Ini untuk pertama kalinya aku menampar seseorang. Gambar tanganku melekat di pipi mas Bara, sama seperti yang dilakukannya padaku beberapa menit yang lalu, aku pun melakukannya juga."Kau sadar dengan yang kau katakan? Masalah ini akan menjalar ke mana-mana jika kau ingin teruskan niatmu itu!""Tapi, Aruna. Masalah ini akan selesai dengan cara itu. Dan kita akan bisa terus bersama-sama lagi.""Apa kau kira aku akan tetap mau bersama dengan orang yang akan membunuh anakku?""Itu untuk kebaikanmu juga, Kau bisa meneruskan kuliahmu. Kau bisa menggapai cita-citamu. Kalau kau meneruskan kehamilan ini, kau akan putus kuliah, kau hanya akan menjadi ibu.""Aku tidak butuh kuliah. Kau dengar? Alasan apa pun tidak akan bisa mengurungkan niatku untuk melahirkan bayi ini."Ucapku dengan pasti. Mas Bara kebingungan."Baiklah, kita bisa memikirkanya nanti. Sebaiknya kita pulang. Alya akan curiga karena kau meninggalkan rumah sudah cukup lama.""Kau tak usah sok perhatian padaku, Mas. Aku bisa mengat
"Sepertinya Mas sengaja menghindar dariku.""Aku sedang banyak pekerjaan, Aruna. Ada satu toko yang kerampokan, aku harus berurusan dengan polisi untuk masalah itu. Belum lagi harus mengurus asuransi dan lain sebagainya.""Tapi tidak harus mengabaikan aku kan, Mas?""Jangan membuat masalah bertambah, Aruna.""Mas kau belum juga memberikan jawabanmu. Apa keputusanmu untuk masalah kita. Kau akan menceraikan mbak Alya atau meminta persetujuannya untuk dipoligami."Aku melihat mas Bara mendesah dengan gelisah, aku yakin dia belum melakukan apa pun."Kalau Mas tidak berani, biar aku saja yang bicara pada mbak Alya.""Jangan, apa jadinya nanti Aruna. Keluarga kita akan saling menyalahkan dan pertengkaran besar akan terjadi.""Lalu aku harus menunggu lagi setelah aku sangat kesulitan bahkan hanya untuk menemuimu dan bicara saja.""Biar aku mencari waktu yang baik untuk bicara dengan Alya.""Waktunya yang baik itu seperti apa, Mas. Waktu perutku sudah membesar dan mbak Alya akan mengetahui keh
Hari ini aku berhasil menemui orang tua mas Bara di tokonya. Kebetulan sekali aku sedang ada tugas membuat makalah. Aku berhasil membujuk teman-temanku untuk berbelanja bahan-bahannya ke toko orang tuanya mas Bara. Aku bilang saja pada mereka kalau harga di sana jauh lebih murah dibandingkan dengan toko yang lainnya. Terlebih dahulu aku menyelidiki hari apa saja sang bos datang ke toko yang letaknya tidak jauh dari kampusku itu. Kata yang jaga setiap Kamis dan Minggu saja. Baiklah, kalau Minggu aku jarang ada jam, makanya aku mengambil hari Kamis untuk ke sana. Banyak yang menitip padaku. Tidak apalah, aku nanti membawa beban yang lumayan berat yang penting niatku untuk bertemu calon mertua terlaksana."Selamat siang, Mbak.""Siang juga, Mbak. Ada yang bisa saya bantu.""Saya membutuhkan barang yang ada dalam catatan ini, tolong di periksa. Jika semua tersedia di sini saya mau membelinya. Kalau ada yang tidak tersedia tolong coret saja Mbak. Karena ini bukan barang saya saja.""Iya, M
"Kau mau ke mana, Aruna?"Tanya mas Bara, dia sengaja menghentikan langkahku yang sudah mencapai pinggir jalan raya. Aku sedang menunggu ojol yang sudah kupesan tadi."Aku mau main, Mas.""Kenapa kau banyak main sekarang, apa kau tidak mengkhawatirkan kandunganmu?"Aku tidak tahu mengapa mas Bara tiba-tiba menunjukkan perhatiannya pada janin yang pernah di tolaknya. Apa dia sudah berubah pikiran atau ini hanya akal bulusnya."Dia anak yang kuat, dia akan selalu bertahan untuk mendapatkan haknya.""Kamu ini bicara apa, ayo kita pulang. Istirahatlah dengan cukup. Baru saja kau pulang. Ini sudah mau pergi lagi.""Aku sudah pesan ojol, lagi pula apa urusanmu Mas?""Kan bisa dibatalkan. Aku berhak mengatur kamu karena kau sedang membawa bayiku.""Aku akan masuk dan mematuhimu kalau kita saat ini juga menemui mbak Alya untuk menyelesaikan masalah ini."Kataku tegas, seperti yang kuduga mas Bara hanya berdecak kesal padaku. Bisanya cuma mengatur, dimintai tanggung jawab susahnya minta ampun,
Aku merasa heran dengan orang-orang di sekelilingku. Mengapa mereka bersedih di saat aku akan melangsungkan pernikahanku dengan mas Bara. Ayah dan ibu tidak menunjukkan rasa bahagia mereka sama sekali, padahal aku si bungsu mereka akan segera melepas masa lajangku. Tidak ada suasana seperti waktu mbak Alifia atau mbak Alya mau menikah.Aku diantarkan pulang oleh mbak Alya setelah kejadian di rumah orang tua mas Bara waktu itu, mbak Alya tidak mengatakan apa-apa kepada ayah dan ibu. Mbak Alya hanya menyampaikan kalau mulai hari ini aku akan kembali tinggal di rumah mereka. Hanya itu yang dikatakannya kemudian langsung pergi, entah pulang ke rumahnya atau ke mana aku tidak tahu.Ayah dan ibu yang tidak mengetahui kalau telah terjadi hal besar, mereka hanya membiarkankanku saja. Mungkin mereka mengira mbak Alya marah dan memulangkanku karena aku bandel dan susah diatur.Pada malam harinya, orang tua mas Bara datang ke rumahku. Sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat oleh mbak Alya, aku
Hanya akulah satu-satunya pengantin yang tidak bahagia di hari pernikahan. Bagaimana tidak, tak ada seraut wajah pun yang ceria di acara akad nikahku ini.Aku masih ingat betul saat mbak Alya datang ke rumah, sehari sebelum pelaksanaan akad nikah ini."Aku ingin pesta pernikahan seperti mbak Alifia dan mbak Alya dulu.""Tidak bisa, kau menikah secara tertutup saja. Yang penting sah.""Apa hak mbak Alya mengatur seperti itu?""Ayah dan ibu malu karena kau menikah dengan kakak iparmu dan dalam keadaan hamil pula.""Kenapa malu, toh orang tuanya mas Bara juga sudah menerima bahkan mereka juga memberikan sejumlah uang untuk biayanya.""Kau hanya memikirkan pesta saja, Aruna. Pikirkan juga biaya perawatan kandunganmu dan biaya saat kau melahirkan nanti."Aku menjawab mbak Alya tapi malah ibu yang membalas ucapanku dengan kata-kata pedasnya."Untuk apa aku memikirkan biaya perawatan bayi ini. Bayi ini ada ayahnya yang punya uang banyak untuk mencukupi semua biaya hidupnya.""Kau benar-benar
Aku harus mendapatkan kembali mas Baraku. Aku harus bisa membuat mas Bara seperti dulu lagi. Mas bara yang mencintaiku dan menyayangiku. Mas Bara yang menatapku penuh hasrat, yang selalu menginginkan kebersamaan denganku.Mungkin aku harus bersabar dan merayunya. Aku harus menurunkan egoku untuk mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku takut jika aku selalu marah dan menuduhnya dengan kata-kata kasar, bisa-bisa mas Bara akan merasa bosan dan tak nyaman denganku. Aku tidak mau kalau mas Bara menceraikanku. Mungkin untuk saat ini dia hanya diam meskipun aku memarahinya hanya karena bayi ini. Jika bayi ini sudah keluar bisa saja mas Bara akan bersikap lain padaku. Dia bisa saja menceraikanku. Oh, tidak bisa. Aku sudah mengorbankan seluruh hidupku untuknya, aku tidak bisa kehilangannya.Aku tidak lagi bisa mendengar kabar mbak Alya, tidak mungkin aku menanyakannya pada mas Bara. Ayah dan ibu juga tidak pernah membicarakan mbak Alya jika ada aku. Mereka benar-benar menganggapku orang yang palin
Aku melangkah pelan memasuki halaman rumah mbak Alya. Sepertinya ada tamu di dalam, kulihat ada sepasang sepatu wanita di teras rumah. Siapa tamu mbak Alya?Aku sengaja berjalan lewat pinggiran, agar kedatanganku tidak terlihat dari pantulan kaca atau pun dari arah pintu depan. Ada suara percakapan. Aku menajamkan telinga untuk mengetahui dengan siapa mbak Alya mengobrol."Baiklah jika kau sedang baik-baik saja. Mama merasa lega dan tentunya akan bekerja lebih tenang, tidak memikirkan kesehatanmu lagi, Alya.""Ma, aku bukan anak kecil. Mama tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku bisa menjaga diriku. Nanti sore aku mau ke luar kota, ambil barang pesanan reseller. Mama pesan oleh-oleh apa, nanti Alya belikan.""Aku tidak ingin apa-apa lagi, Alya. Aku sudah berada dalam keadaan yang terpuruk begitu dalam. Nama baik keluarga yang kujaga dari dulu, akhirnya kini hancur karena Bara. Aku sangat kecewa.""Maafkan keluargaku, Ma. Mau dikatakan seperti apapun tetap keluargaku yang sudah mencorengkan
"Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge
"Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te
"Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-
Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m
Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias
Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t
"Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare
Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c
Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de