Kelas Rine ramai, teman-temannya saling bercanda. Sementara cewek cantik itu tetap sendiri dengan tatapan kosongnya. Pikirannya berputar-putar, berusaha memahami perasaannya sendiri. Dia belum paham secara pasti tentang perasaannya ke Abbian. Selama ini kerap menolak, tetapi siapa yang tahu akan begini jadinya. Diam-diam ada yang memperhatikan Rine. Cowok berkumis tipis dengan rambut rapi dan klimis. Cowok itu nyaris tanpa kedip saat melihat Rine dengan pakaian berantakan.
“Rin, kantin, yuk,” ajak salah satu cowok di kelasnya.
Jangankan menjawab, menoleh pun tidak. Teman cowok Rine itu merasa sedikit kesal sehingga tangannya hendak memukul kepala cewek itu. Sebelum tangan itu menyentuh kepala Rine, seorang cowok menghentikannya. Senyum ramahnya membuat teman cowok Rine sungkan dan memilih pergi tanpa kata. Cewek yang ditolong itu tahu, sadar, tetapi memilih diam. Pikiran cowok yang menolong bingung harus berbuat apa selain kembali ke tempat duduknya.
Rine bangkit dari duduknya dan menghampiri cowok yang menolongnya. Bola matanya melihat dari atas ke bawah dengan cepat agar tidak memunculkan kecurigaan. Pasalnya baru kali ini ada orang yang terang-terangan mau membela dirinya. Selama ini tidak ada yang berani melakukan itu, sebab Rine tidak memerlukan hal itu. Jika hari biasanya, mungkin cowok itu yang akan kena marah oleh Rine. Namun, di hari yang sedikit kacau ini, dia memutuskan untuk sedikit berbaik hati.
“Terima kasih,” ucap Rine tulus.
“Santai. Namanya juga teman, Rin.”
“Sejak kapan? Ketemu saja baru kali ini.”
“Gue Eno, anak baru,” ucapnya memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangan.
Rine langsung berbalik badan, meninggalkan cowok itu yang masih menggeleng-gelengkan kepalanya. Rine duduk di taman, tangan kirinya yang lentik memegang rokok. Bibir Rine mengisapnya berulang kali seolah-olah rokok itu obat untuk harinya yang buruk. Langkah kaki yang menginjak dedaunan kering membuat Rine menoleh dan mendapati teman sekelas yang menolongnya tadi.
“Mau apa ke sini? Lu pengin babak belur?”
“Gue boleh enggak jadi teman lu?”
“Atas dasar apa?” tanya Rine sembari mengangkat alisnya.
“Gue anak baru dan enggak ada teman sama sekali.”
“Kenapa harus gue? Banyak yang lain, pergi sana!”
Eno tetap diam, memperhatikan Rine dari jarak dekat membuat dadanya berdebar. Nyaris tanpa cacat. Rine yang merasa diperhatikan langsung memukul keras kepala Eno hingga menjerit bagaikan anak kucing yang dipukul sapu.
“Kenapa gue digeplak?”
“Gue enggak suka sama tatapan lu.”
Lagi-lagi Rine langsung pergi. Harinya yang kacau membuatnya pergi dari kampus. Dengan motor klx tipe sama seperti Abbian dia menyisir jalanan. Suasana hatinya menginginkan kesendirian. Tidak ada yang lebih bermakna selain perenungan atas hidup. Cewek dengan kemeja kotak-kotak hitam berpadu cokelat itu menepikan motornya saat menemukan kafe yang sesuai. Kafe Candu terlihat tidak begitu ramai. Dekorasinya seperti rumah, tetapi diubah menjadi kafe.
“Halo, Rin. Apa kabar?” Barista kafe mencoba berbasa-basi karena pelanggan tetapnya sudah datang.
Bukan Rine namanya kalau tidak membuat orang kesal. Jangankan membalas sapaan barista, dia terus masuk mencari tempat kosong. Suaranya memanggil pelayan untuk meminta menu dan memesannya. Suasana yang tidak begitu ramai membuat cewek itu merasa lebih tenang. Dengan sedikit lambat menyalakan rokok dan berdiskusi dengan pikirannya sendiri.
Rine bertanya kenapa kepada dirinya sendiri atas sikapnya. Ketidaksukaannya melihat Abbian dan Nissa. Kekesalannya merasa diabaikan. Apakah ini cinta? Dia menepis perasaan itu, terus menikmati rokoknya. Sekumpulan cowok yang duduk di dekat Rine terperangah. Baru kali ini melihat cewek merokok dengan santainya. Rine hanya memandang pesanannya yang baru datang beberapa menit lalu dengan tidak bergairah. Segelas kopi hitam dan roti bakar manis.
Nada telepon berdering mengagetkan Rine. Nama Abbian terpampang jelas di sana. Bukannya mengangkat telepon, dia memilih menonaktifkan teleponnya. Rine ingin sendiri, tidak mau lagi ditemani. Ketika rokoknya habis, dia mulai menyeruput kopinya dan memakan roti bakar yang telah mendingin. Sekumpulan cowok yang juga ada di kafe mencoba mencari perhatian ke Rine. Cewek itu tidak menggubrisnya, justru sibuk dengan pikirannya sendiri.
Rine langsung memilih pulang setelah dari kafe. Di depan gerbang rumahnya terlihat ada Abbian dengan Nissa yang sedang tertawa bahagia. Tawa mereka buyar saat ada Rine yang berhenti.
“Lu ke mana sih Rin? Gue kan ngajak lu ke rumah?”
Tidak ada jawaban, hening. Rine membuka gerbang dan masuk tanpa mempersilakan mereka. Abbian paham bahwa Rine sedang ingin sendiri. Kedatangannya kali ini karena dipaksa Nissa. Sekarang pun Abbian harus bertanggung jawab dengan mengantarkan Nissa pulang.
Sepanjang perjalanan, Nissa selalu mengajak bicara Abbian. Tidak bisa memungkiri bahwa Abbian membandingkan Nissa dengan Rine. Segera cowok itu menepis pikiran aneh-aneh. Tidak seharusnya melakukan itu. Namun, keramahan Nissa walau sedikit menyebalkan membuatnya nyaman. Nissa dan Rine adalah dua kutub yang berlawanan. Sialnya, Abbian merasa nyaman dengan keduanya. Sadar atau tidak, Nissa juga merasa rasa sukanya kepada kekasih sahabatnya itu sama saja, tidak berkurang sama sekali. Bedanya kalau dulu tidak ada kesempatan dan sekarang kesempatan terbuka lebar.
“Bi, kok lu bisa suka sama si Rine?”
“Cowok bodoh yang enggak suka sama dia.”
“Kalau sama gue? Lu bakal bilang gitu juga, gak?
“Maksud lu apa?”
“Kalau gue bilang gue suka lu, lu marah, gak?”
“Nis, enggak lucu. Lu tahu gue pacaran sama Rine.”
Abbian merasa perasaanya tidak enak. Rasa bersalah mengendap di hatinya. Dia langsung menambah kecepatan motornya. Kemudian, kembali lagi ke rumah Rine. Motor Rine sudah tidak ada, ceweknya sudah keluar tanpa berpamitan. Nomornya masih tidak bisa dihubungi. Abbian benar-benar panik. Kepalanya ingat tentang Kafe Candu. Tidak perlu lama untuk melajukan motornya ke arah kafe tersebut.
Keramaian Kafe Candu saat sore membuat Abbian kebingungan mencari Rine. Jika dilihat dari motornya, cewek itu tidak ada di sana. Abbian tidak menyerah, dia kembali memutar arah menuju pantai. Separuh hatinya yakin bahwa kekasihnya ada di sana. Keyakinannya amblas saat tahu Rine tidak sendiri, dia bersama cowok asing. Meskipun kekasihnya hanya diam di samping cowok yang merebahkan diri di pasir. Abbian langsung menghampiri mereka. Rine yang sadar tetap tenang seperti patung tanpa nyawa.
“Lu selingkuh?” tanya Abbian mengagetkan Eno.
Rine tidak menjawab apa pun. Raganya memang ada di dunia, tetapi pikirannya mengembara ke mana-mana. Abbian mengguncang bahu Rine hingga cewek itu kaget. Eno yang mulai memahami hanya diam, takut ikut campur walau sebenarnya ada sesuatu yang ganjil di kedua bola mata Rine.
“Siapa yang selingkuh? Lu selingkuh sama Nissa? Lanjutin.” Rine membuka kardigannya, menyisakan kaus tanpa lengan. Dada Abbian terasa mau meledak, dia membuka jaketnya dan menutupi tubuh Rine. Eno hanya tersenyum samar menyaksikan keduanya dari dekat.
“Lu ngomong apa? Nissa sahabat lu. Cemburu?” “Enggak, gue enggak cemburu, Abbian. Kita putus saja, ya. Gue pengin sendiri. Jangan susul gue.” Rine bangkit menuju motornya dan meninggalkan dua cowok dengan perasaan berbeda. Eno yang tadinya tersenyum langsung terdiam karena kaget. Apalagi Abbian, terduduk lemas di tempat. Sama sekali tidak menyangka bila hubungannya akan berakhir dengan mudah. Rine yang sulit terjamah juga sulit diterka ke mana pikirannya. Abbian mengutuk dirinya sendiri yang terlena dengan keramahan Nissa. Meskipun Rine terlihat tidak cemburu pada awalnya, tetapi siapa yang menjamin saat semakin lama? Saat cinta itu semakin mengakar kuat di dadanya. Eno menghampiri Abbian karena tidak tega. T
Kepulan asap rokok saling bersahutan di antara mereka yang memadu kasih di salah satu kamar motel. Keduanya hanya saling menatap sambil menikmati rokok yang terselip di jarinya. Malam yang begitu dingin bukan masalah. Dengan pakaian lengkap, salah satu dari mereka tersulut sumbu gairahnya. Keremangan kamar motel seolah mendukung imajinasi untuk lebih berani. Tanpa sadar, tanpa tahu siapa yang memulai, keduanya sudah terjebak dalam keliaran asmara buta yang kehilangan seluruh indranya. “Bi, kenapa lu mau sama gue?” “Enggak ada alasan buat nolak cewek seksi kayak lu.” “Fisik yang utama, ya,” jawab si cewek dengan kepala mengangguk-angguk seakan paham betul.
“Bukan ih, gue serius.” “Gimana? Pengin berubah seperti apa?” “Lu lihat Nissa, kan? Dia cantik banget pakai jilbab. Kalau gue jadi lu, mungkin gue lebih pilih Nissa dibandingkan Rine. Kita jauh, Bi, kayak langit dan bumi.” “Astaga, Rine! Rine, gue enggak apa-apa lu mau gimana juga. Memangnya pernah selama ini gue minta lu berubah secara fisik? Jerawat lu saja enggak pernah gue bahas. Gue enggak tahu harus meyakinkan lu gimana, tetapi gue benar-benar suka lu,” jelasnya dengan tangan menangkup pipi cewek yang sedari tadi menunduk. “Lebih tepatnya, gue pengin jadi lebih baik, Bi. Gue bingung harus mulai dari mana. Gue takut karena sebenarnya
“Enggak apa-apa masuk? Kalau orang tua lu marah bagaimana? Gue enggak enak, baru juga bertamu sudah berulah.” “Santai saja, mereka enggak bakal tahu.” Dengan langkah cepat cowok berkumis tipis itu pun langsung masuk dan menutup pintu. Rine terkekeh pelan melihat tingkah laku Abbian. Ternyata pikirannya terhadap cowok itu salah besar. Rine mengira Abbian sosok yang berani sekaligus tidak punya sopan santun, tetapi malam itu tidak terbukti. Dia tadi sempat bersembunyi di balik tembok untuk melihat bagaimana perilaku Abbian kepada kedua orang tuanya. Mencium tangan, rutinitas yang sudah dilupakan Rine itu menimbulkan nostalgia ke zaman dirinya saat bersekolah dasar. Ingatan itu pulih saat sadar cowok di sampingnya kembali mengambil telur gulung dan memakannya dengan wajah
“Lu ngomong apa? Nissa sahabat lu. Cemburu?” “Enggak, gue enggak cemburu, Abbian. Kita putus saja, ya. Gue pengin sendiri. Jangan susul gue.” Rine bangkit menuju motornya dan meninggalkan dua cowok dengan perasaan berbeda. Eno yang tadinya tersenyum langsung terdiam karena kaget. Apalagi Abbian, terduduk lemas di tempat. Sama sekali tidak menyangka bila hubungannya akan berakhir dengan mudah. Rine yang sulit terjamah juga sulit diterka ke mana pikirannya. Abbian mengutuk dirinya sendiri yang terlena dengan keramahan Nissa. Meskipun Rine terlihat tidak cemburu pada awalnya, tetapi siapa yang menjamin saat semakin lama? Saat cinta itu semakin mengakar kuat di dadanya. Eno menghampiri Abbian karena tidak tega. T
Kelas Rine ramai, teman-temannya saling bercanda. Sementara cewek cantik itu tetap sendiri dengan tatapan kosongnya. Pikirannya berputar-putar, berusaha memahami perasaannya sendiri. Dia belum paham secara pasti tentang perasaannya ke Abbian. Selama ini kerap menolak, tetapi siapa yang tahu akan begini jadinya. Diam-diam ada yang memperhatikan Rine. Cowok berkumis tipis dengan rambut rapi dan klimis. Cowok itu nyaris tanpa kedip saat melihat Rine dengan pakaian berantakan. “Rin, kantin, yuk,” ajak salah satu cowok di kelasnya. Jangankan menjawab, menoleh pun tidak. Teman cowok Rine itu merasa sedikit kesal sehingga tangannya hendak memukul kepala cewek itu. Sebelum tangan itu menyentuh kepala Rine, seorang cowok menghentikannya. Senyum ramahnya membuat teman cowok Rine sungkan dan
“Enggak apa-apa masuk? Kalau orang tua lu marah bagaimana? Gue enggak enak, baru juga bertamu sudah berulah.” “Santai saja, mereka enggak bakal tahu.” Dengan langkah cepat cowok berkumis tipis itu pun langsung masuk dan menutup pintu. Rine terkekeh pelan melihat tingkah laku Abbian. Ternyata pikirannya terhadap cowok itu salah besar. Rine mengira Abbian sosok yang berani sekaligus tidak punya sopan santun, tetapi malam itu tidak terbukti. Dia tadi sempat bersembunyi di balik tembok untuk melihat bagaimana perilaku Abbian kepada kedua orang tuanya. Mencium tangan, rutinitas yang sudah dilupakan Rine itu menimbulkan nostalgia ke zaman dirinya saat bersekolah dasar. Ingatan itu pulih saat sadar cowok di sampingnya kembali mengambil telur gulung dan memakannya dengan wajah
“Bukan ih, gue serius.” “Gimana? Pengin berubah seperti apa?” “Lu lihat Nissa, kan? Dia cantik banget pakai jilbab. Kalau gue jadi lu, mungkin gue lebih pilih Nissa dibandingkan Rine. Kita jauh, Bi, kayak langit dan bumi.” “Astaga, Rine! Rine, gue enggak apa-apa lu mau gimana juga. Memangnya pernah selama ini gue minta lu berubah secara fisik? Jerawat lu saja enggak pernah gue bahas. Gue enggak tahu harus meyakinkan lu gimana, tetapi gue benar-benar suka lu,” jelasnya dengan tangan menangkup pipi cewek yang sedari tadi menunduk. “Lebih tepatnya, gue pengin jadi lebih baik, Bi. Gue bingung harus mulai dari mana. Gue takut karena sebenarnya
Kepulan asap rokok saling bersahutan di antara mereka yang memadu kasih di salah satu kamar motel. Keduanya hanya saling menatap sambil menikmati rokok yang terselip di jarinya. Malam yang begitu dingin bukan masalah. Dengan pakaian lengkap, salah satu dari mereka tersulut sumbu gairahnya. Keremangan kamar motel seolah mendukung imajinasi untuk lebih berani. Tanpa sadar, tanpa tahu siapa yang memulai, keduanya sudah terjebak dalam keliaran asmara buta yang kehilangan seluruh indranya. “Bi, kenapa lu mau sama gue?” “Enggak ada alasan buat nolak cewek seksi kayak lu.” “Fisik yang utama, ya,” jawab si cewek dengan kepala mengangguk-angguk seakan paham betul.