Tapi saya harus bawa anak saya yang paling kecil, Mbak Kinan." ungkapku dengan jujur apa adanya, "Karena kalau saya tinggal di rumah, pasti nggak ada yang jaga. Bagaimana?"
Mbak Kinan termenung untuk beberapa saat lamanya. Aku sudah sempat terserang ragu saat menantimya berbicara. Namun akhirnya dia berkata, "Ya Mbak Ayung, nggak apa-apa kok. Kasihan juga kalau nggak ada yang jaga di rumah. Lagian kan, Mbak Ayung sudah terbiasa mengasuh banyak anak, kan? Duh, Kastil pasti lebih senang kalau ada Lova."
Terus terang aku bahagia dengan jawaban Mbak Kinan yang terdengar tulus waktu itu. Dari mimik wajahnya aku juga tahu, kalau dia tidak main-main. Terlebih saat dengan bijaknya Mbak Kinan membantu melunasi hutangku pada Limas. Wah, aku merasa seperti tersiram sejuknya air hujan di tengah terik matahari, sungguh.
"Wah kalau begitu, terima kasih banyak Mbak Kinan." betapa rasa syukurku benar-benar melangit, disusul dengan rasa gembira yang
"Yes, I do Emma." jawabku lirih tersendat. "I miss them very much." (Aku sangat merindukan mereka) ungkapku sambil Mengerjap-ngerjapkan mata, menahan air hangat yang menggenangi bola mata. Jangan sampai meleleh. Kasihan Lova, baru saja tenang. "But I am alright, don't worry!" (Tapi aku nggak apa-apa, jangan khawatir!Ema mengusap-usap punggung, memandangku lama dan dalam. "OK Ayung, I hope you will be happy here with my and my baby. More happier I mean." (Oke Ayung, aku berharap kamu akan bahagia di sini bersamaku dan bagiku. Lebih bahagia lagi, maksudku.)Mendapatkan doa sekaligus sambutan hangat dari Ema, aku berusaha untuk menyimpulkan senyum tulus. Tidak apa-apalah bekerja dengan orang asing yang sama sekali belum kukenal, terpenting bisa terus berjuang demi masa depan anak-anak. Cukup aku yang menderita. Mereka, jangan sampai!Detik berikutnya Ema bertanya apakah kami sudah bisa melanjutkan perjalanan ke apartemen? Katanya kami harus berjalan se
"Oh, terima kasih banyak Ema." air mataku justru semakin deras saat mengucapkan kata-kata ini. Tak sanggup lagi menahan segala rasa. Baik sekali Ema padaku, penuh perhatian dan pengertian. Masih tak percaya rasanya, seperti mimpi. Terlempar jauh dari Mbak Kinan tapi terjatuh di atas tumpukan kasur busa. Empuk sekaligus menyelamatkan. Semoga ini bisa menjadi awal yang indah untuk perjalanan hidupku selanjutnya. "Terima kasih banyak, Ema. You are very kind of me, really!" (Kamu sangat baik padaku, sungguh!)Ema tidak menyahut ungkapan terima kasihku yang semalam itu, entah mengapa. Untuk beberapa detik lamanya dia hanya berdiri terpaku memandangku. Hampa, sedih, marah dan sakit juga benci. Itu yang dapat aku tangkap dari pancaran sinar matanya, membuat detak jantungku meningkat pesat. Mungkin kalau digambarkan seperti genderang mau perang atau lebih dari itu, sungguh. Begitu banyak pertanyaan bermunculan dalam benakku setelah itu, semrawut. Salah satunya, benarkah Ema ini korba
"Mama, Ayah memang jahat sama kita, Mama!" ungkap Bumi dengan suara tersendat saat voice call. "Masa dia maksa pulang sama Tante Sari, Mama? Dia juga ngajakin adek bayinya. Aku nggak mau, Mama. Nggak mau. Titik. Kalau Ayah tetap maksa juga, aku mau pergi!"Aku masih mengumpulkan kesadaran dan berusaha mengutuhkannya kembali saat Bumi mengungkapkan semua isi hatinya. Terkejut, bingung, marah dan terutama sakit hati. Tega Mas Tyas melakukan semua itu! Apa benar-benar sudah tak memiliki perasaan? Bukankah sudah kusampaikan tempo hari saat dia voice call, aku tak mungkin memaksa anak-anak. Selain sudah besar dan semakin bisa berpikir secara dewasa, itu rumah mereka. Rumahku berarti rumah mereka, bukan? Jelas, Mas Tyas sudah keracunan serbuk asmara Sari!"Mas Bumi, tenang dulu ya Le?" sederet kata inilah yang akhirnya kuucapkan di antara leleran air mata. "Tenang, kita akan selesaikan masalah ini bersama-sama. Jangan takut ya Mas Bumi, Mama yang akan menghadapi Ayah."
