Bab13Malam itu, mamah kak Adam pun akhirnya berpamitan pulang. "Tentang bayi itu, apa yang Kakak katakan sama Tante tadi?" tanyaku, sebelum kami masuk ke dalam rumah."Aku bilang dia anak teman aku, yang lagi dititipin, karena Ibunya lagi sakit dan dijagain sama Ayahnya.""Kakak bohongin orang tua loh.""Memangnya kamu mau aku jujur, kalau kamu penculik bayi?" ujarnya, membuatku sedikit kesal, meskipun ada benarnya juga.Akhirnya, kami pun masuk ke dalam Villa, dan tidur di kamar masing- masing.Malamku menjadi gelisah, tidurku pun menjadi susah karena terus kepikiran kedua orang tuaku, yang saat ini berada ditangan mas Aditya. Semoga mereka baik- baik saja.Berkali- kali kulirik ponsel, pesan singkatku, tidak kunjung Iren baca. Nomor ponselnya juga tidak aktif- aktif, entah kemana ini orang.Ah, Iren!! Kemana sih. Hingga pagi menjelang, tepat jam 5 subuh, aku baru mulai terlelap. "Dinda, Dinda ...." Aku terkejut, ketika mendengar bunyi ketukan pintu yang cukup keras itu.Bahkan b
Bab14"Aku akan ikut menghadiri pertemuan itu," lanjutnya. Iren melepaskan pelukannya dan menatap ke kak Adam."Kakak yakin?""Ya." >
Bab15"Kamu ingat- ingat lagi masa- masa indah kita, sayang," ucapan mas Aditya kembali terdengar. Aku menatap wajah yang memohon itu kepadaku."Aku maafin kamu, Mas," lirihku, membuat hembusan napas Iren terdengar keras.Mas Aditya tersenyum lega."Tapi tidak untuk kembali ke rumah ini," lanjutku sambil melepaskan diri dari gendongan yang melilit tubuh.Senyum di wajah mas Aditya memudar."Kamu nggak sayang sama anak ini?" tanya mas Aditya, ketika melihatku menatap hampa pada gadis kecil di gendonganku ini."Aku sayang, tapi aku nggak berhak apa- apa tentang bayi ini. Jadi, aku kembalikan dia pada kalian, setelah kedua orang tuaku nanti datang.""Ya Allah, Din. Lihat aku, Din. Aku ini masih sah suami kamu, apa iya kamu nggak mau lagi dengerin aku?"Cih! Lagaknya. Mas Aditya ini memang orang yang paling pandai mengolah kata dan mempermainkan perasaan orang lain. Tapi aku, tidak akan tertipu untuk yang kedua kalinya lagi.Aku terkekeh, membuat mas Aditya menatap heran kepadaku."Kenap
"Kenapa kamu begitu ingin bercerai?" tanya mas Aditya dengan tatapan kesal."Buset, nggak sadar diri," timpal Iren sambil menggelengkan kepalanya."Dalam rumah tangga, itu wajar ada kekurangan, pertengkaran dan sebagainya. Selama ini, kita sudah bisa melewatinya dengan baik. Kamu mengenal aku bukan sehari dua hari, jika ada yang tidak kamu sukai dari aku, kita bisa perbaiki, bukan berpisah," lirih mas Aditya berdrama, benar- benar memuakkan."Pak Burhan sebaiknya pergi saja, kami tidak akan bercerai," lanjut mas Aditya. Pak Burhan masih terdiam tak langsung bereaksi."Kita tetap akan bercerai, Mas!" tegasku, sambil menarik napas berkali- kali."Mas janji akan berubah, apa itu kurang?" balasnya dengan wajah yang jelas sekali menahan kesal.Cih! Manusia manifulatif seperti ini, tidak akan pernah bisa berubah."Aku akan tuntut harta gono- gini sama kamu, Mas! Aku tidak lagi lemah, aku akan ambil semua yang menjadi hak aku di rumah ini," jelasku. Membuat Astri mengernyit."Harta gono- gin
