Panggilan pun kuabaikan begitu saja. Demi ketenangan pikiran ini, tiba- tiba lelaki itu malah mengirim pesan padaku.[Angkat teleponku, atau aku kesana temui orang tuamu?]Aku tercengang, membaca pesan darinya. Ini kak Adam kenapa sih?Dari pada orang tuaku mikir macam- macam, sebaiknya aku telepon dia saja. Lagian ini sudah hampir jam 9 malam, ngapain juga dia harus kemari lagi."Ada apa sih, Kak?" tanyaku kesal, ketika panggilan telepon kami tersambung."Kita harus bertemu besok, ada yang ingin aku sampaikan," ujarnya."Ini penting." Ia menegaskan permintaannya, seolah itu tidak bisa dibantah.Aku menghela napas."Jika kamu menolak, orang tuaku akan datang ke rumah malam ini juga," ujarnya lagi bersuara, disela kebisuanku.Mataku nyaris melompat dari tempatnya, mendengar ucapannya tadi."Memangnya ada apa sih, Kak?" "Kutunggu besok di cafe Delima," ujarnya.Dasar lelaki es batu, mengesalkan sekali. Akhirnya telepon pun diakhiri tanpa jawabanku. Malam itu kulalui dengan gelisah. Ak
"Perusahaan Danum Perkasa," gumam Abba, yang kini mendekati meja makan.Aku mengernyit, karena Abba menyebutkan nama perusahaan, tempat mas Aditya bekerja."Abba, ada apa?" selidikku. Abba menarik napas dan duduk kembali di kursinya."Hanya ingin tahu, sebaik apa kinerja si Aditya itu," jawab Abba dengan santai.Aku semakin tidak mengerti."Ba, itu bukan urusan kita. Tolong jangan seperti ini.""Abba berhak tau! Karena Aditya, bekerja di bawah perusahaan yang Ayah kamu miliki," jelas Abba, membuat aku sangat terkejut luar biasa."Ba, halusinasi macam apa ini?"Aku menatap Abba dengan tidak percaya."Kenapa? Abba tidak berhalusinasi. Abba juga punya saham di perusahaan itu, sebesar 30%. Jadi apa salahnya, Abba mencari tahu kinerja lelaki itu."Aku semakin syok aja, mendengar jawaban Abba. Sulit dipercaya rasanya semua ini. Aneh aja, orang yang hidup serba sederhana seperti Abba, mengaku memiliki saham 30% di perusahaan besar itu.Dan si pemiliknya adalah Papahku sendiri, benar- benar n
"Kamu tentu tahu, bahwa Aditya itu licik. Iren terlalu gegabah," lirihnya. Lelaki itu berbicara, dengan tatapan yang masih fokus mengemudi. Aku mengernyit, dan tidak paham dengan arah ucapannya. "Iren kenapa?" "Iren terlalu meremehkan Aditya. Dia membawa bukti kekerasan yang Iren lakukan padanya. Ia juga membawa bukti, bahwa Iren telah lancang memasang cctv di rumahnya. Aditya bahkan tidak ragu untuk memenjarakan Iren, jika Iren terus ikut campur urusan kalian," jelas kak Adam. "Jika Iren dipenjara, reputasi keluarga besar Darmawangsa taruhannya. Iren bahkan tidak memiliki bukti apapun lagi, untuk melawan Aditya. Gegabah, dan terlalu meremehkan orang lain, itulah sifat buruknya Iren." Aku hanya terdiam, tidak tahu harus berkata apalagi. Aku terlalu menyusahkan orang lain, termasuk sahabatku sendiri. Kak Adam membawaku ke sebuah pondok makan, yang berada di pinggiran sungai besar yang cukup indah dan sejuk. Kami memesan menu makanan di sana, karena memang memasuki jam makan sian
