Ali akhirnya tahu di mana indekos Liam berada. Liam menyadarinya. Padahal jarak indekos itu sudah diperhitungkan agar tak dekat dengan jangkauan Adimas dan para pengikutnya. Akan tetapi, Ali yang merupakan mantan anggota, mampu menemukan indekos Liam lebih cepat dari yang Liam kira.
“Ali sudah tahu lokasi saya, Kapten.” Liam memberitahukannya langsung kepada Pak Leo melalui sambungan telepon.Di seberang sana, Pak Leo mengepal tangannya kuat-kuat sambil memandang ke luar jendela. “Apakah dia menghalangimu untuk mendapatkan informasi? Hampir 6 bulan kamu berada di sana dan tidak memberikan informasi baru.”Liam merasa tersinggung mendengarnya. Dia hampir mati karena misi ini. Karena misi yang diberikan Pak Leo juga menyebabkan Liam jatuh cinta dan tenggelam pada rasa yang terlarang.“Liam. Apa dia menghalangimu? Jawab saya.“ Pak Leo mengulang pertanyaannya sekali lagi karena Liam hanya terdiam dan membiaMotor hitam Ali berkelok-kelok dari jalan satu ke jalan yang lain. Pak Leo dengan beraninya membuntuti Ali tanpa sedikitpun rasa takut. Mengandalkan alat pelacak yang telah dipasang Liam di bawah tangki motor besarnya, Pak Leo bisa mengetahui di mana saja Ali bertandang.Di sebuah perempatan jalan yang sepi, Pak Leo menjalankan misinya. Sepuluh anak buah yang lain telah mempersiapkan diri untuk mengepung Ali. Tak ada jalan kembali, misi ini harus berhasil sebab nyawa Liam yang menjadi taruhannya.“Ingat, apapun yang terjadi, misi ini tidak boleh gagal!” perintah Pak Leo kepada semua anak buahnya.Ketika Ali berbelok ke arah Selatan dan melintasi deretan pepohonan yang sunyi dan sepi, lima pemotor dari arah berlawanan menuju ke arahnya. Menyadari ada yang tidak beres, Ali mencoba untuk melarikan diri dan memutar balik. Akan tetapi, ia terlambat, Pak Leo dan lima anak buahnya sudah berada di belakangnya.DorSuara temb
Ali kebingungan, ia kehilangan jejak Liam. Karena itu, Liam mengatur siasat ke dua. Ia kembali lagi ke tempatnya tadi bersembunyi, berbelok ke ruang dosen, dan menampakkan dirinya agar Ali dapat melihat.“Liammm!” panggil Michelle bersemangat.“Haaah..!” dengus Liam. Niat untuk memancing Ali agar tak curiga, justru mengundang kehadiran yang lain. Michelle. Semenjak ia tahu kalau Michelle memiliki perasaan kepadanya, ia berusaha untuk menjaga jarak. Di hatinya hanya ada Andini Putri Hartanto. Tidak ada yang lain. Hanya Andini yang mampu membuat hatinya bergetar hebat. Hanya Andini seorang. Ia tak mau wanita lain dalam hidupnya.“Hai, Chelle.” Dengan terpaksa, Liam membalikkan badannya dan menyambut Michelle yang berlari dan mencoba meraihnya.“Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Liam?” suara Michelle berubah menjadi lebih hangat. Ia berharap jawaban yang diberikan Liam adalah jaw
Adimas memeriksa ponselnya berkali-kali dalam satu jam. Tak biasanya, Ali hilang dari pelaporan rutin yang biasa dilakukan. Ia melirik pergelangan tangannya, genap sudah sepuluh jam Ali tak mengirimkan kabar.Ia berinisiatif untuk melakukan panggilan dan nomor Ali dinyatakan tidak aktif. Ia tak bisa dihubungi dan Adimas tak tahu keberadaannya saat ini.Di bangku taman, Hendri sedang menghisap puntung rokoknya yang hampir habis. Dari ruangannya, Adimas melihat dan memerintahkan Sardi untuk membawa Hendri ke ruangannya.“Apa kamu tahu keberadaan Ali?” tanya Adimas setibanya Hendri masuk.“Sebentar, Pak Adimas,” Hendri meraih ponsel di sakunya dan berusaha melakukan panggilan. Namun, sambungan itu tak juga menunjukkan tanda. Nomor yang dituju dinyatakan tidak aktif. Dengan tangan yang masih memegang ponsel, Hendri menatap Adimas dengan penuh makna.Keduanya menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Ali menghil
