Begitu membuka pintu, telah berdiri dua orang di depanku. Satu orang wanita paruh baya, satunya lagi seorang perempuan kisaran usia 20 tahun, sepantaran denganku. Cantik, dan mataku menyipit melihat tangannya memegangi perut yang agak buncit. Hamil atau hanya kelebihan lemak di perutnya? Sepertinya dia hamil. Kalau timbunan lemak, sangat tak masuk akal karena tidak proposional dengan tubuhnya yang kurus.
Siapa mereka? Apa jangan-jangan, dokter yang dipanggil tadi untuk memeriksa perempuan cantik ini, yang ternyata adalah simpanan Mas Yusuf?
Ah, ini gila. Prasangkaku sudah di level akut. Belum lagi aku dapat jawaban siapa wanita di bilik lain lantai dua, sekarang ada perempuan cantik yang datang ke rumah kami. Hamil pula!
Mas Yusuf, siapa kamu sebenarnya?
"Si, si, siapa?" tanyaku. Sambil mengamati perempuan cantik di hadapan. Jujur, kecantikan yang alami, khas gadis desa tanpa polesan make-up itu membuatku iri dan cemburu.
Kalau aku jadi Mas Yusuf, aku pun pasti juga akan jatuh cinta padanya. Namun, bukankah itu salah. Apa suamiku itu sengaja memilihku sebagai istrinya, karena aku dianggap polos lantaran lulusan pesantren? Dengan begitu aku akan mudah ditipu dan hubungannya dengan perempuan cantik ini berjalan dengan lancar.
"Oh, saya sudah terbiasa ke sini, Bu. Eh, Non." Wanita paruh baya menyahut pertanyaanku. Yang kutanya mereka ini siapa, bukan kegiatan yang biasa mereka lakukan.
Apa ibu ini sengaja menjawab dengan retorika, eh maksudku tauriyah dalam balaghoh. Seperti penjelasan ustazah dulu, ada tipe-tipe orang yang pandai bicara dan mengecoh lawan bicaranya. Ibu ini sengaja membuat pernyataan yang tak jelas maknanya, hingga aku tak memahami itu secara jelas.
"Ke mari? Setiap hari?" Baiklah kuikuti saja permainan ini.
Kalau benar dugaanku, Mas Yusuf hanya memanfaatkanku, aku tak akan tinggal diam. Tak peduli aku mencintainya atau tidak. Aku akan menjebloskannya ke dalam penjara karena telah menjebak gadis baik-baik sepertiku.
Ibu itu mengangguk. Lalu kualihkan tatapan pada puterinya, dan dia tersenyum padaku.
Ya Rabb ... cantik sekali. Senyumnya sangat manis. Kenapa sakit melihat wanita lain lebih cantik dariku?
"Kami yang membersihkan rumah ini."
"Oh." Mulutku membulat. Lalu mengajak mereka masuk karena terlalu lama berdiri di depan pintu.
Setelah menutup pintu, dua wanita itu berjalan begitu saja ke arah dapur. Tanpa permisi padaku? Keningku sampai berkerut-kerut.
Aku pun mengikuti mereka dengan penuh tanya. Barangkali mereka memang sudah terbiasa di rumah ini. Ah, kamu tak boleh lengah Hanna.
Ibu dan anaknya itu berjalan melewati Mas Yusuf yang tampaknya sibuk dengan gawainya. Dia pasti tengah menghubungi dokter itu, mengubah rencana karena aku tak jadi meninggalkan rumah.
"Mari Tuan." Ibu itu mengangguk lalu berjalan begitu saja melewati Mas Yusuf, bersama sang perempuan cantik.
Suamiku hanya membalas anggukannya. Seolah tak peduli pada kehadiran mereka. Ini aneh. Berarti dugaanku salah lagi? Mereka ke sini memang hanya bersih-bersih. Pantas saja rumah ini selalu tampak rapi.
"Dik, Mas berangkat dulu, ya." Mas Yusuf kini bangkit dan mendekat padaku. Pria itu mengulurkan tangan, dan aku segera meraih untuk dicium bagian punggungnya.
"Iya, Mas."
"Baik-baik di rumah," ucapnya sembari tersenyum mengusap kepalaku.