"Serius kamu mau jalan sama aku, Mas Tyas?" pertanyaan ini terlontar begitu saja dari mulutku, tentu saja ketika Mas Tyas mengungkapkan segenap perasaan dan impian untuk membangun rumah tangga bersamaku. "Yakin, kamu nggak bakalan nyesel? Orangtuaku nggak kaya lho, Mas. Tinggal di kampung, jauh dari kota. Aku juga seperti ini adanya." Ya, kamu tahu sendiri lah, Mas. Lagian, kayaknya aku nggak bisa buru-buru nikah. Masih banyak target yang harus aku capai. Lulus kuliah, kerja, nabung-nabung untuk masa depan baru setelah itu nikah. Apa kamu mau nunggu, Mas?"Mas Tyas mendesah berat. Menghela napas panjang, memandangku dengan sorot mata tajam dan dalam, seakan-akan aku baru saja menolak atau mencampakkanya begitu saja. "Ya, aku serius Yung. Kapan aku main-main sama kamu? Buktinya sudah satu tahun lebih kita jalan, apa kamu nggak sadar Yung?"Giliran aku yang menghela napas panjang. Menembus bola matanya dengan sorot mata paling tajam dari yang aku miliki. "Sadar sih
Ema benar-benar meluangkan waktu untuk kami pagi ini. Usai sarapan yang cukup dramatis---dia tersedak hebat sampai muntah tiga kali---mengajak Lova jalan-jalan di sekitar Ever Green. Katanya biar aku bisa menelepon Mas Tyas dan menyelesaikan permasalahan rumah tangga kami. Ternyata dulu, di belakangku Mbak Kinan sudah menceritakan semuanya pada Ema. Sejujur-jujurnya kukatakan, kecewa dengan sikap Mbak Kinan---bagiku itu melanggar privacy---tapi bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Emosional pun tidak berguna, kan? Jangankan itu, berbicara atau menegur Mbak Kinan pun tidak akan berarti apa-apa lagi.Jadi, inilah yang kulakukan sekarang. Conference call dengan Mas Tyas dan Ibu. Kenapa harus melibatkan Ibu? Karena Mas Tyas sudah benar-benar tidak diajak berbicara lagi. Semakin baik aku mengupayakan, semakin dia kasar dan meledak-ledak. Terutama setelah aku dianggap menantang perpisahan dengannya kemarin pagi. Bukannya meredup atau bagaimana dia justru berkobar-kobar.&
"Mama, Mama!" Lova mengikuti aku berjalan ke luar kamar. Dia baru saja bangun tidur siang. Seharusnya ini waktunya minum susu tapi aku belum selesai merapikan ruang kerja Ema. Jadi, terpaksa aku memberinya apple sap dan mengajaknya kembali ke sana. "Mama, Mama yop yu!" (Mama, Mama I love you!)"Thanks. I love you too, Lova." seriang mungkin aku menyahut. "Lova duduk manis ya, Mama kerja dulu?"Lova mengangguk penuh pengertian. Meminum apple sap lagi, tersenyum lebar. Lucu. Duh, sampai meleleh hatiku oleh karenanya. Anak sekecil dan sepolos itu sudah harus merasakan asam garam kehidupan. Ah, kakak-kakaknya juga. Oh, tentu semua ini salahku, bukan? Seharusnya sekarang ini mereka berada dalam masa-masa bermain dan belajar yang menyenangkan. Seharusnya juga aku dan Mas Tyas menjadi orangtua yang utuh, rukun dan damai untuk mereka. Bukannya malah tercerai berai seperti sekarang ini. Iya, kan?"Aduh! Gimana ini, Mas Tyas?" sekujur tubuhku gemetar, nyaris menggig
Aku merasa Ema jauh lebih baik sikapnya terhadapku terutama Lova setelah perbincangan kami semalam saat makan malam. Mungkin, setidaknya merasa lega setelah tahu bagaimana aku menyikapi soal kehamilannya. Selain itu bukan urusanku sama sekali, aku memang tak ingin menabur benih kesulitan di sini. Mustahil. Tanpa itu saja kadang-kadang masih merasa sedih. Setega ini Mbak Kinan memperlakukan kami, padahal jelas-jelas sudah berjanji akan terus bersama sampai nanti pulang ke Tanah Air. Dik Uji pun tahu itu, dia saksinya. Kalau seperti ini, apa aku juga yang salah?Ah, sudahlah!Takkan ada ujungnya kalau membahas soal itu. Mbak Kinan bahkan tidak membaca pesan yang kukirimkan melalui chat room. Padahal aku hanya ingin tahu bagaimana keadaan mereka terutama Kastil. Apakah dia baik-baik saja di Heidelberg sana? Bagaimana dengan jadwal sekolahnya, apakah sekarang berubah menjadi setiap hari, mengingat tidak ada yang menjaga kalau Mbak Kinan berangkat ke kampus? Siapa yang mene
