Putra Mahkota datang ke kediaman Sang Raja. Dia langsung bersimpuh di hadapannya sembari menahan kekesalannya. Raja Abinawa tampak heran.“Ada apa?” tanya Raja Abinawa.“Kenapa Ayah ingin menjadi Pemuda Pincang itu sebagai Panglima dan suami dari adikku?” protes Putra Mahkota.“Panggil dia Bimantara,” ujar Sang Raja. “Dia memiliki nama. Sebagai Putra Mahkota kau harus menghargai mereka yang tidak sempurna.”“Dia tidak pantas untuk menjadi Panglima dan suami dari Putri, Ayah,” protes Putra Mahkota.“Ada yang aku ketahui di balik semua ini, dan karena itulah aku melakukan semuanya,” jawab Sang Raja.“Aku yakin dia penipu. Dia memanfaatkan Putri untuk mendapatkan jabatan di istana ini. Setelah dia mendapatkan jabatan, dia akan berlaku semena-mena dan bisa saja menurunkan tahta ayah di sini!”“Kecilkan suaramu di hadapanku!” tegas Sang Raja. “Lagipula belum tentu dia akan berhasil mengalahkan para pendekar terbaikku dan Panglima Indra!”“Kalau ayah masih ragu, hentikan saja rencana ayah i
Putri Kidung Putih berlari menuju kediaman Bimantara saat dia mendengar bahwa Raja akan mengadakan pertarungan antar pendekar dan Panglima Indra dengan Bimantara. Para Prajurit menghadang kedatangan Putri di gerbang utama kediaman itu.“Ampun, Tuan Putri. Yang Mulia memerintahkan kami untuk menjaga kediaman ini. Yang Mulia Putri dilarang masuk ke dalam sana dan Tuan Bimantara dilarang keluar dari kediamannya,” ucap Prajurit.Tuan Putri tampak kesal mendengarnya.“Kalau begitu, tolong panggilkan Bimantara. Aku ingin bicara dengannya di sini,” perinta Putri Kidung Putih.“Baik, Yang Mulia,” jawab Prajurit itu.Dia pun pergi menjemput Bimantara di dalam sana. Tak lama kemudian Bimantara keluar dari kediaman itu bersama Prajurit. Dia langsung menghampiri Putri Kidung Putih. Sang Putri pun menarik tangannya untuk menjauh dari para Prajurit penjaga itu. Mereka bicara di taman istana.“Ayah ingin mengadakan pertarungan untukmu dengan para pendekar istana dan Panglima Indra,” ucap Putri Kidun
“Hentikan!” teriak Bimantara sambil menahan serangan pedang dari Pangeran Kedua. “Aku tidak sedang memusuhimu dan aku bukan seorang penjahat yang harus kau lawan.”Pangeran Kuda menghentikan serangannya sesaat. Napasnya memburu. Amarahnya menguak.“Buktikan padaku kalau kau pantas aku terima sebagai kekasih adikku!” tegas Pangeran Kedua.Pangeran Kedua kembali menyerang Bimantara. Seketika tongkat hitam yang dipegang Bimantara berubah menjadi Pedang Perak Cahaya merah yang berkilau. Pangeran Kedua terbelalak melihatnya. Pedang itu langsung diayunkan Bimantara hingga mematahkan pedang di tangan Pangeran Kedua. Pangeran Kedua tampak tak percaya.“Sudah aku bilang! Aku bukan musuhmu!” tegas Bimantara sambil memegang pedang itu. Matanya tampak tajam memandangi Pangeran Kedua.“Siapa kau sebenarnya?” tanya Pangeran Kedua. “Siapa kau sebenarnya?! Apakah utusan Bubungkala untuk menghancurkan negeri ini? Apa kau sengaja memanfaatkan adikku agar kau bisa masuk ke dalam istana lalu melakukan ak
“Yang kedua?” tanya Bimantara lagi.“Yang kedua Pendekar Pasir Putih,” jawab Pelayan itu.“Pendekar Pasir Putih?”“Benar, Tuan. Dia penjaga di sepanjang pantai negeri ini. Dia mengendalikan para prajurit yang menjaga garis pantai negeri ini,” jawab Pelayan itu.“Apa kehebatannya?” tanya Bimantara.“Tubuhnya bisa berubah menjadi pasir lalu pasir-pasir itu bisa menggerogoti kulit dan daging manusia hingga bolong-bolong penuh darah,” jawab Pelayan itu tampak ngeri menceritakannya.Bimantara semakin ngeri mendengarnya.“Yang Ketiga?” tanya Bimantara.“Yang Ketiga Pendekar Bunga Teratai,” jawab Pelayan itu.“Apa kehebatannya?” tanya Bimantara.“Dia memiliki senjata tusuk rambut yang sangat beracun. Bila terkena kulit manusia, maka kulit manusia seperti terbakar lalu racun-racun itu akan cepat mematikannya. Dia menguasai area hutan dan mengendalikan para prajurit yang menjaga hutan,” jawab Pelayan.Bimantara semakin bergidik ngeri mendengarnya.“Apa dia pendekar perempuan?” tanya Bimantara