Dia yang semalam dingin, kenapa bersikap seperti ini? Kamu sangat membingungkan, Mas. Apa kamu sengaja mempermainkanku? Aku terus bertanya dalam hati, dengan tatapan ke arah saku, di mana ponsel itu diletakkan. Kalau saja aku punya indera ke-enam, dan tahu isi semua ponselmu. Pasti hatiku tak segundah ini sekarang.
Ah, kalau punya indera ke-enam, hal pertama yang kulakukan adalah mencari tahu isi bilik di lantai dua. Saking senewen pada pradugaku sendiri aku jadi berpikir yang tidan-tidak.
Langkahku mengikuti Mas Yusuf yang berjalan ke arah pintu. Saat itulah kutanyakan mengenai dua wanita tadi.
"Mas mereka bantu-bantu? Sampai jam berapa?" tanyaku.
"Mas gak tau, Dik. Cuma setelah semua beres Mas izinkan mereka pulang."
"O ...."
"Apa Dik Hanna terganggu dengan mereka? Kalau memang terganggu, biar Mas berhentikan."
"Oh, nggak. Nggak, Mas!" ucapku cepat. "Kasian nanti mereka kehilangan pekerjaan," ucapku yang sok baik.
Meski itu juga salah satu alasannya, tapi alasan utamanya adalah jelas, aku tak mungkin bisa mengurus rumah sebesar ini sendirian.
"Hem. Ya, sudah. Mas pergi dulu." Pria tampan itu tersenyum tipis. Aku senang dia tersenyum untukku. Hanya untukku. Entah, bagaimana kalau nanti ada kenyataan lain bahwa senyumnya itu juga milik orang lain. Apa aku akan sanggup.
"Assalamualaikum," ucapnya yang menjauh dari pintu.
"Waalaikumsalam."
Aku mendesah menatap punggung lebarnya yang bergerak ke arah mobil.
Mas, Mas. Kamu pria yang nyaris sempurna. Tampan, santun, sholeh dan baik. Kalau saja tak ada bilik itu dan kamu tak menolakku semalam, hidupku pasti sangat sempurna sekarang ini.
Selepas mobil yang dikendarai Mas Yusuf keluar dari pekarangan rumah yang luas dan hilang dari tatapan, aku pun berjalan ke dapur. Barangkali bisa mengorek info dari mereka.
Saat memasuki area dapur wanita paruh baya tengah membereskan meja makan bekas kami sarapan. Sementara perempuan muda tengah mencuci perabot di wastafel.
"Bu ...." panggilku pada si ibu.
"Panggil bibi aja, Non." Si ibu menyahut cepat. Bahkan aku belum selesai bicara.
"Ah, ya. Bibi." Kuturuti kemauannya.
"Maaf saya sambi, ya, Non," ucapnya lagi sambil bergerak ke arah wastafel.
"Iya, Bi," jawabku.
"Oya, Non yang katanya baru nikah sama Tuan?" tanya Bibi itu.
"Hem, iya, Bi. Baru sehari." Aku tersenyum. Ada perasaan senang karena telah menyandang gelar seorang istri.
Coba saja kalau teman-temanku di pesantren tahu aku menikah, pasti bakal heboh satu asrama. Sayang, aku putus kontak sejak memutuskan keluar pesantren karena lamaran Mas Yusuf.
Entah, bagaimana ceritanya Mas Yusuf ini mengenalku. Rasanya aneh karena selama ini aku berada di pesantren. Namun, yang kuyakini, namanya jodoh itu meski yang satu di Artika dan satunya lagi di Antartika, keduanya pasti akan bertemu di pelaminan.
"Non, cantik," puji si Bibi. Saat menoleh ke arah anaknya perempuan mengangguk sambil tersenyum. Seolah mengaminkan ucapan Bibi. Gadis itu tampaknya pemalu.
"Makasih, Bi. Kan aku wanita," kelakarku yang membuat Bibi tersenyum.
"Non beruntung. Dinikahi pria sebaik Mas Yusuf. Anak bibi ...." Wanita itu menoleh ke arah puterinua dengan tatapan kesedihan.
"Ya?"
"Puteri bibi korban perkosaan." Ucapan wanita itu membuatku terkejut.
"Dia jadi sangat pendiam, tak mau bergaul karena malu. Jadi bibi membawanya ke mana-mana." Wajah tua itu mengucap dengan mata berkaca-kaca.
Ya Tuhan, kasihan sekali mereka. Hidup gadis itu pasti sangat berat.
"Dia sempat frustasi. Jadi gak gitu nyambung diajak ngomong, tapi meski gitu puteri bibi sangat penurut sama ibunya," lanjutnya.
