Ze mulai galau ini. Yuk tinggalkan jejak love dan komentar.🥰 makasih sudah mengikuti ceritanya. Mampir juga "Istri yang kabur di malam pertama."
Bab 17A"Iya, Ze. Aku mau kamu menemaniku tidur." Zein tidak bisa berkata-kata. Tenggorokannya terasa tercekat. Ia menelan ludah susah payah untuk menormalkan sikapnya. "Tapi, Ma? Di sini kamar suamimu yang pertama. Aku tidak mau menghapus kenangan indahmu." "Kalau begitu, aku tidur di kamarmu saja, Ze." "Hah. Jangan, Ma! Kamarku berantakan." "Aku minta Bi Sumi merapikannya, Ze." "Di sini saja, Ma. Aku akan temani kamu sampai tidur. Kamu mau makan dulu atau langsung tidur?" "Aku sudah makan dan minum obat, Ze. Kamu mau aku jadi gendut?" ucap Ema sambil mengerucutkan bibir. Zein pun tergelak, baru kali ini Ema manja seperti anak kecil yang menggemaskan. "Aku mau tidur saja." Ema membaringkan tubuhnya di ranjang. Zein pun mengikuti titah Ema untuk berbaring di sampingnya. "Tidurlah. Aku temani sampai kamu terlelap." Ema menyandarkan wajahnya di dada bidang Zein. Ia mencoba melawan kebiasaannya, untuk menerima Zein sebagai suaminya. Sepasang lengan kekar melingkupi tubuhnya. T
Bab 17BKeesokan hari, Zein terkejut saat bangun tidur. Ia masih berada di kamar Ema. Ia mengusap kasar wajahnya. "Kenapa aku ketiduran di sini," sesalnya. "Kamu sudah bangun, Ze. Ini aku bawakan susu hangat. Kamu pasti kecapekan kemarin ngurus masalh di kantor." Ema menatap Zein dengan wajah penuh senyuman membuat laki-laki itu penasaran. "Makasih, ya, Ze. Tidurku semalam nyenyak. Sampai-sampai kamu juga terlelap di sini." "Iya, Ma. Maaf, seharusnya aku pindah ke kamar sebelah." "Nggak, Ze. Sudah benar kamu di kamar ini. Harusnya aku melayanimu dengan baik seperti layaknya seorang istri. Maafkan aku, Ze. Selama ini aku tidak memperhatikanmu. Sekarang, bolehkan aku melakukan tugasku sebagai istri?" "Ma, kamu tidak harus memaksakan diri melakukannya. Kita jalani saja hubungan kita pelan-pelan, ya." "Iya, Ze. Makasih kamu sudah mengerti aku. Ayo, kita sarapan. Kamu berangkat ke kantor atau istirahat saja di rumah. Bobby pasti bisa mengatasi kerjaan kantor." Zein merasakan ada ya
Bab 18 A"Enak, Tante." Sambil tersenyum, Alea gantian menyodorkan toples ke Ema. Ia menikmati tontonan kartun, tetapi tidak dengan wanita yang duduk di kursi roda itu. "Jadi, Z itu apa, Al?" "Z untuk Zein, Tante. Namaku, Alea Aurora Zein." Ema tercengang mendengarnya. Tangan kanannya menutupi mulutnya yang menganga. Berulang kali ia mengucap istighfar. "Kenapa, Tan? Namaku bagus, kan?" "Iya, Sayang. Namamu bagus sekali. Apa kamu pernah bertemu papamu?" "Iya, Tante." Ema mengerutkan dahinya. Artinya bukan suaminya yang menjadi papa Al. Ada perasaan lega di dada Ema. Hampir saja ia diserang jantungan. "Oh, papamu tinggal di kota ini juga? Kenapa tidak tinggal di rumah kalian?" Ema bertanya penuh selidik, tetapi berusaha tidak membuat Alea ketakutan diberondong pertanyaan. "Kata mama, papa kerjanya jauh. Kemarin malam papa mau ketemu dengan Al, tapi nggak jadi. Papa sibuk menolong orang sakit. Jadi, Al ketemunya besok lagi." Jantung Ema kembali berdetak kencang. Otaknya disera
