“I-i-iya suster”, jawab Aldi terbata.“Jadi bagaimana Bapak? Apakah pengobatan Bu Angela mau dilanjutkan atau bagaimana?”, tanya suster lagi tepat pada intinya. Aldi membuang nafas kasar, sungguh ia merasa buntu. Tak mendengar jawaban apaun dari Aldi, akhirnya suster hanya meminta Aldi untuk datang dan menyelesaikan administrasi untuk tindakan yang sudah terlanjur dijalankan.“Posisi bapak dimana? tolong segera kembali ke rumah sakit ya untuk menyelesaikan administrasi pasien pulang jika memang tidak melanjutkan pengobatan di Kurnia Asih”, ucap suster lagi.“Baik suster, saya akan segera kesana”, jawab Aldi akhirnya. Dan sambungan telepon pun diakhiri.Dengan langkah lemah Aldi mulai mencari jalan ke arah rumah sakit. Ia memesan ojek online karena sulit mencari tumpangan di waktu yang sudah selarut ini.**Di rumah sakit, Angela masih tak sadarkan diri, tubuhnya terlihat lemah bagaikan tak ada nyawa. Kondisinya semakin memprihatinkan, dokter jaga dan perawat yang memeriksa Angela ju
“Itu... itu Aldi”, jawab Rania spontan.Fahmi melihat Rania dengan serius, “siapa Aldi?”.Rania menjadi gugup mendengar pertanyaan Fahmi, dia baru sadar tadi dia keceplosan menyebut nama itu.“Tunggu dulu”, Fahmi mencoba mengingat-ingat, “itu kan orang yang tadi memukulku dan mencoba memerasku”, Fahmi menatap tajam mata Rania.“Iya, Pak”“Apa kamu mengenalnya, siapa Aldi...?”, tanya Fahmi curiga.“Dia..dia...”, Rania menggantungkan ucapannya, Fahmi masih terus menatap Rania. Tanpa sadar langkah mereka berdua berhenti di tempat. Dan sesungguhnya perempuan itu tengah bingung setengah mati harus mulai dari mana menjelaskan kepada lelaki di hadapannya. Atasannya itu tahu persis keadaan rumah tangganya yang hancur dulu karena perselingkuhan, tapi lelaki itu tidak pernah benar-benar mengenal atau bahkan melihat wujud mantan suaminya itu.Fahmi memicingkan matanya melihat sikap Rania yang tak biasa. Sementara di sudut lobby Aldi masih terus berupaya untuk bernegosiasi.“Rania...”, panggilan
Hanya ada seorang perempuan yang di kursi roda, sementara Aldi sedang mondar mandir kebingungan, petugas wanita yang tadi berbicara dengan Aldi saat ini sudah sibuk melayani pasien lain. Rania berpikir, tidak mungkinlah petugas wanita itu yang memanggil dirinya, secara dia tidak ada kepentingan apapun di rumah sakit ini selain menemani Fahmi mengantar sang Ibu. Kemungkinan besar memang hanya wanita di kursi roda itu. Rania dan Fahmi bermonolog dalam hatinya masing-masing. Tapi siapa perempuan di kursi roda itu? tanya Rania pada dirinya sendiri. Ia merasa tak punya banyak urusan di Jakarta selain urusan pekerjaan dan urusan kesehatan Ibunya.Sekali lagi Rania mendongak ke atas melihat wajah Fahmi yang juga tengah menatapnya lekat, Ia seperti meminta persetujuan untuk menghampiri wanita di kursi roda, Fahmi mengangguk perlahan sambil terus menatapnya lekat.“Rania... “, suara itu terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya hingga Aldi pun terkejut lalu menghampiri Angela, Ia heran men