Aku mengembus berat. Tak bisa membayangkan bagaimana menjalani hidup seperti anak Bibi. Rasanya jadi merasa bersalah karena sudah suudzon padanya.
Karena emosi, langkahku bergerak mendekat pada Bibi dan mengusap punggungnya agar mendapat ketenangan.
Sambil melirik pada puterinya yang kini mencuci benda-benda di wastafel dengan menunduk.
"Oya, Bi. Apa Bibi tau tentang gudang di lantai dua?" tanyaku mengalihkan perhatian. Tak tega melihat ekspresi wanita tua itu saat membahas anaknya.
"Gudang, Non? Di lantai dua?" tanyanya kemudian.
Aku pun mengangguk.
Sementara Bibi malah menggeleng. "Saya dilarang Tuan Yusuf naik ke lantai dua, Non. Tugas kami hanya bersih-bersih di bawah."
"Oh, begitu." Aneh. Kenapa tak boleh dibersihkan juga? Dalam kurun waktu tertentu, pasti tempat itu akan berdebu. Juga perabot di lantai dua kan lumayan banyak.
"Tapi, Bibi tau ada gudang di sana?" tanyaku lagi.
Namun, lagi-lagi Bibi menggeleng. "Kami tidak pernah naik ke lantai dua, Non. Takut jika Tuan tahu, di semua sudut kan ada CCTV."
Aku mendesah. Tak ada info yang bisa kudapat dari Bibi. Padahal tadinya aku berpikir kalau ada yang bersih-bersih rumah, pasti tahu setiap sudut ruang di rumah ini. Namun, rupanya Mas Yusuf juga membatasi gerak mereka.
Kalau begini tak ada jalan lain selain mendapatkan pasword pintu tersebut, tapi bagaimana cara aku mendapatkannya?
Bersambung
300 lope cuss bab 7đ
Firasat ini sangat kuat, ya Rabb. Ampuni hamba, jika ini adalah bagian kesalahan yang membawa pada dosa, karena terus berprasangka buruk pada suami. Lelaki yang Rasulullah katakan andai manusia boleh bersujud, maka kami para istri diperintahkan bersujud pada suaminya.â¤â¤â¤Sambil berjalan ke arah tangga menuju lantai atas aku berbincang dengan Mbak Indah, kakak iparku melalui telepon."Oh, jadi lagi ngerayain. Sampe jam berapa, Mbak?""Kayaknya jam 12 udah selesai, sih.""Gak papa, dah. Siang-siang ke sininya.""Cie, yang baru boyongan. Iya, iya. Apa sih yang nggak buat kamu.""Hehe, makasih, ya, Mbak. Maaf banget ya gak bisa datang ke acaranya Zio. Tapi aku udah siapin kado buat dia.""Iya, santai aja.""Oya, apa Mas Zidan datang?" tanyaku menanyakan keberadaan saudara sulungku. Lelaki itu m
"Loh, Pak. Kok rekaman untuk dalam rumah nggak ada?" tanyaku heran. Bukankah seharusnya setiap sudut ruang ada rekamannya karena Mas Yusuf memasangnya di sana."Oh, itu, Mbak. Maaf, kami tidak diberi wewenang Tuan untuk menyimpannya. Mungkin ada di file laptop pribadi beliau." Pak satpam menduga-duga."Kok gitu?""Kata Tuan, bukan karena tak percaya pada kami, Mbak. Tapi ... karena beliau akan menikah, takut aurat istrinya terlihat oleh satpam, yang notabene adalah para pria," sambung pria yang kutaksir usianya di atas 35 tahun itu.Ucapannya membuatku trenyuh. Namun, juga kecewa dalam waktu yang sama. Trenyuh, lantaran Mas Yusuf memperhatikan dan menjaga aurat istrinya. Bukan suami-suami dayuts, yang membiarkan istrinya bermaksiat, tak memiliki ketakutan atas azab Allah sebab tak memiliki kecemburuan atas istrinya.Dari sini, harusnya aku paham dan yakin bahwa Allah