Assalamu'alaikum … Halo, Berpisah Untuk Bersatu hadir kembali di hadapan kalian. Sebelumnya author mohon maaf ya, karena belum bisa rutin update cerita. Semoga kalian nggak jenuh untuk menunggu, ya? BTW untuk kalian yang mungkin merasa bingung dengan alur cerita ini, silakan dibaca secara urut dari bab pertama, ya? Terima kasih dan selamat membaca.***Humairah Samudera***Siapa sangka kalau akhirnya akan terdampar di Frankfurt seperti ini? Aku, jelas tidak sama sekali. Siapa sangka juga kalau seseorang yang bagiku malaikat tanpa sayap, Mbak Kinan, akan sampai hati seperti ini padaku? Mencampakkanku begitu saja seolah-olah aku seekor ulat pemakan daun atau hama wereng. Oh, jauh lebih sakit rasanya, berjuta-juta kali lipat dari pada saat Mbak Kina memindahkan pekerjaanku di apartemen Ema. Maksudku, saat dia menemuiku tadi---usai menemani Ema menjadi pemateri seminar---di Heidelberg University.Sungguh, tanpa perasaan Mbak Kinan menan
"Pakai nama Mama saja, Ma?" Langit mengusulkan setelah Laut dan Bumi sibuk mencari nama untuk usaha tanaman hias yang akan kami rintis. "Payung Teduh Flowers. Cantik kan, Mama?" Sejenak, Laut dan Bumi saling memandang lalu tos dengan penuh semangat perjuangan. "Setuju berat, Mas Langit. Cantik banget namanya, Payung Teduh Flowers!" Laut memandangku dengan senyum tipis tetapi manis yang khas. Tak mau kalah, Bumi juga mengapresiasi nama yang diusulkan Langit tadi. "Cantik dan viral pasti. Karena kan unik banget namanya."Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Memang cantik, ya? Unik. Semoga juga bisa menjadi magnet berkahnya rezeki. "Oke, Mama juga setuju." lembut tapi tegas aku memungkas acara diskusi kami. "Kalau gitu, Mas Langit sama Mas Laut harus segera cetak banner, ya? Nanti kita buat dulu konsepnya. Mas Bumi bantu Mama memilih bunga apa saja yang akan menjadi icon PTF. Nah, habis itu kita cari grosir tanaman hias. Harus banyak survei nih Le, seka
Tiga hari berlalu sejak family time yang so sweet, aku sakit. Demam, batuk, pilek parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kata Dokter, aku terlalu lelah dan letih. Butuh beberapa hari untuk istirahat total. Dokter sempat menawarkan rawat inap di rumah sakit tetapi aku menolak, tentu saja. Bukankah istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan? Ya, begitulah dan akhirnya Anak-anaklah yang dengan kompaknya merawat. Lova terlihat senang hati setiap mengambilkan minum atau menemani minum obat. Langit dan Laut, mendapat tugas membersihkan rumah plus mencuci pakaian. Sedangkan Bumi, mencuci piring dan menyiram tanaman setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah. Siapa yang memasak?Koki di rumah makan, hehehehe. Sorry, just kidding! Sebagai koordinator rumah tangga sementara, Langit memutuskan untuk membeli lauk dan sayur saja selama aku sakit. Kalau memasak sendiri, menurutnya terlalu ribet. Untuk nasi, dia yang memasak. Maka, nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"G
