"Tunggu, Mosa!" teriak Roni.Tetapi Mosa tidak menoleh. Ia terus berjalan hingga ke parkiran agar tidak bertemu dengan Roni lagi. Tetapi Andre menghentikan langkah dan kemudian menunggu Roni."Untuk apa, Dre?" tanya Mosa."Sebentar!" sahut Andre. Roni sampai di hadapan Andre."Ron, kamu apa kabar?" tanya Andre."Eh, kamu teman yang busuk, ya, Dre. Kamu sudah menikmati tubuh Mosa ku yang cantik ini," sahut Roni. Andre menghela nafas. "Mosa sudah menjadi istriku, Ron. Aku harap kamu bisa menerima itu. Waktu kamu di penjara sudah bisa membuat kamu sadar jika aku dan Mosa sudah menikah. Dan semoga kamu bisa menemukan istri yang baru, Ron," sahut Andre lalu menepuk bahu Roni.Roni justru menarik dan mengibaskan tangan Andre. "Nggak usah sok peduli kamu! Aku nggak sudi lagi untuk berteman denganmu,'' dengusnya. "Ron, kamu sadarlah apa yang kamu lakukan! Jangan bertindak yang melewati batas! Kamu itu masih bisa mencari perempuan yang lebih baik dari sebelumnya. Tetapi tidak Mosa. Karena M
Andre bergeming. Apa yang diucapkan istrinya itu memang benar. "Ya sudah, sekarang kamu yang tenang dulu, ya! Kata dokter tadi kan kamu harus banyak bersabar," ucapnya."Oh ya, bagaimana tadi ke dokternya? Ibu jadi lupa mau bertanya karena cerita Roni," tanya Mina."Syukurlah tidak apa-apa, Bu. Kami sama-sama sehat, hanya saja memang Tuhan belum mengizinkan untuk kami memiliki momongan," jawab Andre."Ya sudah, syukurlah kalau begitu. Lebih baik kalian istirahat saja dulu! Kalian pasti lelah," tutur Mina.Mosa dan Andre menuju ke kamar. Mosa langsung merebahkan dirinya di atas kasur. Memikirkan banyak sekali yang ada di hadapannya. Roni yang seperti gila membuat Mosa merasa takut akan diganggu oleh Roni. Terlebih Andre. Apalagi status Roni adalah mantan pembunuh. Dirinya takut akan mengancam keselamatan suaminya. Melihat Roni dengan tatapan kebencian saat melihat Andre membuat Mosa begitu khawatir. Beberapa kali Mosa menghela nafas kasar, dan hal itu disadari oleh Andre. Andre kemud
"Sekarang kamu tenang saja dulu, Mosa! Semua itu adalah di tangan Tuhan. Jadi kamu jangan terlampau khawatir! Takutnya apa yang kamu takutkan malah bisa terjadi," ucap Raisa sembari menepuk lengan Mosa."Kemarin Andre juga berkata seperti itu. Apa aku keterlaluan, ya?" tanya Mosa."Iya. Kamu bersikap seperti biasa saja! Kamu juga harus bisa tenang! Andre pasti bisa menjaga diri. Dan dia nggak mau kamu terlalu khawatir, jadi pikiranmu jangan aneh-aneh!" tutur Raisa."Iya. Terima kasih, Raisa. Nanti aku akan meminta maaf kepada Andre. Aku jadi merasa bersalah sama dia," sahut Mosa.Mereka pun kembali ke ruang guru untuk segera menyiapkan untuk mengajar.Sepulang dari sekolah, kebetulan hari ini Mosa dan Andre akan pulang ke rumah Andre. Andre sudah menunggu di ruang tunggu. Mosa menghampirinya. "Sudah datang, ya?" tanya Mosa santai, ia memberikan senyum kepada Andre.Andre membalas senyum. Perasaannya lega karena Mosa sudah bisa tersenyum. "Iya, sudah. Kita balik Sekarang?" tanyanya."
