Tadinya Eleanora sudah merasa nyaman di kota ini dan tidak berniat kembali jika Devan mengajak. Malah rencananya Eleanora akan membujuk Devan untuk tinggal saja di kota itu. Namun rencana tinggal rencana, karena semua tergantung keputusan Tuhan, mengizinkan atau tidak.Sekarang Eleanora dan Devan sedang mengemasi pakaian mereka dan kembali ke kota sebelumnya di mana rumah mereka sebenarnya berada. Lagipula mereka masih menjadi warga kota itu."Kamu jadi ikut?" tanya Eleanora pada Keenan melalui sambungan telepon."Iya," jawab Keenan agak lama.Setelah itu Eleanora memutuskan sambungan teleponnya tanpa berucap apa-apa lagi.Eleanora sudah selesai mengemasi barang-barangnya yang perlu dibawa, sementara itu Devan di kamar Vanela kesulitan memilah mana yang harus dibawa mana yang boleh ditinggal. Eleanora menghampiri dan membantu.Lalu setelah semuanya selesai, Eleanora menggendong Vanela yang tertidur dan Devan menarik koper-koper mereka menuju rumah Keenan. Di sana, Keenan dan Zia sudah
"Di mana Devan?"Arah pandang Eleanora mengikuti Keenan yang baru masuk dan ikut duduk di depannya. Ia mendorong sate ayam di atas meja untuk lebih dekat dengan Keenan, bermaksud menawarkan."Lagi temani Vanela tidur."Keenan mengangguk. "Apa rencanamu sekarang?""Cari Papa, tapi semua nomor yang pernah Papa pakai menghubungi Devan sudah tidak aktif." Eleanora mengambil sate di piring berbeda dari yang ia tawarkan untuk Keenan, yang ia ambil ini sate kambing, kesukaannya. "Hubungi Papa ya, bagaimanapun caranya. Bilang aku tunggu di sini."Selain ingin meminta membalas dendam pada bibinya Devan, Eleanora ingin Diego Lim datang menemuinya untuk meminta maaf. Walau ia sudah berjanji akan memaafkan ayahnya, tapi ia ingin ayahnya menemuinya langsung dan minta maaf.Sementara itu Keenan tersenyum mendengar kata "Papa" keluar dari mulut Eleanora untuk Diego Lim, menandakan Eleanora berusaha menepati janji. "Oke, nomor Gilang dan Deka masih aktif, kami masih saling bertukar kabar."Mata Elean
Eleanora tidak pernah membayangkan kalau perasaannya akan terasa ringan setelah mengobrol dengan Diego Lim. Sejak dulu tiap kali berbicara dengan ayahnya itu dada Eleanora terasa berat dan sesak, Eleanora benci. Itulah mengapa ia tidak suka berhadapan dan berbicara lama-lama dengan ayahnya. Namun, hari ini perasaan sesak yang biasa ia rasakan tidak terlalu berat."El, Eleanora!"Eleanora terkejut, gedoran dan usaha pintu membuka pintu membuatnya sadar dari lamunan. Ia langsung membukakan pintu, sebab suara yang ia dengar bukan lagi suara Diego Lim melainkan suara Devan, suaminya."Kamu ini, kenapa tidak kasih masuk Papa?" Devan tampak kecewa dengan perbuatan Eleanora yang tidak mempersilakan ayahnya masuk. "Ayo masuk, Pa!""Halo Tuan Putri!"Eleanora menoleh mendengar sapaan yang terdengar gembira itu. Dan mendapati Gilang dan Deka cengar-cengir melihatnya, entah apa yang membuat mereka sebahagia itu."Segitu senangnya kalian bisa keluar markas?" tanya Eleanora heran. Eleanora melipat