Kepalaku menjadi sakit, aku tidak bisa berpikir jernih lagi. Aku mulai menjerit- jerit, tidak terima dengan semua ini. Entah apa yang terjadi, tiba- tiba semua menjadi gelap seketika.Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Sebab di saat aku membuka mata, dengan rasa sakit dikepala yang sangat menyiksa ini, aku melihat diri sudah terbaring diatas brankar. "Ren," lirihku, karena melihat wanita itu sibuk dengan ponselnya, sampai- sampai dia tidak tahu, bahwa aku sudah sadar. "Eh, sudah sadar," ujarnya bangkit dari duduknya dan langsung berjalan ke arahku. "Ren, Umma dan Abbaku dimana?" tanyaku. Mataku berkaca- kaca, ini bukan mimpi, nyatanya aku berada di rumah sakit. Mataku liar menatap sekeliling. Iren menunduk, dan menarik kursi yang dekat dengan berankarku. "Kamu harus ikhlasin mereka, Din." "Jadi ini beneran, Ren? Mereka berdua meninggal?" tanyaku mulai dengan nada meninggi. Melihat wajahku yang mulai panik, Iren langsung berdiri dan membenarkan posisi tubuhku yang kesu
Iren kembali dengan penampilan yang kusut dan napas yang terengah- engah. "Kamu nggak apa• apa kan? Nggak ada yang luka kan?" tanya Iren khawatir."Aku nggak apa- apa, Ren." Aku menjawab dengan lemas."Mana suntikan tadi?" tanya Iren lagi sambil celingukan ke bawah."Diambil suster tadi, Ren.""Hah?" Kepala Iren mendongak. Wanita itu langsung berdiri."Kok bisa?" ujarnya lagi dengan tatapan kesal."Aku nggak tau, Ren. Tadi ada satu suster yang masuk ke dalam sini, dia juga menggunakan masker penutup wajah. Tanpa banyak bicara, dia langsung mengambil suntikan itu dan keluar begitu saja tanpa bicara.""Astaga, ini benar- benar tidak bisa lengah sedikit pun," gumam Iren yang akhirnya sibuk dengan ponselnya."Kak, kita harus ketemu!" Hanya itu ucapan Iren, kemudian ponsel kembali dia masukkan ke dalam kantongnya."Ren, jenazah kedua orang tuaku gimana?" tanyaku. Aku benar- benar linglung jadinya. Semua kejadian hari ini begitu mengejutkan."Sudah diurus kak Adam dan kang Mamat. Sebentar
Mobil mewah itu terparkir. Karena penasaran, aku dan Iren malah fokus menatap orang yang ada di dalam mobil, sampai lupa dengan mobil ambulan yang membawa jenazah orang tuaku.Seorang wanita paru baya keluar dari sana. Wajahnya cantik, meskipun usianya terlihat sudah cukup berumur. Wanita itu mengenakan pakaian hitam, dengan turban mewah melekat dikepalanya.Wanita itu berjalan dengan angkuh menuju kami yang berdiri mematung, diliputi rasa penasaran."Apakah kamu yang bernama Dinda?" tanyanya kepadaku."Ibu siapa?" Bukannya menjawab, aku malah bertanya balik."Bisa kita bicara berdua?" Cukup aneh, bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah bertanya lagi."Dinda harus mengurus jenazah kedua orang tua Dinda, karena harus segera dikebumikan hari ini," ujarku. Sedangkan Iren hanya diam, mungkin sedang menyimak."Ini penting!" tekannya, dengan tatapan yang sulit aku artikan."Din, biar aku yang handle jenazah kedua orang tua kamu. Bicaranya disini ajakan? Nggak kemana- mana?" tukas Iren ya
Kak Adam menolak membawaku, dia memintaku fokus pada pemakaman kedua orang tuaku.Meskipun aku ingin sekali bertemu dengan pelakunya, tapi aku juga tidak ingin melewatkan detik terakhir bersama dengan kedua orang tuaku, sebelum mereka dikebumikan.Prosesi pemakaman berjalan dengan pilu, karena perasaan tidak ikhlas kehilangan, terus- menerus membuatku menangis sepanjang jalan, hingga diliang lahat keduanya.Selesai di makamkan, para pelayat pun mulai bergerak pulang, menyisakan aku dan Iren, dan juga beberapa anak buahnya yang stay sedikit jauh dari kami."Urusanku sama mas Aditya saja belum selesai, Ren. Malah nambah masalah baru terus, sebenarnya aku ini sedang dihukum apa gimana sih, Ren?" keluhku sambil terisak- isak."Din, kamu jangan pikirin apa- apa dulu, tenangkan diri kamu, ya. Kita hanya harus berhati- hati, Din." Belum selesai Iren bicara, tiba- tiba seseorang melempari kami batu."Aawwkkk." Aku dan Iren terkejut, ketika batu itu mengenai payung yang Iren pegang.Untungnya
