Malam sudah tiba. Shreya berharap- harap cemas menunggu Felix akan mengajaknya bicara empat mata. Bukan tidak ingin dirinya yang memulai, tetapi Shreya sangat berharap jika Felix yang memiliki inisiatif sendiri. Tepat jam tujuh, Felix datang. Shreya tersenyum karena merasa senang. Bagaimana tidak? Shreya meyakini harapan itu ada. Namun, seketika senyum itu pudar karena kedatangan Felix hanya memastikan Nathan sudah tertidur atau belum. Kepada Shreya ia hanya berkata akan tidur lagi di kamar bawah sembari membereskan pekerjaan yang tertunda. "Mas ke sini hanya untuk itu saja?" tanya Shreya memastikan. "Iya. Lalu, memangnya mau apalagi? Tidak ada sesuatu yang perlu kita bahas, kan?"Shreya tersenyum samar. "Tidak! Tidak ada. Kalau begitu, selamat bekerja dan selamat malam."Shreya melihat jika Felix mengernyit, kemudian keluar. Shreya menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengembuskan kasar. "Baiklah kalau begitu," ucapnya sembari melihat ke arah pintu yang sudah tertutup. **Di kedia
Di sebuah hotel, Shreya berada. Pagi itu ia akan pergi ke sebuah kota dimana ia rasa cocok untuk menenangkan diri. Sambil menunggu waktu, Shreya menikmati sarapan terlebih dahulu. "Aya!" sapa seseorang. Shreya menoleh ke arah suara. Matanya menyipit memerhatikan. "Kak Antonio!" serunya saat tahu siapa pria yang memanggilnya. "Boleh duduk di sini?" tanya pria yang bernama Antonio itu. "Tentu! Silakan, Kak," sambut Shreya ramah. "Lama tidak bertemu," kata Antonio. Shreya mengangguk seraya tersenyum. "Iya. Kakak sama siapa? Istri? Anak?" Shreya celingukan. "Kakak masih sendiri.""O-oh, maaf." Shreya terlihat tak enak hati. Antonio tersenyum. "Tidak apa. Santai saja." Perhatian Antonio beralih kepada Nathan. "Tampan sekali putramu. Kakak turut berduka atas meninggalnya Alexander."Shreya mengernyit. "Kakak tau dari siapa kalo Mas Alex sudah meninggal?"Antonio menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskan perlahan, lalu pria itu menunjukkan kartu nama. Shreya meraihnya, lalu memb
Empat hari sudah kepergian Shreya dari rumah. Itu tentu saja membawa pengaruh terhadap Pricilla. Akan tetapi, setiap kali dilanda sedih, gadis itu bisa mengendalikan emosi dan memilih patuh kepada apa yang sudah Shreya amanatkan. Namun, pagi itu Pricilla dibuat kesal karena melihat Felix yang terlihat anteng-anteng saja. "Ada kabar tentang Mama Aya?" tanya Pricilla saat mereka menikmati sarapan. "Papa sudah cari, kan?" lanjut Pricilla. "Sudah.""Ke mana?""Yang sekiranya dia kunjungi."Prang! Pricilla menyimpan sendok di atas piring dengan kasar. "Kenapa Papa terlihat santai begitu? Jangan pikir aku tidak tahu dengan perasaan Papa sama Mama Aya. Move on, Pa, move on, helooww!" Pricilla mengibaskan tangannya kepada Felix. Napas Pricilla terengah-engah. "Mama Debora sudah tiada. Apalagi yang Papa harapkan? Semasa hidupnya Mama memilih pria lain, bukan? Itu artinya Papa tidak berarti buat Mama!""Jaga ucapanmu! Kamu masih anak kecil. Tidak mengerti apa-apa!" hardik Felix. Pricill