“Aku tak mengira bisa secara tidak sengaja bertemu kamu disini Rania, tapi sejak tadi entah kenapa Angela terus menyebut nama kamu dan meminta aku untuk memanggil kamu. Aku bahkan tidak tahu kalau kamu juga berada di rumah sakit ini”, terang Aldi dengan suara rendah. Bagaimanapun juga Ia merasa tak enak hati dengan lelaki di sebelah Rania yang terus menatap tajam ke arahnya.Mendengar itu, Rania hanya melirik Aldi sekilas dan kembali menatap wanita malang di depannya. Tak terbayangkan bagaimana perasaan Rania saat ini melihat wanita yang dulu nampak cantik dan seksi itu kini memiliki wajah yang kusam dan jauh dari kata menarik. Wanita yang berhasil merebut suaminya kala itu dan membuatnya terusir dari rumahnya sendiri, yang kala itu berdiri dengan sombongnya di samping suaminya saat tubuhnya limbung ke lantai setelah di dorong oleh sang suami tepat setelah kata talak diucapkan. Wanita yang dulu dengan lantangnya menyebut dirinya penyakitan dan mandul kini tengah berada di hadapannya d
“Ran, Ibu sudah siuman”, ucap Fahmi pelan. Ia tahu keadaan sedang tak baik di depannya. Walaupun tadi ia begitu membenci sikap Aldi tapi tak dapat dipungkiri, mengetahui kelsulitan yang tengah dihadapi Aldi membuat rasa benci hilang begitu saja.“kalau begitu ayo kita lihat”, ajak Rania cepat. Ia tidak mungkin menangguhkan kepentingan ibunya fahmi hanya demi dua orang yang pernah mengacaukan hidupnya dulu.“Tunggu Ran, apa ada yang harus kita bantu?”, tanya Fahmi sedikit berbisik.Rania menghela nafas dan berpikir dengan cepat. Ia sebenarnya sudah inginmembantu hanya tak tahu dari mana harus memulainya.“Apakah Ibu ini tidak memiliki kartu jaminan kesehatan?”, tanya Rania pada petugas.“Kartunya sudah lama mati, kepesertaanya sudah tidak aktif dalam waktu yang cukup lama, Bu”, jawab petugas itu jujur.“Beri kami sedikit waktu untuk bicara, mbak”, ucap Rania. Petugas itu mengangguk sopan lalu meninggalkan mereka.Rania memandang Aldi dengan sinis, “memangnya berapa yang kamu butuhkan?
Angela menggeleng tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia hanya mau Rania memaafkannya saja, dia tak berharap banyak untuk sembuh karena menyadari kondisi keuangan dan kesehatannya semakin memburuk dari hari ke hari. Ia sudah menyadari kesalahannya dan hanya ingin pergi dengan tenang.“Ka-kamu jangan membantuku lagi Rania, dulu kamu begitu baik terhadapku yang membiarkanku menikahi suamimu, tapi kebaikanmu kubalas dengan penghinaan dan pengkhianatan karena aku ingin menjadi satu-satunya untuk mas Aldi. Aku sudah begitu jahat terhadap kamu”, Angela terisak semakin keras sehingga tubuhnya bergetar.Rania menepuk-nepuk pundak Angela dengan pelan, berharap bisa mengurangi kesedihan yang dirasakan.“Tolong maafkan aku, Rania... dengan begitu aku akan pergi dengan tenang”, pinta Angela. Tertatih Angela bicara.Rania memejamkan matanya, tak terasa bulir air mata berkejaran membasahi pipinya yang mulus. Ternyata masih sesakit ini luka yang kurasa ya Allah, Rania membatin sedih. Aku belum s
Semua orang terkejut, termasuk Rania yang memanggil nama Angela beberapa kali dengan keras tapi tak ada hasil. Aldi juga menepuk pelan pipi Angela tapi tetap ia tak bangun. Fahmi menyuruh Aldi melapor pada suster untuk diberikan penanganan segera. Begitu suster tiba di depan mereka, Fahmi bicara.“Tolong beri pengobatan yang terbaik, saya mau melihat ibu saya dulu di ruang V05. Beliau baru selesai di CT scan”, ucap Fahmi pada suster. Suster itu mengangguk hormat, dia cukup tahu ruangan itu adalah ruangan VVIP yang ada di rumah sakit itu.Kemudian Fahmi menarik tangan Rania untuk mengikutinya. Ia cemas melihat Rania yang tampak pucat setelah Angela pingsan tadi. Rania hanya mengikutinya dengan pandangan kosong.**“Hasil CT scan menyatakan nyonya Lastri mengalami penyumbatan sedikit di kepala”, terang dokter Joseph pada Fahmi. Rania ikut mendengarkan dan tetap berdiri di samping Fahmi.Fahmi mengernyitkan dahi, “apakah Ibu saya terkena stroke, dok?”, tanya Fahmi ragu.Dokter mengangguk,