Tidak ada ketaatan kepada orang yang bermaksiat kepada Allah .... â¤â¤â¤ Ini terlalu menyesakkan. Wanita mana yang rela diduakan? Belum lagi jika caranya salah, dan mendzolimi wanita itu sendiri. Kalau dia tak mencintaiku dan mencintai wanita lain, yang bahkan mereka sudah punya anak, kenapa dia melamarku? Nggak, Mas! Mungkin kamu membutuhkan wanita kuat dan sholehah untuk bisa menerima keadaanmu yang sudah menyembunyikan wanita lain yang kamu hamili, tapi bukan aku orangnya. Aku menyerah jika ini menyangkut pengkhianatan. Aku memang masih kuat kamu tolak, kamu acuhkan dan menahan sikap dingin Mas Yusuf. Bahkan jika dia belum siap menerimaku sebagai istrinya, aku akan menunggu. Kutatap kaca tembus pandang yang menampakkan asrinya taman halaman luas rumah kami dengan pandangan berkabut karena air mata yang memenuhi pelupuk mata. Menatap rama-rama yang terbang bebas di antara bunga-bunga, rasanya aku ingin kabur saja sekarang. Bebas seperti mereka. Melepaskan semua rasa sakit, cembu
Orang yang dapat menjalankan shalat secara khusyu akan termasuk dalam golongan orang berbahagia, seperti firman Allah : âSungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnyaâ (Qs AlMukminun [23]: 1-2). â¤â¤â¤ "Ayo kita bicara, aku akan menceritakan semuanya," ucap lelaki itu. Sontak saja aku yang melihat ke arah lain menatapnya, hingga kudapati Mas Yusuf menatap tajam ke arahku. Dia sangat serius mengatakannya. Bahkan memakai aku dan padamu, bukan Mas atau Dik. Apa dia benar-benar akan menceritakan semuanya? Jika iya, ini kesempatanku mencecar sampai habis semua yang ingin aku tahu semuanya. "Kamu akan mandi?" Mas Yusuf melirik handuk yang sudah nangkring di bahuku. "Hem?" "Mandilah! Aku akan menunggu di ruang kerja," ucap pria itu. "Aku juga perlu sholat lebih dulu," sambung Mas Yusuf, yang kemudian berbalik ke ruang lain yang juga masih di lantai dua. Tanpa menunggu persetujuanku. Ya Rabb. Hamba deg-degan. Apa itu tadi? Kenapa dia sok keren b
"Aku akan menjelaskan dengan cara lain," ucapnya yang kemudian memegangi tubuhku dan menggendongnya begitu saja, lalu berjalan meninggalkan ruang tamu. Jantungku seketika berdentum hebat. "Sudah kubilang, aku tak akan menyembunyikan apapun," ucapnya. Kami sangat dekat, hingga kurasakan embusan napas hangatnya saat menerpa wajahku. Apa yang akan dilakukannya sekarang? Apa aku akan dibawa ke bilik itu? Aku bisa merasakan guncangan setiap kaki pria itu mendaki satu per satu anak tangga. Aku terus menatap ke wajahnya, apa yang sebenarnya pria itu pikirkan. "Apa yang akan kamu lakukan, Mas?" tanyaku dengan menatap kesal tepat ke kedua matanya yang menatap ke depan. Mas Yusuf melirik sebentar sambil tersenyum tipis. "Aku akan memberikan semua yang kamu mau," ucapnya datar. "Aku tak minta apapun, cinta atau nafkah batin darimu. Aku tak butuh! Turunkan aku sekarang. Aku ingin melihat video dalam laptop itu." Ucapanku sangat tajam. Aku memang tak menginginkannya lagi. Kejadian buruk
Aku terus menatapnya dengan serius hingga tangan Mas Yusuf menekan angka-angka di tombol pintu.31011994Bukankah itu tanggal lahir Mas Yusuf? Duh, Gusti kenapa tak terpikir olehku sejak kemarin, hingga tak terjadi banyak drama.Mataku kini melebar sempurna karena tak menyangka bayangan yang ditangkap oleh kamera itu. "Seorang gadis? Siapa dia?"Aku syok!Adiknya? Yah, pasti adik Mas Yusuf. Karena suamiku bilang dia tidak pernah melakukan hubungan dengan wanita mana pun. Apalagi sampai menghamili seseorang.Mungkinkah, karena dia sedang frustasi atau lebih buruk mengalami gangguan jiwa, Mas Yusuf mengurungnya di sana. Dan priaku itu merahasiakannya karena malu padaku dan keluarga.Lalu obat penguat kandungan itu? Apa berarti adiknya sedang hamil? Siapa yang menghamilinya? Pacarnya?Kalau begitu, dugaan sem