Bab 18B "Ze, Alea tadi main ke rumah. Karena tidak ada yang menjaga. Dokter Syifa sedang ke rumah sakit pusat bersama Irsyad. Lalu May terburu masuk shift siang. Jadi Alea dititipkan kemari." "Kenapa harus titip kemari? Anak ini kan sekolah sampai sore." Ema menatap heran Zein yang tahu jadwal sekolah Alea. "Maksudku, sekolahnya pasti fullday, Ma." "Iya, fullday, Ze. Tapi hari ini ustadzahnya rapat jadi pulang awal. Kamu nggak suka Alea di sini?" "Ma, aku bukannya nggak suka. Aku malah seneng banget. Tuhan seolah tahu keinginanku dekat dengan putriku. Tapi kalau kamu tahu yang sebenarnya, apa kamu akan mengizinkannya lagi, Ma?" guman Zein. "Ze! Kamu nggak suka ada anak kecil di rumah ini?" "Eh nggak, Ma. Aku senang kok. Melihatmu ceria dan bersemangat, lelahku seharian jadi hilang." "Syukurlah. Al, biar Om mandi dulu, ya!" "Tante, apa boleh Al memanggilnya ayah?" tunjuk Al pada Adam. "Boleh, Al juga boleh panggil Tante dengan sebutan bunda." "Ma, kamu nggak berlebihan?" bis
Bab 19A"Ini dosa, Ze. Tolong hentikan!"Syifa pasrah, ia hanya mengeluarkan air mata sebagai perlawanan. "Maafkan aku, Fa! Aku mau kamu dan Alea bersabar. Aku akan menjemput kalian berdua. Aku mau kita bersama lagi" Syifa memalingkan muka, tidak sanggup menatap wajah Zeun. Tidak dipungkiri, ia juga menginginkan hal yang dilarang itu. Ia menginginkan mantan suaminya kembali. "Ze, aku mengaku kalah. Tapi aku tidak ingin membiarkan kamu melukai banyak orang. Mbak Ema butuh support suaminya. Sudahi permainan ini, Ze, Mbak Ema sedang sakit. Aku nggak mau menambah dosa." "Tapi, Fa. Kita saling mencintai," protes Zein. Namun, Syifa menggelengkan kepala. "Mencintai tidak harus memiliki, Ze. Kita sudah memilih jalan masing-masing. Allah pasti memberikan yang terbaik untuk kita." "Fa, aku melepasmu bukan karena inginku. Aku mencoba mempertahankan apa yang jadi cita-citamu. Aku nggak nyangka semua akan jadi berantakan." Zein membantu menghapus jejak bulir bening di pipi Syifa. Wanita itu
Bab 19B"Nggak, Ze. Aku bahagia hari ini. Entah kenapa kedatangan Alea bisa menghibur rasa kesepianku." "Syukurlah. Maaf kalau aku sibuk dengan pekerjaan kantor. Sampai-sampai aku tidak sempat di rumah menemanimu siang hari." "Tidak masalah, Ze. Oya, di rumah ini ternyata ramai juga kalau ada anak kecil. Bagaimana kalau kita program hamil, Ze?"Zein tersentak mendengar ucapan Ema. Ia tidak sempat berpikir Ema mau memiliki anak dengan dirinya. Sebab selama ini pernikahan mereka sebatas hitam di atas putih. Ema masih mencintai suaminya yang pertama meski sudah di alam berbeda. "Ze, kamu keberatan?" tanya Ema dengan tatapan sedikit kecewa. "Ah, tidak, Ma. Aku hanya kaget kenapa tiba-tiba kamu menginginkan anak." Zein mengucapkan kalimat itu dengan hati-hati supaya tidak menyinggung perasaan Ema. "Aku tahu kamu pasti merindukan putrimu, kan, Ze? Dia sudah sebesar apa sekarang? Kamu berpisah dengan istri dan anakmu. Apa kamu tidak ada keinginan memiliki keluarga yang utuh dan ramai lag
Bab 20ASebulan berlalu, Ema merasakan mual-mual yang tidak kunjung berhenti. Ia teringat tamu bulanannya yang sudah terlewat seminggu belum datang. "Apa aku benar-benar bisa hamil? Kenapa aku jadi takut mengandung anak Ze?" Ema bukannya senang, justru hatinya dilanda khawatir. Sebulan ini ia berusaha membangun hubungan baik dengan Zein. Saat memberikan pertanyaan pada Zein tentang mantan istri dan putrinya, jawaban yang diterima pun melegakan. Malam itu. "Kemarilah, Ma. Terima kasih kamu sudah percaya padaku." "Ya, Ze. Apa kamu juga percaya padaku?" "Tentu saja, Ma." "Apa yang akan kamu lakukan jika kamu bertemu putrimu dan mantan istrimu, Ze?" Wajah Zein yang tadinya tersenyum seketika redup. "Ma, jangan tanyakan masa lalu saat kita baru mulai merangkai masa depan. Di dunia ini ada mantan istri, tapi tidak ada mantan anak. Suatu saat jika aku bertemu putriku. Kuharap kamu mau menerimanya juga. Gimana?" "Kamu benar nggak akan meninggalkan aku dan kembali bersama mantan istr
Bab 20BSyifa memberikan cawan kecil dan juga benda pipih untuk tes kehamilan. Ema tersenyum simpul di depan Syifa yang wajahnya sedikit kaku. "Ini, Dok." Ema menyodorkan tespek yang sudah dicelupakn ke cawan berisi urin. Ia tidak melirik hasilnya karena takut kecewa. Berbeda dengan Ema, Syifa berdiri tercengang mengamati tespek di tangan kanannya. Tiba-tiba tangan yang memegang tespek tremor. Badai seolah menghantam dirinya. Ia menganggap ucapan Zein sudah berlalu seperti debu diterpa angin. "Apa yang terjadi, Dokter?" Syifa masih bergeming karena terlarut dalam lamunan. "Dokter Syifa," ulang Ema penasaran. "Eh, maaf. Selamat Mbak Ema. Mbak positif hamil." "Benarkah?" tanya Ema dengan perasaan haru. Senang sekaligus takut secara bersamaan menyergap hatinya. Ia melihat perubahan sikap Syifa yang mendadak tersenyum kaku. "Apa yang harus saya lakukan, Dok. Saya masih perawatan pasca operasi tahun lalu. Apa ini aman untuk saya hamil?" Syifa berusaha mengembailkan sikap profesiona
S3 Bab 42 "Beginikah caranya menghukum diri sendiri, huh?" "Alea." Irsyad melebarkan matanya. Sedetik kemudian ia mengucek berulang untuk memastikan apa yang dilihatnya bukanlah sebuah fatamorgana. "Al, kamu datang?" lirih Irsyad sambil menoleh ke sekitar. Tidak ada orang lain selain mereka berdua. Alea lantas duduk di kursi sebelah Irsyad dengan meja kecil sebagai penghalang. Irsyad berusaha menetralkan deru napasnya. Rasa haru menyeruak. Kesedihan karena memikirkan kebencian Alea terhadap dirinya pun terpatahkan. Nyatanya, Alea masih mau menemuinya. "Ya, aku datang karena ada yang mengundang," ucap Alea dengan wajah datar. Gaya bicaranya tidak sesopan dulu dengan menyebut aku saat bicara. Tatapannya tidak sedikitpun mengarah pada Irsyad. Lelaki itu sadar diri, Alea pasti masih benci padanya. "Kamu tahu Om tinggal di sini?" "Sangat mudah dicari, bukan?" cetus Alea. Irsyad hanya beroh ria. "Aku akan menikah, jadi silakan mau bicara apa?" lanjut Alea. Irsyad menarik napas dalam.
S3 Bab 41Sesampainya di rumah, Alea mengucap terima kasih pada Damar dan memaksanya segera pulang. "Alea!" "Mama?!" Perempuan paruh baya yang menanti kedatangannya segera memeluk erat. Ya, Syifa sudah seminggu sakit dan terbaring di tempat tidur merindukan putrinya. "Mama! Maafin Alea. Mama sakit gara-gara Alea, kan?" sesal Alea sambil mengeratkan pelukannya. "Tenanglah, Al. Mamamu sakit bukan karena kamu. Tapi dia ngidam." "Apa?!" "Ishh. Papa nih, nggak usah becanda. Orang anaknya barusan pulang malah dibecandaain." "Maksudnya apa, Pa? Mama ngidam? Mau punya adik bayi?" Alea sudah melototkan matanya horor ke arah papa dan mamanya. Sementara Rendra yang baru saja ikut duduk di sofa hanya bisa terkikik. "Apaan sih, Ren? Kamu ngerti?" "Tuh, Mama ngidam pengin punya mantu, Mbak," celetuk Rendra masih dengan tertawa renyah. "Astaga. Kamu masih SMA udah mau nikah? Awas ya, belajar dulu sana!" "Yeay, siapa juga yang mau nikah. Mbak Alea tuh yang dilamar sama Mas Damar. Mama dan p
S3 Bab 40 "Aku mau melamarmu." "Hah?!" Alea ternganga. "Mas Damar sudah gil*. Alisa mau dikemanain coba?" protes Alea. "Alisa mau menyelesaikan kuliahnya dulu. Saat di bandara, Alisa mengikuti kepergian Damar menyusul Alea. Namun, Alisa hanya mendapati Damar yang melangkah lesu di batas ruang masuk penumpang dan pengantar. "Mas Damar? Sudah ketemu Mbak Alea?" "Tidak Lisa. Alea sudah pergi." "Oh, gitu. Kita perlu bicara Mas." "Ya, Lisa." "Kami berdua memutuskan memilih jalan masing-masing terlebih dulu, Al. Siapa yang menemukan jodoh duluan ya tidak apa kalau mau menikah lebih dulu." "Astaga, memangnya kami berdua mainan. Mas Damar gonta ganti melamarku atau Alisa," ucap Alea tak terima. Namun, ia setengah bercanda. "Ya gimana lagi, kalian sama-sama cantik." "Dasar laki-laki!" "Ough. Jangan kasar Al. Kamu masih pakai jurus karatemu?" "Iya lah. Mau dihajar?" "Ampun, Al." Alea tersenyum mengembang. Tiga bulan ia bisa menghilangkan rasa sakit hatinya pada Damar. Hanya mela
S3 Bab 39 Dua bulan berlalu, Alea sudah mulai menikmati perannya di tempat tinggal yang baru. Ia kini tinggal di salah satu kota kecil di Austria yakni kota Klagenfurt. Saat sampai di Vienna Internasional Airport, Alea hanya memberi kabar pada keluarganya kalau sudah sampai. Ia meminta izin memberi kabar kembali setelah tiga bulan selesai. Setelah Syifa mengiyakan dengan berat hati, Alea pun menonaktifkan nomernya dan berganti ke nomer lokal. Satu yang tidak dikatakan Alea pada keluarganya adalah tempat akhir yang ia tuju. Keluarga tahunya Alea ada di kota Vienna bukan di Klagenfurt. "Al, masih lama nggak me time kamu?" tanya Aida satu-satunya mahasiswa dari Indonesia yang ada di Klagenfurt. Terhitung sekarang ada dua mahasiswa termasuk Alea. "Kenapa? Kamu terburu, ya?" jawab Alea sambil menikmati pemandangan danau yang membentang luas di depannya. Danau yang biasa dengan sebutan Wörthersee di Klagenfurt memang indah. Dengan berdiri di pinggir danau, Alea bisa melihat pegunungan A
S3 Bab 38 "Maaf, Ma. Alea harus pergi. Hanya tiga bulan saja, Alea janji Ma." "Sayang, Papa dan Mama pegang janjimu. Di sana tiga bulan jangan berbuat aneh-aneh. Kamu harus jadi wanita kuat seperti mamamu," pesan Zein. "Iya, Pa, Ma. Alea janji. Jaga diri Mama dan Papa. Alea berangkat sama Rendra saja." "Baiklah, Sayang. Hati-hati, jangan lupa kabari kami kalau sudah sampai di sana," lirih Syifa sambil memeluk erat Alea sebelum pergi meninggalkannya. "Gimana Alea, Pa?" "Ma, Alea anak yang kuat. Kita sebagai orang tua harus mendoakan yang terbaik untuknya. Selalu berprasangka baik sama Allah." Syifa mengangguk lalu menghambur ke pelukan Zein untuk menumpahkan tangisnya. Selama 20tahun ini Syifa tidak pernah ditinggalkan Alea. Justru Syifa yang meninggalkannya saat bertugas menjadi relawan. Namun, kali ini Alea yang pergi membuat hatinya bersedih. "Sayang, ingat Alea pergi untuk menuntut ilmu. Allah akan mengangkat derajat putri kita. Jadi kita tidak pantas bersedih. Kita seharusn
S3 Bab 37 Plak! "Keterlaluan kamu, Syad. Begini caramu membalas apa yang sudah kuberikan?! Kamu membalas sakit hatimu karena perasaanmu padaku, kan? Kamu memanfaatkan Alea, putriku?" "Tidak, Fa. Tolong jangan berpikir begitu." "Jangan pernah muncul lagi di hadapanku! Kamu pantas mendapat hukuman yang setimpal." Irsyad terhenyak, kekecewaan Syifa menari-nari di wajahnya. Ia merasa terluka karena telah mengecewakan hati Syifa. Perempuan yang sudah menjadi kakak angkatnya. Mengubah kehidupannya yang gelap hingga menjadi terang. Bahkan dulu namanya pernah singgah di hati Irsyad. Malam itu, Irsyad dan Rendra menemukan hotel tempat Alea dibawa Ronald berdasar informasi dari teman Alea bernama Yoga. Irsyad memaksa resepsionis mengecek kamar atas nama Ronald dengan dalih calon istrinya bersama laki-laki itu. Rendra menunggu di lobby, sedangkan Irsyad mencari ke kamar. Sesampainya di kamar yang dituju, Irsyad hanya mendapati Ronald yang membuka pintu dan Alea ada di dalamnya. Tanpa berpi
S3 Bab 36 "Maaf, sebaiknya saudara Irsyad menjelaskan di kantor. Karena Pak Ronald sudah memberi keterangan terkait kejadian di hotel malam itu sesuai yang dilaporkan Mbak Alea." "Saya pikir cukup lelaki bernama Ronald itu yang ditangkap, Pak," bela Alea. "Maaf, Mbak Alea. Kami perlu membawa Saudara Irsyad. Sebab dia juga berada di hotel yang sama malam itu." "Apa?!" pekik Alea. "Tenanglah Alea, ini pasti salah paham. Baik, saya akan ikut ke kantor." "Tapi, Syad. Acaranya?" Syifa menagih jawab atas pertanyaan yang sudah bisa ia tebak jawabannya. "Pak, kalau boleh Irsyad datang ke kantor polisi setelah acara akad nikah selesai," bujuk Zein. "Maaf, kami harus membawa saudara Irsyad sekarang juga." Zein tersentak, pun Syifa tidak bisa menahan air mata. Acara sakral putrinya mendadak kacau. Ini tentu tidak masuk dalam perkiraannya. Ia sungguh kasian pada Alea yang mendapat masalah bertubi. "Jangan khawatir Mas, Fa. Aku akan baik-baik saja. Setelah urusan dengan polisi selesai, ak
S3 Bab 35 Seminggu berlalu, Irsyad sudah menyelesaikan persiapan akad nikah bersama Alea. Sesuai kesepakatan, keduanya tidak menceritakan pada Syifa dan Zein kalau pernikahan ini dijalani serius. "Om kebayanya bagus, nggak? Udah pas belum?" tanya Alea dengan wajah tak henti-hentinya mengulas senyum. Ia terkadang geli sendiri. Hubungan yang baru mau dibangun dengan Damar kandas, ternyata tergantikan oleh sosok lelaki dewasa yang tidak jauh-jauh dari kehidupannya. "Jelas, cocok, Al. Yang makai juga cantik kok, iya kan, Mbak?" celetuk Irsyad pada petugas butik yang melayani. "Iya, Mbak Alea cantik. Apalagi memakai kebayanya, pas banget deh." "Ishh, Mbak bisa aja." Senyum kembali terukir di bibir Alea sambil memandang sekilas Irsyad yang mengambil jas lalu memakainya. "Sini, Al!" Irsyad melambaikan tangan supaya Alea berdiri di sampingnya. Keduanya berdiri di depan cermin. "Serasi banget, Om," ujar Alea. Namun, senyum Irsyad tiba-tiba surut. Lelaki itu mendekat ke telinga Alea hingg
S3 Bab 34 "Al, boleh Us ngobrol sebentar?" tanya Silvi dengan wajah serius. Ia membiarkan Maryam menikmati es krimnya di kursi tak jauh dari keduanya duduk. "Ya, Us." Alea merasa sedikit salah tingkah. Ia menduga Silvi akan bertanya tentang Omnya. "Apa benar Mas Irsyad mau menikahimu?" "Us Silvi sudah tahu?" tanya Alea. Jelas ia hanya berbasa basi. Pastilah Irsyad sudah memberitahu. Sebab sebelumnya Irsyad berencana melamar Silvi. "Mas Irsyad yang ngasih tahu. Sebenarnya Abi sudah berharap Mas Irsyad melamar Us, Al. Maryam juga seneng banget bisa punya ayah baru, tapi...." Ucapan Silvi menggantung saat ponsel Alea tiba-tiba berdering. "Maaf Us sebentar." "Iya benar, tas selempang warna krem." "Gimana, tadi Us? Maaf ada yang menyela," celetuk Alea sambil meletakkan ponselnya ke meja. "Kalian benar-benar akan menikah?" tanya Silvi dengan wajah sendu. "Kamu kan tahu Al, Mas Irsyad baru mau memulai lagi hubungan baik dengan Us. Abi juga sudah menerimanya. Kenapa dia harus merelak