Fahmi juga terkejut mendengar permintaan ibunya, sontak ia melihat ke arah Rania yang masih terdiam dengan rasa kagetnya. Fahmi memang akan melamar Rania tapi tak mengira akan secepat ini sang ibu memintanya. Ia juga tak yakin Rania akan menerima pinangannya bila diburu-buru seperti ini.“Bu.. jangan terburu-buru begini, kasihan Rania, dia pasti perlu waktu, Bu”, Fahmi berusaha mengklarifikasi.“Ma-maaf Rania. Ibu tidak bermaksud apa-apa, jangan dipikirkan”, ucap Fahmi pelan. Rania mengangguk mengerti.“Nak Rania”, panggil Nyonya Lastri. Tangannya yang sedang dipegang Fahmi berusaha dia lepaskan, kini dia tengah mencari tangan Rania untuk digenggam.“Inggih Bu”, jawab Rania menunduk. Tangannya digengam erat oleh Nyonya Lastri sekarang.“Jawab Nak, apakah kamu mau menikah dengan putra Ibu? Ibu merestui kalian kalau kalian sudah saling mencintai”, tanya Nyonya Lastri dengan suara pelan.Rania tak dapat berkata-kata, ingin hatinya menjawab 'iya', tapi rasanya terlalu cepat karena ia belum
Rania benar-benar merasa tak nyaman satu kantor dengan Aldi. Untungnya memang setelah menikah dengan Fahmi nanti dia berencana untuk resign dan mencari pekerjaan lain demi menjaga profesionalitas keduanya. Karena Rania dan Fahmi sama-sama memegang jabatan tinggi di perusahaan itu.Saat tak sengaja akan berpapasan, Rania selalu berputar arah demi menghindari pertemuan dengan mantan suaminya itu. Sungguh ia tak ingin melihat Aldi lagi, walau seluruh perasaan cinta dan benci mungkin sudah hilang, tapi rasa trauma akan kesakitan yang pernah Aldi tumpahkan padanya sangat membekas di hati wanita itu. Meskipun ia telah memaafkan Aldi dan Angela tapi ia tak ingin benar-benar memiliki urusan dengannya lagi.Rapat bulanan yang rutin diadakan di divisi penjualan yang dipimpin Rania membuatnya tak bisa sepenuhnya menarik diri dari Aldi. Karena dirinya merupakan orang nomor satu di divisi itu yang mengharuskannya memimpin rapat dan memastikan strategi tim penjualan berjalan sesuai target perusahaa
Beberapa hari kemudian di kantor.Pagi itu Rania tengah berjalan ke arah pantry untuk membuat teh manis hangat favoritnya saat langkahnya tiba-tiba terhenti karena tanpa sengaja ia melihat Aldi lewat di depannya. Rania hampir saja oleng jika tidak dengan cepat menguasai keadaan. Aldi tengah diajak berkenalan dengan departemen-departemen lain di kantor oleh staf HRD.Dengan cepat Rania berbalik badan demi menghindari pertemuan itu, dia ingin mendengar langsung dari Fahmi sendiri apa yang sebenarnya terjadi.Rania membatalkan keinginannya meminum teh di pagi hari ini, dia memilih melanjutkan langkahnya lurus ke depan ke arah ruangan Fahmi. "Pagi Rona", sapa Rania sambil tersenyum."Pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?", jawab sekretaris Fahmi sopan sambil berdiri membetulkan rok pendeknya. Rania hanya tersenyum melihatnya."Apa jadwal bapak kosong sekarang? atau beliau ada meeting pagi ini?", tanya Rania datar."Saat ini kosong, Bu. Tapi setengah jam lagi ada meeting dengan komisaris PT