Pov Adam Raharja."Tuan," panggil bik Marni. Aku dan kang Mamat menoleh."Boleh saya masuk?" tanya bik Marni."Ya." Aku menjawab singkat, kemudian kembali fokus ke layar monitor."Saya ingin bercerita sedikit, Tuan. Mungkin ini bisa jadi petunjuk," lirih bik Marni.Aku menjeda video rekaman cctv, yang sedang aku lihat bersama kang Mamat."Silahkan, Bik." Aku menjawab singkat, sambil beralih menatapnya, begitu juga dengan kak Mamat. "Tuan. Maaf, kalau bik Marni baru cerita. Bibik takut, membuat keadaan, menjadi semakin kacau dan tidak nyaman," ujar bik Marni, ketika memasuki ruangan cctv menemuiku dan kang Mamat.Aku menatap serius wajah bik Marni yang nampak sedih."Sebelum kejadian na'as itu terjadi. Abba dan Umma neng Dinda sedang ribut. Mereka membahas seseorang yang bernama Hanung kalau tidak salah. Umma menangis, karena mendapat ancaman, bahwa neng Dinda akan dibunuh, karena mengusik keluarga orang yang bernama Hanung itu. Tapi Abba bersikeras, bahwa neng Dinda berhak bertemu de
Bab93Disaat Dinda sibuk mengurus bayinya, begitu juga dengan ibu mertuanya, yang nampak terbuai bahagia, dengan kehadiran cucu yang begitu dia damba.Hidup bahagia, seakan kini berpihak pada Dinda. Melihat ibu mertua yang dulunya begitu membencinya, kini berubah 99%, baik dan sangat memperhatikannya, Dinda sangat bersukur dengan hidupnya kini.Dinda pun seakan lupa. Ada hati yang masih terluka, ada hati yang masih tidak rela.Maura mengurung diri di dalam kamar, meratapi takdir yang tidak adil padanya. Dia yang istri pertama, tapi dia pula yang sangat terluka.Meskipun dari awal dia tahu, bahwa suami yang sangat dia cintai, mencintai wanita lain dengan gilanya. Tapi berkat bujuk rayu ibu mertua. Maura yakin bisa membuat suaminya akan mencintainya.Nyatanya? Maura jatuh dan hancur dalam harapannya. Kemunculan Dinda di rumah tangganya, membuat hati Maura hancur dan terluka. Maura jelas tidak terima, dan membenci Dinda teramat dalam di dasar hatinya.Kebencian itulah, yang menjadi api de
Bab92 "Maura!!" Suara Adam memanggil wanita itu. Pelayan Maura yang bernama Neneng pun menghentikan laju langkah mereka, dan memutar badan mengarah ke Adam yang berjalan mendekati mereka. Wajah Maura begitu sendu, memandang Adam. "Biar aku antar," seru Adam, membuat Maura langsung menggelengkan kepala. "Tidak usah, kami sudah memesan taxi online." "Batalkan! Lagian Dinda juga sudah mau pulang, kita bareng saja," ujar Adam lagi memaksa. "Aku tidak mau, menganggu kebahagiaan kamu, Mas. Selamat ya, akhirnya kamu akan menjadi seorang ayah, aku turut bahagia untuk kalian," ucap Maura, dengan mata berkabut. "Maafkan saya, Maura." Lelaki itu menjadi serba salah, menghadapi situasi ini. Dilain sisi, sebagai lelaki yang beristri, tentu saja memiliki keturunan, adalah suatu kebahágiaannya. "Kamu juga menjadi ibu, Maura." "Tidak, aku tidak akan pernah menjadi ibu, Mas. Selamanya, aku hanya wanita cacat, yang kehilangan segalanya," lirih Maura. "Neng, ayo," pinta Maura. Neng pun mengan