"Sudah cukup! Bawa pergi wanita ini. Tidak akan ada pembagian harta apapun," usir mas Aditya, dengan nyalang menatap ke arahku."Wanita jelek, bodoh dan kurus kering sepertimu, tidak akan ada yang mau lagi, cuih," lanjutnya menghinaku.Untuk ketiga kalinya, hari ini dia menghina fisikku. Tanganku mengepal, dan kak Adam langsung memelukku secara tiba- tiba."Tahan emosi kamu!" bisiknya, kemudian berbalik badan, menatap mas Aditya."Tanda tangani surat perceraian itu! Setelahnya kamu akan tahu, bagaimana wanita ini akan menjadi cantik dan berharga, ditangan lelaki yang tepat!" tekan kak Adam sambil tersenyum."Ya, buktikan saja." Hanya itu jawaban mas Aditya. Kami pun berlalu dari sana, sedangkan Iren masih di dalam bersama pak Burhan, mengurus semuanya.Umma langsung memelukku, sedangkan Abba hanya terdiam di samping Umma."Ya Allah, Nak. Umma sampai sulit mengenali kamu sekarang, kamu sangat kurus," lirih Umma terisak.Aku hanya bisa menangis dipelukan Umma, tanpa bisa bersuara. Sete
"Abba telepon siapa?" tanyaku. Abba terkejut, melihat ke datanganku."Nanti saya hubungi lagi," ujar Abba, pada seseorang yang sedang ia telepon. Kemudian, Abba menatapku."Ada apa? Abba lagi menghubungi teman," ucap Abba, sambil memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana."Teman yang mana? Dinda dengar lo, Ba. Abba meminta seseorang menghancurkan perusahaan, tempat mas Aditya bekerja?" cercaku.Abba menarik napas."Ya, begitulah.""Abba, kita ini orang biasa, sedangkan perusahaan tempat mas Aditya bekerja, itu perusahaan terbesar di Jakarta. Bahkan, pemiliknya terkenal berhati dingin, tegas dan tidak segan- segan menghancurkan lawan bisnisnya. Kita jangan coba- coba menganggu mereka, yang ada kita bakal dalam masalah," jelasku panjang lebar."Hah? Kamu pikir kita sekecil itu?" Aku mengernyit, mendapat jawaban Abba."Apa karena Abbamu ini seorang petani biasa? Dan Umma hanyalah seorang ibu rumah tangga, jadi kamu merasa kita tidak punya kekuatan apa- apa, untuk melawan Aditya, juga
Panggilan pun kuabaikan begitu saja. Demi ketenangan pikiran ini, tiba- tiba lelaki itu malah mengirim pesan padaku.[Angkat teleponku, atau aku kesana temui orang tuamu?]Aku tercengang, membaca pesan darinya. Ini kak Adam kenapa sih?Dari pada orang tuaku mikir macam- macam, sebaiknya aku telepon dia saja. Lagian ini sudah hampir jam 9 malam, ngapain juga dia harus kemari lagi."Ada apa sih, Kak?" tanyaku kesal, ketika panggilan telepon kami tersambung."Kita harus bertemu besok, ada yang ingin aku sampaikan," ujarnya."Ini penting." Ia menegaskan permintaannya, seolah itu tidak bisa dibantah.Aku menghela napas."Jika kamu menolak, orang tuaku akan datang ke rumah malam ini juga," ujarnya lagi bersuara, disela kebisuanku.Mataku nyaris melompat dari tempatnya, mendengar ucapannya tadi."Memangnya ada apa sih, Kak?" "Kutunggu besok di cafe Delima," ujarnya.Dasar lelaki es batu, mengesalkan sekali. Akhirnya telepon pun diakhiri tanpa jawabanku. Malam itu kulalui dengan gelisah. Ak
"Perusahaan Danum Perkasa," gumam Abba, yang kini mendekati meja makan.Aku mengernyit, karena Abba menyebutkan nama perusahaan, tempat mas Aditya bekerja."Abba, ada apa?" selidikku. Abba menarik napas dan duduk kembali di kursinya."Hanya ingin tahu, sebaik apa kinerja si Aditya itu," jawab Abba dengan santai.Aku semakin tidak mengerti."Ba, itu bukan urusan kita. Tolong jangan seperti ini.""Abba berhak tau! Karena Aditya, bekerja di bawah perusahaan yang Ayah kamu miliki," jelas Abba, membuat aku sangat terkejut luar biasa."Ba, halusinasi macam apa ini?"Aku menatap Abba dengan tidak percaya."Kenapa? Abba tidak berhalusinasi. Abba juga punya saham di perusahaan itu, sebesar 30%. Jadi apa salahnya, Abba mencari tahu kinerja lelaki itu."Aku semakin syok aja, mendengar jawaban Abba. Sulit dipercaya rasanya semua ini. Aneh aja, orang yang hidup serba sederhana seperti Abba, mengaku memiliki saham 30% di perusahaan besar itu.Dan si pemiliknya adalah Papahku sendiri, benar- benar n
Bab93Disaat Dinda sibuk mengurus bayinya, begitu juga dengan ibu mertuanya, yang nampak terbuai bahagia, dengan kehadiran cucu yang begitu dia damba.Hidup bahagia, seakan kini berpihak pada Dinda. Melihat ibu mertua yang dulunya begitu membencinya, kini berubah 99%, baik dan sangat memperhatikannya, Dinda sangat bersukur dengan hidupnya kini.Dinda pun seakan lupa. Ada hati yang masih terluka, ada hati yang masih tidak rela.Maura mengurung diri di dalam kamar, meratapi takdir yang tidak adil padanya. Dia yang istri pertama, tapi dia pula yang sangat terluka.Meskipun dari awal dia tahu, bahwa suami yang sangat dia cintai, mencintai wanita lain dengan gilanya. Tapi berkat bujuk rayu ibu mertua. Maura yakin bisa membuat suaminya akan mencintainya.Nyatanya? Maura jatuh dan hancur dalam harapannya. Kemunculan Dinda di rumah tangganya, membuat hati Maura hancur dan terluka. Maura jelas tidak terima, dan membenci Dinda teramat dalam di dasar hatinya.Kebencian itulah, yang menjadi api de
Bab92 "Maura!!" Suara Adam memanggil wanita itu. Pelayan Maura yang bernama Neneng pun menghentikan laju langkah mereka, dan memutar badan mengarah ke Adam yang berjalan mendekati mereka. Wajah Maura begitu sendu, memandang Adam. "Biar aku antar," seru Adam, membuat Maura langsung menggelengkan kepala. "Tidak usah, kami sudah memesan taxi online." "Batalkan! Lagian Dinda juga sudah mau pulang, kita bareng saja," ujar Adam lagi memaksa. "Aku tidak mau, menganggu kebahagiaan kamu, Mas. Selamat ya, akhirnya kamu akan menjadi seorang ayah, aku turut bahagia untuk kalian," ucap Maura, dengan mata berkabut. "Maafkan saya, Maura." Lelaki itu menjadi serba salah, menghadapi situasi ini. Dilain sisi, sebagai lelaki yang beristri, tentu saja memiliki keturunan, adalah suatu kebahágiaannya. "Kamu juga menjadi ibu, Maura." "Tidak, aku tidak akan pernah menjadi ibu, Mas. Selamanya, aku hanya wanita cacat, yang kehilangan segalanya," lirih Maura. "Neng, ayo," pinta Maura. Neng pun mengan
Wajah mereka semua begitu berseri, bibir mereka pun melengkungkan senyum, hanya Maura yang menatap sendu ke arahku."Ada apa ini?" tanyaku penasaran. Seingatku, aku sempat pingsan setelah muntah- muntah tadi, entah berapa lama aku pingsan. Tapi ketika sadar, aku dibuat mereka semua bingung."Selamat ya, Nak. Kamu akan segera memberikan ibu cucu," seru ibu mertua dengan bahagia. Ada ketulusan dimatanya."Hah, aku hamil, Bu?" Sulit rasanya kupercaya. Disaat hati ingin mundur, malah hamil.Antara bahagia, juga dilema. Kulirik ke arah Maura, yang terlihat memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Maura, kamu akan menjadi seorang ibu, Nak. Dan Adam, Adam akan menjadi ayah. Dan saya, saya akan menjadi seorang nenek. Akhirnya keluarga kami akan memiliki generasi penerus," seru ibu mertua tanpa henti.Aku terdiam dan membeku. "Mulai hari ini, ibu akan khusus mengurus Dinda, dan ibu akan menjadi nenek siaga," lanjutnya begitu bersemangat. "Ibu, jangan berlebihan," pinta kak Adam."Tidak ada yan
Hubungan ini, benar- benar sudah tidak bisa dipertahankan. Aku tidak mungkin tetap disini, berada di dalam rumah orang, yang begitu benci dengan keberadaanku. Rasanya sangat menyakitkan sekali, setiap melihat tatapan kebenciannya, ucapan- ucapan pedasnya. Sekalipun cinta kak Adam hanyalah untukku, aku tetap merasa tidak nyaman. Cukup lama aku menangis, hingga tanpa aku sadari lagi, aku tertidur. ***^^*** Ketukkan dipintu kamar, membuatku terbangun dari tidur. Cahaya panas matahari yang mulai naik, menerpa wajahku. Aku melirik jam dinding, sudah menunjukkan jam 10 siang. "Astaga, siang sekali aku bangunnya," gumamku. Ketukan dipintu kamar kembali terdengar. "Jangan- jangan tante Amara lagi didepan pintu," batinku. Aku beringsut turun dari kasur, menuju pintu kamar. Perlahan, aku membukanya. "Kamu kesiangan," sapa wanita yang kini berada tepat didepan pintu kamarku. Wanita yang duduk dikursi roda ini nampak cantik hari ini. Dia mengenakan make up tipis, dengan pakaian yang c
"Mereka tidur di kamar," bisiknya ke telingaku sambil terkekeh."Satu kamar mereka?""Iya, hahahaa." Kak Adam gelak tertawa, membuat aku menjadi heran."Kok bisa?""Aku kasih obat tidur," jelasnya lagi, membuat aku ikutan tertawa."Ih, jahil banget kamu, Kak.""Habisnya kalau nggak begitu, aku sama kamu mereka ganggu melulu," sahutnya tanpa dosa."Ada- ada saja kamu, Kak. Kasihan tau.""Kan aku cuma ngasih obat tidur, jadi gak apa- apa dong. Aku nggak mau terus diganggu, ketika berduaan sama istriku. Aku juga nggak mau durhaka sama ibu, karena terus ribut dengannya. Jadi, aku main aman saja," katanya panjang lebar. "Hmm, yaudah ayo mandi, gerah," ujarku yang akhirnya bangkit dari pelukannya. Lelaki itu pun menyusulku bangkit dari tempat tidur dan menggendongku secara tiba- tiba."Kak Adam," pekikku cukup terkejut."Mandi sama- sama dong," katanya sambil mengedipkan 1 matanya padaku.Aku terkekeh, dan kak Adam pun menyeret langkah memasuki kamar mandi. Tidak kusangka, tingkahnya yang
"Kita lihat saja nanti. Aku atau kamu, yang lebih cocok jadi nyonya." Aku menyahut pelan, sambil tersenyum penuh arti.Wanita itu, yang semula tersenyum dengan angkuh mendadak terdiam. Pancaran emosi memenuhi wajahnya."Yang aku tahu, kak Adam hanya mencintaiku dari dulu. Entah kenapa, dia mau menikahi kamu, wanita yang tidak dia sukai sama sekali," cibirku sambil terkekeh."Kamu, jangan sombong kamu, Dinda!" ujarnya yang mulai tersulut emosi."Wajar aku sombong, karena yang aku katakan adalah fakta." Aku terus berjalan sambil terkekeh.Hilang sudah rasa bersalahku padanya, yang ada malah rasa sebal dan ingin mengerjainya balik, agar dia tidak seenaknya meremehkan aku.Saat aku memasuki rumah, tiba- tiba Maura menjerit- jerit dari dalam mobil. Kak Adam pun langsung berlari dengan paniknya, begitu juga ibu mertua.Hanya aku yang terdiam, sembari mengamati mereka dari kejauhan. Entah drama apalagi, yang ingin Maura mainkan kali ini."Dinda! Ambilkan air untuk Maura, cepat!!" Tante Amar
Memasuki kantor om Kustomi, lelaki itu menyambutku dengan senyuman hangat. Namun, wajah yang tadinya tersenyum, mendadak lenyap seketika, berganti dengan tatapan menyelidik."Apa yang terjadi? Kenapa wajah kamu?" Om Kustomi mencecarku dengan pertanyaan yang sulit untuk aku jawab. "Apakah ini perbuatan Adam Raharja?" Om Kustomi kembali bertanya, dengan wajah yang mengeras. Kentara sekali, percikan emosi mulai terpatri di wajah tuanya."Bukan, Om.""Lantas apa? Jangan berdusta, Dinda. Kamu itu sudah om anggap, sebagai anak sendiri. Kamu itu adalah amanah dari Kusnadi, yang harus om patuhi.""Dinda tidak berdusta, Om. Om tenang dulu, jangan emosi. Ayo kita duduk," pintaku dengan lembut. Lelaki paru baya itu pun mau akhirnya duduk, meskipun wajahnya masih memancarkan kekesalan."Jelaskan! Jangan ada yang ditutupi, Dinda!" pintanya dengan tegas. Aku tersenyum, melihat kekesalannya karena khawatir padaku."Tante Amara yang melakukannya, Om. Semua karena ulah si betina satunya itu, istri t
"Baik, cukup sudah. Aku tidak akan pernah lagi berada di meja ini," ujarku sambil menyeret langkah menjauhi meja makan. Kak Adam langsung berdiri dari duduknya."Diam disitu!" titahnya. Aku menghentikan langkahku dan berbalik badan menghadap ke arahnya."Ada apa lagi?" tanyaku sinis. Terlalu banyak drama di rumah ini, membuatku benar- benar merasa muak.Pikiranku cukup banyak, terlebih dengan nasib sahamku yang tidak jelas akhir- akhir ini. Jika aku terus diam dan mengabaikannya, aku takut sahamku akan hilang begitu saja dan berpindah kepemilikan lagi."Kamu mau kemana lagi?""Aku ada urusan, Kak.""Urusan melulu, kak Dinda ini, berasa orang yang paling sibuk sedunia," sindir Maura."Biarkan dia pergi, Adam! Wanita tidak beradab ini, biarkan dia pergi, kalau perlu nggak usah balik lagi," timpal tante Amara, yang datang memasuki dapur.Aku menyunggingkan senyum."Jadi ngusir nih?" tanyaku, yang kini beralih menatap tante Amara."Iya! Saya berhak mengusir wanita tidak beretika seperti k
Maaf Teman- teman pembaca, jika buku ini semakin lambat update. Apalagi dua hari ini nggak ada update sama sekali. Soalnya aku lagi dalam kondisi Berduka. Mertua yang lama sakit, tanggal 2 tadi Meninggal Dunia, jadi Mohon maaf update nya semakin lambat. kuharap kalian mengerti dan tetap mencintai karyaku ini. Terimakasih atas pengertiannya teman- teman pembaca, sehat selalu dan semoga semua lancar rezekinya.