Senin pagi di kantor, pintu ruangan Fahmi diketuk."Masuk", kata Fahmi tanpa mengalihkan pandangannya dari layar notebook.Aldi masuk bersama sekretaris Fahmi."Ini Pak Aldi, Pak, ada yang bisa saya bantu lagi?", tanya Rona, sang sekretaris dengan sopan."Tidak perlu, terima kasih, Ron", jawab Fahmi. Janda satu anak itu mengangguk lalu meninggalkan ruangan.Fahmi dan Aldi saling bersalaman lalu mempersilahkan Aldi duduk di sofa untuk menunggu."Tunggu sebentar ya Aldi, ada yang harus saya selesaikan dahulu", terang Fahmi.Aldi menurut. Ia mengitari pandangannya ke sekitar ruangan, betapa besar dan mewahnya ruangan ini, Aldi membatin. Dirinya saja bahkan belum sempat sampai di posisi ini dulu, tapi sudah sombong sekali dengan mantan istrinya waktu itu. Sekarang, dunia berputar. Orang yang akan ia mintai pekerjaan adalan calon suami dari mantan istri yang dibuangnya. Aldi memejamkan matanya berusaha mengusir galau yang melanda. Duh, aku harus fokus, jangan memikirkan Rania terus, Aldi b
Rania terkejut."Aldi! itu mas Aldi", tunjuk Rania spontan ke arah pintu pagar rumahnya. Fahmi ikut menoleh ke arah yang ditunjuk Rania. Ia bergegas menghampiri pagar dengan langkah tergesa. Rania mengikutinya di belakang."Untuk apa dia datang kesini, mas? Apa mas mengundangnya datang?", tanya Rania sedikit panik, ia memandang Fahmi dengan bingung, begitu pun Fahmi menatap Rania dengan kebingungan."Apa yang sedang kamu pikirkan, Rania? Disini tak ada siapa-siapa, tidak ada Aldi", terang Fahmi."Nggak mungkin, mas, tadi aku melihat dengan jelas dia ada disini", balas Rania dengan nada sedikit meninggi."Aku tidak mengundangnya, Rania. Lagian buat apa juga aku mengundang dia?", Fahmi balik bertanya. Rania tak menjawab. Ia pun bingung.Pak RT yang mengikuti Rania dan Fahmi sejak tadi juga berada di depan pagar rumah Rania memperhatikan sekeliling, dia tak menemukan siapa-siapa disini, apalagi Aldi yang dimaksud Rania. Rasanya tak masuk akal jika Aldi masih mempunyai muka bertemu Rania.
“Hah? Jadi Aldi kena penyakit kelamin juga?”, tanya Rania kaget.Fahmi mengangguk.“Astagfirullah!", ucap Rania sambil menutup mulut dengan tangannya. Fahmi hanya diam memperhatikan Rania yang tak dapat menyembunyikan kesedihan dan rasa kagetnya."Aku sama sekali tak menyangka Aldi dan Angela bisa terkena penyakit mematikan itu, mas. Aku sendiri bahkan tak pernah terpikir untuk mendoakan kejelekkan bagi mereka. Aku sungguh ikut prihatin dengan keadaan yang menimpa mereka”, ucap Rania sunguh-sungguh . Ternyata memang hanya belum usai saja pembalasan Tuhan kepada mantan suaminya itu, Rania membatin dengan sedih. Sejujurnya ia juga tak tega membayangkan kehidupan Aldi nanti jika terus menerus digerogoti penyakit seperti itu, tapi Allah yang Maha Lebih Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Fahmi mengangguk mengerti. Ia pun tahu persis seperti apa sifat Rania, wanita itu tak akan mampu mengucap doa jelek sekalipun kepada orang yang mungkin pernah menghancurkan dan menyakitinya.“Semoga A
"Aku benar-benar sayang sama kamu, jangan pernah kamu ragukan itu", ucap Fahmi lembut. Ia menatap wanita di hadapannya dengan rasa sayang yang teramat dalam.Ia tak punya alasan untuk mendebat Fahmi. Ia hanya merasa sangat melankolis saat dihadapkan pada dua orang lelaki yang kini ada di hidupnya, yang satu sangat ia benci, yang satu sangat ia sayang.“Maaf…”, hanya kata itu yang keluar dari mulut Rania.Fahmi tersenyum mengangguk lalu mengajak Rania kembali ke ruangan Angela.Di ujung jalan, Aldi melihat kejadian itu dengan sedih, ia mendengar semua perkataan Fahmi dan ia merasa cemburu. Ya, walau kecemburuannya sama sekali tidak berdasar, tapi penyesalan menyeruak ke dasar hatinya karena telah menyia-nyiakan wanita sebaik Rania. Aku benar-benar bersalah sama kamu, Rania, kamu terlalu baik buat aku makanya Allah memisahkan kita, ucap Aldi dalam hati. Ia pun berbalik arah untuk segera kembali ke ruangan dimana istrinya berada. Ia tak ingin Rania dan Fahmi mengetahui bahwa dirinya mend
