Meskipun berat hati. Tapi aku terpaksa menuruti ucapan kak Adam, untuk menjawab panggilan telepon dari pak Anwar."Malam- malam malah nelpon," gumamku, sambil menekan tombol hijau.[Selamat malam, Dinda. Din, kamu sibuk nggak?] Mendengar pertanyaan pak Anwar, kak Adam memasang wajah masamnya, membuatku menjadi semakin tidak enak hati.[Mau makan sih, Pak.][Aduh jadi lapar. Saya belum makan, Din. Andai kamu disini, pengen ngajak kamu makan malam. Din, kamu lagi sendiri aja, atau sama Adam?]Aku melirik kak Adam, yang memberiku kode untuk bilang sendiri. Lagi- lagi dengan berat hati aku turuti.[Sendiri saja, Pak.][Dinda, kamu itu wanita hebat, cantik, mandiri dan berpendidikan. Tapi maaf, kenapa kamu masih mau bertahan dengan Adam, Dinda? Adam itu lelaki yang sudah beristri pula. Tadi saya lihat disosial media, Maura mempermalukan kalian di Hotel.]Aku melirik ke arah kak Adam yang sudah memasang wajah kesal.[Din, kamu berhak mendapatkan lelaki yang lebih baik. Yang mampu menjadikan
Disaat aku memikirkan cara, untuk memulai rencana gilaku lagi. Tiba- tiba pintu kamarku dibuka dari luar. Aku cukup terkejut, ketika kak Adam yang muncul dan langsung masuk ke dalam kamarku.Lelaki itu dengan cekatan langsung mengunci pintu kamar dan berbalik badan menghadap ke arahku."Kak, ada apa?" tanyaku bingung. Namun bukan jawaban yang aku dapatkan, malah senyuman nakal darinya."Ih apaan nih," ujarku ketika dia langsung berlari dan menghambur ke arahku.Aku langsung terbaring, dengan posisi dia diatasku."Kak, apaan nih," protesku dengan mata membola."Kangen aroma kamu," jawabnya yang langsung menyosorkan wajahnya ke leherku."Astaga, merinding aku," ujarku yang berniat mendorong tubuhnya yang kini menindihku."Hahaha, jangan bilang kamu mulai naaanananana," katanya dengan pedenya sambil terkekeh tepat ditelingaku.Benar- benar rese lelaki ini. Untung suamiku, kalau suami tetangga sudah aku gebukin ini.Aku terkekeh dan mendorong pelan tubuhnya yang seakan membantu, tidak te
"Kamu jahat, Mas. Padahal aku sayang banget sama kamu, Mas. Kasihani aku, wanita cacat ini. Bukankah kamu bilang, akan tetap disisiku, sekalipun aku cacat seperti ini. Kamu janji juga, akan membuat kak Dinda bertanggung jawab dengan deritaku ini. Tapi kenapa malah begini?" Kak Adam menarik napas berkali- kali, sembari mengusap kasar wajahnya."Yasudah, saya minta maaf. Kamu duluan ke atas, nanti saya susul," ujar kak Adam dengan suara lembut."Dan Dinda, tetap di kamar dan jangan kemana- mana, sekalipun ibu yang minta. Jangan keluar tanpa izin saya," tegas lelaki itu ke arahku.Aku hanya terdiam tanpa suara. Tante Amara mendengkus dan berjalan meninggalkan pintu kamarku."Aku maunya mas gendong ke kamar," pinta Maura dengan suara manja dan seraknya.Benar- benar menyebalkan wanita itu, mudah sekali ekspresinya berubah rubah.Kak Adam nampaknya langsung menuruti permintaan wanita itu dan mendorong kursi roda Maura meninggalkan kamarku.Begini rasanya menjadi istri kedua, apa- apa dipe
"Ngapain kakak disini?" tanyaku. Kak Adam meraih kembali kartu miliknya dari kasir. Kemudian mengambil belanjaanku yang sudah siap dibawa."Aku tidak tenang, membiarkan kamu ke Mall sendirian," jawabnya, kami berdua sambil berjalan keluar toko."Kenapa? Tadi di rumah cuek aja kan."Dia terkekeh."Banyak Anwar - Anwar lainnya di Mall ini, aku nggak mau istri aku ada yang ganggu," ujarnya sambil tersenyum nakal ke arahku."Emang pak Anwar penganggu istri orang?""Kamu istri aku, sering diganggu sama si Anwar. Takut aja, pas kamu sendirian begini malah ketemu dia, dan dia malah ikutin kamu," katanya semakin berhalusinasi."Haha, terlalu berlebihan mikir begitu," ujarku, dan hanya disahutinya dengan kekehan kecil.Disaat kami memutuskan untuk makan siang di area Mall ini, kami malah bertemu dengan mas Aditya, juga ibunya.Ya sallam, lama tidak bertemu batang hidung lelaki ini, malah ketemu di tempat rame begini.Ah, semoga saja, mantan ibu mertua tidak kesurupan melihat keberadaanku.Dan
"Maaf, Kak. Aku tidak bermaksud ikut campur urusan rumah tangga Kakak, aku refleks.""Kamu sengaja," sahutnya dengan wajah datar."Kamu tidak paham atau pura- pura lugu? Tentu kamu sudah tahu, kenapa aku nggak bisa menyentuh Maura.""Maaf, Kak. Aku tidak tahu, sumpah."Aku sampai mengangkat kedua jari tanganku ke depannya, menjelaskan dengan lugas, bahwa aku memang tidak tahu apa- apa."Aku tidak bisa, menyentuh orang yang tidak ada dihatiku," jelas kak Adam, membuat aku tersipu."Berarti aku orang, yang ada di hati kakak?""Pakek nanya lagi, dasar sengaja," ujarnya sambil mencubit gemas hidung aku."Aawww, sakit tau." Aku memegangi hidung yang terasa panas akibat ulahnya. Meskipun niatnya tidak untuk menyakiti, tapi kegemasannya, membuat hidungku benar- benar sakit."Itu hukuman buat orang sok polos," katanya sambil terkekeh."Bukannya sok polos, Kak. Tapi aku beneran gak tau."Lelaki itu hanya nyengir kuda dan melanjutkan mengemudi mobilnya. Mobil itu melaju ke arah rumah, membuatku
Maaf Teman- teman pembaca, jika buku ini semakin lambat update. Apalagi dua hari ini nggak ada update sama sekali. Soalnya aku lagi dalam kondisi Berduka. Mertua yang lama sakit, tanggal 2 tadi Meninggal Dunia, jadi Mohon maaf update nya semakin lambat. kuharap kalian mengerti dan tetap mencintai karyaku ini. Terimakasih atas pengertiannya teman- teman pembaca, sehat selalu dan semoga semua lancar rezekinya.
