Kak Adam menolak membawaku, dia memintaku fokus pada pemakaman kedua orang tuaku.Meskipun aku ingin sekali bertemu dengan pelakunya, tapi aku juga tidak ingin melewatkan detik terakhir bersama dengan kedua orang tuaku, sebelum mereka dikebumikan.Prosesi pemakaman berjalan dengan pilu, karena perasaan tidak ikhlas kehilangan, terus- menerus membuatku menangis sepanjang jalan, hingga diliang lahat keduanya.Selesai di makamkan, para pelayat pun mulai bergerak pulang, menyisakan aku dan Iren, dan juga beberapa anak buahnya yang stay sedikit jauh dari kami."Urusanku sama mas Aditya saja belum selesai, Ren. Malah nambah masalah baru terus, sebenarnya aku ini sedang dihukum apa gimana sih, Ren?" keluhku sambil terisak- isak."Din, kamu jangan pikirin apa- apa dulu, tenangkan diri kamu, ya. Kita hanya harus berhati- hati, Din." Belum selesai Iren bicara, tiba- tiba seseorang melempari kami batu."Aawwkkk." Aku dan Iren terkejut, ketika batu itu mengenai payung yang Iren pegang.Untungnya
Pov Adam Raharja."Tuan," panggil bik Marni. Aku dan kang Mamat menoleh."Boleh saya masuk?" tanya bik Marni."Ya." Aku menjawab singkat, kemudian kembali fokus ke layar monitor."Saya ingin bercerita sedikit, Tuan. Mungkin ini bisa jadi petunjuk," lirih bik Marni.Aku menjeda video rekaman cctv, yang sedang aku lihat bersama kang Mamat."Silahkan, Bik." Aku menjawab singkat, sambil beralih menatapnya, begitu juga dengan kak Mamat. "Tuan. Maaf, kalau bik Marni baru cerita. Bibik takut, membuat keadaan, menjadi semakin kacau dan tidak nyaman," ujar bik Marni, ketika memasuki ruangan cctv menemuiku dan kang Mamat.Aku menatap serius wajah bik Marni yang nampak sedih."Sebelum kejadian na'as itu terjadi. Abba dan Umma neng Dinda sedang ribut. Mereka membahas seseorang yang bernama Hanung kalau tidak salah. Umma menangis, karena mendapat ancaman, bahwa neng Dinda akan dibunuh, karena mengusik keluarga orang yang bernama Hanung itu. Tapi Abba bersikeras, bahwa neng Dinda berhak bertemu de
Dengan langkah semangat, diiringi ucapan bismillah didalam hati, aku berharap sidang hari ini berjalan lancar."Sudah siap?" tanya Iren, yang sudah keluar dari kamarnya.Meskipun aku menginap di tempat Iren, tapi kami tidak tidur bersama. Iren memberiku kamar sendiri, agar privasi kami tidak terganggu katanya. Sebagai tamu, aku tentu saja sangat setuju."Sudah, ayo." Aku menjawab sambil tersenyum. Kami pun sarapan lebih dulu, sebelum ke pengadilan Agama. Sebab akan banyak menguras tenaga dan emosi nantinya disana.Dan benar saja, sesampainya di parkiran, malah aku dan Iren sedikit terkejut, karena Aditya juga baru datang."Bakal konslet lagi nih," gumam Iren, membuatku menahan senyum. Kuajak Iren melanjutkan langkah, namun teriakkan Astri, menghentikan kami. Wanita itu nampak baru keluar dari mobil, dan dengan langkah tergesa- gesa, berjalan ke arah kami.Plakk ....Wanita itu menampar wajahku secara tiba' tiba, membuatku cukup terkejut."Heh! Apa- apaan kamu?" bentak Iren, yang bern