"Vanela tidak boleh begitu, Sayang! Tidak boleh kasar bicara sama orang tua.""Tapi Opa jahat, Papa! Kata Mama, kita tidak boleh baik sama orang jahat."Devan menahan geramannya agar tidak keluar. Selalu "kata mama" yang keluar dari mulut Vanela, Devan gemas, Eleanora terlalu mendominasi untuk hal baik dan tidak baik."Kalau ada kakek-kakek yang tidak kamu suka, Nela akan bagaimana? Apakah kamu akan bicara tidak sopan juga?""Tentu saja tidak, Papa. Kita harus memperlakukan orang tua dengan baik."Devan menghela napas, anaknya tahu banyak. "Opa juga orang tua.""Kata Mama, kecuali Opa—" Vanela menggeleng, "kecuali Diego Lim. Karena Papa suruh panggil opa, aku panggil opa."Devan tersenyum kecil, berusaha memaklumi. Kemudian ia memeluk dan mencium anaknya. Sekarang mereka hanya berdua di dalam rumah.Sedang Eleanora mengantar Diego Lim ke depan untuk pulang, atas suruhan Devan."Kamu membuat Vanela jadi anak yang berani."Eleanora menggeleng. "Belum seberani itu untuk membunuhmu."Dieg
Sebulan berlalu, tidak terasa Eleanora menunggu kabar dari Diego Lim dengan sabar. Ia hanya bisa menggerutu karena tidak bisa apa-apa. Ia menyesal telah meminta ayahnya untuk membalas si nenek lampir, karena ia merasa Devan telah merevisi rencana kejam Diego Lim menjadi lebih lembut."Arrgh." Entah mengapa memikirkan itu membuat Eleanora sangat kesal. Kalau begini kan tangannya memang tidak kotor, tapi hatinya kotor, bukankah sama saja? Harusnya ia turun tangan sendiri.Eleanora sedang berada di masa pra menstruasi, di mana ia merasa semuanya tampak menyebalkan. Sehingga ia memutuskan di rumah saja beberapa hari ini. Sementara Devan dan Vanela terus jalan-jalan entah ke mana setiap harinya, pergi pagi pulang malam.Tiba-tiba suara mobil terdengar terparkir di depan rumahnya. Dari suaranya, mobil iti jelas bukan pumya Devan, akhirnya Eleanora keluar dengan kesal.Sebuah mobil box terparkir di depan rumahnya, lalu supirnya datang menghampirinya dan memberikan sebuah surat yang cukup t
"Aku nggak bisa terima ini, El!" Zia menarik kotak itu dari pangkuan Keenan, lalu mendorongkannya kembali pada Eleanora. "Bukan hanya karena nominalnya yang terlampau besar, tapi juga karena ini adalah pemberian ayahmu."Eleanora tersenyum kemudian berdiri dan masuk ke kamar Vanela. Lalu kembali dengan dua kotak ukuran sama, Eleanora meletakkannya lalu kembali masuk lagi, dan datang lagi dengan dua kotak ukuran yang lebih besar. Hanya bedanya satu masih terbungkus, yang satunya sudah terbuka.Eleanora membuka kotak yang terbuka dari pelapisnya. Ia memperlihatkannya pada Zia, tapi Devan dan Keenan ikut melihat. Mereka semua berdecak kagum. Ada lima kilogram emas batangan di dalam sana."Hadiah ulang tahunku yang kelima. Aku rasa dia korupsi uang kelompoknya.""Jadi semuanya emas sesuai umurmu?" Zia menatap lama emas yang tadi ingin Eleanora berikan padanya.Eleanora mengangguk. "Aku rasa begitu, tapi hanya sampai usia lima tahun." Eleanora menepuk-nepuk kotak hadiahnya yang masih terbu
"Kamu harus kembali tinggal di sini!"Kening Devan mengerut menatap wajah ibunya yang ada di sisi kanan atas di layar ponselnya. Saat ini mereka tengah melakukan panggilan video bersama dua kakak Devan yang lain."Kenapa harus pindah lagi, Bu? Di sini saya sudah nyaman, sudah ada usaha juga.""Nyaman kamu kena musibah terus?""Hanya tidak beruntung saja, Bu.""Di sini kamu tidak pernah celaka, tapi di sana? Hitung berapa kali kamu kecelakaan mobil dan motor selama Eleanora tidak ada. Itu yang kamu bilang tidak beruntung?”Eleanora yang sedang memegangkan ponselnya melotot, spontan Eleanora memukul paha Devan. Ia tidak pernah mendengar itu sama sekali, tidak ada yang memberitahunya kalau Devan pernah beberapa kali kecelakaan saat tidak bersamanya.Devan menghela napas, ia menggenggam erat tangan Eleanora, agar tidak memukulnya lagi, tenaga Eleanora kuat, suka lepas kontrol memukulnya hingga nyeri sampai tulang."Kecelakaan mobil itu karena saya belum mahir, Bu. Jadi, wajar.""Kalau mot
