Selama beberapa waktu menghabiskan waktu untuk membuntuti Hendri, Ali akhirnya diperintahkan oleh Adimas untuk membawa Hendri ke pabrik sabu miliknya.
Hujan turun rintik-rintik. Sepulangnya dari kerja, Hendri pamit kepada Ibu dan dua adiknya untuk membeli makanan di depan gang kontrakan mereka. Sambil memayungi diri sendiri dengan payung reyot yang tipnya sudah lepas di beberapa strechernya, ia dengan semangat menelusuri gang setapak yang sudah dibasahi air hujan.
Langkahnya tegas ketika melihat seseorang berpakaian serba hitam menunggunya tak jauh dari kontrakan. Tangannya mulai menggenggam erat handle payung, otot-otot pada tubuhnya mulai dilemaskan.
Pria itu menghampiri dengan langkah seolah ingin menyerang. Hendri dengan sigap langsung memasang kuda-kuda dan menyerang lebih dulu. Ia meletakkan payungnya di sisi gang dan bersiap. Beberapa saat kemudian, ia melepaskan tendangan lurus ke depan dengan mengandalkan telapak kakinya sebagai senjata utama. Pria berp
Saat Andini turun dari mobil yang dikemudikan Liam, tanpa disadari, Michelle telah menunggu kedatangannya.“Selamat pagi, Andini,” sapa Michelle sambil sesekali mencuri pandang ke dalam mobil. Sepasang matanya berusaha keras untuk menembus gelapnya kaca film yang melapisi Marcedez Bens S-Class itu agar bisa melihat pria yang sedang duduk di kursi sopir.“Selamat pagi, Micelle,” balas Andini sekenanya. Ia berusaha menyimpan tanda tanya besar di kepala akan kedatangan Michelle.Andini mulai berjalan untuk memasuki kelas. Ia sempat berbalik badan dan memandang kaca depan mobil tersebut sambil melambaikan tangan. Tak lama lambaian tangan itu tersampaikan, terdengar klakson tipis dari mobil tersebut.“Kamu ada kelas sampai jam berapa hari ini, An?” tanya Michelle yang berupaya menyamakan langkah.“Sebentar,” jawabnya seraya merogoh ponsel di resleting paling depan tas miliknya. Ia membuka jadwal kuliahnya
“Apa yang kamu cari?” tanya Samuel. Ia menarik Michelle ke ruang garasi saat perempuan itu turun ke bawah. Amarah dan ketidaksukaannya terhadap kehadiran Michelle dalam kehidupan Andini benar-benar ditunjukkannya saat mereka berdua.“Aku tidak mencari apa-apa! Bisakah kamu percaya sekali lagi saja padaku tanpa ada rasa curiga yang tersirat?!”“Bagaimana aku tidak mencurigaimu setelah apa yang kamu lakukan kepadanya?!” tangan kanan Samuel terangkat dan mengarah ke pintu hubung garasi tersebut dengan ruang tengah Adimas seolah-seolah menunjuk kepada Andini.“Itu terjadi 8 tahun yang lalu. Kamu tidak tahu betapa aku sangat menyesalinya, Sam! Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu lagi. Apa itu salah?”“Salah,” jawabnya lantang, “kaca yang telah retak tidak bisa kembali seperti semula.”Michelle lemas akan kekerasan hati Samuel. Ia kembali mengingat kejadian itu. Sehari setelah
Michelle tak mampu mengedipkan matanya saat ia melihat Liam yang sedang bertelanjang dada. Ia menelan ludah. Ia menyesal mengapa tak mengikuti saran dari Samuel dan malah berusaha mengikuti Samuel yang masuk ke pintu terhubung menuju garasi.Saat ia masuk melalui pintu penghubung itu, ia tak menemukan seorang pun berada di dalam sana. Semua terjadi begitu cepat. Seseorang tiba-tiba membuka pintu kamar mandi dari dalam dan dialah orangnya. Dialah yang menjadi alasan Michelle ingin menghabiskan waktu bersama Andini. Dialah yang diam-diam disukai Michelle setelah delapan tahun mengosongkan hatinya dari pria mana pun.Sorot mata itu justru yang membuat dadanya berdegub tak karuan. Sorot mata itu yang membuatnya penasaran bnkan main.“Maaf. Aku tidak tahu kalau kamu ada di sini.” Secepat kilat Michelle menundukkan kepala dan memalingkan pandangannya ke bawah.“Maaf untuk?” tanya Liam sambil mengeringkan tubuhnya yang basah dengan handuk