Wajah mereka semua begitu berseri, bibir mereka pun melengkungkan senyum, hanya Maura yang menatap sendu ke arahku."Ada apa ini?" tanyaku penasaran. Seingatku, aku sempat pingsan setelah muntah- muntah tadi, entah berapa lama aku pingsan. Tapi ketika sadar, aku dibuat mereka semua bingung."Selamat ya, Nak. Kamu akan segera memberikan ibu cucu," seru ibu mertua dengan bahagia. Ada ketulusan dimatanya."Hah, aku hamil, Bu?" Sulit rasanya kupercaya. Disaat hati ingin mundur, malah hamil.Antara bahagia, juga dilema. Kulirik ke arah Maura, yang terlihat memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Maura, kamu akan menjadi seorang ibu, Nak. Dan Adam, Adam akan menjadi ayah. Dan saya, saya akan menjadi seorang nenek. Akhirnya keluarga kami akan memiliki generasi penerus," seru ibu mertua tanpa henti.Aku terdiam dan membeku. "Mulai hari ini, ibu akan khusus mengurus Dinda, dan ibu akan menjadi nenek siaga," lanjutnya begitu bersemangat. "Ibu, jangan berlebihan," pinta kak Adam."Tidak ada yan
Hubungan ini, benar- benar sudah tidak bisa dipertahankan. Aku tidak mungkin tetap disini, berada di dalam rumah orang, yang begitu benci dengan keberadaanku. Rasanya sangat menyakitkan sekali, setiap melihat tatapan kebenciannya, ucapan- ucapan pedasnya. Sekalipun cinta kak Adam hanyalah untukku, aku tetap merasa tidak nyaman. Cukup lama aku menangis, hingga tanpa aku sadari lagi, aku tertidur. ***^^*** Ketukkan dipintu kamar, membuatku terbangun dari tidur. Cahaya panas matahari yang mulai naik, menerpa wajahku. Aku melirik jam dinding, sudah menunjukkan jam 10 siang. "Astaga, siang sekali aku bangunnya," gumamku. Ketukan dipintu kamar kembali terdengar. "Jangan- jangan tante Amara lagi didepan pintu," batinku. Aku beringsut turun dari kasur, menuju pintu kamar. Perlahan, aku membukanya. "Kamu kesiangan," sapa wanita yang kini berada tepat didepan pintu kamarku. Wanita yang duduk dikursi roda ini nampak cantik hari ini. Dia mengenakan make up tipis, dengan pakaian yang c
"Mereka tidur di kamar," bisiknya ke telingaku sambil terkekeh."Satu kamar mereka?""Iya, hahahaa." Kak Adam gelak tertawa, membuat aku menjadi heran."Kok bisa?""Aku kasih obat tidur," jelasnya lagi, membuat aku ikutan tertawa."Ih, jahil banget kamu, Kak.""Habisnya kalau nggak begitu, aku sama kamu mereka ganggu melulu," sahutnya tanpa dosa."Ada- ada saja kamu, Kak. Kasihan tau.""Kan aku cuma ngasih obat tidur, jadi gak apa- apa dong. Aku nggak mau terus diganggu, ketika berduaan sama istriku. Aku juga nggak mau durhaka sama ibu, karena terus ribut dengannya. Jadi, aku main aman saja," katanya panjang lebar. "Hmm, yaudah ayo mandi, gerah," ujarku yang akhirnya bangkit dari pelukannya. Lelaki itu pun menyusulku bangkit dari tempat tidur dan menggendongku secara tiba- tiba."Kak Adam," pekikku cukup terkejut."Mandi sama- sama dong," katanya sambil mengedipkan 1 matanya padaku.Aku terkekeh, dan kak Adam pun menyeret langkah memasuki kamar mandi. Tidak kusangka, tingkahnya yang
