membuat sakau.
“Abbian mesti, kebiasaan.”
“Cuma kecupan, Sayang.”
“Nama gue Rine, bukan sayang.”
“Ini yang gue suka, lu beda. Pokoknya lu harus nikah sama gue, titik,” putusnya sepihak sambil mengeratkan pelukan.
“Ayo, tidur. Gue capai hari ini.”
“Rine, lu enggak bakal putusin gue kayak mantan-mantan lu yang lain, kan?”
“Tergantung, Bi. Tergantung sekuat apa lu sama gue.”
Cewek dengan kaus hitam polos itu langsung merebahkan diri sehingga Abbian pun tak kuasa untuk menolak. Keduanya sama-sama merebahkan diri, memberikan kehangatan satu sama lain tanpa kata, tanpa aba-aba. Abbian memandang cewek di hadapannya, cewek yang bertahun-tahun dia inginkan. Sementara Rine menahan gejolak di dadanya, begitu dahsyat. Bibir Abbian yang merah kehitaman mengecup keningnya, kedua bola matanya, dan ciuman itu terus menurun sampai bawah. Selimut putih membungkus mereka dalam kenyamanan berlimpah. Rine mengelus rambut Abbian, menyampaikan setumpuk perasaan tanpa takut ketahuan. Keduanya menjelma kepompong yang tidak ingin melihat dunia luar.
“Rine, Rine, bangun. Kita ada kelas nanti.”
“Masih pengin tidur,” jawabnya sambil meraih leher Abbian dan memeluknya erat.
Abbian tidak berani beranjak, melakukan gerakan kecil pun dia enggan. Mata hitamnya memandangi cewek yang masih diserang kantuk. Betapa indah ciptaan-Nya bila melihat sosok kekasihnya sendiri. Di antara mantan Abbian, Rinelah yang paling sempurna juga luar biasa. Cewek itu teguh memegang prinsip untuk tidak melakukan hubungan terlarang di luar pernikahan. Refleks tangan cowok bertubuh atletis itu mengusap kepala Rine, membuat si cewek mulai terganggu.
Rine bangkit tanpa sepatah kata dan langsung pergi ke kamar mandi untuk memulai ritualnya. Cowok yang ditinggalkan hanya terdiam, kebingungan. Suara guyuran air yan membelai tubuh kekasihnya membuat Abbian kembali dilanda gelombang besar dalam dirinya. Dia memilih menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dengan hati-hati seolah-olah itu bibir kekasihnya. Entah berapa batang rokok yang habis, Rine baru muncul dengan tubuh dililit handuk. Tanpa menunggu apa pun, Abbian langsung masuk dan mandi untuk menyegarkan badan juga pikirannya yang diuji.
Nissa yang duduk di tempat satpam saat menunggu Rine pun tersenyum bahagia saat sahabatnya datang bersama Abbian. Rine dengan pakaian yang cukup berantakan untuk seorang cewek berjalan percaya diri ke arah Nissa. Cewek berjilbab cokelat susu itu langsung menggandeng tangan Rine. Mulut yang disangka pendiam itu mulai bercerita banyak hal, terutama keinginan orang tuanya yang berseberangan dengannya. Abbian yang tahu diri langsung meninggalkan mereka berdua. Nissa yang berjilbab dan Rine yang seperti cowok membuat keduanya terlihat seperti sepasang kekasih.
“Habis kelas gue tunggu di perpustakaan, ya, Niss.”
“Ah, gak mau. Lu harus tunggu gue di depan kelas.”
“Ck! Manja amat lu jadi cewek. Kalau gue jadi cowok, enggak bakal mau sama lu.”
“Emang gue mau sama cowok kayak lu?” tanya Nissa sebelum berlari menuju kelasnya.
Perpustakaan selalu menjadi tempat paling nyaman untuk berkeluh kesah, mengingat fasilitasnya juga lengkap. Nissa dan Rine sudah duduk di kursi tempat membaca dengan buku di tangan. Namun, buku itu hanya sebagai selingan bila cerita keduanya mengalami kebuntuan. Rine yang suka novel pembunuhan pun mengambil salah satu buku yang disukainya. Berbeda dengan Nissa yang sesekali bermain ponsel, Rine memilih untuk fokus. Melihat sahabatnya yang larut dalam buku, Nissa pun memasukkan ponsel ke tas merah mudanya. Nissa ikut larut ke dalam novel sampai air matanya mengucur sendiri. Novel berjudul Bumi Cinta yang dibaca Nissa benar-benar menguras emosinya. Tidak segan dia meremas buku itu saking kesalnya.
Abbian yang datang membuat kedua cewek itu menghentikan aktivitasnya. Rine langsung pamit untuk pulang, begitu pula dengan Nissa yang ikut-ikutan. Mereka bertiga berjalan kaki ke parkiran, menjadi santapan beberapa pasang mata. Apalagi saat terdengar isu bahwa awalnya Nissa yang menyukai Abbian. Memang isu itu benar, tetapi kepercayaan kepada Nissa sebagai satu-satunya sahabat sedari SMP membuatnya bersikap biasa saja. Meskipun Abbian nantinya berpaling ke sahabatnya yang memiliki darah Belanda itu, dia merasa tidak keberatan. Bukan tidak cinta, tetapi Rine adalah Rine. Cewek yang mendahulukan pikiran ketimbang perasaan. Hatinya tidak pernah ingin utuh, harus dicampur logika yang akan menuntunnya pada kebenaran.
Dengan motor kawasaki klx 250 Abbian membonceng Rine. Sementara Nissa kembali menunggu jemputan di tempat satpam. Abbian yang usil mengambil tangan Rine agar memeluk perutnya yang tanpa lemak. Cewek yang dibonceng olehnya merasa risi sehingga tidak segan menampar perut Abbian. Keduanya tertawa lepas, Rine pun berbicara dengan sedikit keras, “Bi, mau es cendol, enggak?”
“Ayo, beli. Nanti di depan sana ada yang jual.”
Di kedai es cendol yang tidak begitu ramai mereka duduk sambil menunggu pesanan. Dua gelas es cendol yang berisi beberapa potong nangka memaksa air liur Rine untuk menetes. Cewek berhidung mancung itu buru-buru meminum es cendol di depannya. Abbian yang tahu bagaimana kekasihnya hanya geleng-geleng kepala dengan senyum tipis.
“Bi, gue pengin banget berubah.”
“Berubah gimana? Jadi wonder woman apa batman?”
“Bukan ih, gue serius.” “Gimana? Pengin berubah seperti apa?” “Lu lihat Nissa, kan? Dia cantik banget pakai jilbab. Kalau gue jadi lu, mungkin gue lebih pilih Nissa dibandingkan Rine. Kita jauh, Bi, kayak langit dan bumi.” “Astaga, Rine! Rine, gue enggak apa-apa lu mau gimana juga. Memangnya pernah selama ini gue minta lu berubah secara fisik? Jerawat lu saja enggak pernah gue bahas. Gue enggak tahu harus meyakinkan lu gimana, tetapi gue benar-benar suka lu,” jelasnya dengan tangan menangkup pipi cewek yang sedari tadi menunduk. “Lebih tepatnya, gue pengin jadi lebih baik, Bi. Gue bingung harus mulai dari mana. Gue takut karena sebenarnya
“Enggak apa-apa masuk? Kalau orang tua lu marah bagaimana? Gue enggak enak, baru juga bertamu sudah berulah.” “Santai saja, mereka enggak bakal tahu.” Dengan langkah cepat cowok berkumis tipis itu pun langsung masuk dan menutup pintu. Rine terkekeh pelan melihat tingkah laku Abbian. Ternyata pikirannya terhadap cowok itu salah besar. Rine mengira Abbian sosok yang berani sekaligus tidak punya sopan santun, tetapi malam itu tidak terbukti. Dia tadi sempat bersembunyi di balik tembok untuk melihat bagaimana perilaku Abbian kepada kedua orang tuanya. Mencium tangan, rutinitas yang sudah dilupakan Rine itu menimbulkan nostalgia ke zaman dirinya saat bersekolah dasar. Ingatan itu pulih saat sadar cowok di sampingnya kembali mengambil telur gulung dan memakannya dengan wajah
Kelas Rine ramai, teman-temannya saling bercanda. Sementara cewek cantik itu tetap sendiri dengan tatapan kosongnya. Pikirannya berputar-putar, berusaha memahami perasaannya sendiri. Dia belum paham secara pasti tentang perasaannya ke Abbian. Selama ini kerap menolak, tetapi siapa yang tahu akan begini jadinya. Diam-diam ada yang memperhatikan Rine. Cowok berkumis tipis dengan rambut rapi dan klimis. Cowok itu nyaris tanpa kedip saat melihat Rine dengan pakaian berantakan. “Rin, kantin, yuk,” ajak salah satu cowok di kelasnya. Jangankan menjawab, menoleh pun tidak. Teman cowok Rine itu merasa sedikit kesal sehingga tangannya hendak memukul kepala cewek itu. Sebelum tangan itu menyentuh kepala Rine, seorang cowok menghentikannya. Senyum ramahnya membuat teman cowok Rine sungkan dan
“Lu ngomong apa? Nissa sahabat lu. Cemburu?” “Enggak, gue enggak cemburu, Abbian. Kita putus saja, ya. Gue pengin sendiri. Jangan susul gue.” Rine bangkit menuju motornya dan meninggalkan dua cowok dengan perasaan berbeda. Eno yang tadinya tersenyum langsung terdiam karena kaget. Apalagi Abbian, terduduk lemas di tempat. Sama sekali tidak menyangka bila hubungannya akan berakhir dengan mudah. Rine yang sulit terjamah juga sulit diterka ke mana pikirannya. Abbian mengutuk dirinya sendiri yang terlena dengan keramahan Nissa. Meskipun Rine terlihat tidak cemburu pada awalnya, tetapi siapa yang menjamin saat semakin lama? Saat cinta itu semakin mengakar kuat di dadanya. Eno menghampiri Abbian karena tidak tega. T
“Lu ngomong apa? Nissa sahabat lu. Cemburu?” “Enggak, gue enggak cemburu, Abbian. Kita putus saja, ya. Gue pengin sendiri. Jangan susul gue.” Rine bangkit menuju motornya dan meninggalkan dua cowok dengan perasaan berbeda. Eno yang tadinya tersenyum langsung terdiam karena kaget. Apalagi Abbian, terduduk lemas di tempat. Sama sekali tidak menyangka bila hubungannya akan berakhir dengan mudah. Rine yang sulit terjamah juga sulit diterka ke mana pikirannya. Abbian mengutuk dirinya sendiri yang terlena dengan keramahan Nissa. Meskipun Rine terlihat tidak cemburu pada awalnya, tetapi siapa yang menjamin saat semakin lama? Saat cinta itu semakin mengakar kuat di dadanya. Eno menghampiri Abbian karena tidak tega. T
Kelas Rine ramai, teman-temannya saling bercanda. Sementara cewek cantik itu tetap sendiri dengan tatapan kosongnya. Pikirannya berputar-putar, berusaha memahami perasaannya sendiri. Dia belum paham secara pasti tentang perasaannya ke Abbian. Selama ini kerap menolak, tetapi siapa yang tahu akan begini jadinya. Diam-diam ada yang memperhatikan Rine. Cowok berkumis tipis dengan rambut rapi dan klimis. Cowok itu nyaris tanpa kedip saat melihat Rine dengan pakaian berantakan. “Rin, kantin, yuk,” ajak salah satu cowok di kelasnya. Jangankan menjawab, menoleh pun tidak. Teman cowok Rine itu merasa sedikit kesal sehingga tangannya hendak memukul kepala cewek itu. Sebelum tangan itu menyentuh kepala Rine, seorang cowok menghentikannya. Senyum ramahnya membuat teman cowok Rine sungkan dan
“Enggak apa-apa masuk? Kalau orang tua lu marah bagaimana? Gue enggak enak, baru juga bertamu sudah berulah.” “Santai saja, mereka enggak bakal tahu.” Dengan langkah cepat cowok berkumis tipis itu pun langsung masuk dan menutup pintu. Rine terkekeh pelan melihat tingkah laku Abbian. Ternyata pikirannya terhadap cowok itu salah besar. Rine mengira Abbian sosok yang berani sekaligus tidak punya sopan santun, tetapi malam itu tidak terbukti. Dia tadi sempat bersembunyi di balik tembok untuk melihat bagaimana perilaku Abbian kepada kedua orang tuanya. Mencium tangan, rutinitas yang sudah dilupakan Rine itu menimbulkan nostalgia ke zaman dirinya saat bersekolah dasar. Ingatan itu pulih saat sadar cowok di sampingnya kembali mengambil telur gulung dan memakannya dengan wajah
“Bukan ih, gue serius.” “Gimana? Pengin berubah seperti apa?” “Lu lihat Nissa, kan? Dia cantik banget pakai jilbab. Kalau gue jadi lu, mungkin gue lebih pilih Nissa dibandingkan Rine. Kita jauh, Bi, kayak langit dan bumi.” “Astaga, Rine! Rine, gue enggak apa-apa lu mau gimana juga. Memangnya pernah selama ini gue minta lu berubah secara fisik? Jerawat lu saja enggak pernah gue bahas. Gue enggak tahu harus meyakinkan lu gimana, tetapi gue benar-benar suka lu,” jelasnya dengan tangan menangkup pipi cewek yang sedari tadi menunduk. “Lebih tepatnya, gue pengin jadi lebih baik, Bi. Gue bingung harus mulai dari mana. Gue takut karena sebenarnya
Kepulan asap rokok saling bersahutan di antara mereka yang memadu kasih di salah satu kamar motel. Keduanya hanya saling menatap sambil menikmati rokok yang terselip di jarinya. Malam yang begitu dingin bukan masalah. Dengan pakaian lengkap, salah satu dari mereka tersulut sumbu gairahnya. Keremangan kamar motel seolah mendukung imajinasi untuk lebih berani. Tanpa sadar, tanpa tahu siapa yang memulai, keduanya sudah terjebak dalam keliaran asmara buta yang kehilangan seluruh indranya. “Bi, kenapa lu mau sama gue?” “Enggak ada alasan buat nolak cewek seksi kayak lu.” “Fisik yang utama, ya,” jawab si cewek dengan kepala mengangguk-angguk seakan paham betul.