Liam tiba di kamar indekosnya tak kurang dari tiga puluh setelah mengantar Michelle pulang. Ia bergegas meletakkan perlengkapannya dan membiarkan sepatunya tergeletak begitu saja demi bisa membalas pesan Andini.“Saya sudah sampai,” balasnya cepat. “Cepat sekali,” balas Andini tak sampai lima menit kemudian. Ia memang menunggu balasan pesan meski tahu kalau Liam tak akan membalas pesan panjang seperti yang didapatkannya dari teman pria yang pernah dekat dengannya selama di Singapura.“Kamu sudah makan?”Kamu sudah makan. Andini mengeja ulang pesan yang dikirimkan Liam untuk memastikan kalau balasan yang diterimanya adalah sebuah kebenaran bukan mimpi yang sering terjadi dalam tidurnya. Sejurus kemudian, ia melompat kegirangan. Bukan main bahagianya. “Sudah. Kamu?” balas Andini sambil senyum-senyum sendiri.“Belum. Saya baru ingin merebus mie,” balasnya.
“Tidur kamu nyenyak?” tanya Andini.“Hmm..”“Tadi pagi bangun jam berapa?”“4.30”“Pagi sekali..”“Ya. Saya harus lari pagi untuk menjaga stamina.”“Saya?”“Oh ya. Aku harus lari pagi untuk menjaga stamina dan melindungi kamu.”Andini memalingkan wajahnya ke jendela. Ia mengulum bibirnya berkali-kali. Keinginan itu tiba-tiba ada dan semakin besar. Dengan cepat, tangannya meraih tangan Liam dan memberanikan diri untuk menggenggamnya.Liam terkejut dan menoleh kepada Andini dengan sorot tanda tanya besar.“Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku menyukaimu, Liam.” Tangan Andini semakin erat menggenggam seolah takut kehilangan.Liam bergeming. Ia membiarkan tangan kirinya digenggam Andini. Kali ini, jantungnya dibuat berdegub hebat. Di satu sisi, ia tersanjung dan
Setelah Andini masuk ke kelasnya, Liam melamun di dalam mobil. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah tindakannya yang membiarkan perasaannya sendiri bertumbuh tidak akan membuat dirinya makin jatuh ke dalam? Apakah perasaan yang seharusnya tidak pernah ada itu justru akan membahayakan dirinya dan Andini?Sekali-sekali ia tidak akan membiarkan Andini terluka. Ia mencintai gadis itu tulus adanya. Ia mencintainya karena memang mencintainya. Tanpa syarat. Tanpa niat untuk mengambil apa-apa.Ia memandang cakrawala yang terik padahal waktu belum menunjukkan pukul delapan pagi. Sinar yang menyengat dan kebetulan memarkirkan mobilnya di tempat yang berhadapan langsung, membuatnya tak betah menunggu Andini menyelesaikan kelasnya hari ini. Bergegas ia keluar dari mobil dan berniat untuk mencari udara segar akan rumitnya pikiran saat ini.“Liam…,” panggil Michelle yang tiba-tiba ada tak jauh dari posisinya.“Ya?&rdqu