Pagi-pagi sekali, dengan menaiki ojek sewaan, Hendri berangkat menuju kampus di mana Andini berkuliah. Instingnya mengatakan kalau ia akan menemukan jawaban dengan membuntuti mereka.Ia meminta pengemudi ojek tersebut untuk menepi agak jauh dari gerbang utama universitas swasta terkenal itu. “Berhenti, Pak,” pintanya sambil menepuk pundak sang pengemudi ojek.Stang motor mengarah ke kiri dan ia turun tepat di depan kios fotokopi. Kios fotokopi itu adalah tempat langganan Ali memarkirkan motornya dan memperhatikan Andini serta Liam dari jauh.“Ini, Pak.” Hendri memberikan ongkos dua kali lebih banyak dari kesepakatan. Memberikan satu lembar uang berwarna merah bukanlah hal sulit baginya. Semenjak bekerja langsung untuk Adimas, apa pun bisa dibelinya. Bulan depan, ia berencana untuk membukakan tabungan pendidikan untuk kedua adiknya. Oleh karena itu, pantang pulang baginya jika belum menemukan Ali.Pengemudi ojek itu
Api cemburu yang dirasakan Andini belum juga reda. Meski hari telah berlalu, mulutnya tetap bungkam. Ia takut sekali kehilangan Liam. Ia tidak ingin lelaki yang dicintainya dimiliki oleh orang lain. Namun, ia malu untuk mengakuinya. Ia malu untuk menceritakan alasannya marah.Keadaan terjadi sebaliknya. Liam tidak mengetahui kenapa Andini marah kepadanya. Ia merasa tidak melakukan kesalahan. Ia tak tahu, kalau Andini melihat adegan dirinya dengan Michelle, bagaimana ia menangkap tubuh Michelle. Ia menganggapnya wajar karena menolong orang yang hampir celaka adalah perbuatan baik. Namun, itu sangat tidak wajar bagi Andini dan bagi semua wanita pada lelaki yang dicintainya.Suasana hening masih diterima Liam. Cukup pahit sebenarnya. Bagi Liam, kebungkaman Andini justru menjadi kecamuk dalam dadanya. Mobil yang dikemudikan Liam berseberangan arah dari arah pulang mereka. Andini yang menyadarinya hanya diam saja. Ia tak akan membuka mulutnya sebelum Lia
Liam menatap nanar Andini yang masuk ke dalam tanpa sekalipun berbalik dan melambaikan tangan. Biasanya, kedua hal tersebut selalu didapatinya. Mungkinkah ia salah kata?Andini menangis sejadi-jadinya. Ia merasa bahwa harapannya untuk menikah dengan Liam hanya angan belaka. Apa yang diimpikannya sulit untuk terwujud.“An Sayang, jangan lupa makan.” Liam mengirimkan pesan kepada kekasihnya setelah ia melihat lampu kamar Andini telah dinyalakan. Matahari mulai kembali ke peraduannya. Liam segera masuk ke dalam mobil CR-V miliknya dan bergegas menuju suatu tempat. Malam ini, ia telah berjanji untuk bertemu dengan Pak Leo.Satu jam mengemudi dengan kecepatan 60 km/jam, akhirnya ia sampai pada sebuah persimpangan. Mobilnya tetap berjalan lurus ke depan hingga jalanan itu mulai menyempit dan tidak bisa dilewati mobil. Di samping kiri dan kanannya berderet pohon sengon yang rapat. Hanya kendaraan roda dua yang bisa melewatinya.
Adimas menatap langit dari jendela ruangannya. Wajahnya begitu seksama. Setiap kalimat demi kalimat yang terdengar dari Hendri di seberang sana, didengarkannya baik-baik. Apa pun yang terjadi, dia harus menyelamatkan Ali. Ia masih ingat dengan kalimat permohonan Ali saat meminta pengampunan. Ali memiliki seorang putri dan itu mengingatkannya pada Andini. “Saya perlu beberapa orang, Pak,” ucap Hendri di seberang sana. Ia masih duduk di motor sewaannya di tengah gelap tanpa penerang.“Menurutmu, siapa saja yang layak untuk diajak?” tanya Adimas. Ia tak ingin misi penyelamatannya gagal. “Misi ini harus berhasil. Saya tidak ingin Ali kehilangan nyawanya.”Di ujung sambungan itu, Hendri tertegun. Sepatah kata pun tentang keterlibatan Liam terhadap penculikan Ali belum disampaikannya. Ia hanya menyampaikan kondisi nyata bagaimana medan yang harus ditempuh dan juga kebutuhannya terhadap orang-orang kuat.
Pukul dua dini hari, Hendri bersama timnya bersiap untuk menyelamatkan Ali. Dengan peralatan yang lengkap, dua mobil menggilas aspal dini hari tadi. Secepat mungkin mereka harus bisa menyelamatkan Ali.Medan yang ditempuh cukup merepotkan. Kurangnya lampu penerang di daerah minim pengendara melintas, membuat mereka harus berhati-hati.Di kursi pengemudi, Sardi memasang wajah dingin di sebelah Hendri. Meski kejadian telah berlalu beberapa jam, muntab masih ia rasakan. Rasanya tak adil mengikuti ucapan yang menurutnya bocah kemarin sore.Dalam diamnya, Hendri tahu kalau Sardi masih memendam dan menahan amarah demi misi yang harus mereka lakukan bersama-sama.“Pak..,” kata Hendri berusaha memecah keheningan yang terjadi. Dia tahu batasan dan tak ingin menjatuhkan harga diri Pak Sardi sebagai kepala pengawal yang paling disegani. “Setelah misi ini berhasil, saya tidak akan menolak perintah Pak Sardi lagi. Tolong sekali ini sa
Apa yang akan kau lakukan jika kejadian yang pernah menghancurkan persahabatan serta masa depan orang lain kembali terulang?Di perjalanan pulang, Michelle menyandarkan kepalanya pada kaca mobil taksi yang mengantarkannya ke rumah. Rasanya, saat ini, ia ingin memuntahkan makanan yang baru saja disantapnya tadi. Ia menyesal. Seharusnya ia mampu mengalahkan rasa penasaran itu dan membiarkan ketidaktahuannya akan perasaan Andini sebagai pecutan untuk meraih hati Liam.Pendar lampu kota tak mampu menyilaukan pandangan matanya. Matanya memang memandang ke luar jendela, namun ia tak mengamati apa pun. Pikirannya berhasil menguasai tubuh. Sepanjang perjalanan, lalu lalang kendaraan tidak mampu menghancurkan konsentrasinya.Ingatan lama itu tiba-tiba kembali berputar dengan runut.Di selasar lantai dua, Michelle remaja tersenyum senang mengamati Andini yang tengah duduk sendirian, termangu menatapi kesedihan mendalam. Kepala Andini menduduk hingga rambut lurusnya
Trauma pasca penyerangan itu membuat Andini jadi takut untuk berkeliaran sendiri. Ingatannya tentang bagaimana Liam ditusuk dan disaksikan dirinya sendiri, mampu menciptakan mimpi buruk baginya.Sebelum mentari terbenam, Michelle tergopoh-gopoh mencapai ruangan di mana Liam dirawat. Pandangan kedua gadis itu bertemu. Dua gadis yang sama-sama mencintai Liam, yang saling tak mau mengalah.“Bagaimana keadaannya?” mata Michelle nanar menatap orang yang dikasihinya tak sadarkan diri. “Apa yang sebenarnya terjadi?”Andini menatap Michelle lekat-lekat. Jelas, tanpa diberi tahu, harusnya ia tahu tanpa perlu bertanya lebih jauh. Ia benci pertanyaan itu. Sangat membencinya. Manusia mana yang ingin dilahirkan sebagai penyebab celakanya orang lain?“Jelaskan padaku apa yang terjadi, An,” desak Michelle serius.“Perlukah aku menjelaskannya?” Andini menatap Michelle sejurus, sepasang matanya menyala tajam.“Itu kewajibanmu.”“Bagaimana jika aku tidak mau?”Keduanya bersitatap. Sama-sama meneguhkan
Iring-iringan mobil serba hitam milik Adimas menguasai jalan. Pak Ramlan begitu iba saat melihat Andini memeluk Adimas karena trauma atas apa yang terjadi. Isak tangis memenuhi seluruh ruang di mobil. Sementara Adimas, hanya bisa mengelus-elus pundak anak semata wayangnya itu. Dalam hati, dirinya begitu marah. Harga dirinya sebagai seorang ayah begitu disayat-sayat. Ia nyaris gagal melindungi anaknya.Sebetulnya, ia memang senang jika Andini menghampiri dan memeluknya. Akan tetapi, menurutnya—momen menakutkan seperti ini sangat tidak pas untuk diapresiasi. Lima menit saja ia terlambat, mungkin Hendri pun sudah merenggang nyawa. Pistol yang dipegang Hendri berhasil direbut oleh musuh entah bagaimana. Sementara Dave sudah kehabisan tenaga dan tidak kuat lagi untuk melawan.Tubuh keduanya dihiasi luka-luka saat bala bantuan tiba. Samuel, Tama, dan Liam segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Setelah mengetahui kalau Liam terlu
Sebuah peluru keluar dari selongsongnya tepat saat beberapa orang hendak memukuli Liam yang lemah terkena tusukan. Suara tembakan menggema di tengah kesunyian jalan itu. Hanya beberapa pengendara yang lewat serta melintas tanpa berani untuk turun tangan. Pengendara mana yang berani melawan para penjahat yang menyerang mereka berlima?Serentak, sepuluh manusia bertopeng yang masih tersisa urung melakukan niat mereka untuk menghabisi Liam. Hendri tidak main-main. Ia siap mengeluarkan seluruh peluru pada pistolnya jika memang itu diperlukan. Dengan terpaksa, sepuluh orang itu mundur perlahan.Dave dan Hendri yang masih sadar sepenuhnya, menghampiri Liam dan membantunya untuk berdiri. Tangan kanan Hendri masih menodongkan pistol ke arah para musuh.Nafas Liam tak beraturan, ia menahan perih dari punggung belakangnya yang terus mengeluarkan darah segar. Sekuat tenaga, dengan sisa tenaga yang ada pada dirinya, ia berupaya untuk berdiri, m
“Apa-apaan ini! Siapa mereka?” Tama panik. Sebab, inilah kali pertama ia merasakan berada dalam situasi nyata tugasnya sebagai pengawal.Satu per satu, orang-orang berpakaian serba hitam yang lengkap dengan penutup wajah—mulai turun dari mobil sambil membawa benda tumpul dan beberapa senjata tajam. Tanpa melihat siapa di balik topeng hitam yang seragam itu, Liam jelas tahu, kalau mereka tidak hanya ingin melukai, tapi menghilangkan nyawa dengan bengisnya.“Jangan keluar dari mobil sampai saya memberikan perintah!” Liam memberikan instruksi pada Samuel. Tak lama, terlihat jelas di matanya—kepala Andini menoleh ke belakang.“An, aku pasti tidak akan membiarkanmu terluka.” Liam berjanji pada dirinya sendiri. Nyawanyalah yang akan menjadi ganti.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Hendri dengan tatapan penuh harap. “Kita harus menyelamatkan Nona Andini b
Mata Samuel tidak dapat beralih sedetik pun. Begitu anggunnya Andini ketika turun dari kamar. Tangannya dihimpit oleh Bu Laksmi, selaras langkah mereka saat menuruni anak tangga. Kondisi Samuel lebih-lebih daripada orang yang terkena hipnotis. Ya, penampilan Andini saat ini sangat menghipnotis dirinya.Khayalan nakal Samuel mulai bermain-main di kepala. Ia membayangkan kalau tadi pagi mereka resmi menikah dan malam ini adalah malam pertama yang panjang. Tubuh Andini mendarat mulus di ranjang, lalu sampai pagi Samuel memandangi wajah orang yang dikasihinya itu dan menjadi orang pertama yang berada di sisi Andini kala ia membuka mata. Ia sangat berharap khayalannya itu bisa menjadi kenyataan.Lain halnya dengan Liam. Kala melihat penampilan Andini yang begitu memesona, justru hatinya semakin sesak—tercabik-cabik hingga nyaris menangis. Ia menyesal. Sangat menyesal. Penampilan Andini dianggapnya sebagai karma tercepat dan tersakit yang pernah dir
Tama, Dave, dan Hendri telah bersiap untuk menerima undangan makan malam yang secara tidak langsung diadakan oleh penyalur jasa mereka. Pak Hasan memang memberikan undangan itu bukan sebagai pimpinan, melainkan seorang ayah yang berterima kasih pada rekan-rekan anaknya.“Aku cukup tersanjung dengan undangan yang diberikan Pak Hasan. Ah,” Tama memandang langit yang begitu luas. “kiranya undangan itu lebih daripada sekedar undangan,” katanya lagi.“Maksudmu?” Dave tidak memahami.Tama menggaruk-garuk kepalanya sambil menyeringai. Ia memang berharap lebih seperti pembagian gaji yang lebih menguntungkan pihak pekerja. Bukan lebih besar penyedia jasa yang menyalurkan mereka. “Apa kau tidak merasa kalau kita ini spesial?”“Spesial kenapa?”“Kita adalah teman sekerja Samuel, anak pertama dan calon penerus perusahaan A&B Guard. Aku yakin, pasti Pak Hasan akan meminta bantuan kepada
Andini menyadari, berharap pada orang lain hanya akan berujung pada kekecewaan. Tidak ada manusia di dunia ini yang mampu menyelesaikan masalah pada dirinya selain dirinya sendiri.“Untuk apa aku berharap pada orang lain. Ujung-ujungnya, yang kudapatkan hanyalah kekecewaan yang teramat.”Andini berucap pada diri sendiri. Saat ini, ia sedang terduduk lemas di tepi kasur dan tak berniat melakukan apa pun. Ia melirik jam dinding di kamar. Satu setengah jam lagi, Samuel akan menjemput mereka. Satu setengah jam lagi, bagi Andini, dunia sesungguhnya akan terjadi. Dunia yang sebenarnya tak diinginkannya.Menjadi tua ternyata perkara menakutkan. Seandainya saja, usianya saat ini masih merujuk pada angka belasan, mungkin ia bisa menolak dan berdalih akan menemukan pasangan hidup sendiri. Kini, usianya telah berada di penghujung dua puluh lima tahun. Sebentar lagi, satu angka akan bertambah di belakang.Ia menyesal tidak pernah bek
Sepanjang perjalanan meninggalkan kampus, Andini tak bicara satu kata pun. Fokusnya hanya menyandarkan kepala di dada Liam dan khusyuk berdoa kepada Tuhan agar waktu berhenti sementara.Sebentar lagi, hidupnya akan kosong. Sangat kosong. Seluruh pengisi di relung hatinya akan menguap percuma. Apa yang diimpikannya selama hidup, tidak ada yang berjalan dengan lancar. Hidupnya bagai sangkar. Seharusnya ia tidak perlu dilahirkan jika Tuhan tak mengizinkannya untuk memilih jalan hidup yang diingininya.Liam sesekali mencuri pandang ke arah kekasihnya itu. Sebagai lelaki, ia tidak begitu mengerti dengan perasaan wanita. Lagi pula, di hari yang sama, ia baru saja melakukan dosa besar. Hal yang selama hidupnya diharapkan kedua orang tuanya untuk tidak dilakukan. Ia memohon ampun dengan sangat. Meminta maaf sebesar-besarnya kepada kedua almarhum.Ia mengendarai mobil dengan kecepatan yang bisa dibilang cukup lambat. Untuk mendukung su