Aku pun segera membukanya. "Makasih ya, Mas! Aku suka gamis dan ..." Seketika senyumku pudar kala meraba-raba isi tas tersebut. Kenapa cuma ada gamis? Ke mana lingerie tadi siang? Lingerie berwarna dusty pink dalam tas yang Mas Yusuf letakkan begitu saja kala mengantar sang dokter. "Ya. Ada apa, Dik? Kenapa ekspresinya begitu? Apa Dik Hanna gak suka gamisnya?" Mas Yusuf heran melihat reaksiku yang penuh tanya ini. Aku menggeleng. "Em, apa cuma ini, Mas?" "Hah? Oh, Adik mau dua? Atau tiga? Oh, ya ampun maafkan Mas kalau gitu besok biar Mas pesankan lagi." Pria itu bicara, dan sepertinya memang tak berniat memberikan lingerie itu untukku. Kalau begitu untuk siapa lingerie itu? Atau jangan-jangan gadis dalam bilik yang diurus dokter itu ... bukan adiknya? "Aku maunya lingerie sih, Mas," ucapku memancing barang kali dengan begitu dia tersindir dan mengerti. Aku harus tahu kemana perginya benda yang hanya digunakan perempuan saat menggoda suaminya itu berada. Memastikan bahwa ini ta
Tidak membuang waktu kuarahkan kamera ke arahnya. Untuk mengambil foto dari wajah ayu itu. Dadaku naik turun dengan jemari bergetar. Tak menyangka jika akan seberani ini. Nekad masuk ke kamar rahasia milik Mas Yusuf, meski pria itu memintaku bersabar. Maaf, Mas. Aku tak bisa. Aku tak mau terus hidup larut dalam prasangka. Bukan hanya menyiksa, tapi juga menimbulkan banyak dosa. Namun, siapa duga. Mata gadis itu tiba-tiba terbuka saat cahaya blits mengenainya. Ia mengerjap, lalu menatap ke arahku tanpa bangkit dari posisinya. "Kamu siapa?" Suaranya lemah dengan sorot sayu. Apa? Dia tak gila? Dia bisa mengenali seseorang? Tapi kenapa disembunyikan di sini? Aku yang terkejut. Mundur hingga punggung menubruk kulkas di kamar itu. "Ah!" Mas Yusuf rupanya menyiapkan banyak kebutuhan gadis itu, pantas saja dia bisa hidup tanpa keluar kamar. Di sini juga ada kamar mandi. Ah, kalau dia bisa menjaga diri sendiri dan mandiri. Mustahil kalau Mas Yusuf yang memandikannya setiap hari! Itu
EP Terakhir - Pujian"Pa, belum tidur?" tanya Zidan pada papanya yang tengah duduk di ruang kerjanya menatap layar komputer. Ia sengaja bertanya, sebagai isyarat meminta izin meminta masuk dan menggangu sang papa."Oh." Papa Zidan yang juga papa dari Hanna itu sontak mendongak. Menatap ke pintu, di mana asal suara datang.Meski pria tua itu tampak sibuk memandangi komputer, namun, kenyataan ... pikiran pria paruh baya itu tak sedang ada di sana. Ia terus kepikiran pada munculnya Alex di depan mereka hari ini. Seseorang yang ia pikir akan mendekam di penjara lebih lama.Putra sulungnya itu lalu masuk ke dalam. Ia duduk di sofa yang jaraknya berdekatan."Apa Papa tahu sesuatu tentang Alex?" Zidan menyampaikan kekhawatirannya melihat sosok Alex tadi pagi.Ia ingin menghubungi pemuda yang dulu jadi teman dekatnya tersebut. Akan tetapi, takut jika masalah justru akan bertambah rumit.Pria paruh baya itu menggeleng. "Aku tak tahu apa pun."