“Bimantara! Bangun Bimantara!” ucap Putri Kidung Putih di ruangan Tabib Istana itu. “Tunggu saja, Yang Mulia,” pinta Tabib Istana. “Sebentar lagi dia akan sadar. Sepertinya ada gangguan di syarafnya. Mungkin dia tengah banyak pikiran hingga sakit kepalanya menyerang lalu pingsan.” Putri Kidung Putih terdiam mendengar itu. Dia memandangi Bimantara yang terbaring lemah dengan sedih. “Apa karena itulah ingatannya hilang?” tanya Putri dalam hatinya. Dia menoleh pada Tabib Istana dengan perasaan sangat khawatirnya. “Aku mohon sembuhkan segera Bimantara. Dia akan menghadapi pertarungan. Jika dia tidak sadar juga, bagaimana dia akan membuktikan pada ayah?” pinta Putri pada Tabib. “Tuan Putri tenang saja. Aku sudah memeriksa denyut nadinya. Dia hanya pingsan biasa,” jawab Tabib itu menenangkannya. Tak lama kemudian tangan Bimantara tampak bergerak-gerak. Melihatnya Tuan Putri tampak lega. “Bimantara?” Bimantara membuka matanya. “Di mana aku dan kenapa aku?” tanya Bimantara lemah. “K
“Yang Mulia Pangeran Padama!”Pangeran Padama yang sedang duduk bersila sambil memejamkan matanya tampak terkejut mendengar panggilan itu. Dia tahu suara siapa itu. Pangeran yang terbuang itu pun membuka matanya. Gua itu tampak sunyi. Para Tetua sedang tidak ada di sana. Dia hanya sendirian untuk mendalami ilmunya. Suara tetes-tetes air tampak terdengar jelas dari langit-langit gua mengenai bebatuan gua di bawahnya.“Pendekar Tersembunyi? Tunjukkan wajahmu!”Tak lama kemudian wujud asli Pendekar itu tampak jelas di mata Pangeran itu. Padama tersenyum melihatnya.“Sudah lama kau tidak mengunjungiku di sini,” ucap Pangeran Padama.“Aku datang karena tahu kau sedang mengincar sebuah tongkat yang dimiliki pemuda pincang itu,” ucap Pendekar Tersembunyi.Mendengar itu Pangeran Padama tampak semangat. Dia lalu berdiri dan berjalan mendekat ke arahnya.“Dari mana kau tahu, mata-mata setiaku?” tanya Pangeran Padama heran.Pendekar Tersembunyi tertawa.“Kau pikir aku tidak pernah mengintaimu di
“Jadi ini lelaki pincang itu yang Tuan Putri maksud?” tanya Kakek Gentar lalu terkekeh.“Benar, Kek,” jawab Tuan Putri.Kakek Gentar berjalan mendekati Bimantara yang sedang bertumpu pada tongkat hitamnya. Dia memandanginya dari ujung rambut ke ujung kakinya. Bimantara terdiam bingung. Dia masih mengingat siapa kakek itu sebenarnya. Dia yakin kakek itu pernah ada dalam hidupnya sebelum ingatannya menghilang.Kakek itu hendak meninju perut Bimantara, namun dengan sigap naluri ilmu bela diri Bimantara datang hingga dengan cepat dia mampu menangkap lengan kakek itu. Kakek Gentar tertawa.“Gerak refleksmu bagus juga,” puji kakek itu.Tak lama kemudian kakek itu mengarahkan tendangannya ke tongkat hitam yang menjadi tumpuan Bimantara berdiri. Lagi, dengan sigap Bimantara melompati kaki kakek itu lalu mendarat dengan selamat di lantai. Kakek Gentar kembali tertawa.“Sepertinya ilmu bela dirimu sudah mumpuni,” puji Kakek itu.Bimantara terdiam awas. Dia khawatir Kakek itu menguji ilmunya kem
“Sepertinya aku tahu apa saja ilmu yang kau kuasai,” ucap Kakek itu sambil memandangi kedua bola mata Bimantara dengan lekat.Bimantara mengernyit heran. Dia semakin curiga kalau Kakek itu memang pernah ada dalam kehidupannya sebelum ingatannya menghilang.“Dari mana Kakek tahu?” tanya Bimantara heran.Kakek Gentar berdiri.“Dari matamu,” jawab Kakek itu.“Memangnya aku memiliki ilmu apa saja?” tanya Bimantara penasaran. Dia ingin tahu apakah jawaban Kakek itu akan sama dengan penglihatannya saat meminta bantuan pada tongkat hitamnya dulu.“Kau memiliki jurus tendangan seribu, ilmu bela diri tingkat ketujuh, ilmu meringankan tubuh, dan kau memiliki dinding pembatas tak terlihat dari Pedang Perak Cahaya Merahmu,” jawab Kakek itu dengan santainya.Bimantara terbelalak mendengarnya. Ucapakan Kakek itu benar-benar sama dengan apa yang dilihatnya dari sekelebat bayangan yang didapatnya setelah tongkat hitamnya menunjukkannya.“Sayangnya, kau tidak dapat menggunakannya dengan kesadaran. Kau