Di kedai kopi yang ukurannya tak terlalu besar, berpengunjung sedikit serta jauh dari keramaian, Adimas duduk sendirian menunggu Ali membawakan informasi untuknya. Sambil menunggu, ia membuka galeri ponselnya dan melihat foto-foto Andini kecil yang lucu nan menggemaskan.“Kamu tumbuh menjadi putri yang sangat cantik, Nak. Papa tidak bisa melupakan betapa bahagianya Papa memilikimu.” Adimas mengusap-usap wajah Andini yang diperbesar pada layar ponselnya.Ingatannya akan putrinya terekam jelas. Waktu boleh memudarnya akan kenangan masa muda, tapi tidak dengan setiap detik pertumbuhan Andini yang sangat menggemaskan. Andini tidak berubah, wajahnya seperti Melisa. Melihat Andini dewasa, Adimas seperti melihat mendiang isterinya sendiri.“Melisa, andai kamu tahu, aku sangat merindukanmu. Jika waktuku sudah tiba, Andini telah bertemu dengan pasangan yang mampu menjaganya, kita akan bertemu lagi, Sayang..” Adimas membelai foto Melisa yang menjadi wall
Ali akhirnya tahu di mana indekos Liam berada. Liam menyadarinya. Padahal jarak indekos itu sudah diperhitungkan agar tak dekat dengan jangkauan Adimas dan para pengikutnya. Akan tetapi, Ali yang merupakan mantan anggota, mampu menemukan indekos Liam lebih cepat dari yang Liam kira.“Ali sudah tahu lokasi saya, Kapten.” Liam memberitahukannya langsung kepada Pak Leo melalui sambungan telepon.Di seberang sana, Pak Leo mengepal tangannya kuat-kuat sambil memandang ke luar jendela. “Apakah dia menghalangimu untuk mendapatkan informasi? Hampir 6 bulan kamu berada di sana dan tidak memberikan informasi baru.”Liam merasa tersinggung mendengarnya. Dia hampir mati karena misi ini. Karena misi yang diberikan Pak Leo juga menyebabkan Liam jatuh cinta dan tenggelam pada rasa yang terlarang. “Liam. Apa dia menghalangimu? Jawab saya.“ Pak Leo mengulang pertanyaannya sekali lagi karena Liam hanya terdiam dan membia
Apa yang akan kau lakukan jika kejadian yang pernah menghancurkan persahabatan serta masa depan orang lain kembali terulang?Di perjalanan pulang, Michelle menyandarkan kepalanya pada kaca mobil taksi yang mengantarkannya ke rumah. Rasanya, saat ini, ia ingin memuntahkan makanan yang baru saja disantapnya tadi. Ia menyesal. Seharusnya ia mampu mengalahkan rasa penasaran itu dan membiarkan ketidaktahuannya akan perasaan Andini sebagai pecutan untuk meraih hati Liam.Pendar lampu kota tak mampu menyilaukan pandangan matanya. Matanya memang memandang ke luar jendela, namun ia tak mengamati apa pun. Pikirannya berhasil menguasai tubuh. Sepanjang perjalanan, lalu lalang kendaraan tidak mampu menghancurkan konsentrasinya.Ingatan lama itu tiba-tiba kembali berputar dengan runut.Di selasar lantai dua, Michelle remaja tersenyum senang mengamati Andini yang tengah duduk sendirian, termangu menatapi kesedihan mendalam. Kepala Andini menduduk hingga rambut lurusnya
Trauma pasca penyerangan itu membuat Andini jadi takut untuk berkeliaran sendiri. Ingatannya tentang bagaimana Liam ditusuk dan disaksikan dirinya sendiri, mampu menciptakan mimpi buruk baginya.Sebelum mentari terbenam, Michelle tergopoh-gopoh mencapai ruangan di mana Liam dirawat. Pandangan kedua gadis itu bertemu. Dua gadis yang sama-sama mencintai Liam, yang saling tak mau mengalah.“Bagaimana keadaannya?” mata Michelle nanar menatap orang yang dikasihinya tak sadarkan diri. “Apa yang sebenarnya terjadi?”Andini menatap Michelle lekat-lekat. Jelas, tanpa diberi tahu, harusnya ia tahu tanpa perlu bertanya lebih jauh. Ia benci pertanyaan itu. Sangat membencinya. Manusia mana yang ingin dilahirkan sebagai penyebab celakanya orang lain?“Jelaskan padaku apa yang terjadi, An,” desak Michelle serius.“Perlukah aku menjelaskannya?” Andini menatap Michelle sejurus, sepasang matanya menyala tajam.“Itu kewajibanmu.”“Bagaimana jika aku tidak mau?”Keduanya bersitatap. Sama-sama meneguhkan
