Terima kasih buat pembaca yang sudah mengikuti cerita ini sampai season 2. Mampir juga yuk cerita best seller DLista: ISTRI YANG KABUR DI MALAM PERTAMA (sudah tamat) tinggalkan jejak live dan komentafnya ya. salam sehat selalu.
Bab 15A"Fa, sampai malam. Kalian nggak apa-apa, kan?" Irsyad terlihat khawatir karena sejak pergi habis Ashar, Syifa dan Al baru kembali jam 8 malam. Ternyata Syifa hanya mengitari kota Yogya untuk meredakan kekesalannya. "Tolong bantu angkat Al ya, Syad!" Syifa tidak menjawab justru meminta Irsyad memindahkan Al yang tertidur di jok sampingnya. "Baik." Irsyad menahan diri untuk tidak bertanya. Ia menelisik raut wajah Syifa yang muram. Pasti terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan pikirnya. Irsyad membopong tubuh mungil itu menuju kamar Syifa. Ibu dan anak itu memang tidur sekamar. Sebab di rumah sederhana yang dibeli Syifa hanya ada tiga kamar tidur. Terkadang Al tidur bersama mamanya atau pindah-pindah dengan May. "Terima kasih, Syad. Apa May sudah menutup kliniknya?" Syifa masih berdiri di ambang pintu menunggu Irsyad keluar. Syifa sampai tidak memperhatikan kliniknya tutup atau belum. Sepanjang masuk rumah, pikirannya masih tentang rasa kecewa pada papa Al. "Iya, May sudah
Bab 15B Irsyad yang kesal memilih melangkah ke klinik lalu mengambil tas medis. Ia berencana ke rumah Ema sendirian. Namun baru sampai pintu keluar Syifa berteriak. "Tunggu! Aku ikut." "Ayo, cepat." Irsyad menyunggingkan senyum sambil menunggu Syifa berganti pakaian. Tidak lupa snelli putih melekat di badannya. "Aku tahu kamu punya masalah pribadi. Tapi jangan abaikan pasien demi egomu." "Sudah jangan cerewet. Pasiennya keburu sakit." Irsyad tergelak. Ia mulai menemukan Syifa kembali dengan omelannya. "Maaf, Bu Dokter, anak saya demam, mual dan muntah. Apa masih bisa periksa?" Seorang perempuan paruh baya memapah putrinya yang masih remaja. "Astaghfirullah. Iya, Bu. Silakan duduk sebentar. Irsyad, kamu tangani pasien ini sama May, ya. Aku yang ke rumah Mbak Ema." "Ya, Fa. Kamu berangkatlah, nanti aku menyusul." Irsyad tersenyum mengembang. Syifa kembali menjadi dirinya sendiri. Wanita itu memang dokter profesional yang bekerja demi kemanusiaan. Akhirnya, Irsyad meminta May me
Bab 16 "Maaf. Maafkan aku!" "Kamu jahat, Ze. Kamu mengecewakan aku. Kamu telah membuat Alea bersedih." "Dengarkan aku, Fa! Aku janji akan membuat keluarga kita berkumpul kembali. Aku akan mengembalikan kebahagiaan Alea, juga kebahagiaan kita." "Lepaskan, Ze! Dari pada bermimpi, mendingan kamu perhatikan istrimu. Dia membutuhkan kasih sayang suaminya. Apa kamu ingin kehilangan istri untuk kedua kalinya, huh? Istrimu sakit, Ze. Mbak Ema sakit. Dia orang baik yang butuh perhatian. Setidaknya buat jiwanya bahagia bukan malah mengejar dosa." "Fa! Aku hanya ingin bertanggung jawab. Aku ingin menjadi papa yang bisa membuat putrinya bahagia." "Kalau itu inginmu, oke. Tapi jangan dekati aku! Aku nggak mau merusak rumah tangga orang, Ze. Cukup rumah tanggaku yang hancur dan jangan sampai rumah tanggamu kembali mengulang kesalahan yang sama." Syifa terengah-engah dengan perasaan lega telah menyemburkan kata-kata yang bersemayam di dada. Ia menghapus air mata agar tidak terlihat menyedihka
Bab 16B"Baiklah. Oya, By, apa kamu melihat Pak Zein akhir-akhir ini bersikap di luar kebiasaannya?" "Maksud, Bu Ema?" "Ya apalah sikap yang aneh menurutmu saat di kantor." "Tidak ada, Bu. Di kantor juga tidak ada kolega baru." "Ya sudah." "Cuma, hmm." "Cuma apa, By? Katakan saja!" "Maaf, Bu. Pak Zein sering melamun di ruangannya. Beliau memandang lama selembar foto yang disimpan di lacinya." Jantung Ema tiba-tiba berdetak kencang. Sedikit banyak ia mulai curiga suaminya berubah sikap. "Terima kasih, Bi. Saya tunggu info selanjutnya." Ema menutup panggilan dengan perasaan kecewa. Hatinya memang masih terpaut pada suami pertamanya. Namun, melihat ketulusan Zein tiba-tiba pudar membuat ia tidak rela. Tidak lama kemudian ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bobby. Pesan itu berisi foto yang dimintanya. Foto wanita yang mengenakan baju khas dokter. Wanita itu menggendong balita mungil berjenis kelamin perempuan. "Siapapun kalian, aku tidak menyalahkan. Ze memang masih me
Bab 17A"Iya, Ze. Aku mau kamu menemaniku tidur." Zein tidak bisa berkata-kata. Tenggorokannya terasa tercekat. Ia menelan ludah susah payah untuk menormalkan sikapnya. "Tapi, Ma? Di sini kamar suamimu yang pertama. Aku tidak mau menghapus kenangan indahmu." "Kalau begitu, aku tidur di kamarmu saja, Ze." "Hah. Jangan, Ma! Kamarku berantakan." "Aku minta Bi Sumi merapikannya, Ze." "Di sini saja, Ma. Aku akan temani kamu sampai tidur. Kamu mau makan dulu atau langsung tidur?" "Aku sudah makan dan minum obat, Ze. Kamu mau aku jadi gendut?" ucap Ema sambil mengerucutkan bibir. Zein pun tergelak, baru kali ini Ema manja seperti anak kecil yang menggemaskan. "Aku mau tidur saja." Ema membaringkan tubuhnya di ranjang. Zein pun mengikuti titah Ema untuk berbaring di sampingnya. "Tidurlah. Aku temani sampai kamu terlelap." Ema menyandarkan wajahnya di dada bidang Zein. Ia mencoba melawan kebiasaannya, untuk menerima Zein sebagai suaminya. Sepasang lengan kekar melingkupi tubuhnya. T
Bab 17BKeesokan hari, Zein terkejut saat bangun tidur. Ia masih berada di kamar Ema. Ia mengusap kasar wajahnya. "Kenapa aku ketiduran di sini," sesalnya. "Kamu sudah bangun, Ze. Ini aku bawakan susu hangat. Kamu pasti kecapekan kemarin ngurus masalh di kantor." Ema menatap Zein dengan wajah penuh senyuman membuat laki-laki itu penasaran. "Makasih, ya, Ze. Tidurku semalam nyenyak. Sampai-sampai kamu juga terlelap di sini." "Iya, Ma. Maaf, seharusnya aku pindah ke kamar sebelah." "Nggak, Ze. Sudah benar kamu di kamar ini. Harusnya aku melayanimu dengan baik seperti layaknya seorang istri. Maafkan aku, Ze. Selama ini aku tidak memperhatikanmu. Sekarang, bolehkan aku melakukan tugasku sebagai istri?" "Ma, kamu tidak harus memaksakan diri melakukannya. Kita jalani saja hubungan kita pelan-pelan, ya." "Iya, Ze. Makasih kamu sudah mengerti aku. Ayo, kita sarapan. Kamu berangkat ke kantor atau istirahat saja di rumah. Bobby pasti bisa mengatasi kerjaan kantor." Zein merasakan ada ya
Bab 18 A"Enak, Tante." Sambil tersenyum, Alea gantian menyodorkan toples ke Ema. Ia menikmati tontonan kartun, tetapi tidak dengan wanita yang duduk di kursi roda itu. "Jadi, Z itu apa, Al?" "Z untuk Zein, Tante. Namaku, Alea Aurora Zein." Ema tercengang mendengarnya. Tangan kanannya menutupi mulutnya yang menganga. Berulang kali ia mengucap istighfar. "Kenapa, Tan? Namaku bagus, kan?" "Iya, Sayang. Namamu bagus sekali. Apa kamu pernah bertemu papamu?" "Iya, Tante." Ema mengerutkan dahinya. Artinya bukan suaminya yang menjadi papa Al. Ada perasaan lega di dada Ema. Hampir saja ia diserang jantungan. "Oh, papamu tinggal di kota ini juga? Kenapa tidak tinggal di rumah kalian?" Ema bertanya penuh selidik, tetapi berusaha tidak membuat Alea ketakutan diberondong pertanyaan. "Kata mama, papa kerjanya jauh. Kemarin malam papa mau ketemu dengan Al, tapi nggak jadi. Papa sibuk menolong orang sakit. Jadi, Al ketemunya besok lagi." Jantung Ema kembali berdetak kencang. Otaknya disera
Bab 18B "Ze, Alea tadi main ke rumah. Karena tidak ada yang menjaga. Dokter Syifa sedang ke rumah sakit pusat bersama Irsyad. Lalu May terburu masuk shift siang. Jadi Alea dititipkan kemari." "Kenapa harus titip kemari? Anak ini kan sekolah sampai sore." Ema menatap heran Zein yang tahu jadwal sekolah Alea. "Maksudku, sekolahnya pasti fullday, Ma." "Iya, fullday, Ze. Tapi hari ini ustadzahnya rapat jadi pulang awal. Kamu nggak suka Alea di sini?" "Ma, aku bukannya nggak suka. Aku malah seneng banget. Tuhan seolah tahu keinginanku dekat dengan putriku. Tapi kalau kamu tahu yang sebenarnya, apa kamu akan mengizinkannya lagi, Ma?" guman Zein. "Ze! Kamu nggak suka ada anak kecil di rumah ini?" "Eh nggak, Ma. Aku senang kok. Melihatmu ceria dan bersemangat, lelahku seharian jadi hilang." "Syukurlah. Al, biar Om mandi dulu, ya!" "Tante, apa boleh Al memanggilnya ayah?" tunjuk Al pada Adam. "Boleh, Al juga boleh panggil Tante dengan sebutan bunda." "Ma, kamu nggak berlebihan?" bis