Aku berusaha mengikuti arahan Bu Bidan tetapi belum berhasil. Sabar, Bapak terus menyemangati dan mendoakan keselamatan kami."Nah, ayo ngeden lagi Mbak, ini kepalanya sudah kelihatan. Yuk, ngeden yang kuat. Terus, terus…!"Aku tidak terlalu ingat, bagaimana akhirnya. Hanya ketika kepala Laut sudah keluar, aku menjerit memanggil Mas Tyas. Mengejan lagi, mengikuti daya kontraksi lalu lahirlah dia, Laut Surgawi. Tidak dapat mendengar lagi kah hati Mas Tyas? Hanya Allah Yang Tahu."Sop iga, bakso rusuk, pecel lele, ikan bakar … Kita mau makan apa, Ma?" Hampir saja aku menyerempet sepeda motor karena terkejut demi mendengar pertanyaan Laut. Wah, semua ini gara-gara Mas Tyas yang tak berperasaan, jahat! "Kalian, mau makan apa?" lega tetapi sedikit geragapan aku membalikkan pertanyaan. "Mama ngikut saja, Le. Eh, tapi kayaknya enak ya, kalau makan sop iga? Sudah lama juga kan, Mama nggak masak …?"Laut mengiyakan lalu memberi tahu kalau rumah makan sop iga sapinya tinggal satu setengah kil
"Yuk, turun, anak-anak!" kataku sambil menepikan mobil di perempatan jalan kecil menuju makam Bapak. "Kita parkir di sini saja ya, takutnya Mama nggak bisa atret nanti?"Tanpa berkata-kata, anak-anak mengikuti ajakanku. Langit yang duduk si sebelahku, segera turun sambil menggendong Lova. "Bunganya sudah aku bawa turun, Ma!" lapor Bumi setengah berteriak. "Eh, Mas Laut, tolong bawa air mineralnya!'Kudengar, dengan penuh semangat Laut menyahut, "Siap, Bos!"Entah bagaimana, aku tertawa lirih. Menertawai diri sendiri, Mungkin? Why? Karena belum sempat membahagiakan Bapak semasa hidup. Bahkan, ketika Bapak meninggal dunia pun aku masih dalam keadaan susah. Bukan susah secara ekonomi, tetapi kritisnya hubungan dengan Mas Tyas. Kami sudah benar-benar tenggang, waktu itu, sudah pisah ranjang. Seperti itulah, keadaannya sampai-sampai Mamak dan Limas menghakimi. Bapak terkena serangan jantung karena stressed memikirkan aku. Padahal aku sama sekali tidak memberi tahu Bapak perihal rumah tan
Apakah ini yang disebut dengan penghalang kebahagiaan? Aku tidak tahu! Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku memilih untuk menyebutnya dengan challenge. Tantangan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kami sudah sampai di samping pintu mobil ketika tiba-tiba air ketuban Ajeng pecah. Byok …! Seperti itulah bunyinya, menciptakan panik. Anehnya, aku hanya bisa tertegun hingga beberapa detik lamanya saat cairan seperti putih telur itu membasahi punggung kaki Ajeng."Yung, aku nggak tahan lagi, Yung!" rintih Ajeng sambil merapatkan rahang. "Bayinya sudah mau lahir, Yung!""Ha, apa?" reflek, aku merespon dan tidak menyesal sedikit pun walau mungkin terkesan bodoh. "Jangan bercanda deh Jeng, sudah mau lahir gimana?"Terengah-engah, Ajeng berusaha memberikan penjelasan. "Serius, Yung. Hah, hah, haaahhh …!" Ajeng mencengkeram pintu mobil, mendobrak kesadaranku."Oke, oke!" kataku berusaha meredam panik. "Oke, tahan sebentar. Tahan sebentar ya, Jeng?" Gemetar, aku merogoh ke dalam saku gami
Sebenarnya apa salahku? Pada Mamak, Bapak dan Limas, maksudku sehingga mereka begitu membenciku. Karena menikah darurat dengan Mas Tyas? Karena gagal menjadi Sarjana? Karena akhirnya berpisah dengan Mas Tyas yang berarti kegagalan paling besar bagi mereka? Seharusnya mereka tahu tanpa disalahkan, dibenci dan dihakimi pun aku sudah remuk bubuk. Lumat oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang begitu besar, tak tergambarkan. Jelas mereka tidak melihat itu, kan? Jelas, jelas! "Kalau aku jadi kamu ya Mbak, sesakit apa pun nggak akan pernah pisah. Ya ampun, itu kan nyakitin banget buat anak-anak, Mbak. Kasihan juga kan, status mereka jadi anak-anak broken home? Lagian, kenapa dulu kalian pacaran sampai ngawur gitu, coba? Sudah buat malu orangtua eh ujung-ujungnya pisah! Heran deh Mbak, sama kamu!" itu yang dikatakan Limas melalui saluran telepon yang super buruk saat tahu aku sudah berpisah dengan Mas Tyas. Seakan-akan dia yang bertanggung jawab atas hidupku selama ini saja! "Ya,