EP11 - Malam Pertama"Apa kamu sudah siap?" tanya Henry yang sudah berdiri di depan ranjang. Di mana Adelia tengah memeluk putrinya.Henry merasa sudah sangat bersih sekarang. Mandi dan menggosok tubuhnya lebih dari setengah jam. Menggosok gigi dan memakai parfum di mulutnya. Juga menyemprotkan ke seluruh tubuh yang hanya dibalut pakaian handuk."Hem?" Mata gadis kecil di pelukan Adelia sontak membuka sempurna.Saat itu Adelia memejamkan mata.Henry tampaknya tak tahu bagaimana harus mengatasi kondisi anak kecil yang akan tidur. Ini saja dia perlu mendongeng, bercerita tentang masa kecilnya, juga menjanjikan banyak hal menyenangkan untuk putrinya kalau dia mau tidur dengan cepat.Akan tetapi ... sekarang. Hanya dalam hitungan detik, Henry mengacaukannya."Ayah mau ke mana Bunda? Aku boleh ikut kan?""Huhhh. Sabar ....." Adelia mengenbus berat. Ia kemudian melirik pada Henry yang tampaknya juga sangat kecewa kala melihat gadis k
EP10 - Double Date (3)"Mau ke mana malam-malam begini?" tanya Maya pada Alex."Ke rumah teman. Bentar Mi." Pria yang sedang sibuk mengikat tali sepatu itu menyahut. Melirik sekilas wanita yang selama ini setia menemaninya."Lex, Mami gak mau kamu kena masalah lagi, ya." Maya mengingatkan. Sudah cukup mereka merasakan hidup lebih sulit dari sebelumnya tanpa Alex.Pikir Maya, sekarang ini, dua keluarga kaya itu pasti tengah mengawasi Alex dan mencari-cari kesalahannya."Iya. Mi. Tenang saja." Alex menyahut singkat. Kali ini ia telah berdiri tegak di atas kedua kakinya dan siap bergerak pergi."Aku pamit dulu." Pria itu menunjuk keluar, di mana mobil sudah siap di depan rumah mengantarnya ke mana saja."Ya." Maya melepas putranya dengan kondisi hati yang was-was. Berharap Alex bisa memegang kata-kata, dan tak membuat masalah di luar sana.***"Jadi tadi ... aku bertemu dan bicara dengan Alex, bahkan dia sempat mencengkeram
EP9 - Double Date 2Yusuf menyerah. "Kita bahas soal bulan madu kita saja.""Hah?" Mata Hanna membulat. Semudah itu? "Bu- bukan kita yang bulan madu, tapi mereka Mas.""Tapi kita diajak untuk meramaikan acara mereka." Yusuf tersenyum pada Hanna."Yeah! Itu lebih baik!" Henry berseru senang. Sejak awal pria itu memang terus terlihat senang. Apalagi ini adalah malam pertamanya dengan Adelia.Karena itu juga lah, Yusuf yang sebenarnya sangat kesal, menahan diri untuk tidak marah. Tak etis rasanya kalau harus merusak kebahagiaan pengantin baru karena kesalahan yang menurutnya tak disengaja."Btw, Mas bakal perjalanan bisnis ke mana?" tanya Henry."Ke Inggris. Kami perlu bertemu klien dan memeriksa lapangan untuk memutuskan apakah tanda tangan kontrak atau tidak." Yusuf menjelaskan hal yang tak Henry pahami."Yah ... kenapa ke Inggris. Kami baru mau rencana ke Turkey berkunjung ke Aya Sofia." Henry menyayangkannya."Wah, kali
EP8 - Double DateAlex mondar-mandir gelisah di dekat meja makan. Meski sang mami sudah menyediakan makanan lezat di atas meja, pria itu tampak tak berselera untuk menyantapanya."Lex kenapa tidak segera duduk dan makan?" tanya Maminya heran. Pemuda itu malah mondar-mandir gak jelas, dan membiarkan makanan sampai dingin."Mi, udah dapat telepon dari Tante Risa?" tanya Alex penasaran.Mami Alex menggeleng. "Belum, sabar. Sekarang dia pasti sedang berusaha keras membujuk Om kamu buat maafin kita."***"Waallaikumussalam. Mas Yusuf. Baiknya kamu pulang deh sekarang.""Hah? Pulang?" protes Yusuf. Dia bahkan baru sampai. "Ada apa?""Udah cepetan. Ini aku mumpung baik loh ngasih tau!" teriaknya memaksa di ujung telepon.Yusuf terbengong-bengong. Apa yang terjadi sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan kerisauan hatinya. Atau pria itu cuma mengerjainya saja? Henry kan dikenal usil."Bilang deh. Kamu ngerjain aku, ya.