Andreas tengah terbaring lemah di ranjang kamarnya. Pria paruh baya itu tidak ingin dibawa ke rumah sakit. Dokter menyatakan bahwa Andreas terkena serangan jantung ringan. Pricilla dan Felix yang ada di kamar pun merasa tidak enak hati. Bruk! Pricilla duduk berlutut bahkan menunduk. "Kek, Nek, tolong maafkan kami. Mama Aya pergi gara-gara kami. Dan tolong berikan Papa kesempatan untuk memperbaiki semuanya."Melihat sang putri berlutut, Felix menghampiri dan turut. Ia memeluk Pricilla erat sembari menangis haru diiringi rasa bersalah. Andreas tersenyum. "Carilah putriku. Untuk lanjut atau tidaknya hubungan kalian, Ayah serahkan kepada Aya."Adelia menghampiri menantu dan cucunya itu. "Bangunlah! Benar kata Ayah, Nak. Temukan Aya. Belajarlah mencintai putri kami kalau rumah tangga kalian ingin tetap terjalin. Tapi, kalau keputusan Shreya tetap ingin bercerai, kami tidak bisa berbuat apa-apa."Felix dan Pricilla berdiri. "Baik, Bu, Yah. Aku akan cari Aya dan benar-benar akan menjalank
Pagi itu Felix sudah berada di satu tempat sesuai dengan alamat yang tercantum pada pesan semalam. Felix duduk di sebuah restoran. Matanya menyisir setiap sudut mencari siapa yang sekiranya akan menghampiri. Penampilan Felix yang berkacamata hitam, bertopi hitam tetap saja mencuri perhatian pengunjung lain yang mampu membuat dirinya risih. Tidak berselang lama, dari jauh terlihat orang yang sangat Felix kenal. "Maaf telat," kata orang itu. "Mari kita bicara sebagai laki-laki! Bukan sebagai atasan dan bawahan!" lanjutnya sembari duduk. Felix mengernyit. Sejenak ia berpikir. "Ah, jadi yang mengirim pesan semalam itu kau, Antonio?"Antonio tersenyum. Ia mengabaikan pertanyaan Felix. Pria berusia tiga puluh tahun itu malah berkata, "Wah, aku kira tidak akan datang. Rupanya perihal Aya gercep juga, ya? Tapi, sayang ... gercepnya kenapa sekarang, ya? Gak dari dulu, gitu?!""Apa maksudmu, Antonio?!"Lagi, Antonio mengabaikan Felix. Ia mencondongkan badannya ke depan, lalu berkata, "Aku
"Sepertinya gelagat orang itu gak asing lagi, deh," kata Shreya. Antonio yang semula terus melihat kepergian Felix pun meminta Shreya untuk duduk. "Udah, ah, gak penting. Yuk, kita lanjut makan lagi!""Ah, iya, Kak." Shreya kembali duduk. Shreya melanjutkan makan, tetapi tidak dengan Antonio yang menyuruh. Pria itu justru terus menatap wajah cantik Shreya. "Ay?" panggil Antonio. Shreya mendongak. "Iya, Kak.""Menikahlah denganku!"Uhuk! Shreya terbatuk. Mona yang berada tepat di sampingnya langsung memberikan segelas air mineral. "Minumlah!"Shreya meraih, lalu meminumnya. "Ah, Kakak bikin kaget saja," ujar Shreya setelah meneguk air itu. Antonio tersenyum samar. "Kakak mencintaimu, Ay, sangat. Sampai detik ini tidak ada seorang wanita pun yang mengisi hati ini selain kamu."Shreya memalingkan wajah, lalu terdiam. Mona, yang merasa itu adalah perbincangan serius pun memilih pergi sembari membawa Nathan. "Kok, diem, Ay? Kamu gak beri Kakak kesempatan?"Shreya menoleh. "Emm ...