Pintu ruangan diketuk pelan, Rania dan Fahmi masuk ke dalam dengan raut muka penyesalan, apalagi Rania yang tak bisa menyembunyikan kesedihannya menyaksikan kepergian Angela secepat itu setelah berbicara panjang lebar kemarin. Rania bersyukur telah memberitahu Angela bahwa ia telah memaafkan segala kesalahan yang pernah doperbuat Angela padanya. Fahmi menghampiri Aldi sementara Rania membuka kain penutup wajah Angela, dadanya mulai terasa sesak menyaksikan semua yang menimpa wanita perebut suaminya dulu, sungguh ia tak mengira begini akhir cerita hidup wanita yang dulu menghina dan mencemooh dirinya. Air mata membasahi pipi Rania, perlahan ia menghapusnya. Fahmi dan Aldi menghampiri Rania. Aldi menunduk melihat Rania, ia seperti tak sanggup menatap wajah teduh mantan istrinya. Betapa banyaknya dosa yang telah dia lakukan pada Rania, menghina dan mengusirnya tanpa menyadari bahwa Allah tak pernah tidur menyaksikan perbuatan hamba-hamba-Nya yang lewat batas dan lupa diri.“Rania...” ra
Aldi menoleh ke arah Rania dan menatapnya sekian detik, entah mengapa setiap kata-kata yang keluar dari mulut Rania terasa sangat indah saat ini untuk Aldi. Meskipun kalimat itu adalah bentuk teguran nyata untuk dirinya, bahkan masih tersirat kebencian di sorot matanya, tapi Aldi cukup lega karena setidaknya Rania masih mau menatapnya saat berbicara tadi.Fahmi berdehem untuk memecah kesunyian yang tercipta beberapa detik diantara mereka bertiga."Hmm... kalau begitu kami pamit dulu. Semoga istri kamu lekas sadar dan pulih. Kalau ada kemajuan ataupun penurunan kondisi, bisa hubungi saya. Rania butuh istirahat, kasihan dari kemarin dia sibuk bolak balik ke rumah sakit, besuk ibu saya juga. Jadi jangan sungkan menghubungi saya. ", Fahmi menyerahkan kartu nama miliknya ke depan Aldi.Aldi menerimanya dengan tatapan tak enak."Baik pak Fahmi, terima kasih", jawab Aldi.Rania dan Fahmi sudah meninggalkan kamar rawat Angela, mereka pulang setelah menjenguk nyonya Lastri di ruang perawatan da
"Jangan membuat keributan disini, ingat ini rumah sakit!", seru Rania dengan penekanan.Fahmi memandang tajam ke arah Aldi."Jangan jadi laki-laki pengecut, saya paling ngga suka lelaki kasar yang beraninya hanya sama perempuan. Kamu jangan pernah membangunkan macan tidur, saya disini untuk membantu kamu dan Angela, dan jelas itu semua karena Rania. Jadi kalau kamu memang tidak mau istri dan bayi kamu selamat, lebih baik bilang dari sekarang, jangan buang waktu saya dan Rania! Saya akan menarik kembali uang jaminan saya!", Fahmi memperingatkan Aldi dengan serius, raut mukanya memancarkan kemarahan yang dalam. Aldi menunduk mendengarnya. Ia merasa tak enak mendengar penuturan Fahmi. Apalagi dia masih berharap Fahmi dapat membantunya mendapat pekerjaan di perusahaannya, kalau belum apa-apa Fahmi sudah kesal padanya, bagaimana dia bisa membantu aku nanti? Aldi bermonolog dalam hati. Ditengah keadaan Angela dan bayinya yang sakit, Aldi masih sanggup memikirkan dirinya sendiri.Rania menat