Iring-iringan mobil serba hitam milik Adimas menguasai jalan. Pak Ramlan begitu iba saat melihat Andini memeluk Adimas karena trauma atas apa yang terjadi. Isak tangis memenuhi seluruh ruang di mobil. Sementara Adimas, hanya bisa mengelus-elus pundak anak semata wayangnya itu. Dalam hati, dirinya begitu marah. Harga dirinya sebagai seorang ayah begitu disayat-sayat. Ia nyaris gagal melindungi anaknya.Sebetulnya, ia memang senang jika Andini menghampiri dan memeluknya. Akan tetapi, menurutnya—momen menakutkan seperti ini sangat tidak pas untuk diapresiasi. Lima menit saja ia terlambat, mungkin Hendri pun sudah merenggang nyawa. Pistol yang dipegang Hendri berhasil direbut oleh musuh entah bagaimana. Sementara Dave sudah kehabisan tenaga dan tidak kuat lagi untuk melawan.Tubuh keduanya dihiasi luka-luka saat bala bantuan tiba. Samuel, Tama, dan Liam segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Setelah mengetahui kalau Liam terlu
Sebuah peluru keluar dari selongsongnya tepat saat beberapa orang hendak memukuli Liam yang lemah terkena tusukan. Suara tembakan menggema di tengah kesunyian jalan itu. Hanya beberapa pengendara yang lewat serta melintas tanpa berani untuk turun tangan. Pengendara mana yang berani melawan para penjahat yang menyerang mereka berlima?Serentak, sepuluh manusia bertopeng yang masih tersisa urung melakukan niat mereka untuk menghabisi Liam. Hendri tidak main-main. Ia siap mengeluarkan seluruh peluru pada pistolnya jika memang itu diperlukan. Dengan terpaksa, sepuluh orang itu mundur perlahan.Dave dan Hendri yang masih sadar sepenuhnya, menghampiri Liam dan membantunya untuk berdiri. Tangan kanan Hendri masih menodongkan pistol ke arah para musuh.Nafas Liam tak beraturan, ia menahan perih dari punggung belakangnya yang terus mengeluarkan darah segar. Sekuat tenaga, dengan sisa tenaga yang ada pada dirinya, ia berupaya untuk berdiri, m
“Apa-apaan ini! Siapa mereka?” Tama panik. Sebab, inilah kali pertama ia merasakan berada dalam situasi nyata tugasnya sebagai pengawal.Satu per satu, orang-orang berpakaian serba hitam yang lengkap dengan penutup wajah—mulai turun dari mobil sambil membawa benda tumpul dan beberapa senjata tajam. Tanpa melihat siapa di balik topeng hitam yang seragam itu, Liam jelas tahu, kalau mereka tidak hanya ingin melukai, tapi menghilangkan nyawa dengan bengisnya.“Jangan keluar dari mobil sampai saya memberikan perintah!” Liam memberikan instruksi pada Samuel. Tak lama, terlihat jelas di matanya—kepala Andini menoleh ke belakang.“An, aku pasti tidak akan membiarkanmu terluka.” Liam berjanji pada dirinya sendiri. Nyawanyalah yang akan menjadi ganti.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Hendri dengan tatapan penuh harap. “Kita harus menyelamatkan Nona Andini b
Mata Samuel tidak dapat beralih sedetik pun. Begitu anggunnya Andini ketika turun dari kamar. Tangannya dihimpit oleh Bu Laksmi, selaras langkah mereka saat menuruni anak tangga. Kondisi Samuel lebih-lebih daripada orang yang terkena hipnotis. Ya, penampilan Andini saat ini sangat menghipnotis dirinya.Khayalan nakal Samuel mulai bermain-main di kepala. Ia membayangkan kalau tadi pagi mereka resmi menikah dan malam ini adalah malam pertama yang panjang. Tubuh Andini mendarat mulus di ranjang, lalu sampai pagi Samuel memandangi wajah orang yang dikasihinya itu dan menjadi orang pertama yang berada di sisi Andini kala ia membuka mata. Ia sangat berharap khayalannya itu bisa menjadi kenyataan.Lain halnya dengan Liam. Kala melihat penampilan Andini yang begitu memesona, justru hatinya semakin sesak—tercabik-cabik hingga nyaris menangis. Ia menyesal. Sangat menyesal. Penampilan Andini dianggapnya sebagai karma tercepat dan tersakit yang pernah dir
Tama, Dave, dan Hendri telah bersiap untuk menerima undangan makan malam yang secara tidak langsung diadakan oleh penyalur jasa mereka. Pak Hasan memang memberikan undangan itu bukan sebagai pimpinan, melainkan seorang ayah yang berterima kasih pada rekan-rekan anaknya.“Aku cukup tersanjung dengan undangan yang diberikan Pak Hasan. Ah,” Tama memandang langit yang begitu luas. “kiranya undangan itu lebih daripada sekedar undangan,” katanya lagi.“Maksudmu?” Dave tidak memahami.Tama menggaruk-garuk kepalanya sambil menyeringai. Ia memang berharap lebih seperti pembagian gaji yang lebih menguntungkan pihak pekerja. Bukan lebih besar penyedia jasa yang menyalurkan mereka. “Apa kau tidak merasa kalau kita ini spesial?”“Spesial kenapa?”“Kita adalah teman sekerja Samuel, anak pertama dan calon penerus perusahaan A&B Guard. Aku yakin, pasti Pak Hasan akan meminta bantuan kepada
Andini menyadari, berharap pada orang lain hanya akan berujung pada kekecewaan. Tidak ada manusia di dunia ini yang mampu menyelesaikan masalah pada dirinya selain dirinya sendiri.“Untuk apa aku berharap pada orang lain. Ujung-ujungnya, yang kudapatkan hanyalah kekecewaan yang teramat.”Andini berucap pada diri sendiri. Saat ini, ia sedang terduduk lemas di tepi kasur dan tak berniat melakukan apa pun. Ia melirik jam dinding di kamar. Satu setengah jam lagi, Samuel akan menjemput mereka. Satu setengah jam lagi, bagi Andini, dunia sesungguhnya akan terjadi. Dunia yang sebenarnya tak diinginkannya.Menjadi tua ternyata perkara menakutkan. Seandainya saja, usianya saat ini masih merujuk pada angka belasan, mungkin ia bisa menolak dan berdalih akan menemukan pasangan hidup sendiri. Kini, usianya telah berada di penghujung dua puluh lima tahun. Sebentar lagi, satu angka akan bertambah di belakang.Ia menyesal tidak pernah bek
Sepanjang perjalanan meninggalkan kampus, Andini tak bicara satu kata pun. Fokusnya hanya menyandarkan kepala di dada Liam dan khusyuk berdoa kepada Tuhan agar waktu berhenti sementara.Sebentar lagi, hidupnya akan kosong. Sangat kosong. Seluruh pengisi di relung hatinya akan menguap percuma. Apa yang diimpikannya selama hidup, tidak ada yang berjalan dengan lancar. Hidupnya bagai sangkar. Seharusnya ia tidak perlu dilahirkan jika Tuhan tak mengizinkannya untuk memilih jalan hidup yang diingininya.Liam sesekali mencuri pandang ke arah kekasihnya itu. Sebagai lelaki, ia tidak begitu mengerti dengan perasaan wanita. Lagi pula, di hari yang sama, ia baru saja melakukan dosa besar. Hal yang selama hidupnya diharapkan kedua orang tuanya untuk tidak dilakukan. Ia memohon ampun dengan sangat. Meminta maaf sebesar-besarnya kepada kedua almarhum.Ia mengendarai mobil dengan kecepatan yang bisa dibilang cukup lambat. Untuk mendukung su