Tampak mobil Antonio rusak berat. Bagaimana tidak? Mobil dihantam dari belakang sehingga mobil bagian depan beradu dengan tembok pagar restoran. Suara yang keras tentu saja mengundang kerumunan warga sekitar serta pengunjung lain. Shreya tentu saja syok melihat hal itu."Bagaimana keadaan kalian?!" tanya Shreya panik saat Antonio dan Mona turun. "Aku baik-baik aja, Ay," jawab Mona yang tampak masih syok. "Kejedot dikit, wajar," timpal Antonio. "He'em, syukurlah." Shreya merasa lega. Antonio menghampiri mobil yang menabraknya. Banyak warga mengelilingi mobilnya dan meminta sang pengemudi untuk keluar. Antonio mencondongkan wajahnya mengintip sang pengemudi. Tampak olehnya ia meringis sembari memegang kening. Tok tok tok! Antonio mengetuk kacanya. "Keluar!"Tidak berselang lama sang pengemudi keluar. "Da-darah?" gumamnya sembari melihat telapak tangannya sendiri, lalu pingsan. "Ya, Tuhan!" seru Antonio sembari menopang tubuhnya. Jelas saja ia pingsan, karena pasalnya sang pe
Akhirnya, hari itu juga Shreya memutuskan untuk pulang. Pelukan hangat menjadi salam perpisahan antara Shreya dan Mona. Lain halnya dengan Antonio. Pria itu hanya duduk di sofa dan tanpa menoleh sedikitpun meminta Shreya dan Antonio untuk segera pergi. Shreya yang mengerti sikap Antonio pun tidak mempermasalahkan itu. Tepat jam lima sore mobil Felix ke luar gerbang kediaman Antonio. Namun, lajunya terhenti saat seorang wanita turun dari taksi. "Bukankah itu wanita yang tadi nabrak mobil Kak Antonio, ya?" ucap Shreya sembari memerhatikan. "Iya, namanya Lusi," kata Felix. Shreya mengernyit, lalu menatap Felix. "Kok, Mas, tau? Siapa wanita itu? Dekat sama Mas? Jangan-jangan ke sini buat cari Mas! Ada hubungan apa kalian? Jawab!"Mendengar Shreya bertanya demikian justru membuat Felix tersenyum. "Cemburu, yaaa?"Seketika Shreya mematung. Ia merasa malu. Kepada Felix ia mengatakan jangan bersikap seperti anak kecil, tetapi nyatanya sikap Shreya tak jauh seperti Felix. "Ce-cemburu? Eng
Mendengar itu Pricilla berjalan mundur. Tak hanya Pricilla yang merasa kecewa, tetapi juga semua keluarga terlebih-lebih Shreya. "Tunggu!" titah Nathalie, membuat Pricilla menghentikan langkah. "Aku belum selesai bicara!" tukas Nathalie. Pricilla mencoba tersenyum walau bulir bening hampir saja menetes. "Ah, apa itu, Dek?""Sayangnya, tidak mungkin jika Liki tidak memaafkan Kakak.""Jadi, Adek maafin Kakak? Serius?"Nathalie mengangguk. "Iya, dua rius malah!"Nathalie memeluk Pricilla erat. Kata maaf terlontar dari mulut keduanya. "Makasih udah siapin ini untukku, Kak. Seandainya Kakak gak bikin pesta ini pun Adek pasti maafin Kakak, kok. Tapi, waktunya aja yang lama. Hehehe ...," ujar Nathalie dengan polosnya. Pricilla melerai pelukan. "Yaaah ... kalo gitu rugi, dong, Kakak bikin pesta ini!""Iiih, si Kakak, ya, gak, lah. Kan, aku seneng."Pricilla mengatakan jika semua ide datangnya dari Shreya. Mulai dari konsep, kostum dan lainnya. Sedangkan dirinya hanya pendanaan saja. Itu
"Ini tolong susunnya yang betul, ya?""Masakan sama kuenya udah aman, kan?""Coba yang itu, tolong kursinya tata yang rapi!"Itulah Pricilla saat dirinya disibukkan dengan acara yang ia persembahkan untuk Nathalie. "Sayang, istirahat dulu. Acaranya, kan, nanti malam. Kamu sampe lewatin makan siang, loh!" kata Jody. "Nanti saja, Kak. Aku mau mastiin acara ini bener-bener terselenggara mewah dan sempurna!""Gak, gak, bisa! Pokoknya kamu harus makan dulu. Kalo kamu sakit gimana?"Pricilla hanya diam. "Kakak gak mau, ya, gara-gara ini kamu sakit!" lanjut Jody. Akhirnya Pricilla menyerah. Ia memakan makanan yang Jody bawa. Semua tak luput dari pengawasan Jody. Pricilla yang sebenarnya sudah merasa kenyang pun mau tidak mau melahap semuanya. "Haaah, selesai. Kenyang banget, Kak."Jody tersenyum. "Bagus!""Kalo gitu, sekarang antar aku ke butik."Jody menepuk kening. "Istirahat, Yang! Malah ke butik."Pricilla hanya tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. "Sekalian
Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu juga Nathalie tidak memberi Pricilla kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya."Ma, hari ini Lili izin menginap lagi di rumah Nela, ya?" kata Nathalie. Perkataan Nathalie mencuri perhatian Felix, Lorenza, Jody dan Pricilla yang sedang sama-sama menikmati sarapan. Shreya menggeleng. "Tidak boleh?""Loh, kenapa?"Shreya menyimpan sendoknya. "Mama mau kalau weekend kita semua kumpul. Kita gunakan waktu senggang untuk bercengkrama.""Abang gak ada, gak asyik!" ucap Nathalie cepat. "Kan, ada Kakakmu. Mumpung dia menginap di sini," balas Shreya. Nathalie hanya menunduk dan mengaduk sup yang ada di mangkuk saja. Sikap Nathalie tak luput dari pandangan Pricilla. "Ma, nanti sore kita pulang," kata Pricilla. "Loh, katanya mau seminggu lagi di sini."Pricilla tersenyum. "Maaf, semalam lupa kasih tau Mama. Kakak kasian sama Kak Jody bulak-balik kantornya jauh."Embusan napas kasar yang terkesan lega terdengar dari mulut Nathalie. Remaja itu berd
Di sekolah, mood Nathalie belum seutuhnya kembali sampai-sampai apa yang guru jelaskan di depan kelas tak sepenuhnya ia dengar. "Lili, coba jelaskan kembali apa yang Ibu terangkan barusan!"Nathalie terkesiap. "Sa-saya, Bu?""Iya, kamu!"Nathalie tersenyum canggung. "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi tidak fokus.""Sekali lagi kamu tidak perhatikan, silakan ke luar kelas! Mengerti?!""Ba-baik, Bu."Guru tersebut kembali mengulang menjelaskan. Beruntung, Nathalie bisa kembali fokus dan mampu menjawab semua pertanyaan yang guru tersebut ajukan. Bel istirahat diperdengarkan. "Kenapa lu?" tanya Nela --teman Nathalie. "Tumben amat lu lemot.""Lagi bete gue, La.""Cerita di kantin, yuk! Laper, nih!" Setelah mengambil ponsel di masing-masing loker, keduanya ke kantin. Baru saja tiba di kantin, ponsel Pricilla berdering pertanda satu panggilan masuk. Kak Cilla, nama yang tertera di layar ponsel. Rasa benci yang masih menggelayut membuat Nathalie menolak panggilan. "Lu mau makan apa?" tanya Nela
Di apartemen. Ada Pricilla yang sedang sibuk menyiapkan keperluan Jody untuk bekerja. "Sayang, maaf, ya? Kakak harus kerja hari ini," ucap Jody. Pricilla yang sedang memilih dan memilah kemeja pun menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku yang harus berterimakasih sama Kakak atas waktunya. Hampir satu minggu Kakak temani aku.""Iya, Sama-sama, Sayang."Sebelum berangkat ke kantor, Pricilla meminta Jody agar mengantarnya ke rumah Shreya. Setelah menikmati sarapan keduanya pergi. *"Kak, sebelum ke rumah mama, antar aku ke toko kue Nenek Melani," pinta Pricilla. "Buat oleh-oleh?"Pricilla menggeleng. "Lalu?"Rupanya Pricilla ingin meminta maaf kepada Melani atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat. Jody tersenyum mendengar itu. Tiba di toko kue, rupanya Melani yang menyambut. "Wah, ada ka--""Nenek!" Pricilla memeluk Melani membuat wanita tua itu tercengang. "Maafin aku, ya, Nek? Maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat."Melani tersenyum dan membalas pelukan. Diusapnya rambu
Mata Jody perlahan terbuka. Senyumnya mengambang melihat Pricilla yang tidur sembari memeluknya tanpa sehelai benangpun. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh malam. Rasa lelah yang meraja rupanya membuat mereka tidur sangat pulas. Maklum saja, pergulatan siang tadi berlangsung berjam-jam.Pricilla menggeliat. Perlahan mata indahnya terbuka. Cup! Jody mengecup pucuk kepala Pricilla. Pricilla mendongak. "Eh, Kakak udah bangun?""He'em, dari tadi."Pricilla hendak bangun. Namun, ia urungkan saat menyadari tubuhnya polos. Wanita itu memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jody. "Ih, malu," cicit Pricilla. Jody tersenyum. Sembari mengeratkan pelukan, ia bertanya, "Malu kenapa, sih, Yang? Toh, Kakak udah liat semuanya."Plak! Pricilla memukul dada Jody. "Gak usah disebutin juga, Kak, ih!""Sakit, Yaaang!" Jody mengusap-usap dadanya yang dipukul. Pricilla yang tak enak hati tentu saja meminta maaf sembari turut mengusap
Sembari menangis Pricilla berjongkok membantu Jody berdiri. Beruntung, Jody hanya mengalami lecet di tangan saja karena mobil Dio menabrak gerobak seorang pedagang yang turut menyebrang. Jody terjatuh tertimpa gerobak. Ramai orang berkerumun, bahkan sebagian dari mereka memecahkan kaca mobil Dio. "Turun, anj*ng!""Udah tau jalanan ramai, malah ngebut!""Ganti rugi!"Banyak dari mereka yang turut menghujat. Dio pun turun. Tak ada rasa sesal darinya. Ia menatap tajam ke arah Jody dan Pricilla. Bugh!Bugh! Bogem mentah Dio dapatkan dari beberapa orang. Ia pun terkapar. "Hentikan!" seru Jody. "Dia sodara saya! Untuk kerusakan, biar saya yang ganti," lanjut Jody. Orang-orang pun membubarkan diri. "Sayang, tunggu di sini," ucap Jody kepada Pricilla. Pricilla mengangguk, Jody pun berlari menuju mobilnya. Tidak lama berselang, Jody kembali dengan membawa selembar cek. Tertulis nominal sebesar lima puluh juta. "Segini cukup untuk mengganti rugi gerobak dan dagangan Bapak?" tanya Jo
Jody memaksa Pricilla pergi dari rumah Dio. Meninggalkan Lira yang menangis karena tak tahu siapa mamanya. "Kenapa diam?" tanya Jody di balik kemudi. "Kakak keterlaluan!""Apanya yang keterlaluan?""Aku gak habis pikir kalo Kakak picik."Jody tersenyum samar. "Picik lawan picik. Itu!""Kak Dio gak picik, tuh!" ujar Pricilla sembari mendelik. "Bela aja terusss!""Apa Kakak gak kasihan sama Lira tadi?"Jody hanya tersenyum sarkas menanggapi pertanyaan Pricilla. Pricilla diam. Pun dengan Jody. Jody memilih fokus menyetir dan akan bicara empat mata dengan Pricilla di rumah saja.Lima menit lagi mereka akan sampai di apartemen milik Jody. Namun, tiba-tiba saja Pricilla berkata, "Aku mau pulang ke apartemenku!""Sebentar lagi kita sampe, Yang.""Kalau begitu Kakak turun dan biarkan aku pulang sendiri!"Jody menghela napas. Ia memutar balik mobil yang dikendarai. Tidak masalah memang, hanya saja ke apartemen milik Pricilla cukup jauh belum lagi jalanan yang sudah mulai macet. Kapan merek
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan