“Jadi, kalian sudah saling kenal sejak kuliah dulu?” tanya Hans—kakek Aren memastikan.
Baik Dasya maupun Doni kompak mengangguk mengiyakan pertanyaan Hans yang sudah diulang berkali-kali. Seolah tidak percaya kalau mereka berdua memang teman lama di saat kuliah dulu.“Kenapa bisa?” tanyanya pelan persisi gumaman.Doni mengerutkan kening mendengar hal tersebut. “Kenapa bisa bagaimana, Kek?”“Kenapa Dasya yang cantik bisa punya teman sejelek kau?!” Doni mendengus sebal ke arah Hans. Sedangkan Hans menatap Dasya dan Doni bergantian.Dasya tersenyum merasa terhibur dengan kedatangan Hans dan Doni ke rumahnya. Hal yang sama sekali tidak pernah dia dapatkan ketika berdua saja dengan Aren.“Ohiya, Kek. Kakek kapan pulang dari Malaysia?” tanya Dasya mengalihkan pembicaraan.“Hari ini, itupun karna dipaksa sama si kutu kupret ini.” Hans melirik Doni dengan lirikan tajam. Sementara, yang dilirik sama sekali tidak merasa takut, malah hanya menghela napas kasar.“Dia sudah tidak sabar untuk kembali ke Indonesia. Katanya, rindu pada seseorang. Dia saja yang merindukan orang, tapi tidak ada yang merindukannya,” ejek Hans lagi kepada Doni.“Seperti tua bangka ini ada yang merindukannya,” bisik Doni pada dirinya sendiri yang masih bisa didengar oleh Hans.Hans menyikut perut Doni membuat pemuda itu meringis pelan. Dasya yang melihat hanya tertawa-tawa sembari geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua orang itu. Ada hal yang baru Dasya ketahui tentang Doni dan Aren. Mereka ternyata saudara, meski Doni hanya anak angkat saja. Yang lebih tepatnya cucu angkat.Sebab, Doni diangkat sebagai cucu Hans ketika kedua orang tua Aren meninggal dunia. Ayah Aren yang ternyata anak tunggal membuat Hans terpaksa mengadopsi satu cucu lagi. Sebenarnya, ingin mengadopsi anak, tetapi usia Doni dulu lebih cocok menjadi cucunya ketimbang jadi anaknya.Doni berhasil membuat pria dingin—Hans luluh dan menjadikannya salah satu cucu kesayangan sekaligus kepercayaan Hans. Doni seperti Aren, dia juga mengurusi satu perusahaan milik Hans yang ada di luar negeri. Tepatnya di negeri jiran sana. Ketika Doni lulus kuliah menjadi sarjana. Hans meminta pemuda itu untuk ke luar negeri mengurusi perusahaan Hans di sana. Sebenarnya, Hans tidak meminta, tetapi memaksa Doni. Karena awalnya Doni menolak dikarenakan Doni merasa tidak pantas. Sebab, dia hanya cucu angkat. Akan tetapi, siapa yang bisa menolak pria tua bangka itu? Begitulah panggilan Doni juga Aren kepada Hans.“Ohiya, Dasya. Suamimu mana?” tanya Hans kepada Dasya.Senyum Dasya seketika memudar dari bibirnya ketika mendengar nama itu disebut Hans. Dia baru menyadari kalau hanya mereka bertiga saja yang berada di ruang keluarga ini. Aren masih belu mengetahui keberadaan kakeknya di rumah mereka.“Mas Aren ada, Kek. Dia di kamar baru pulang dari kantor,” sahut Dasya sedikit berbohong.