Setelah Mosa membersihkan piring, ia segera menuju ke kamar untuk menghampiri Andre."Kamu masih capek?" tanya Mosa."Iya. Sini! Duduk di sampingku aja!" titah Andre."Aku pijitin sini!" Mosa menarik tangan Andre.Andre menarik kembali tangannya lalu merangkul Mosa. "Nggak usah, Mosaku! Aku duduk di samping kamu begini rasanya lelahku hilang. Ngomong-ngomong kamu nggak ingin tinggal di rumah kita?" tanyanya."Enggak dulu deh, aku merasa nggak nyaman kalau banyak yang tanya belum punya anak. Lebih enak begini," jawab Mosa merasa murung. "Dengarkan aku, Mosa!" Andre menatap wajah Mosa begitu dekat, "Aku tidak pernah menyalahkan kamu karena kita belum punya anak. Karena itu bukan kuasa kita. Apalagi kemarin dokter juga bilang kalau kita sama-sama sehat, hanya saja memang Tuhan belum memberi kepercayaan sama kita. Kamu tadi juga bilang begitu, kan?" "Iya. Aku juga ngerti, tapi setiap ada pertanyaan aku kok belum hamil atau kok belum punya anak rasanya itu menyakitkan. Aku berusaha sabar
Sejak menikah dengan Andre, berat badan Mosa bertambah. Ia merasa bahagia dan banyak makan. Sehingga ia tidak menyadari jika pertambahan berat badannya meningkat.Meskipun begitu Andre terus mencintai Mosa. Keadaan susah maupun senang, Andre setia menemani Mosa dengan berbagai kado yang diberikan kepada Mosa.Apalagi saat ini Andre bekerja cukup mapan dengan penghasilan yang lumayan. Andre sebenarnya ingin melanjutkan kuliahnya agar bisa naik jabatan di kantornya. Tetapi untuk hal itu Andre masih ingin mendiskusikan dengan Mosa.Esok harinya setelah pulang bekerja, Andre sudah selesai makan malam bersama Mosa. Mereka duduk di ruang keluarga sembari ingin membicarakan masalah rencana melanjutkan pendidikan. "Mosa, aku ingin ngobrol sama kamu," tutur Andre."Ngobrolin apa sih?" balas Mosa."Sebenarnya aku direkomendasikan oleh atasan ku untuk kuliah magister. Bagaimana menurut kamu?" tanya Andre."Wah, bagus itu. Aku mendukung kamu untuk bisa melanjutkan pendidikan. Rencana mau dimana?
"Jangan begitu! Aku ini orang biasa saja. Kamu yang hebat, Dre, bisa disekolahkan sama kantor. Ke luar negeri lagi. Jujur aku bangga banget punya suami kamu," kata Mosa."Aku jauh lebih bangga sama kamu. Karena kamu bisa mendampingi aku sejauh ini," sahut Andre."Ini ada kok saling puji begini? Ayah jadi penasaran," tanya Ayah Andre yang kebetulan mendengar percakapan Mosa dan Andre."Ayah duduk sini, deh! Kami mau ngomong," ajak Andre.Ayah Andre kemudian duduk di samping Andre."Jadi, aku dan Mosa barusan sudah sepakat untuk aku melanjutkan pendidikan, Yah. … " Andre menceritakan rencananya. "Wah, bagus itu. Nanti Mosa tinggal ajukan resign. Nanti Ayah akan mencari penggantimu, Mosa. Kamu harus mendampingi Andre, ya? Sampai selesai," sahut Ayah Andre."Iya, Yah. Aku juga senang banget punya kesempatan untuk bisa menemani Andre kuliah di sana. Belum berangkat sudah membayangkan aku tinggal di sana. Hehe." Mosa terkekeh. Begitu juga dengan Andre dan Ayahnya."Iya. Ayah juga nggak men
Selama perjalanan pulang dari kantor Andre, Mosa merasa murung. Ia memikirkan perkataan Bos Andre. Beban yang diberikan kepada suaminya cukup besar. Dan justru dirinya merasa senang akan berangkat ke Belanda.Sepanjang perjalanan Mosa hanya diam. Beberapa kali Andre melirik dari kaca spion. Andre tetap membiarkan Mosa dalam diamnya. Mosa sampai tidak menyadari jika Andre mengantar Mosa ke rumah ibunya."Loh, kok kemari?" tanya Mosa setelah turun dari motornya. "Iya. Kamu di sini saja dulu, daripada kamu sendirian di rumah. Nanti kalau aku pulang aku jemput kamu," jawab Andre. "Dre, kamu beneran mau berangkat untuk mengambil beasiswa itu?'' tanya Mosa.Andre tahu jika Mosa menyimpan pertanyaan. Dan menunggu waktu yang tepat untuk menjawab."Kita masuk dulu sebentar, yuk!" ajak Andre.Di teras rumah Mosa, Andre mengajak Mosa untuk duduk."Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu? Kamu kan mendukung aku untuk berangkat. Jadi aku mantap untuk berangkat," jawab Andre."Aku merasa tang
Mina menghela nafas panjang. "Kamu dan Andre coba yang memikirkan kembali," tuturnya, lalu bangkit menuju kamar dan meninggalkan Mosa sendiri.Mosa merasa sedih karena tidak mendapatkan restu dari ibunya. Ia menyalakan televisi agar mengusir kesepian. Perasaannya pun bingung, apakah maju atau mundur. Restu ibu dirasa penting karena tanpa restunya bisa jadi penghalang untuk berangkat. Sepanjang hari di rumah Mosa hanya berdiam dengan ibunya. Meskipun oleh Mina disiapkan makanan tetapi masih saja Mina enggan berbicara dengan Mosa.Sampai Andre datang menjemput, Mina masih terdiam. Mosa kemudian menyampaikan kepada Andre. Andre pun menanggapi dengan meminta berbicara dengan Mina. "Maaf, Bu. Apa yang menjadi beban ibu yang akhirnya tidak merestui keberangkatan kami?" tanya Andre.Mina menoleh, "Belanda itu jauh, Dre. Di sana tidak ada siapa pun yang kalian kenal. Kalau di sini mungkin di Indonesia saja mudah aksesnya kalau misal ada apa-apa. Kalau di Belanda, di negeri orang kalian bag