"Baik, cukup sudah. Aku tidak akan pernah lagi berada di meja ini," ujarku sambil menyeret langkah menjauhi meja makan. Kak Adam langsung berdiri dari duduknya."Diam disitu!" titahnya. Aku menghentikan langkahku dan berbalik badan menghadap ke arahnya."Ada apa lagi?" tanyaku sinis. Terlalu banyak drama di rumah ini, membuatku benar- benar merasa muak.Pikiranku cukup banyak, terlebih dengan nasib sahamku yang tidak jelas akhir- akhir ini. Jika aku terus diam dan mengabaikannya, aku takut sahamku akan hilang begitu saja dan berpindah kepemilikan lagi."Kamu mau kemana lagi?""Aku ada urusan, Kak.""Urusan melulu, kak Dinda ini, berasa orang yang paling sibuk sedunia," sindir Maura."Biarkan dia pergi, Adam! Wanita tidak beradab ini, biarkan dia pergi, kalau perlu nggak usah balik lagi," timpal tante Amara, yang datang memasuki dapur.Aku menyunggingkan senyum."Jadi ngusir nih?" tanyaku, yang kini beralih menatap tante Amara."Iya! Saya berhak mengusir wanita tidak beretika seperti k
Memasuki kantor om Kustomi, lelaki itu menyambutku dengan senyuman hangat. Namun, wajah yang tadinya tersenyum, mendadak lenyap seketika, berganti dengan tatapan menyelidik."Apa yang terjadi? Kenapa wajah kamu?" Om Kustomi mencecarku dengan pertanyaan yang sulit untuk aku jawab. "Apakah ini perbuatan Adam Raharja?" Om Kustomi kembali bertanya, dengan wajah yang mengeras. Kentara sekali, percikan emosi mulai terpatri di wajah tuanya."Bukan, Om.""Lantas apa? Jangan berdusta, Dinda. Kamu itu sudah om anggap, sebagai anak sendiri. Kamu itu adalah amanah dari Kusnadi, yang harus om patuhi.""Dinda tidak berdusta, Om. Om tenang dulu, jangan emosi. Ayo kita duduk," pintaku dengan lembut. Lelaki paru baya itu pun mau akhirnya duduk, meskipun wajahnya masih memancarkan kekesalan."Jelaskan! Jangan ada yang ditutupi, Dinda!" pintanya dengan tegas. Aku tersenyum, melihat kekesalannya karena khawatir padaku."Tante Amara yang melakukannya, Om. Semua karena ulah si betina satunya itu, istri t
Bab93Disaat Dinda sibuk mengurus bayinya, begitu juga dengan ibu mertuanya, yang nampak terbuai bahagia, dengan kehadiran cucu yang begitu dia damba.Hidup bahagia, seakan kini berpihak pada Dinda. Melihat ibu mertua yang dulunya begitu membencinya, kini berubah 99%, baik dan sangat memperhatikannya, Dinda sangat bersukur dengan hidupnya kini.Dinda pun seakan lupa. Ada hati yang masih terluka, ada hati yang masih tidak rela.Maura mengurung diri di dalam kamar, meratapi takdir yang tidak adil padanya. Dia yang istri pertama, tapi dia pula yang sangat terluka.Meskipun dari awal dia tahu, bahwa suami yang sangat dia cintai, mencintai wanita lain dengan gilanya. Tapi berkat bujuk rayu ibu mertua. Maura yakin bisa membuat suaminya akan mencintainya.Nyatanya? Maura jatuh dan hancur dalam harapannya. Kemunculan Dinda di rumah tangganya, membuat hati Maura hancur dan terluka. Maura jelas tidak terima, dan membenci Dinda teramat dalam di dasar hatinya.Kebencian itulah, yang menjadi api de