“Coba panggil dia ke mari,” pinta Hans.Dasya dengan ragu mengangguk, lalu bangkit berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Doni yang duduk di sebelah Hans merasa tidak nyaman. Ada di hatinya yang terasa perih akibat fakta baru saja dia dengarkan. Sedikit tidak percaya, tetapi ini kenyataannya.Gadis yang sudah sangat lama dia cintai, ternyata sudah bersama pria lain. Hal itu adalah berita paling buruk menurut Doni. Lebih buruknya, pria yang menjadi suaminya adalah kakak angkat Doni. Pria yang selalu menganggapnya adik kandung, dan menerima Doni dengan baik. Walau mereka terlihat tidak di rahim yang sama. Darah mereka tidak mengalir darah yang sama.Namun, sikap Aren tidak pernah menunjukkan hal yang mengingatkan asal asli Doni. Sehingga Doni pun sangat menghormati dan menyayangi pria itu.Helaan napas kasar terdengar dari mulut Doni. Kegelisahan dan kegundahan terlihat dengan jelas tergambar di raut wajah pria itu, yang sangat mudah dibaca oleh Hans. Kening tua Hans mengerut bertanya-tanya ada apa dengan Doni.Sementara, di lantai dua. Dasya berdiri tepat di depan pintu kamarnya. Berpikir bagaimana caranya menemui Aren tanpa membuat hatinya kembali galau. Setiap melihat pria itu dan dengan sikap yang sama selalu saja membuat Dasya sedih.Namun, tidak ingin mengundang kecurigaan di benak Hans dan Doni. Dasya pun meyakinkan dirinya untuk menemui pria itu, dan memberi tahu kalau Hans berada di bawah dan sedang ingin bertemu dengannya. Akan tetapi, baru saja ingin mengetuk dan masuk ke dalam, tiba-tiba saja pintu kamar berdenyit lalu terbuka.Dasya terlihat salah tingkah dan gugup melihat alis Aren saling bertautan menatapnya berada di depan pintu, dengan tangan tergantung di udara hendak mengetuk. Dasya segera menurunkan tangannya, lalu bersikap biasa-biasa saja walau sulit.“Mas, di—“ Belum juga sempat Dasya memberi tahu, tiba-tiba saja Aren mendorong Dasya ke samping, memintanya untuk memberi Aren jalan.“Minggir,” pintanya dingin.Aren berjalan pergi meninggalkan Dasya yang tengah berniat memberitahunya sesuatu. Namun, Aren seperti biasa selalu saja mengabaikan gadis itu. Dasya tidak ingin ada yang tahu hubungan mereka sesungguhnya. Terutama Hans dan Doni. Dasya menyusul Aren yang hendak menuruni tangga.“Mas, di bawa ada—““Diamlah,” pinta Aren lagi-lagi menyela ucapan Dasya.“Tapi, Mas. Itu di bawah ada—“Aren berhenti di anak tangga ke tiga dari bawah, lalu berbalik dan menatap Dasya dengan tajam. Dia marah karena merasa Dasya sudah sangat mengganggunya. Padahal, saat ini suasana hati Aren sedang tidak baik-baik saja.“STOP!” teriak Aren tepat di depan wajah Dasya sontak membuat gadis itu memejamkan matanya.Suara Aren sangat menyakiti telinga dan hatinya, bahkan suara Aren dapat terdengar jelas oleh kedua pria beda generasi di ruang keluarga sana. Sontak mereka terkejut dan merasa penasaran apa yang tengah terjadi di dalam sana. Hans yang penasaran pun, beranjak berdiri di susul Doni. Mereka berdua mendatangi sumber suara.“Mas, itu kamu jangan berteriak,” peringat Dasya.“AKU BILANG STOP, DASYA!!” teriak Aren lagi tanpa memedulikan Dasya yang terus mencoba menenangkannya juga ingin memberitahu sesuatu.“Kenapa sulit sekali buatku memberiku sedikit ketenangan. Untuk—““Kenapa kau marah dan berteriak kepadanya, Aren?!” balas teriak Hans kepada Aren.Mendengar itu, Aren terkejut lantas berbalik melihat di ujung sana Hans dan Doni sudah berdiri menatap ke arah mereka dengan tatapan murka. Hans memang terkenal tidak suka ada pria yang berteriak bahkan membentak juga menyakiti seorang wanita. Apalagi, Dasya adalah cucu menantu perempuan satu-satunya dan kesayangannya.