"Dua pasien dalam keadaan gawat!"
Shreya--yang baru tiba di rumah sakit untuk melakukan check-up kandungan--mendadak disuguhkan dengan dua mobil ambulan yang sedang menurunkan pasien.
Tenaga medis tampak berjuang mendorong brankar dengan cepat.Entah mengapa, seketika perasaan wanita itu dirundung gelisah.
Ia pun menyipit memperhatikan pakaian yang dikenakan pasien brankar kedua. Bahkan, kakiknya tanpa sadar sampai ikut mendekat ke ruang ICU.
Deg!
Kedua mata Shreya melotot tak percaya ketika melihat sosok pria yang begitu familiar--tampak lemah dengan darah bercucuran."Ya, Tuhan, Mas Alex!"
"Itu suami saya!" lanjutnya berseru sembari mengikuti langkah tim medis.Namun, apalah daya, Shreya harus menunggu di luar.Tangis pun pecah diiringi doa dalam hati. Shreya berharap sang suami selamat meski pria itu sempat menyuruhnya untuk mengugurkan janin yang mereka tunggu selama tiga tahun pernikahan, serta memilih pergi bersama wanita selingkuhannya.
Mengingat wanita itu, Shreya mendadak melangkah menuju ke salah seorang sopir ambulan tak jauh darinya. "Pak, apa korban yang satunya seorang wanita dan berada di mobil yang sama dengan korban pria?" tanyanya.Meski bingung, sang sopir pun menjawab, "Iya, benar, Nyonya."Shreya seketika lemas.'Kalian benar-benar ingin sehidup semati?' ucapnya menertawai diri sendiri dalam hati.
Tak ada kata yang terlontar lagi dari mulut Shreya setelahnya.
Wanita itu memilih duduk di ruang tunggu sembari memijit kening.Namun, tak lama menunggu, Shreya justru mendapat kabar jika Alexander bersama wanita selingkuhannya itu meninggal.Belum kering luka yang Alexander toreh, kini luka itu diiringi duka yang mendalam.
Jujur, Shreya tak pernah inginkan kematian untuk membalas sakit hatinya. Ia masih ingin anaknya merasakan figur seorang ayah.
Pemeriksaan kandungan pun Shreya urungkan. Ia memilih masuk ke ruang ICU dan segera menghubungi keluarga Alexander.Tiga puluh menit berselang, keluarga Alexander akhirnya tiba. Wajah Ibu mertua Shreya tampak amat cemas."Apa yang terjadi Aya?" tanyanya."Mas Alex kecelakaan, Bu, dan ... Mas Alex meninggal," ucap Shreya sambil terisak."Tidak mungkin!"Shreya menyaksikan sang mertua terduduk di lantai.Namun, tiba-tiba saja wanita paruh baya itu berdiri dan menghardiknya. "Ini pasti gara-gara kamu! Kamu memang pembawa sial. Perusahaan putraku bangkrut dan sekarang ... putra kesayanganku meninggal! Seharusnya, dulu aku tidak merestui kalian!"
Ucapan pedas dari putranya saja belum hilang, ditambah lagi mulut sang mertua yang membuat hati Shreya makin terhimpit rasa sakit.Ditunjuknya brankar di samping Alexander yang hanya terhalang tirai. "Bu, perusahaan itu bangkrut karena memang putra ibu tidak mampu membayar hutang kepada para Mafia," ucap Shreya membela diri, "Dan harus ibu tau ... Mas Alex selingkuh dan wanita yang meninggal itu adalah selingkuhannya."Plak!
Tamparan keras berhasil mendarat di pipi kiri Shreya.Shreya memegang pipinya seiring dengan napasnya yang memburu."Itu tidak mungkin! Pasti gara-gara kamu yang hamburkan uangnya. Dan apa tadi kamu bilang? Selingkuh? Wajar saja dia selingkuh! Toh kamu belum bisa kasih dia keturunan. Atau jangan-jangan ... kamu mandul? Hahahahaha ... kasian!"Shreya memejamkan matanya begitu mendengar hinaan sang mertua lagi.Namun, tanpa kata, ia memilih pergi dengan tangan yang masih memegang pipi.