"Gila!" Devan berdecak melihat baliho iklan perumahan di depannya. Angka 750 juta tercetak besar di sana dan di dahului dengan kata mulai. Membuat Devan semakin tercengang. Ia tidak tahu kalau harga rumah sebesar itu. "Mas, mahal sekali," bisiknya pada Laki yang sedang mengobrol dengan temannya yang entah menjadi apa di proyek perumahan itu.Saat ini Devan dan Laki sudah berada di kantor pemasaran perusahaan elit yang Laki bicarakan tempo hari. Walaupun pembangunannya di seberang jalan sana baru 50%, tapi setelah melihat maket perumahan di depannya, perumahan itu benar-benar layak dikatakan perumahan elit. Yaaa setidaknya di Sulawesi Tenggara termasuk yang paling bagus.Devan dikasih brosurnya, mengenai harga, fasilitas denah rumah, juga tentang DP dan cicilan. Devan benar-benar meringis melihat harganya. Memang rumahnya besar dan bagus, tapi untuk membelinya Devan merasa belum mampu. Lagi pula untuk apa dia punya rumah besar-besar, repot ngurusnya."Yang tipe 36 sudah habis ya?" Deva
"Assalamu'alaikum, Papa Mama," sapanya pura-pura mengantuk seakan baru bangun tidur, layar ponselnya ia dekatkan ke wajah agar pemandangan di belakangnya tidak terlihat. "Tidak usah pura-pura, Mama tahu kamu masih di jalan! Kenapa baru pulang jam segini?" Vanela menjauhkan ponselnya seiring suara Eleanora yang semakin nyaring. "Papa, Mama marah-marah." Bukannya menjawab, Vanela malah mengaduh pada Devan. Namun kali ini Devan tidak akan membelanya. "Kamu memang harus dimarahi. Kenapa baru pulang?" Suara dan tatapan Devan tampak tegas, tanda Vanela harus segera menjawab dengan benar, tidak bisa bermanja lagi. Vanela menunjukan lembar soal yang sejak tadi dipangkuannya. "Keasyikan ngerjain ini, lupa kalau nggak lagi di rumah." "Apa itu?" "Soal matematika untuk lomba tingkat SMA." "Papa tidak tahu kalau kamu ikut-ikut yang seperti itu." Memang selama ini Vanela selalu pulang tepat waktu dan bahkan saat jadwal kuliahnya tinggal dua jam lagi, Vanela menyempatkan pulang untuk sekadar b
Beberapa tahun lagi mamanya akan kepala empat menyusul ayahnya, pasti akan sulit untuk hamil diusia seperti itu. Dan Vanela menyesal sudah mengatakan permintaannya itu, harusnya ia lebih memikirkan orang tuanya ketimbang diri sendiri.Hari ini Vanela memulai perkuliahannya lagi. Selama masa kuliah, Vanela tidak lagi pergi bersama Baruna. Bukan karena jadwal kuliah yang berbeda, melainkan karena Baruna tidak berkuliah di universitas yang sama dengan Vanela. Vanela tetap tinggal di Kota Kendari agar selalu dengan orang tuanya dan berkuliah di universitas Halu Oleo dengan mengambil jurusan yang sekiranya santai.Vanela tidak peduli dengan jurusan kuliah yang dia ambil. Yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya ia menyelesaikan kuliahnya tanpa terlalu banyak membuat waktu di kampus. Sehingga Vanela benar-benar menjadi anak kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang. Kendati demikian, Vanela masih memiliki teman walau tidak akrab.Pukul sebelas siang ketika Vanela baru pulang dari kampus, har
Sudah sejak pertengahan SMP Devan tinggal jauh dari orang tua, tapi setidaknya ia tinggal bersama kakaknya yang jauh sudah dewasa. Kepindahannya kala itu karena ingin bersekolah di kota yang katanya pendidikan lebih bagus. Karena mendukung anaknya, orang tua Devan menyetujui. Kehidupan sekolah Devan lancar-lancar saja, ia tidak pernah di bully atau merasakan stres yang luar biasa menggangguk.Kemudian sewaktu awal masuk kuliah, Devan memutuskan hal yang besar, yaitu tinggal sendiri, mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dengan tinggal di tempat kos-kosan. Hari-hari tenangnya mulai hilang, kegiatan kampus juga uang bulanan mulai memeras is kepalanya. Beberapa bulan pertama kehidupan Devan di kos-kosan terasa sangat berat baginya.Devan yang tadinya tidak perlu memikirkan uang saku habis, tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya, kini harus memikirkan semuanya. Karena sudah tidak ada lagi kakaknya yang baik hati yang tidak pernah memperhitungkan uangnya dipakai Devan.Uang yang Laki
Tidak disangka ujian kelulusan sebentar lagi, kurang dari dua minggu lagi, tapi Vanela tidak pernah belajar. Ia lebih sering latihan bersama Yudi dan pengawal yang lain ketimbang membuka buku pelajaranBanyak yang mengira kalau setelah Vanela berhijab gadis itu akan berubah jadi lembut seperti yang terlihat jelas diwajahnya. Namun sayang hal itu hanya harapan semata. Nyatanya Vanela masih suka sadis, apalagi saat sedang kesal. Gadis itu belum bisa yang satu itu.Beberapa kali saat emosi, Vanela menggunakan salah satu pengawal untuk menjadi tempatnya menaruh objek sasaran saat olahraga lempar pisau atau panahan. Seperti saat ini. Tadi Vanela secara random memanggil salah satu pengawal yang sedang duduk asyik sembari merokok. Pengawal itu tadinya tenang-tenang saja sampai di ajak ke tempat latihan, ia langsung panas dingin.Ketika Eleanora sudah bersiap menarik busurnya, tiba-tiba Keenan datang."Diego Lim datang," bisik Keenan yang langsung dibalas lirikan oleh Vanela."Cukup kasih tah
"Papa, Nela kangen," lirih Vanela sembari mengelap tubuh ayahnya. Padahal ia tahu sudah ada yang bertugas menjaga dan merawat orang tuanya, tapi ia tetap ingin berbakti meski sedikit."Nela."Vanela menoleh. Zia datang dengan membawakan makanan untuknya. Vanela menyudahi menyeka tubuh Devan, ia menghampiri Zia yang menata makanannya di meja."Padahal Tante nggak usah repot-repot antar ke sini. Aku kan bisa ambil makan sendiri." Vanela duduk di samping Zia. Ia mengambil air putih yang Zia siapkan, menghabiskannya hingga nyaris tandas."Kapan? Nanti malam?"Vanela tertawa kecil. Zia sudah mengenal Vanela dari kecil. Zia sudah hapal dengan kelakuan Vanela yang kalau sudah masuk ke ruang perawatan orang tuanya ini susah keluar lagi. Kecuali ada buku pelajarannya yang harus dia ambil."Kamu sudah kelas tiga, apa tidak lebih nyaman belajar di kamar?""Iya ini belajar di kamar kan?" Vanela tersenyum menbuat Zia merasa gemas.Padahal maksud Zia, Zia ingin Vanela punya kehidupan lain selain di
"Sayang! Kamu bikin apa?" Devan melongok dari semak-semak, melihat Eleanora memetik bunga. "Kenapa kamu petik?" Devan menyayangkan tindakan Eleanora."Bunga-bunganya sudah jelek. Kalau mau tumbuh bunga bunga baru yang segar, bunga yang lama harus disingkirkan. Begitu juga kehidupan Vanela."Vanela terkejut namanya dipanggil ia kira ia sedang bermimpi sekarang, tapi mimpinya cukup indah karena orangnya sadar akan kehadiarannya."Kamu harus membuang kenangan, agar hidupmu terus berjalan."Tiba-tiba pemandangan orang tuanya yang sedang ditaman bunga kini berganti menjadi pemandangan yang setipa hari ini lihat, orang tuanya terbaring tak berdaya dengan tak sadarkan diri.Lalu tiba-tiba lagi pemadangan itu hilang tergantikan ruang putih yang kosong. Vanela berlari ke tempat orang tuanya tadi berada, tapi sepanjang berlari ia hanya menemukan ruang putih yang terasa hampa."Maamaaaa! Papaaaaaaa!" Vanela berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokannya habis. Sampai ia terbangun seketika dari ti
"Jadi bagaimana, Mas? Apa perlu kita mengirim orang untuk mengecek ke sana?""Jangan, jangan." Keenan menggeleng, tidak menyutujui saran Yudi. "Lebih baik jangan, terlalu berbahaya. Kita tidak tahu situasi di sana seperti apa. Jangan sampai masih ada yang berusaha untuk masuk, atau mungkin lebih parah, kita tidak tahu. Saya tidak mau kalian kenapa-kenapa."Keenan menarik napas sejenak, ia menatap teman-temannya satu persatu. Tidak semua berada di dalam ruangan itu karena beberapa harus tetap berjaga di luar, tapi masing masing dari mereka bisa mendengar percakapan ini dan juga bisa mengutarakan pendapat."Dengar, kalian semua yang ada di sini adalah orang orang yang dipilih langsung oleh Tuan, itu tandanya beliau sangat percaya kalian bisa menjaga anak, menantu dan cucunya. Paham?"Semua serentak mengatakan paham."Jadi saya tidak mau kalian kenapa-kenapa. Apalagi sekarang dua tuan kalian dalam keadaan yang tidak baik, kalau terjadi sesuatu sama kalian, siapa yang akan menjaga dan me
Mendengar penuturan Ibu, Zia hanya bisa menghela napas. Sementara itu Devan bersama Yudi mendatangi penjara bawah tanah yang berada di bawah rumah salah satu pengawal. Di sana Damar dikurung. "Siapa namanya?" "Damar, Mas." Keenan menaikkan alisnya. Nama itu terdengar tidak asing, tapi ia tidak ingat siapa orang itu. Ia juga tidak bisa menduga hal gila apa yang sudah ia dan Eleanora lakukan sampai laki-laki itu membalas dendam dengan menculik Vanela. Ketika sampai di penjara itu, barulah Keenan ingat dan mengerti. Damar adalah laki-laki hidung belang yang pernah ia buang atas suruhan Eleanora karena mengganggu ketenangan kos-kosannya dulu dengan Devan. Keenan mendengkus keras, harusnya dulu ia tidak memberi ampun pada laki-laki itu sekalipun memohon sampai menangis darah. "Halo," sapa Damar dengan ekspresi yang menjengkelkan. "Tidak dapat anaknya, dapat suaminya, hmm lumayan," ucap Damar di akhiri tawa yang terdengar sangat memuakkan. Keenan hanya bisa mengepalkan tangan dengan
Keenan sampai di ruang rawat inap Zia dengan napas terengah. Ia di sambut Desi di depan pintu. Zia sudah keluar dari Icu, sudah sempat sadar tapi tapi langsung tidur lagi efek pengaruh obat. Keenan bernapas lega, masuk dengan mata sayu. Ia melihat ke arah sofa bed. Keenan bersyukur Desi cukup peka dengan tidak ragu-ragu memilih kamar inap, sehingga Baruna bisa beristirahat dengan nyenyak meski sedang berada di rumah sakit. Keenan menghampiri Baruna lebih dulu, mengecup kening anaknya cukup lama lalu menghampiri Zia. Lama Keenan memperhatikan wajah Zia yang tampak damai. Meski demikian wajah itu sedang tidak baik-baik saja, ada beberapa memar kecil dan luka gores menghiasi wajah cantik Zia. Mata Keenan memanas. Ia tidak tahu kalau rindunya pada Zia sebesar ini. Ia tahan tangisnya agar tidak terdengar. Dengan ragu-ragu ia mengecup satu persatu luka yang ada di wajah Zia. Berharap luka-luka itu cepat sembuh dan tidak meninggalkan bekas. Bukan karena ia tidak terima jika Zia punya bekas