“Kakek,” gumam Aren pelan.Aren melirik Dasya yang hanya menatapnya sebentar, lalu menunduk takut. Tatapan tajam Aren belum juga berubah ke arahnya.“Aku yang menyuruhnya memanggilmu. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, kenapa kau malah marah dengannya?!” Hans terdengar dingin kepada Aren membuat pria itu menghela napas kasar.Sadar dia berada dalam bahaya, dan tidak akan ada yang bisa menyelamatkannya.“Apakah kedatanganku kemari begitu mengganggu ketenanganmu? Huh?!”“Tidak, Kek. Bukan begitu.” Aren berjalan ke arah Hans berniat menjelaskannya.Namun, Hans terlanjur marah akibat Aren sudah lancang membentak dan membuat Dasya sedih. Gadis kesayangan Hans. Pria tua itu tidak lagi mau menerima alasan. Sehingga sebelum Aren sampai menghampirinya, dia sudah berbalik dan berjalan pergi membuat Aren menarik rambutnya kasar.“Kek, aku tidak bermaksud—““Doni, ayo kita pulang sekarang.” Hans menyela dan meminta Doni untuk segera membawanya pergi dari rumah Aren.Doni melirik Aren yang juga tengah menatapnya sendu. Doni hanya bisa menghela napas kasar sembari mengedikkan dua bahunya. Seolah memberinya tanda kalau kali ini, dia tidak bisa membantunya.“Kakek! Ayolah, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak tahu kalau Kakek yang meminta Dasya memanggilku,” jelas Aren jujur sambil mengejar pria tua itu.Hans berhenti berjalan membuat Aren ikut berhenti. Pria itu berbalik dan menghadap ke arah Aren dengan menatap pria itu dengan tajam menghunus.“Bagaimana mungkin? Apa dia tidak memberi tahumu?” tanya Hans dingin.Aren melirik Dasya, dia seolah meminta Dasya untuk membantunya menjelaskan kepada Hans kalau dirinya memang tidak bersalah dan apa yang dia katakan benar. Namun, baru saja Dasya ingin membuka mulut, tiba-tiba Hans kembali berbalik berjalan meninggalkan mereka.“Doni! Apa yang kau tunggu?! Ayo, pergi!” teriaknya pada Doni.Mau tidak mau pun Doni segera menghampiri Hans dan meninggalkan Aren yang menarik rambutnya frustrasi. Dasya yang melihat itu merasa gelisah, dia tahu setelah ini nasibnya juga sedang tidak baik-baik saja di tangan Aren.***Mobil Hans yang dikemudikan Doni sudah menjauh dari rumah Aren dan Dasya. Pria tua itu marah kepada Aren yang terlihat dan terdengar membentak Dasya. Aren yang tidak mengetahui keberadaan Hans, membuatnya berpikir kalau Dasya mengikutinya ingin kembali mengganggunya. Meminta sesuatu hal yang tidak pernah Aren bisa berikan kepada gadis itu. Sehingga membuat Aren membentak Dasya, agar gadis itu berhenti mengikutinya. Aren membuang napas kasar, lalu berbalik menghadap Dasya. Dia menatap gadis itu dengan tajam. Sementara, yang ditatap hanya bisa menunduk. “Kenapa kamu nggak bilang kalau yang datang itu Kakek, Dasya?” bentak Aren pada Dasya. “Mas, aku udah mau bilang ke kamu, tapi kamu malah—““Ck, kamu memang nggak pernah bisa bikin hidup aku tenang. Selalu saja menimbulkan masalah baru di hidupku.” Aren memotong kalimat Dasya, membuat gadis itu hanya bisa menghela napas kasar. Setelahnya, Aren berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan Dasya yang terdiam sambil menatap ke arah langit.
Aren duduk dengan gelisah di ruangan Hans di sebuah kantor pusat milik pria tua itu. Aren diminta oleh Hans untuk menemui pria itu di tempat tersebut. Pagi-pagi sekali, tanpa sarapan Aren sudah bergegas menuju ke tempat yang sudah disuruhkan Hans kepadanya, dan di sinilah dia berada.Jantung Aren berdebar tak menentu menunggu kedatangan Hans. Pria itu terlalu bersemangat untuk bertemu, sehingga Hans belum tiba di tempat, tetapi dia sudah lebih dulu berada di sana. Tidak apa pikir Aren, setidaknya mengurangi kemarahan dari pria tua itu setelah semalam sudah membuatnya jengkel dan kesal kepadanya. Datang lebih awal semoga saja bisa mengurangi kekesalan Hans kepadanya. Aren menghela napas untuk ke sekian kalinya. Entah sudah berapa kali dia melakukannya. Rasa gelisah membuatnya tak henti-henti dirinya demikian. “Mau sampai kapan kau melakukan itu? Sampai kehabisan napas?” Suara yang khas di telinga Aren sontak membuat pemuda yang tengah duduk di kursi dekat jendela itu menoleh ke sumbe
Aren memijit pelipisnya merasakan kepalanya berdenyut sakit. Persyaratan yang diberikan oleh Hans untuknya begitu sangat mengganggu pikiran Aren. Bagaimana bisa dia memiliki seorang anak bersama Dasya. Sementara, dia tidak pernah menyentuh gadis itu. Kalaupun dia menyentuh Dasya, dia tidak pernah sudi memiliki anak bersama gadis itu. Tidak memiliki anak saja dia sudah kesulitan lepas dari Dasya. Apalagi kalau sudah memiliki keturunan bersamanya. Aren akan lebih tidak memiliki alasan untuk beranjak pergi. Namun, dia juga membutuhkan perusahaan itu. Ini salah Aren yang tidak mau jujur kepada sang kakek perihal hubungannya dengan Dasya. Agar dia bisa mengakhiri dengan segera drama yang dua ciptakan selama ini. “Akh, sial,” umpatnya seraya memukul setir mobilnya sedikit kuat. Selama perjalanan kembali ke perusahaannya, Aren tidak begitu fokus menyetir. Pikirannya terus tertuju kepada syarat yang Hans ajukan. Aren bingung bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan perusahaan itu, menjadik
Kini Doni, Dasya, dan Mila sudah berada di sebuah resto yang tidak jauh dari toko kue milik Dasya. Mereka seperti sedang reuni bertiga. Mila tidak henti-hentinya menatap Doni, memastikan pria itu memang benar Doni—teman kuliahnya dulu. Perubahan Doni yang sekarang membuat Mila sedikit tidak percaya, tetapi mendengar semua cerita Doni semasa kuliah dulu. Membuat Mila sedikit yakin kalau dia memang Doni si Gendut, yang paling sering kena bully-an oleh teman-teman kampus lainnya. “Gue sampai nggak bisa ngenalin lo, Don,” kata Mila sembari menyeruput cappucino dingin miliknya. “Iyalah, secara sekarang aku sudah lebih tampan dari yang dulu, ‘kan?!” puji Doni dengan bangga. Mila memutar bola matanya jengah. “Iya, sih. Cuman culun-culunnya masih ada, sih, Don. Nggak hilang semuanya,” balas Mila. “Masa, sih?!” tanya Doni penasaran. Mila hanya mengangguk membuat Doni terdiam. Hidup beberapa tahun di luar negeri, dan mencoba terbiasa menghilangkan kebiasaan dulu yang sering membuatnya dibu
Lama mereka berkendara akhirnya tiba juga di rumah Mila. Hujan juga sudah mulai redah membuat Dasya sedikit lega. Karena tidak harus terganggu mengendarai mobil oleh hujan lagi. “Makasih, Sya. Udah mau nganterin gue,” kata Mila. “Sama-sama, Mil.” “Nggak mampir dulu lo?” tawarnya. Dasya menggeleng. “Next time sajalah, Mil.” Mila mengangguk, dia kemudian ke luar dari mobil Dasya setelah berpamitan kepada gadis itu. Setelahnya, Dasya pun melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah Mila. Gadis itu masih berada di luar, menatap pantat mobil Dasya yang mulai menjauh, dan tak terlihat lagi. Helaan napasnya terdengar kasar. Mila malah ke pikiran dengan masalah hidup yang dia alami Dasya. Masalah percintaan gadis itu begitu tidak beruntung. Dia mencintai seseorang yang sudah lima tahun belakangan ini mengabaikannya, menyakitinya di setiap ada kesempatan. Menyalahkan segala yang terjadi di hidup mereka sepenuhnya kepada Dasya. Perasaannya tak tahu apakah bisa berbalas atau tidak.Sek
Malam yang sunyi sudah sering di lalui Dasya, bahkan kebisingan, caci maki serta bentakan sudah kenyang Dasya rasakan. Namun, malam ini Dasya merasakan sunyi yang benar-benar membuat jiwanya meronta. Keinginan tahuannya tentang alasan sunyi itu tercipta selalu memaksanya untuk bertanya. Meski ketakutan selalu menjadi hambatan. Namun, tetap saja dilakukannya. Dan ... Seperti biasa, bentakan dan caci maki. Serta disalahkan selalu menjadi jawabannya. “Diamlah, Dasya! Kau betul-betul membawa masalah dalam hidupku,” bentak Aren saat Dasya mencoba bertanya ada apa dengannya. “Mas, aku hanya bertanya ada apa denganmu? Bisa tidak usah membentakku, dan mengatakan hal menyakitkan itu semua?!” katanya lirih. Aren menatapnya dengan senyum sini. “Kenapa? Bukankah, memang begitu kenyataannya?!”Dasya menghela napas kasar. Dia tidak akan pernah menang melawan Aren. Pria itu selalu saja memikirkan perasaannya sendiri, tanpa memikirkan atau memedulikan perasaan orang lain. Egois. Ya, begitulah Are
Suara tangis Dasya di tengah kesunyian malam terdengar begitu memilukan. Malam ini, benar-benar sunyi. Suara jangkrik yang biasanya berbunyi menghiasi malam. Kini tak terdengar. Dasya yang tengah bersandar di sandaran ranjang dengan menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Menoleh ke arah Aren yang tengah berbaring dengan posisi tengkurap. Suara napas yang teratur dan dengkuran halus terdengar, menandakan pria itu telah tidur dengan nyenyak. Air mata Dasya kembali mengalir. Bukan ini yang diinginkan olehnya. Bukan seperti ini. Dia memang ingin menyerahkannya kepada Aren, tetapi bukan dengan cara dipaksa dan tanpa cinta. Dasya ingin dia menyerahkannya ketika Aren telah berhasil membuka hati untun Dasya. Nama gadis itu sudah ada di dalam hati pria itu. Maka Dasya akan sangat rela memberikan apa yang telah Aren ambil malam ini. Hal yang seharusnya sudah Dasya berikan di malam pertama pernikahan mereka. Namun, malam ini Aren telah mengambilnya dengan paksa dan tanpa kelembutan sama se
“Dari mana saja kamu? Sudah ingat pulang kamu?” Suara beraura menakutkan itu menghantam indra pendengaran Doni. Pemuda itu baru saja masuk ke rumah tersebut, tetapi sudah disambut dengan suara dingin milik Hans. Doni menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Hans yang sudah berdiri di dekat pintu utama. Doni bertanya-tanya dari mana munculnya orang itu. Sebab, pertama masuk ke rumah. Dia tidak melihat ada orang di sana. “Kakek,” sapa Doni. “Kakek, di sana?” tanya terlihat canggung. Hans tersenyum sinis. Sementara, Doni mengusap rambut belakangnya gusar. Dalam hati, dia menggerutu kesal. Meski sudah dipersiapkan hal ini, tetapi tetap saja aura yang dikeluarkan Hans tidak main-main menakutkannya. Wajah rentahnya tidak sama sekali mengurangi aura menakutkan. Tatapan tajam, rahang tegas yang kulitnya sudah keriput. Membuat Doni merasa was-was. “Ternyata, kau hilang seharian. Meninggalkan aku di kantor. Sampai dihubungi beberapa kali, tapi tidak respon. Itu karena kau menghilangk
Doni ke luar dari mobilnya, dia berdiri di samping mobil tersebut seraya menatap ke arah bangunan di depannya. Dia sedikit ragu, tetapi juga merasa harus bertemu Dasya saat ini juga. Ya, bangunan di depan Doni adalah rumah Dasya dan Aren. Tatapan mata Doni begitu lekat. Dengan tarikan napas yang panjang, Doni kemudian meyakinkan dirinya untuk melangkah maju. “Assalamualaikum,” sapa Doni dengan mengucap salam. Dasya yang sedang berbaring di sofa ruang tamu segera beranjak duduk ketika mendengar suara yang tidak asing. Dengan suara lembut, dia membalas salam Doni. “Eh, Doni. Kamu di sini? Sama siapa?” tanya Dasya pada Doni yang berjalan mendekatinya. Doni tersenyum membalas senyum ramah milik Dasya. Senyum yang selalu mampu membuat Doni bisa jatuh cinta berkali-kali kepada gadis itu. “Iya, tadi aku ke toko kue kamu, tapi kata Mila kamu nggak masuk hari ini,” sahut Doni menjelaskan. “Ohiya, aku sendiri saja.” “Oh gitu ... Jadi tadi kamu dari toko ya?” Doni menjawab dengan anggukan
Dasya dan Aren sudah selesai sarapan. Kini Dasya masih di ruang makan sedang membersihkan peralatan masak, juga piring kotor bekas dia dan Aren makan tadi. Sementara, di luar sana. Aren tengah merapikan dasi dan kancing di pergelangan tangannya. Tatapannya mengarah ke dalam dapur, dia menatap Dasya dari kejauhan. Sejak tadi, dirinya tidak habis memperhatikan istrinya itu. Makan pun, dia sesekali melirik ke arah Dasya yang makan dalam diam. Dasya tidak biasanya seperti itu. Selama ini, Dasya begitu banyak pembahasan kepada Aren. Gadis itu akan bercerita banyak hal, menanyakan banyak hal kepada Aren. Meskipun, respon yang diberikan oleh Aren tidak sesuai dengan harapannya, bahkan melukai dirinya. Dasya tetap bertanya dan membahas hal-hal dengan senyum manis memperlihatkan lesung pipinya. Namun, kali ini berbeda, Dasya lebih banyak diam dan menunduk. Dia akan mengeluarkan suaranya kalau Aren bertanya atau memulai percakapan. Aren tahu penyebabnya. Helaan napas Aren terdengar kasar.
Suara gemercik air dari shower terdengar hingga ke luar kamar. Doni berdiri di bawah air tersebut, membiarkan dirinya basah. Padahal dia masih memakai pakaian lengkap. Sesekali dia mengusap wajahnya yang terus dialiri air. Pikirannya kacau, dan dia pikir dengan mandi air dingin. Kekacauan yang ada di kepalanya segera hilang. Nyatanya, semua kejadian-kejadian tadi. Bahkan beberapa tahun yang lalu kembali berputar di kepalanya. Persisi sebuah film lama yang sengaja diputar untuk ditonton kembali. Doni mengusap rambutnya ke belakang. Kepalanya didongakkan menghadap shower. Matanya terpejam dengan air yang terus mengalir. Semakin dia mencoba untuk menghilangkan kenangan itu, semakin juga setiap adegan bergantian muncul di ingatannya. Mata Doni terbuka. Kepalanya tak lagi mendongak. Tatapannya lurus ke tembok. Suara helaan napas terdengar kasar. Dirinya sudah pernah mencoba untuk melupakan, bahkan dia memaksa dirinya melakukan itu. Bertahun-tahun dia mencoba. Akan tetapi, hasilnya tida
“Dari mana saja kamu? Sudah ingat pulang kamu?” Suara beraura menakutkan itu menghantam indra pendengaran Doni. Pemuda itu baru saja masuk ke rumah tersebut, tetapi sudah disambut dengan suara dingin milik Hans. Doni menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Hans yang sudah berdiri di dekat pintu utama. Doni bertanya-tanya dari mana munculnya orang itu. Sebab, pertama masuk ke rumah. Dia tidak melihat ada orang di sana. “Kakek,” sapa Doni. “Kakek, di sana?” tanya terlihat canggung. Hans tersenyum sinis. Sementara, Doni mengusap rambut belakangnya gusar. Dalam hati, dia menggerutu kesal. Meski sudah dipersiapkan hal ini, tetapi tetap saja aura yang dikeluarkan Hans tidak main-main menakutkannya. Wajah rentahnya tidak sama sekali mengurangi aura menakutkan. Tatapan tajam, rahang tegas yang kulitnya sudah keriput. Membuat Doni merasa was-was. “Ternyata, kau hilang seharian. Meninggalkan aku di kantor. Sampai dihubungi beberapa kali, tapi tidak respon. Itu karena kau menghilangk
Suara tangis Dasya di tengah kesunyian malam terdengar begitu memilukan. Malam ini, benar-benar sunyi. Suara jangkrik yang biasanya berbunyi menghiasi malam. Kini tak terdengar. Dasya yang tengah bersandar di sandaran ranjang dengan menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Menoleh ke arah Aren yang tengah berbaring dengan posisi tengkurap. Suara napas yang teratur dan dengkuran halus terdengar, menandakan pria itu telah tidur dengan nyenyak. Air mata Dasya kembali mengalir. Bukan ini yang diinginkan olehnya. Bukan seperti ini. Dia memang ingin menyerahkannya kepada Aren, tetapi bukan dengan cara dipaksa dan tanpa cinta. Dasya ingin dia menyerahkannya ketika Aren telah berhasil membuka hati untun Dasya. Nama gadis itu sudah ada di dalam hati pria itu. Maka Dasya akan sangat rela memberikan apa yang telah Aren ambil malam ini. Hal yang seharusnya sudah Dasya berikan di malam pertama pernikahan mereka. Namun, malam ini Aren telah mengambilnya dengan paksa dan tanpa kelembutan sama se
Malam yang sunyi sudah sering di lalui Dasya, bahkan kebisingan, caci maki serta bentakan sudah kenyang Dasya rasakan. Namun, malam ini Dasya merasakan sunyi yang benar-benar membuat jiwanya meronta. Keinginan tahuannya tentang alasan sunyi itu tercipta selalu memaksanya untuk bertanya. Meski ketakutan selalu menjadi hambatan. Namun, tetap saja dilakukannya. Dan ... Seperti biasa, bentakan dan caci maki. Serta disalahkan selalu menjadi jawabannya. “Diamlah, Dasya! Kau betul-betul membawa masalah dalam hidupku,” bentak Aren saat Dasya mencoba bertanya ada apa dengannya. “Mas, aku hanya bertanya ada apa denganmu? Bisa tidak usah membentakku, dan mengatakan hal menyakitkan itu semua?!” katanya lirih. Aren menatapnya dengan senyum sini. “Kenapa? Bukankah, memang begitu kenyataannya?!”Dasya menghela napas kasar. Dia tidak akan pernah menang melawan Aren. Pria itu selalu saja memikirkan perasaannya sendiri, tanpa memikirkan atau memedulikan perasaan orang lain. Egois. Ya, begitulah Are
Lama mereka berkendara akhirnya tiba juga di rumah Mila. Hujan juga sudah mulai redah membuat Dasya sedikit lega. Karena tidak harus terganggu mengendarai mobil oleh hujan lagi. “Makasih, Sya. Udah mau nganterin gue,” kata Mila. “Sama-sama, Mil.” “Nggak mampir dulu lo?” tawarnya. Dasya menggeleng. “Next time sajalah, Mil.” Mila mengangguk, dia kemudian ke luar dari mobil Dasya setelah berpamitan kepada gadis itu. Setelahnya, Dasya pun melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah Mila. Gadis itu masih berada di luar, menatap pantat mobil Dasya yang mulai menjauh, dan tak terlihat lagi. Helaan napasnya terdengar kasar. Mila malah ke pikiran dengan masalah hidup yang dia alami Dasya. Masalah percintaan gadis itu begitu tidak beruntung. Dia mencintai seseorang yang sudah lima tahun belakangan ini mengabaikannya, menyakitinya di setiap ada kesempatan. Menyalahkan segala yang terjadi di hidup mereka sepenuhnya kepada Dasya. Perasaannya tak tahu apakah bisa berbalas atau tidak.Sek
Kini Doni, Dasya, dan Mila sudah berada di sebuah resto yang tidak jauh dari toko kue milik Dasya. Mereka seperti sedang reuni bertiga. Mila tidak henti-hentinya menatap Doni, memastikan pria itu memang benar Doni—teman kuliahnya dulu. Perubahan Doni yang sekarang membuat Mila sedikit tidak percaya, tetapi mendengar semua cerita Doni semasa kuliah dulu. Membuat Mila sedikit yakin kalau dia memang Doni si Gendut, yang paling sering kena bully-an oleh teman-teman kampus lainnya. “Gue sampai nggak bisa ngenalin lo, Don,” kata Mila sembari menyeruput cappucino dingin miliknya. “Iyalah, secara sekarang aku sudah lebih tampan dari yang dulu, ‘kan?!” puji Doni dengan bangga. Mila memutar bola matanya jengah. “Iya, sih. Cuman culun-culunnya masih ada, sih, Don. Nggak hilang semuanya,” balas Mila. “Masa, sih?!” tanya Doni penasaran. Mila hanya mengangguk membuat Doni terdiam. Hidup beberapa tahun di luar negeri, dan mencoba terbiasa menghilangkan kebiasaan dulu yang sering membuatnya dibu
Aren memijit pelipisnya merasakan kepalanya berdenyut sakit. Persyaratan yang diberikan oleh Hans untuknya begitu sangat mengganggu pikiran Aren. Bagaimana bisa dia memiliki seorang anak bersama Dasya. Sementara, dia tidak pernah menyentuh gadis itu. Kalaupun dia menyentuh Dasya, dia tidak pernah sudi memiliki anak bersama gadis itu. Tidak memiliki anak saja dia sudah kesulitan lepas dari Dasya. Apalagi kalau sudah memiliki keturunan bersamanya. Aren akan lebih tidak memiliki alasan untuk beranjak pergi. Namun, dia juga membutuhkan perusahaan itu. Ini salah Aren yang tidak mau jujur kepada sang kakek perihal hubungannya dengan Dasya. Agar dia bisa mengakhiri dengan segera drama yang dua ciptakan selama ini. “Akh, sial,” umpatnya seraya memukul setir mobilnya sedikit kuat. Selama perjalanan kembali ke perusahaannya, Aren tidak begitu fokus menyetir. Pikirannya terus tertuju kepada syarat yang Hans ajukan. Aren bingung bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan perusahaan itu, menjadik