Bab92 "Maura!!" Suara Adam memanggil wanita itu. Pelayan Maura yang bernama Neneng pun menghentikan laju langkah mereka, dan memutar badan mengarah ke Adam yang berjalan mendekati mereka. Wajah Maura begitu sendu, memandang Adam. "Biar aku antar," seru Adam, membuat Maura langsung menggelengkan kepala. "Tidak usah, kami sudah memesan taxi online." "Batalkan! Lagian Dinda juga sudah mau pulang, kita bareng saja," ujar Adam lagi memaksa. "Aku tidak mau, menganggu kebahagiaan kamu, Mas. Selamat ya, akhirnya kamu akan menjadi seorang ayah, aku turut bahagia untuk kalian," ucap Maura, dengan mata berkabut. "Maafkan saya, Maura." Lelaki itu menjadi serba salah, menghadapi situasi ini. Dilain sisi, sebagai lelaki yang beristri, tentu saja memiliki keturunan, adalah suatu kebahágiaannya. "Kamu juga menjadi ibu, Maura." "Tidak, aku tidak akan pernah menjadi ibu, Mas. Selamanya, aku hanya wanita cacat, yang kehilangan segalanya," lirih Maura. "Neng, ayo," pinta Maura. Neng pun mengan
Wajah mereka semua begitu berseri, bibir mereka pun melengkungkan senyum, hanya Maura yang menatap sendu ke arahku."Ada apa ini?" tanyaku penasaran. Seingatku, aku sempat pingsan setelah muntah- muntah tadi, entah berapa lama aku pingsan. Tapi ketika sadar, aku dibuat mereka semua bingung."Selamat ya, Nak. Kamu akan segera memberikan ibu cucu," seru ibu mertua dengan bahagia. Ada ketulusan dimatanya."Hah, aku hamil, Bu?" Sulit rasanya kupercaya. Disaat hati ingin mundur, malah hamil.Antara bahagia, juga dilema. Kulirik ke arah Maura, yang terlihat memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Maura, kamu akan menjadi seorang ibu, Nak. Dan Adam, Adam akan menjadi ayah. Dan saya, saya akan menjadi seorang nenek. Akhirnya keluarga kami akan memiliki generasi penerus," seru ibu mertua tanpa henti.Aku terdiam dan membeku. "Mulai hari ini, ibu akan khusus mengurus Dinda, dan ibu akan menjadi nenek siaga," lanjutnya begitu bersemangat. "Ibu, jangan berlebihan," pinta kak Adam."Tidak ada yan
Hubungan ini, benar- benar sudah tidak bisa dipertahankan. Aku tidak mungkin tetap disini, berada di dalam rumah orang, yang begitu benci dengan keberadaanku. Rasanya sangat menyakitkan sekali, setiap melihat tatapan kebenciannya, ucapan- ucapan pedasnya. Sekalipun cinta kak Adam hanyalah untukku, aku tetap merasa tidak nyaman. Cukup lama aku menangis, hingga tanpa aku sadari lagi, aku tertidur. ***^^*** Ketukkan dipintu kamar, membuatku terbangun dari tidur. Cahaya panas matahari yang mulai naik, menerpa wajahku. Aku melirik jam dinding, sudah menunjukkan jam 10 siang. "Astaga, siang sekali aku bangunnya," gumamku. Ketukan dipintu kamar kembali terdengar. "Jangan- jangan tante Amara lagi didepan pintu," batinku. Aku beringsut turun dari kasur, menuju pintu kamar. Perlahan, aku membukanya. "Kamu kesiangan," sapa wanita yang kini berada tepat didepan pintu kamarku. Wanita yang duduk dikursi roda ini nampak cantik hari ini. Dia mengenakan make up tipis, dengan pakaian yang c
"Mereka tidur di kamar," bisiknya ke telingaku sambil terkekeh."Satu kamar mereka?""Iya, hahahaa." Kak Adam gelak tertawa, membuat aku menjadi heran."Kok bisa?""Aku kasih obat tidur," jelasnya lagi, membuat aku ikutan tertawa."Ih, jahil banget kamu, Kak.""Habisnya kalau nggak begitu, aku sama kamu mereka ganggu melulu," sahutnya tanpa dosa."Ada- ada saja kamu, Kak. Kasihan tau.""Kan aku cuma ngasih obat tidur, jadi gak apa- apa dong. Aku nggak mau terus diganggu, ketika berduaan sama istriku. Aku juga nggak mau durhaka sama ibu, karena terus ribut dengannya. Jadi, aku main aman saja," katanya panjang lebar. "Hmm, yaudah ayo mandi, gerah," ujarku yang akhirnya bangkit dari pelukannya. Lelaki itu pun menyusulku bangkit dari tempat tidur dan menggendongku secara tiba- tiba."Kak Adam," pekikku cukup terkejut."Mandi sama- sama dong," katanya sambil mengedipkan 1 matanya padaku.Aku terkekeh, dan kak Adam pun menyeret langkah memasuki kamar mandi. Tidak kusangka, tingkahnya yang