Tiada guna dirinya berada di sana karena hanya menambah luka dan beban pikiran.
Jikalau saja Alexander masih hidup pun, tidak akan ia dianggap karena tidak ada lagi cinta untuk dirinya.Hanya saja, langkah Shreya terhenti saat melihat seorang gadis remaja meraung menangisi jasad wanita selingkuhan Alexander.Sungguh tangisan yang membuat pilu bagi siapa yang mendengar.
Shreya menarik napasnya dalam, sangat berat.
Tak terasa air mata pun kembali berderai. Namun, ada pemandangan aneh kala Shreya melihat sosok laki-laki di samping jasad si wanita tanpa raut sedih.
Mata mereka tak sengaja bertemu dan tiba-tiba saja ...Bruk!Shreya jatuh pingsan.Hari itu juga, Alexander dikebumikan. Namun, Shreya hanya bisa melihat prosesi pemakaman dari kejauhan setelah terbangun dari pingsan. Ini semua karena sang mertua enggan melihat dirinya.Anehnya, wanita itu mendadak bingung. Mengapa ia tidak merasakan sedih ketika peti jenazah Alexander dimasukan ke dalam liang lahat? "Kosongkan rumah anakku, wanita pembawa sial!"Satu hari setelah kepergian suaminya, mertua Shreya meminta mengosongkan rumah yang sudah ia tempati bersama Alexander. Dengan lantang, ia bahkan berkata bahwa tidak ada lagi hubungan mertua dan menantu lagi dengan Shreya. Padahal, rumah itu adalah hadiah perkawinan dari sang ayah. Akan tetapi, Shreya tidak ambil pusing. Saat ini, ia sudah lelah. Jadi, Shreya hanya mengangguk patuh dan menuju kamar mengemas barangnya, lalu pergi dari sana. Ia bertekad untuk menepati janjinya sebagai ibu yang tegar untuk janinnya. **** Dug! Perut Shreya tiba-tiba merasa sakit ketika merasakan sang bayi sudah menendang cukup keras--me
Aroma bedak bayi menyeruak di kamar bernuansa biru. Tangisan bayi yang menggema pun menambah suasana menjadi ramai pagi itu. Ya, Shreya melahirkan bayi laki-laki melalui operasi di usia kandungan delapan bulan setelah dilamar Felix. Kesedihan, luka hati, amarah, seketika menguap karena kehadiran bayi nan tampan itu. Namun, ada yang membuat Shreya heran, yakni kemiripan sang bayi dengan wajah Felix. Maklum, hampir setiap harinya Felix datang berkunjung membawakan sang bayi hadiah atau sekadar menggendong sampai usia sang bayi sekarang, lima bulan. Felix benar-benar menjelma menjadi sosok ayah untuk si bayi. Bahkan Shreya tak lagi canggung dan menganggap Felix sebagai kakak. Nathan Alexander, nama bayi Shreya. Pagi itu, Nathan kecil sudah tampil rapi. Saatnya, bayi tampan itu menjalani spa yang memang setiap bulan Shreya jadwalkan. Setelah berpamitan kepada Adelia dan Andreas, Shreya dan Nathan pergi ditemani oleh Felix. Ya, setiap bulannya Felix tidak pernah absen menemani Shreya
Menaiki taksi, akhirnya Shreya dan si kecil Nathan sudah tiba di rumah. Kedatangannya tanpa sosok Felix tentu saja menjadi tanya bagi Adelia. "Ke mana Felix?"Shreya menghela nafas lalu perlahan menceritakan apa yang terjadi. Tak lama, ia lalu berpamitan untuk menidurkan Nathan di kamar.Tok!Suara ketukan pada daun pintu mencuri perhatian Shreya. Rupanya Adelia yang masuk. Ia pun menyambut kedatangan sang ibu dengan senyum. "Kamu tidak merasa kasihan dengan Pricilla, Ay?" tanya Adelia tanpa basa-basi. "Sejujurnya kasihan. Tapi, entahlah, Bu, Aya belum ingin menikah lagi.""Tapi, putramu butuh seorang ayah, Ay.""Iya, Aya tau, Bu. Tapi, untuk saat ini Aya rasa tidak. Nathan masih kecil, belum mengerti juga sosok ayah. Kasih sayang dari Aya, kakek dan neneknya saja Aya rasa cukup."Adelia kembali angkat bicara. Wanita paruh baya itu lagi-lagi mengatakan jika putri Felix sangat membutuhkan sosok ibu. Usianya yang menginjak remaja rentan dengan pergaulan bebas. Felix menyerah dengan t
Pernikahan pun digelar setelah satu minggu Shreya menerima lamaran Felix. Di sini, di sebuah gereja keluarga Shreya dan Felix berada, termasuk Lorenza --ibu Felix, yang sengaja pulang dari luar negeri demi menyaksikan pernikahan kedua sang putra. Namun, tidak ada pesta resepsi sesuai permintaan Shreya.Gaun putih mewah membalut tubuh janda berbadan sintal yang tentu saja membuat penampilannya bertambah anggun dan seksi. Wanita berumur dua puluh delapan tahun itu berhasil mencuri perhatian semua yang hadir. Pun dengan Felix Henry, yang tampak gagah mengenakan tuxedo berwarna putih. Ini adalah kali kedua Shreya menikah, tetapi dadanya berdetak kencang seakan-akan itu adalah pernikahannya yang pertama. Shreya menarik napasnya dalam dan mengembuskan perlahan berusaha menghilangkan rasa grogi. Tidak ia pungkiri jika Felix sangat tampan. Senyum yang terukir di bibir pria di hadapannya itu seketika menghipnotis dirinya. Shreya memang tidak mencintai Felix, tetapi pernikahan yang dilaku
Nasi sudah menjadi bubur. Selebihnya Shreya harus mencari cara agar Pricilla suka kepadanya. Sepanjang perjalanan Shreya hanya diam. Pun dengan dua orang yang duduk di depan. Ia tahu, jika Felix tidak mungkin menjawab pertanyaan sang putri sementara ada dirinya.Mobil sudah terparkir tepat di halaman nan luas sebuah rumah mewah bernuansa putih. Felix bergegas turun dan membukakan pintu untuk Shreya. Pria itu mengambil alih Nathan yang ternyata tertidur. Shreya turun. "Ayok, Sayang!" ajaknya kepada Pricilla yang ternyata sedang menutup pintu. "Tante duluan aja!?" kata Pricilla yang terdengar dingin di telinga Shreya. Shreya menghela napas. Dari sikap dan cara Pricilla memanggil dirinya saja sudah bisa disimpulkan bahwa gadis itu belum menerima dirinya. Shreya tersenyum, kemudian berjalan cepat mengikuti langkah Felix. Rupanya sang suami memerintahkan seseorang agar mengeluarkan koper di bagasi. "Ayok, masuk," ajak Felix kepada Shreya. Felix membuka pintu. Tampak jelas perabot mewa
Shreya bergegas masuk ke kamarnya dan berdiri di samping box bayi. Ia harus berpura-pura bersikap biasa saja saat Felix masuk.Ceklek! Terdengar suara pintu terbuka."Jagoanku rewel?" tanya Felix. Shreya menoleh. "Tidak. Dia terbangun tadi, minta mimik," dalihnya. "Mas dari mana?"Felix duduk di tepi ranjang. Shreya melihat sang suami menghela napas. Wajah muramnya sangat jelas terlihat. Shreya turut duduk dan bertanya, "Ada apa? Sepertinya ada sesuatu yang Mas pikirkan. Kalau Mas percaya sama Aya, ceritalah."Felix menatapnya bahkan tangan Shreya turut ia genggam. "Mas serahkan dan percayakan Pricilla padamu. Pun dengan semua urusan rumah tangga."Felix beranjak. Ia mengambil sesuatu di laci nakas. Semua itu tak luput dari perhatian Shreya. Mata memanglah melihat ke arah Felix, tetapi pikiran terfokus kepada Pricilla. Mampukan ia menaklukan hati Pricilla? Paling tidak, ia bisa merubah Pricilla menjadi lebih baik lagi. Shreya akan mengesampingkan urusan hati. Ya, Shreya harus menjag
Sang kepala sekolah menjelaskan jika hari itu adalah bukan kali pertama pihak sekolah memanggil orang tua Pricilla. Tetapi, yang datang adalah seorang wanita yang dipanggil tante oleh Pricilla, sehingga pihak sekolah selalu kecewa karena sang tante selalu tidak menerima teguran prihal kenakalan Pricilla. "Pricilla banyak melanggar aturan sekolah, Bu. Selain sering bolos, Pricilla selalu memakai make-up. Itu tentu saja membuat siswi lain mengikuti. Bahkan pernah putri ibu memanjat tembok demi meninggalkan jam pelajaran dan pergi dengan anak SMA dengan pakaian minim yang ia ganti terlebih dahulu tentunya."Sungguh Shreya terkejut mendengar penjelasan dari kepala sekolah. Seketika kepalanya berdenyut. Entah ia harus memulai dari mana untuk merubah watak sang anak. "Jika sekali lagi Pricilla melanggar, maka dengan terpaksa dia di-DO dari sekolah ini, Bu, meskipun Pricilla anak dari Pak Felix, donatur tetap kami. Lebih baik kami kehilangan donatur daripada semua siswi di sini rusak karen
Waktu begitu terasa cepat berlalu menurut Shreya. Sampai langit gelap, otaknya tak luput dari Pricilla, Pricilla, dan Pricilla. Bak seorang prajurit yang akan berperang memikirkan taktik bagaimana esok ia menghadapi musuh.Tangisan Nathan berhasil membuyarkan lamunan Shreya. Lekas ia menghampiri box bayi, mengecek popok, kemudian menggendong sang bayi dan membawanya duduk di tepi ranjang. Shreya yang paham akan tangisan Nathan pun perlahan membuka kancing dan mengeluarkan benda kenyalnya. Bayi tampan itu tampak rakus menyedot puting sang ibu. Tangan Shreya dengan sayang mengusap kepala Nathan. "Kuat sekali kamu mimiknya, Nak," ucap Shreya, yang kemudian merubah posisi sang bayi agar menyusu di payudara sebelah lagi. Shreya mendongak sembari memegang punggung karena merasa pegal. Seketika matanya membulat sempurna karena di hadapannya Felix sudah berdiri. "Ya, Tuhan!" Shreya kaget. "Se-sejak kapan Mas berdiri di situ?" Shreya mencoba menutupi bagian dadanya itu. Felix berpaling muk
Mendengar itu Pricilla berjalan mundur. Tak hanya Pricilla yang merasa kecewa, tetapi juga semua keluarga terlebih-lebih Shreya. "Tunggu!" titah Nathalie, membuat Pricilla menghentikan langkah. "Aku belum selesai bicara!" tukas Nathalie. Pricilla mencoba tersenyum walau bulir bening hampir saja menetes. "Ah, apa itu, Dek?""Sayangnya, tidak mungkin jika Liki tidak memaafkan Kakak.""Jadi, Adek maafin Kakak? Serius?"Nathalie mengangguk. "Iya, dua rius malah!"Nathalie memeluk Pricilla erat. Kata maaf terlontar dari mulut keduanya. "Makasih udah siapin ini untukku, Kak. Seandainya Kakak gak bikin pesta ini pun Adek pasti maafin Kakak, kok. Tapi, waktunya aja yang lama. Hehehe ...," ujar Nathalie dengan polosnya. Pricilla melerai pelukan. "Yaaah ... kalo gitu rugi, dong, Kakak bikin pesta ini!""Iiih, si Kakak, ya, gak, lah. Kan, aku seneng."Pricilla mengatakan jika semua ide datangnya dari Shreya. Mulai dari konsep, kostum dan lainnya. Sedangkan dirinya hanya pendanaan saja. Itu
"Ini tolong susunnya yang betul, ya?""Masakan sama kuenya udah aman, kan?""Coba yang itu, tolong kursinya tata yang rapi!"Itulah Pricilla saat dirinya disibukkan dengan acara yang ia persembahkan untuk Nathalie. "Sayang, istirahat dulu. Acaranya, kan, nanti malam. Kamu sampe lewatin makan siang, loh!" kata Jody. "Nanti saja, Kak. Aku mau mastiin acara ini bener-bener terselenggara mewah dan sempurna!""Gak, gak, bisa! Pokoknya kamu harus makan dulu. Kalo kamu sakit gimana?"Pricilla hanya diam. "Kakak gak mau, ya, gara-gara ini kamu sakit!" lanjut Jody. Akhirnya Pricilla menyerah. Ia memakan makanan yang Jody bawa. Semua tak luput dari pengawasan Jody. Pricilla yang sebenarnya sudah merasa kenyang pun mau tidak mau melahap semuanya. "Haaah, selesai. Kenyang banget, Kak."Jody tersenyum. "Bagus!""Kalo gitu, sekarang antar aku ke butik."Jody menepuk kening. "Istirahat, Yang! Malah ke butik."Pricilla hanya tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. "Sekalian
Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu juga Nathalie tidak memberi Pricilla kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya."Ma, hari ini Lili izin menginap lagi di rumah Nela, ya?" kata Nathalie. Perkataan Nathalie mencuri perhatian Felix, Lorenza, Jody dan Pricilla yang sedang sama-sama menikmati sarapan. Shreya menggeleng. "Tidak boleh?""Loh, kenapa?"Shreya menyimpan sendoknya. "Mama mau kalau weekend kita semua kumpul. Kita gunakan waktu senggang untuk bercengkrama.""Abang gak ada, gak asyik!" ucap Nathalie cepat. "Kan, ada Kakakmu. Mumpung dia menginap di sini," balas Shreya. Nathalie hanya menunduk dan mengaduk sup yang ada di mangkuk saja. Sikap Nathalie tak luput dari pandangan Pricilla. "Ma, nanti sore kita pulang," kata Pricilla. "Loh, katanya mau seminggu lagi di sini."Pricilla tersenyum. "Maaf, semalam lupa kasih tau Mama. Kakak kasian sama Kak Jody bulak-balik kantornya jauh."Embusan napas kasar yang terkesan lega terdengar dari mulut Nathalie. Remaja itu berd
Di sekolah, mood Nathalie belum seutuhnya kembali sampai-sampai apa yang guru jelaskan di depan kelas tak sepenuhnya ia dengar. "Lili, coba jelaskan kembali apa yang Ibu terangkan barusan!"Nathalie terkesiap. "Sa-saya, Bu?""Iya, kamu!"Nathalie tersenyum canggung. "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi tidak fokus.""Sekali lagi kamu tidak perhatikan, silakan ke luar kelas! Mengerti?!""Ba-baik, Bu."Guru tersebut kembali mengulang menjelaskan. Beruntung, Nathalie bisa kembali fokus dan mampu menjawab semua pertanyaan yang guru tersebut ajukan. Bel istirahat diperdengarkan. "Kenapa lu?" tanya Nela --teman Nathalie. "Tumben amat lu lemot.""Lagi bete gue, La.""Cerita di kantin, yuk! Laper, nih!" Setelah mengambil ponsel di masing-masing loker, keduanya ke kantin. Baru saja tiba di kantin, ponsel Pricilla berdering pertanda satu panggilan masuk. Kak Cilla, nama yang tertera di layar ponsel. Rasa benci yang masih menggelayut membuat Nathalie menolak panggilan. "Lu mau makan apa?" tanya Nela
Di apartemen. Ada Pricilla yang sedang sibuk menyiapkan keperluan Jody untuk bekerja. "Sayang, maaf, ya? Kakak harus kerja hari ini," ucap Jody. Pricilla yang sedang memilih dan memilah kemeja pun menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku yang harus berterimakasih sama Kakak atas waktunya. Hampir satu minggu Kakak temani aku.""Iya, Sama-sama, Sayang."Sebelum berangkat ke kantor, Pricilla meminta Jody agar mengantarnya ke rumah Shreya. Setelah menikmati sarapan keduanya pergi. *"Kak, sebelum ke rumah mama, antar aku ke toko kue Nenek Melani," pinta Pricilla. "Buat oleh-oleh?"Pricilla menggeleng. "Lalu?"Rupanya Pricilla ingin meminta maaf kepada Melani atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat. Jody tersenyum mendengar itu. Tiba di toko kue, rupanya Melani yang menyambut. "Wah, ada ka--""Nenek!" Pricilla memeluk Melani membuat wanita tua itu tercengang. "Maafin aku, ya, Nek? Maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat."Melani tersenyum dan membalas pelukan. Diusapnya rambu