"Menyesal?" "Kamu pasti penasaran kan? Kenapa kedua orang tua angkat kamu mati," lirihnya. Membuat aku sangat terkejut."Aku akan menceritakan semuanya sama kamu, cantik," lanjutnya sambil tersenyum penuh arti. Kemudian, dengan kasar dia menarik lenganku.Aku terpaksa mengikuti langkahnya, dan dia memintaku masuk ke dalam mobil. Didorong rasa penasaran yang kuat, akhirnya aku menurut masuk ke dalam mobil.Wanita itu lagi- lagi menampilkan senyum yang penuh arti.Di dalam mobil, dia mengemudi cukup laju."Mau kemana Anda membawa saya?" tanyaku sedikit gugup. Namun, aku berusaha menetralkan perasaan gugupku, agar dia tidak curiga."Kesuatu tempat," jawabnya santai. Aku mengernyit.Mobil melaju memasuki daerah tol, membuatku semakin bingung."Kita mau kemana? Tolong yang jelas! Atau hentikan sekarang juga mobil ini," pintaku yang mulai semakin diselimuti rasa curiga.Wanita itu terkekeh."Saya tidak suka hama," ujarnya."Kehadiran kamu, benar- benar menganggu kenyamanan saya. Meskipun
Remang- remang pandangan, ketika aku berusaha membuka mata."Akhirnya kamu sadar," gumam suara berat, yang tidak aku kenali.Aku memaksakan membuka mata."Dimana ini?" lirihku. Sambil melihat ke arah asal suara tadi."Kamu di tempat yang aman. Hanya saja, kenapa kamu begitu ceroboh, sampai mau ikut dengan Melisa," ujar lelaki paru baya, yang aku sendiri saja tidak kenal."Siapa Melisa?" tanyaku, sambil memegangi keningku dengan tangan kanan.Aku membenarkan posisi duduk, yang langsung dibantu oleh wanita yang berdiri di samping kasur tempatku berbaring."Wanita yang nyaris membunuh kamu, serta teman lelakimu itu!" jawabnya, membuatku teringat kejadian sebelumnya."Ya Allah, bagaimana keadaan teman saya, Pak? Apakah dia baik- baik saja, dia dimana? Dan Bapak siapa?" Aku mulai panik dan melempar berbagai macam tanya."Tenang dulu. Temanmu sudah saya kirim ke rumah sakit, karena kondisinya cukup serius," jelasnya, membuatku langsung terlonjak, serta tubuhku mendadak gemeteran, mengingat
Berani sekali dia menyentuhku. Dengan gerakkan cepat aku mencengkram tangannya dan memberikan 1 pukulan ke perutnya dengan siku-ku. "Akkhhhh, sakit," rintihnya dan langsung melepaskan tarikan tangannya pada rambutku.Tapi aku tidak melepaskan tangan lancangnya itu begitu saja. Tanganku masih kuat mencengkram tangan kotor itu dengan seluruh tenaga."Lepaskan! Sakit," lirihnya."Akan kulaporkan kamu ke polisi, dengan tuduhan tindak kekerasan," ancamnya dengan mata mendelik.Aku menatap santai ke arahnya."Tangan kotormu ini, begitu lancang menyentuh rambutku. Kamu pikir aku Dinda yang dahulu? Yang akan ketakutan, jika kamu main tangan, hah?" Aku menatap remeh ke arahnya."Seharusnya kamu mati saat itu," lirihnya pelan, menatap murka kepadaku."Aku nggak akan mati, sebelum menyaksikan kalian menderita," balasku sambil menghempaskan kasar tangan wanita itu."Siapapun orang yang berusaha membunuhku saat itu, satu- persatu, akan aku balas, termasuk kamu!" lanjutku."Memangnya kamu mampu?"
Dalam 2 tahun ini, selain belajar bela diri, aku juga mempelajari dan mengamati perkembangan sepak terjang perusahaan papahku, yang sudah diinfokan dengan detail oleh om Kustomi.Papah seorang lelaki yang gila kerja, dia bahkan tidak begitu mencari keberadaanku, juga kabar kematian Abba dan Umma, yang sudah dia ketahui. Om Kustomi memberikan segala informasi, mengenai papah kandungku itu. Lelaki itu nampak biasa, hanya saja, memang beberapa bulan ini, kabarnya dia sedang mencari keberadaanku.Dan om Kustomi pun sudah menjelaskan, semua berhubungan, dengan saham yang dimiliki oleh mendiang Abba dan Umma.Abba memiliki 40% dan Umma 20%. Dan akulah, yang telah mereka jadikan ahli warisnya.Aku tidak tahu sama sekali, bahwa mereka sesayang itu denganku."Kita mengubah rencana awal kita. Kamu harus masuk ke perusahaan itu, karena ada hak kamu disana. Om akan meminta pengacara keluargamu, untuk menjelaskan persyaratan dari mendiang orang tuamu. Karena dia tidak mau menjelaskannya pada oran
"Wanita itu yang menggoda suami saya, Bu." Astri mengadu. "Jangan membuat kegaduhan di acara saya! Kalau ada masalah keluarga, selesaikan di rumah kalian, jangan seperti orang yang tidak tahu malu," tekan wanita angkuh itu, menatap nyalang ke arah Astri."Maafkan kami, Bu." Mas Aditya bersuara sembari menahan malu. Sedangkan Astri masih bersikap angkuh, memasang wajah cemberut. "Dan kamu. Sepertinya kita tidak saling mengenal, bagaimana bisa, kamu ada di acara saya?" tanya wanita itu kepadaku. Aku menyunggingkan senyum."Masa anda tidak mengenal saya?" Aku bertanya sambil berjalan mendekat ke arahnya."Buruan anda sudah di depan mata! Apa harus saya jelaskan di acara malam ini siapa saya yang sebenarnya? Banyak pasang mata, sedang mengarah kepada kita. Jadi sebaiknya anda berhati- hati," lanjutku dengan suara pelan."Dinda ...." suara seseorang menyebut namaku. Kami menoleh ke arah pintu masuk.Lelaki berpenampilan rapi, tampan dan berkharisma. Dari wajahnya, dia pasti lelaki yang o
Bab93Disaat Dinda sibuk mengurus bayinya, begitu juga dengan ibu mertuanya, yang nampak terbuai bahagia, dengan kehadiran cucu yang begitu dia damba.Hidup bahagia, seakan kini berpihak pada Dinda. Melihat ibu mertua yang dulunya begitu membencinya, kini berubah 99%, baik dan sangat memperhatikannya, Dinda sangat bersukur dengan hidupnya kini.Dinda pun seakan lupa. Ada hati yang masih terluka, ada hati yang masih tidak rela.Maura mengurung diri di dalam kamar, meratapi takdir yang tidak adil padanya. Dia yang istri pertama, tapi dia pula yang sangat terluka.Meskipun dari awal dia tahu, bahwa suami yang sangat dia cintai, mencintai wanita lain dengan gilanya. Tapi berkat bujuk rayu ibu mertua. Maura yakin bisa membuat suaminya akan mencintainya.Nyatanya? Maura jatuh dan hancur dalam harapannya. Kemunculan Dinda di rumah tangganya, membuat hati Maura hancur dan terluka. Maura jelas tidak terima, dan membenci Dinda teramat dalam di dasar hatinya.Kebencian itulah, yang menjadi api de