"Waduh, waduh yang punya rumah baru sampai cuek bebek sama keluarganya!" seloroh Mamak sambil mengulurkan tangan, menyalamiku. "Tapi kayaknya kami nggak bisa nginep, Yung. Adikmu lagi sibuk banget, banyak kerjaan. Besok malah Mamak nggak ada yang nganterin pulang."Aku merasa, otakku sudah berhenti berputar saat ini, sehingga hanya bisa diam tercenung. Oh, pasti aku terlihat sangat bodoh, sekarang. Bodoh dan lemah, tak punya harga diri. "Lah, kan, Mama bisa nganterin Mbah Mamak pulang?" pertanyaan sekaligus pernyataan Laut memulihkan separuh kekuatanku yang tadi hilang entah ke mana. Separuh lagi, berasal dari Bumi, Langit dan Lova yang tiba-tiba mengerubungi kami. Senyum tulus, sorot mata teduh mereka menyemai rasa tenteram dalam hati. "Sekalian jalan-jalan. Iya kan, Mama?"Reflek, aku mengangguk. Menyuguhkan senyum tulus. Biarlah Mamak atau siapa pun bersikap semau mereka tetapi aku tak boleh goyah. Maksudku, meskipun harus mengorbankan diri sendiri, jangan sampai balas menyakiti.
Mas Tyas juga datang? Wah, ini baru bencana! Sejujur-jujurnya kukatakan, tak ingin ada dia malam ini dan selanjutnya. Jangan ada Mas Tyas lagi, karena dia hanyalah selembar masa lalu. Masa lalu yang sangat menyakitkan! "Iya, Mas Bumi?"Bumi mengangguk. "Iya, Mama. Kayaknya, kalau aku nggak salah lihat, Ayah bawa buket bunga mawar putih, Ma." Ha, apa? Ck, Mas Tyas pasti sudah terjangkit skizofrenia. Tak bisa lagi membedakan antara khayalan dan kenyataan. Jelas-jelas kami sudah bukan siapa-siapa lagi, kan? "Mama mau temui Ayah?" pertanyaan polos sekaligus tulus dari Bumi mendobrak kesadaranku. "Mau apa nggak, Ma?"Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aku tak sempat lagi menghindar karena Mas Tyas sudah masuk ke ruang keluarga ini, bersama Ibu. Itu terlalu lancang bagiku tetapi sayang, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa berdiri hampa."Selamat ya, Yung?" suara Mas Tyas terdengar gemetar. Entah karena efek dingin dari air conditioner atau karena efek lain salam dirinya. "Maaf,
"Ibu …!"Walau sudah berpisah dengan Mas Tyas, aku tak pernah berubah. Sama seperti dulu waktu masih menjadi anak menantu, menyambut dengan sopan lalu bersalaman. Tidak hanya mengecup punggung tangan, aku juga mencium kedua pipinya. "Alhamdulillah, Ayunng senang Ibu bisa datang." ungkapku jujur dan apa adanya ketika Ibu merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. "Ibu sehat kan, Bu?""Sehat Yung, Alhamdulillah." lembut, Ibu melepaskanku dari pelukannya. "Ibu juga senang bisa datang ke sini. Selamat ya Yung, sudah punya rumah baru? Ibu doakan semoga diberkahi Allah semuanya.""Aamiin. Makasih banyak, Bu." Ibu menyimpulkan senyum tulus. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang sejak sore tadi sudah berubah menjadi taman bunga. Hehe. Anak-anak yang memilih tema dekornya. Beberapa ikat balon warni menghiasi sudut-sudut ruangan. Ada juga yang tergantung di langit-langit berplafon putih melati. Konsepnya memang sederhana tetapi terlihat manis dan hangat. Indah."Sama-sama, Ayung."