EP7 - Paksaan Henry pada YusufHanna tak ingin mempedulikan Alex dan berjalan begitu saja melewati pria itu. Namun, di saat bersamaan, tangan panjang Alex dengan cepat meraih lengan wanita tersebut. hingga langkah wanita itu terhenti.Merasa tak nyaman dan risih, Hanna menarik kasar tangannya. "Jaga perilakumu!" tekannya mengacungkan jari tepat ke wajah Alex, dengan tatapan tajam pada pria itu."Oke." Alex mengangkat kedua tangannya. Seolah takut pada ancaman Hanna. "Ck. Galak amat. Padahal aku udah berubah jadi anak baik." Senyumnya tipis. Ingin menunjukkan ketulusan pada lawan bicaranya, kalau dia memang sudah berubah.Hanna bergerak mundur, sekira tak lagi sampai Alex meraihnya. Tak ingin berlama-lama meladeni pria yang menurutnya gila, kakinya pun bergerak semakin cepat menjauh.Alex hanya bisa tersenyum. Tak mudah mengambil hati orang-orang yang disakitinya."Yah, semua perlu waktu. Aku akan mencoba memahami itu." Pria itu memiringkan s
EP6 - Apa Maumu, Lex!?Tujuan utama Alex ke rumah Adelia, selain membuat semua orang yang bahagia saat dia di penjara, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba, adalah untuk bertemu sosok wanita yang terus dirindukannya, Hanna.Setelah menemui Adelia dan suaminya, ia berkeliling mencari di mana Hanna berada. Namun, setelah mendapati Eksha dan tantenya Risa sudah tak terlihat, ia pun yakin bahwa Hanna juga sudah pulang bersama mertuanya itu. Apalagi Yusuf juga tak terlihat. Sepasang suami istri itu harusnya bersama, jika tak ada salah satunya, berarti satu yang lain pun tak ada.Merasa putus asa, Alex akhirnya memilih pulang saja. Dia bisa meneruskan keinginannya itu di lain waktu, dan beristirahat untuk sekarang. Sepulang dari lapas, punggungnya sama sekali belum bertemu tempat rehat, bahkan sekedar untuk bersandar. Di dalam mobil pun, tanpa sadar ia terus duduk tegap, karena serius menyimak penjelasan pengacara yang dibawa sang mami.Langkah lebar pr
EP5 - Bawa Aku, Mas!"Selamat ya," ucap Alex sembari menyodorkan tangan pada mempelai wanita yang kini sedang beristirahat di ruang ganti. Seluruh make up di wajahnya dibersihkan oleh penata rias.Adelia mengerutkan kening. Ia tampak tak mengenali pria itu, lalu menangkupkan dua tangannya. Kenapa ada pria asing yang bisa masuk ke ruang pribadinya. Keluarga atau kenalan dekat memang masih dibolehkan untuk masuk, tapi ia merasa tak mengenal Alex.Alex tersenyum. Meski kecewa respon yang didapat tak sebaik bayangannya. Dia lalu beralih ke mempelai laki-laki. Pria itu dengan terpaksa meraih tangan Alex."Selamat ya, Dokter em ...." Alex tampak berpikir. Bodohnya tak memperhatikan banner di depan dengan nama sepasang pengantin di sana."Henry. Nama saya Henry." Pria itu tersenyum tipis. Setelah bersalaman Alex pun menjauh."Siapa dia?" bisik Henry yang merasa aneh. Karena bahkan wanita yang sudah sah jadi istrinya itu tak mengenalnya."Ent
EP4 - Turunin, Mas!Hanna baru saja selesai mandi. Wanita itu keluar dari pintu toilet sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil."Kenapa pakai handuk kecil itu? Bakal lama selesainya. Itu ada hair dryer." Yusuf yang tengah menggendong Akhyar menunjuk ke arah lemari.Hanna menggeleng. Nanggung menurutnya. Pakai handuk kering sudah cukup simple tak perlu menyalakan mesin dan menggerakkannya ke kepala. Lagi pula mereka tak sedang buru-buru, karena takut kepergok berduaan di kamar itu."Ck. Pasti sengaja, ya. Mau goda," goda Yusuf dengan menyebut Hanna yang menggodanya."Ish, apa sih, Mas? Baru juga selesai. Masa goda lagi," protes Hanna sambil mencebik, melirik pura-pura kesal ke arah sang suami."Heleh. Pura-pura jaim." Yusuf tak menyerah. "Ya, kan, Dek." Kini tatapannya beralih pada batita dalam gendongan. Rasanya senang saja Hanna kesal, dan hanya memperhatikannya."Hehmh. Mas kali yang jaim. Padahal pengen lagi kan tapi ngomong