Bab92 "Maura!!" Suara Adam memanggil wanita itu. Pelayan Maura yang bernama Neneng pun menghentikan laju langkah mereka, dan memutar badan mengarah ke Adam yang berjalan mendekati mereka. Wajah Maura begitu sendu, memandang Adam. "Biar aku antar," seru Adam, membuat Maura langsung menggelengkan kepala. "Tidak usah, kami sudah memesan taxi online." "Batalkan! Lagian Dinda juga sudah mau pulang, kita bareng saja," ujar Adam lagi memaksa. "Aku tidak mau, menganggu kebahagiaan kamu, Mas. Selamat ya, akhirnya kamu akan menjadi seorang ayah, aku turut bahagia untuk kalian," ucap Maura, dengan mata berkabut. "Maafkan saya, Maura." Lelaki itu menjadi serba salah, menghadapi situasi ini. Dilain sisi, sebagai lelaki yang beristri, tentu saja memiliki keturunan, adalah suatu kebahágiaannya. "Kamu juga menjadi ibu, Maura." "Tidak, aku tidak akan pernah menjadi ibu, Mas. Selamanya, aku hanya wanita cacat, yang kehilangan segalanya," lirih Maura. "Neng, ayo," pinta Maura. Neng pun mengan
Wajah mereka semua begitu berseri, bibir mereka pun melengkungkan senyum, hanya Maura yang menatap sendu ke arahku."Ada apa ini?" tanyaku penasaran. Seingatku, aku sempat pingsan setelah muntah- muntah tadi, entah berapa lama aku pingsan. Tapi ketika sadar, aku dibuat mereka semua bingung."Selamat ya, Nak. Kamu akan segera memberikan ibu cucu," seru ibu mertua dengan bahagia. Ada ketulusan dimatanya."Hah, aku hamil, Bu?" Sulit rasanya kupercaya. Disaat hati ingin mundur, malah hamil.Antara bahagia, juga dilema. Kulirik ke arah Maura, yang terlihat memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Maura, kamu akan menjadi seorang ibu, Nak. Dan Adam, Adam akan menjadi ayah. Dan saya, saya akan menjadi seorang nenek. Akhirnya keluarga kami akan memiliki generasi penerus," seru ibu mertua tanpa henti.Aku terdiam dan membeku. "Mulai hari ini, ibu akan khusus mengurus Dinda, dan ibu akan menjadi nenek siaga," lanjutnya begitu bersemangat. "Ibu, jangan berlebihan," pinta kak Adam."Tidak ada yan
Hubungan ini, benar- benar sudah tidak bisa dipertahankan. Aku tidak mungkin tetap disini, berada di dalam rumah orang, yang begitu benci dengan keberadaanku. Rasanya sangat menyakitkan sekali, setiap melihat tatapan kebenciannya, ucapan- ucapan pedasnya. Sekalipun cinta kak Adam hanyalah untukku, aku tetap merasa tidak nyaman. Cukup lama aku menangis, hingga tanpa aku sadari lagi, aku tertidur. ***^^*** Ketukkan dipintu kamar, membuatku terbangun dari tidur. Cahaya panas matahari yang mulai naik, menerpa wajahku. Aku melirik jam dinding, sudah menunjukkan jam 10 siang. "Astaga, siang sekali aku bangunnya," gumamku. Ketukan dipintu kamar kembali terdengar. "Jangan- jangan tante Amara lagi didepan pintu," batinku. Aku beringsut turun dari kasur, menuju pintu kamar. Perlahan, aku membukanya. "Kamu kesiangan," sapa wanita yang kini berada tepat didepan pintu kamarku. Wanita yang duduk dikursi roda ini nampak cantik hari ini. Dia mengenakan make up tipis, dengan pakaian yang c
"Mereka tidur di kamar," bisiknya ke telingaku sambil terkekeh."Satu kamar mereka?""Iya, hahahaa." Kak Adam gelak tertawa, membuat aku menjadi heran."Kok bisa?""Aku kasih obat tidur," jelasnya lagi, membuat aku ikutan tertawa."Ih, jahil banget kamu, Kak.""Habisnya kalau nggak begitu, aku sama kamu mereka ganggu melulu," sahutnya tanpa dosa."Ada- ada saja kamu, Kak. Kasihan tau.""Kan aku cuma ngasih obat tidur, jadi gak apa- apa dong. Aku nggak mau terus diganggu, ketika berduaan sama istriku. Aku juga nggak mau durhaka sama ibu, karena terus ribut dengannya. Jadi, aku main aman saja," katanya panjang lebar. "Hmm, yaudah ayo mandi, gerah," ujarku yang akhirnya bangkit dari pelukannya. Lelaki itu pun menyusulku bangkit dari tempat tidur dan menggendongku secara tiba- tiba."Kak Adam," pekikku cukup terkejut."Mandi sama- sama dong," katanya sambil mengedipkan 1 matanya padaku.Aku terkekeh, dan kak Adam pun menyeret langkah memasuki kamar mandi. Tidak kusangka, tingkahnya yang
"Kita lihat saja nanti. Aku atau kamu, yang lebih cocok jadi nyonya." Aku menyahut pelan, sambil tersenyum penuh arti.Wanita itu, yang semula tersenyum dengan angkuh mendadak terdiam. Pancaran emosi memenuhi wajahnya."Yang aku tahu, kak Adam hanya mencintaiku dari dulu. Entah kenapa, dia mau menikahi kamu, wanita yang tidak dia sukai sama sekali," cibirku sambil terkekeh."Kamu, jangan sombong kamu, Dinda!" ujarnya yang mulai tersulut emosi."Wajar aku sombong, karena yang aku katakan adalah fakta." Aku terus berjalan sambil terkekeh.Hilang sudah rasa bersalahku padanya, yang ada malah rasa sebal dan ingin mengerjainya balik, agar dia tidak seenaknya meremehkan aku.Saat aku memasuki rumah, tiba- tiba Maura menjerit- jerit dari dalam mobil. Kak Adam pun langsung berlari dengan paniknya, begitu juga ibu mertua.Hanya aku yang terdiam, sembari mengamati mereka dari kejauhan. Entah drama apalagi, yang ingin Maura mainkan kali ini."Dinda! Ambilkan air untuk Maura, cepat!!" Tante Amar
Memasuki kantor om Kustomi, lelaki itu menyambutku dengan senyuman hangat. Namun, wajah yang tadinya tersenyum, mendadak lenyap seketika, berganti dengan tatapan menyelidik."Apa yang terjadi? Kenapa wajah kamu?" Om Kustomi mencecarku dengan pertanyaan yang sulit untuk aku jawab. "Apakah ini perbuatan Adam Raharja?" Om Kustomi kembali bertanya, dengan wajah yang mengeras. Kentara sekali, percikan emosi mulai terpatri di wajah tuanya."Bukan, Om.""Lantas apa? Jangan berdusta, Dinda. Kamu itu sudah om anggap, sebagai anak sendiri. Kamu itu adalah amanah dari Kusnadi, yang harus om patuhi.""Dinda tidak berdusta, Om. Om tenang dulu, jangan emosi. Ayo kita duduk," pintaku dengan lembut. Lelaki paru baya itu pun mau akhirnya duduk, meskipun wajahnya masih memancarkan kekesalan."Jelaskan! Jangan ada yang ditutupi, Dinda!" pintanya dengan tegas. Aku tersenyum, melihat kekesalannya karena khawatir padaku."Tante Amara yang melakukannya, Om. Semua karena ulah si betina satunya itu, istri t
"Baik, cukup sudah. Aku tidak akan pernah lagi berada di meja ini," ujarku sambil menyeret langkah menjauhi meja makan. Kak Adam langsung berdiri dari duduknya."Diam disitu!" titahnya. Aku menghentikan langkahku dan berbalik badan menghadap ke arahnya."Ada apa lagi?" tanyaku sinis. Terlalu banyak drama di rumah ini, membuatku benar- benar merasa muak.Pikiranku cukup banyak, terlebih dengan nasib sahamku yang tidak jelas akhir- akhir ini. Jika aku terus diam dan mengabaikannya, aku takut sahamku akan hilang begitu saja dan berpindah kepemilikan lagi."Kamu mau kemana lagi?""Aku ada urusan, Kak.""Urusan melulu, kak Dinda ini, berasa orang yang paling sibuk sedunia," sindir Maura."Biarkan dia pergi, Adam! Wanita tidak beradab ini, biarkan dia pergi, kalau perlu nggak usah balik lagi," timpal tante Amara, yang datang memasuki dapur.Aku menyunggingkan senyum."Jadi ngusir nih?" tanyaku, yang kini beralih menatap tante Amara."Iya! Saya berhak mengusir wanita tidak beretika seperti k
Maaf Teman- teman pembaca, jika buku ini semakin lambat update. Apalagi dua hari ini nggak ada update sama sekali. Soalnya aku lagi dalam kondisi Berduka. Mertua yang lama sakit, tanggal 2 tadi Meninggal Dunia, jadi Mohon maaf update nya semakin lambat. kuharap kalian mengerti dan tetap mencintai karyaku ini. Terimakasih atas pengertiannya teman- teman pembaca, sehat selalu dan semoga semua lancar rezekinya.