"Kita lihat saja nanti. Aku atau kamu, yang lebih cocok jadi nyonya." Aku menyahut pelan, sambil tersenyum penuh arti.Wanita itu, yang semula tersenyum dengan angkuh mendadak terdiam. Pancaran emosi memenuhi wajahnya."Yang aku tahu, kak Adam hanya mencintaiku dari dulu. Entah kenapa, dia mau menikahi kamu, wanita yang tidak dia sukai sama sekali," cibirku sambil terkekeh."Kamu, jangan sombong kamu, Dinda!" ujarnya yang mulai tersulut emosi."Wajar aku sombong, karena yang aku katakan adalah fakta." Aku terus berjalan sambil terkekeh.Hilang sudah rasa bersalahku padanya, yang ada malah rasa sebal dan ingin mengerjainya balik, agar dia tidak seenaknya meremehkan aku.Saat aku memasuki rumah, tiba- tiba Maura menjerit- jerit dari dalam mobil. Kak Adam pun langsung berlari dengan paniknya, begitu juga ibu mertua.Hanya aku yang terdiam, sembari mengamati mereka dari kejauhan. Entah drama apalagi, yang ingin Maura mainkan kali ini."Dinda! Ambilkan air untuk Maura, cepat!!" Tante Amar
Memasuki kantor om Kustomi, lelaki itu menyambutku dengan senyuman hangat. Namun, wajah yang tadinya tersenyum, mendadak lenyap seketika, berganti dengan tatapan menyelidik."Apa yang terjadi? Kenapa wajah kamu?" Om Kustomi mencecarku dengan pertanyaan yang sulit untuk aku jawab. "Apakah ini perbuatan Adam Raharja?" Om Kustomi kembali bertanya, dengan wajah yang mengeras. Kentara sekali, percikan emosi mulai terpatri di wajah tuanya."Bukan, Om.""Lantas apa? Jangan berdusta, Dinda. Kamu itu sudah om anggap, sebagai anak sendiri. Kamu itu adalah amanah dari Kusnadi, yang harus om patuhi.""Dinda tidak berdusta, Om. Om tenang dulu, jangan emosi. Ayo kita duduk," pintaku dengan lembut. Lelaki paru baya itu pun mau akhirnya duduk, meskipun wajahnya masih memancarkan kekesalan."Jelaskan! Jangan ada yang ditutupi, Dinda!" pintanya dengan tegas. Aku tersenyum, melihat kekesalannya karena khawatir padaku."Tante Amara yang melakukannya, Om. Semua karena ulah si betina satunya itu, istri t
"Baik, cukup sudah. Aku tidak akan pernah lagi berada di meja ini," ujarku sambil menyeret langkah menjauhi meja makan. Kak Adam langsung berdiri dari duduknya."Diam disitu!" titahnya. Aku menghentikan langkahku dan berbalik badan menghadap ke arahnya."Ada apa lagi?" tanyaku sinis. Terlalu banyak drama di rumah ini, membuatku benar- benar merasa muak.Pikiranku cukup banyak, terlebih dengan nasib sahamku yang tidak jelas akhir- akhir ini. Jika aku terus diam dan mengabaikannya, aku takut sahamku akan hilang begitu saja dan berpindah kepemilikan lagi."Kamu mau kemana lagi?""Aku ada urusan, Kak.""Urusan melulu, kak Dinda ini, berasa orang yang paling sibuk sedunia," sindir Maura."Biarkan dia pergi, Adam! Wanita tidak beradab ini, biarkan dia pergi, kalau perlu nggak usah balik lagi," timpal tante Amara, yang datang memasuki dapur.Aku menyunggingkan senyum."Jadi ngusir nih?" tanyaku, yang kini beralih menatap tante Amara."Iya! Saya berhak mengusir wanita tidak beretika seperti k
Maaf Teman- teman pembaca, jika buku ini semakin lambat update. Apalagi dua hari ini nggak ada update sama sekali. Soalnya aku lagi dalam kondisi Berduka. Mertua yang lama sakit, tanggal 2 tadi Meninggal Dunia, jadi Mohon maaf update nya semakin lambat. kuharap kalian mengerti dan tetap mencintai karyaku ini. Terimakasih atas pengertiannya teman- teman pembaca, sehat selalu dan semoga semua lancar rezekinya.