"Kita lihat saja nanti. Aku atau kamu, yang lebih cocok jadi nyonya." Aku menyahut pelan, sambil tersenyum penuh arti.Wanita itu, yang semula tersenyum dengan angkuh mendadak terdiam. Pancaran emosi memenuhi wajahnya."Yang aku tahu, kak Adam hanya mencintaiku dari dulu. Entah kenapa, dia mau menikahi kamu, wanita yang tidak dia sukai sama sekali," cibirku sambil terkekeh."Kamu, jangan sombong kamu, Dinda!" ujarnya yang mulai tersulut emosi."Wajar aku sombong, karena yang aku katakan adalah fakta." Aku terus berjalan sambil terkekeh.Hilang sudah rasa bersalahku padanya, yang ada malah rasa sebal dan ingin mengerjainya balik, agar dia tidak seenaknya meremehkan aku.Saat aku memasuki rumah, tiba- tiba Maura menjerit- jerit dari dalam mobil. Kak Adam pun langsung berlari dengan paniknya, begitu juga ibu mertua.Hanya aku yang terdiam, sembari mengamati mereka dari kejauhan. Entah drama apalagi, yang ingin Maura mainkan kali ini."Dinda! Ambilkan air untuk Maura, cepat!!" Tante Amar
Memasuki kantor om Kustomi, lelaki itu menyambutku dengan senyuman hangat. Namun, wajah yang tadinya tersenyum, mendadak lenyap seketika, berganti dengan tatapan menyelidik."Apa yang terjadi? Kenapa wajah kamu?" Om Kustomi mencecarku dengan pertanyaan yang sulit untuk aku jawab. "Apakah ini perbuatan Adam Raharja?" Om Kustomi kembali bertanya, dengan wajah yang mengeras. Kentara sekali, percikan emosi mulai terpatri di wajah tuanya."Bukan, Om.""Lantas apa? Jangan berdusta, Dinda. Kamu itu sudah om anggap, sebagai anak sendiri. Kamu itu adalah amanah dari Kusnadi, yang harus om patuhi.""Dinda tidak berdusta, Om. Om tenang dulu, jangan emosi. Ayo kita duduk," pintaku dengan lembut. Lelaki paru baya itu pun mau akhirnya duduk, meskipun wajahnya masih memancarkan kekesalan."Jelaskan! Jangan ada yang ditutupi, Dinda!" pintanya dengan tegas. Aku tersenyum, melihat kekesalannya karena khawatir padaku."Tante Amara yang melakukannya, Om. Semua karena ulah si betina satunya itu, istri t
"Baik, cukup sudah. Aku tidak akan pernah lagi berada di meja ini," ujarku sambil menyeret langkah menjauhi meja makan. Kak Adam langsung berdiri dari duduknya."Diam disitu!" titahnya. Aku menghentikan langkahku dan berbalik badan menghadap ke arahnya."Ada apa lagi?" tanyaku sinis. Terlalu banyak drama di rumah ini, membuatku benar- benar merasa muak.Pikiranku cukup banyak, terlebih dengan nasib sahamku yang tidak jelas akhir- akhir ini. Jika aku terus diam dan mengabaikannya, aku takut sahamku akan hilang begitu saja dan berpindah kepemilikan lagi."Kamu mau kemana lagi?""Aku ada urusan, Kak.""Urusan melulu, kak Dinda ini, berasa orang yang paling sibuk sedunia," sindir Maura."Biarkan dia pergi, Adam! Wanita tidak beradab ini, biarkan dia pergi, kalau perlu nggak usah balik lagi," timpal tante Amara, yang datang memasuki dapur.Aku menyunggingkan senyum."Jadi ngusir nih?" tanyaku, yang kini beralih menatap tante Amara."Iya! Saya berhak mengusir wanita tidak beretika seperti k
Maaf Teman- teman pembaca, jika buku ini semakin lambat update. Apalagi dua hari ini nggak ada update sama sekali. Soalnya aku lagi dalam kondisi Berduka. Mertua yang lama sakit, tanggal 2 tadi Meninggal Dunia, jadi Mohon maaf update nya semakin lambat. kuharap kalian mengerti dan tetap mencintai karyaku ini. Terimakasih atas pengertiannya teman- teman pembaca, sehat selalu dan semoga semua lancar rezekinya.