Mata Jody perlahan terbuka. Senyumnya mengambang melihat Pricilla yang tidur sembari memeluknya tanpa sehelai benangpun. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh malam. Rasa lelah yang meraja rupanya membuat mereka tidur sangat pulas. Maklum saja, pergulatan siang tadi berlangsung berjam-jam.Pricilla menggeliat. Perlahan mata indahnya terbuka. Cup! Jody mengecup pucuk kepala Pricilla. Pricilla mendongak. "Eh, Kakak udah bangun?""He'em, dari tadi."Pricilla hendak bangun. Namun, ia urungkan saat menyadari tubuhnya polos. Wanita itu memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jody. "Ih, malu," cicit Pricilla. Jody tersenyum. Sembari mengeratkan pelukan, ia bertanya, "Malu kenapa, sih, Yang? Toh, Kakak udah liat semuanya."Plak! Pricilla memukul dada Jody. "Gak usah disebutin juga, Kak, ih!""Sakit, Yaaang!" Jody mengusap-usap dadanya yang dipukul. Pricilla yang tak enak hati tentu saja meminta maaf sembari turut mengusap
Sembari menangis Pricilla berjongkok membantu Jody berdiri. Beruntung, Jody hanya mengalami lecet di tangan saja karena mobil Dio menabrak gerobak seorang pedagang yang turut menyebrang. Jody terjatuh tertimpa gerobak. Ramai orang berkerumun, bahkan sebagian dari mereka memecahkan kaca mobil Dio. "Turun, anj*ng!""Udah tau jalanan ramai, malah ngebut!""Ganti rugi!"Banyak dari mereka yang turut menghujat. Dio pun turun. Tak ada rasa sesal darinya. Ia menatap tajam ke arah Jody dan Pricilla. Bugh!Bugh! Bogem mentah Dio dapatkan dari beberapa orang. Ia pun terkapar. "Hentikan!" seru Jody. "Dia sodara saya! Untuk kerusakan, biar saya yang ganti," lanjut Jody. Orang-orang pun membubarkan diri. "Sayang, tunggu di sini," ucap Jody kepada Pricilla. Pricilla mengangguk, Jody pun berlari menuju mobilnya. Tidak lama berselang, Jody kembali dengan membawa selembar cek. Tertulis nominal sebesar lima puluh juta. "Segini cukup untuk mengganti rugi gerobak dan dagangan Bapak?" tanya Jo
Jody memaksa Pricilla pergi dari rumah Dio. Meninggalkan Lira yang menangis karena tak tahu siapa mamanya. "Kenapa diam?" tanya Jody di balik kemudi. "Kakak keterlaluan!""Apanya yang keterlaluan?""Aku gak habis pikir kalo Kakak picik."Jody tersenyum samar. "Picik lawan picik. Itu!""Kak Dio gak picik, tuh!" ujar Pricilla sembari mendelik. "Bela aja terusss!""Apa Kakak gak kasihan sama Lira tadi?"Jody hanya tersenyum sarkas menanggapi pertanyaan Pricilla. Pricilla diam. Pun dengan Jody. Jody memilih fokus menyetir dan akan bicara empat mata dengan Pricilla di rumah saja.Lima menit lagi mereka akan sampai di apartemen milik Jody. Namun, tiba-tiba saja Pricilla berkata, "Aku mau pulang ke apartemenku!""Sebentar lagi kita sampe, Yang.""Kalau begitu Kakak turun dan biarkan aku pulang sendiri!"Jody menghela napas. Ia memutar balik mobil yang dikendarai. Tidak masalah memang, hanya saja ke apartemen milik Pricilla cukup jauh belum lagi jalanan yang sudah mulai macet. Kapan merek
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan